• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bagian ini akan dianalisis keberlanjutan usaha LKMS. Sebelumnya, akan diuraikan gambaran umum dari sisi LKMS dan dari sisi nasabahnya. Sisi LKMS mendeskripsikan struktur biaya, modal, pembiayaan, aset dan jumlah nasabah yang dilayani LKMS responden. Sisi nasabah mendeskripsikan nilai pinjaman, mekanisme penyaluran, akad mekanisme dan periode pengembalian pembiayaan LKMS. Dengan adanya gambaran tersebut akan memperkaya analisis terkait dengan keberlanjutan usaha LKMS yang diproksi dari efisiensi.

Struktur Biaya, Modal, Pembiayaan, Aset LKMS Responden

Sesuai teoritikal, karakteristik dari lingkungan keuangan mikro ditandai dengan biaya operasi lembaga yang tinggi sehingga berakibat pada rendahnya keuntungan yang didapat. Tinggi biaya tersebut bisa dilihat dari struktur pasar input yang kompetitif bagi LKM. LKM untuk memperoleh tenaga kerja dan dana, harus bersaing dengan lembaga keuangan lainnya. Jika pasar input yang berupa tenaga kerja kompetitif maka biaya tenaga kerja pun akan meningkat begitu juga dengan dana. Kebanyakan LKM tidak mudah untuk mengumpulkan dana dari pasar tabungan. Kondisi itulah yang menyebabkan sebagai kendala utama yang dihadapi LKMS. Sementara dari pasar outputnya, memfokuskan layanan kepada nasabah dengan pendapatan rendah atau rumahtangga miskin. Dengan segmen pasar tersebut, maka biaya perunit pinjaman jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya per unit pinjaman yang lebih besar. Berdasarkan struktur pasar input dan output tersebut maka permasalahan LKM bagaimana mengoptimalkan penggunaan sumberdaya yang ada dalam rangka meminimalkan biaya operasi. Dalam hal ini, LKM dituntut untuk efisien.

Berdasarkan aspek teoritikal tersebut, maka akan dianalisis struktur biaya LKMS, baik dari pasar input dan pasar outputnya. Dari sisi pasar input yaitu dana, berdasarkan data sekunder permasalahan LKMS utama LKMS adalah dihadapkan kepada keterbatasan permodalan 56.15%. Untuk mengurangi hambatan tersebut, Bank Indonesia telah memformulasikan skema kerjasama, terutama untuk BPR dan BPRS. Pada tahun 2002, Bank Indonesia memperkenalkan linkage program yang sangat diperlukan dalam memperluas akses layanan bagi pengembangan UMKM (Hamada, 2010). Program linkage tersebut, semakin terbuka bagi LKMS dengan adanya program pemerintah terkait kredit usaha rakyat dan program keuangan inklusif. Selain perbankan, lembaga lainnya yang memberikan bantuan permodalan terhadap LKMS, salah satunya Permodalan BMT Ventura (PBMT Ventura). Di satu sisi linkage tersebut mampu mengatasi kendala permodalan LKMS, namun di sisi lain biaya dana yang harus ditanggung oleh LKMS lebih tinggi dibandingkan langsung memobilisasi dana masyarakat. Seperti diketahui, komponen biaya modal di Indonesia relatif mahal. Kondisi tersebut membuat biaya dana sangat sensitif terhadap biaya total dibandingkan dengan variabel lainnya. Seperti diketahui bahwa cost of lending (bunga pinjaman) relatif tinggi berkisar 12 persen dan suku bunga pinjaman tabungan (cost of fund) juga tinggi.

72

apabila LKMS melakukan linkage dengan bank komersial maka biaya dananya pun akan tinggi.

Biaya dana dari kredit program seperti halnya KUR (kredit usaha rakyat) pun tinggi, sehingga biaya dana yang ditanggung LKMS juga tinggi apabila LKMS akan melakukan linkage program dengan bank umum bisa syariah maupun konvensional. Namun di sisi lain, program linkage bisa mengakses tambahan modal bagi LKMS. LKMS bisa mengakses tambahan permodalan sampai Rp2.000.000.000 (dua milyar rupiah), dengan tingkat suku bunga yang tinggi yaitu 14% efektif per tahun, sehingga ketika LKMS menyalurkan pembiayaan dari program tersebut kepada nasabahnya maka tingkat suku bunganya pun tinggi yaitu maksimal ditetapkan sebesar 22% efektif per tahun (SOP KUR 2010). Mengacu kepada SOP KUR menunjukkan tingginya biaya dana (cost of fund) yang dikenakan yaitu 14% per tahun. Walaupun LKMS tidak menggunakan instrument bunga dalam semua transaksinya, namun secara riil tetap bisa dibandingkan atau disetarakan dalam perhitungannya ke suku bunga. Biaya pemakaian dana BMT secara rata-rata berkisar antara 2.5% sampai 3% per bulan jika disetarakan dengan bunga (Perhimpunan BMT Indonesia 2011).

Selain dihadapkan kepada biaya dana yang besar, biaya gaji juga besar dikarenakan kebutuhan tenaga kerja yang relatif besar akibat nilai pembiayaan

yang relatif kecil serta banyak dari LKMS yang menerapkan strategi “jemput

bola” untuk mengumpulkan pengembalian cicilan pembiayaan. Gambar 6.1

menunjukan struktur biaya total masing-masing LKMS, dimana LKMS Baitul Ikhtiar merupakan LKMS yang mempunyai biaya total yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan LKMS lainnya. Biaya gaji pada LKMS Baytul Ikhtiar memberikan kontribusi sangat besar terhadap biaya total dibandingkan dengan biaya dana. LKMS ini menggunakan metode pemberian pembiayaan adalah dengan Joint Liability Group lending atau pembiayaan berbasis grup serta mekanisme jemput bola, sehingga konsekuensinya kebutuhan akan tenaga kerja relatif besar maka akan meningkatkan biaya gaji. Biaya total yang dikeluarkan LKMS lainnya, masih di bawah Rp4.000.000.000 dimana struktur antara biaya gaji dan dana bervariasi diantara masing-masing LKMS tersebut. Biaya Gaji LKMS Al Amanah Sumedang lebih tinggi dibandingkan biaya dananya. Sementara LKMS Al Mustama mempunyai struktur biaya dimana biaya dana lebih tinggi dibandingkan dengan biaya gaji. Hal yang sama terjadi juga pada LKMS El Umma dimana struktur biaya dananya lebih tinggi dibandingkan dengan biaya gaji. Secara umum, komposisi antara biaya dana dan biaya gaji pada LKMS lainnya cenderung tidak jauh berbeda nilainya.

Secara teoritikal, LKMS akan berkelanjutan apabila LKMS mampu menutup keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan dari pendapatan yang dihasilkannya. Dengan melakukan aktivitas intermediasi yang berupa pemberian pembiayaan sehingga memperoleh bagi hasil, tambahan marjin maka LKMS bisa menutup seluruh biaya yang dikeluarkan tersebut. Sumber dana untuk pembiayaan LKMS pada umumnya berasal dari modal sendiri dan mobilisasi dana masyarakat, namun dari sumber dana tersebut ternyata LKMS masih dihadapkan kepada kendala permodalan.

73

Sumber: data primer diolah (2015)

Gambar 6.1 Biaya Total, Biaya Gaji dan Biaya Dana Masing Masing LKMS Tahun 2013

Hasil kajian empiris menyatakan banyak LKM yang mengalami keterbatasan permodalan karena mobilisasi dana masyarakat juga relatif sulit. Untuk itu LKM ada yang melakukan linkage dengan bank komersial ataupun lembaga lainnya dalam memperluas jangkauan layanannya. Berdasarkan studi dari Hamada (2010), pengalaman linkage BPR dengan bank komersial menunjukkan bahwa linkage program cenderung menjadi BPR lebih besar dan kinerjanya menjadi lebih efisien (Hamada 2010).

Adapun struktur permodalan, pembiayaan dan aset masing-masing LKMS tersaji pada gambar 6.2. Semua LKMS responden berdiri antara tahun 1994 sampai 2010. Pada tahun 2013 (gambar 6.2) terlihat bahwa LKMS yang mempunyai modal paling besar adalah LKMS Ibaadurrahman berdiri tahun 2007 yaitu sebesar Rp7.874.589.288, selanjutnya LKMS Al Amanah Sumedang berdiri tahun 1994 Rp 3,671,386,760 dan LKMS Baitul Ikhtiar berdiri tahun 1998 Rp2,884,089,005. LKMS lainnya mempunyai permodalan masih di bawah Rp2.000.000.000. LKMS Ibaadurrahman walaupun memiliki modal yang paling tinggi dibandingkan dua LKMS lainnya, akan tetapi dari sisi aset Rp27,384,100,805 lebih rendah dari LKMS Al Amanah Sumedang Rp30,470,341,132. LKMS lainnya yang memiliki aset yang besar yaitu LKMS Baitul Ikhtiar mencapai Rp27,220,449,678. Aset LKMS lainnya masih di bawah

0 1000000000 2000000000 3000000000 4000000000 5000000000 6000000000 7000000000 8000000000

74

Rp. 20.000.000.000. Jika dibandingkan dengan modal yang dimiliki, nilai pembiayaan seluruh LKMS di atas nilai modalnya. Dalam istilah perbankan syariah dikenal dengan nilai FDR (Financing to Deposit Ratio) dan perbankan konvensional dikenal dengan istilan LDR (Loan to Deposit Ratio). Regulasi dari Bank Indonesia terkait dengan FDR atau LDR keuangan mikro berkisar di angka 95% (Arsyad 2005).

Sumber: data primer diolah (2015)

Gambar 6.2 Modal, Pembiayaan dan Aset Masing Masing LKMS Tahun 2013

Nilai FDR seluruh responden LKMS lebih dari 100%. Artinya, seluruh modal yang dimiliki digunakan untuk pembiayaan bahkan pembiayaannya jauh di atas modal yang dimiliki. Hal ini bisa terjadi karena mobilisasi dana masyarakat. Sesuai dengan data sekunder menyatakan bahwa sebagian besar sumber pembiayaan berasal dari mobilisasi dana masyarakat. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa LKMS sudah berfungsi sangat baik sebagai lembaga intermediasi, yang menjembatani antara pihak surplus dana (pemodal) dan sektor riil.

Hal ini juga sekaligus mengindikasikan bahwa LKMS berhasil dalam memperluas jangkauan layanannya, yang mana hal ini merupakan proksi dampak positif LKMS terhadap pembangunan ekonomi perdesaan melalui penyediaan pembiayaan bagi masyarakat lokal (Arsyad 2005). Beberapa alasan yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, tingginya tabungan peminjam disebabkan adanya ikatan emosional, reliji dan sosial antara masyarakat dan LKMS. Semakin dekat LKMS ke nasabah, maka semakin kuat keunggulan

0 5000000000 10000000000 15000000000 20000000000 25000000000 30000000000 35000000000 40000000000

75 komparatif. Keunggulan komparatif tersebut akan menghasilkan nasabah yang setia dan menunjukkan kepada nasabah yang baru yang pada akhirnya akan meningkatkan permintaan layanan keuangan (tabungan) yang akan mempengaruhi rasio. Dari hasil pengamatan di lapangan, nampak ikatan emosional, sosial terjalin begitu akrabnya antara petugas LKMS dan nasabahnya. Kedua, masyarakat mudah akses ke LKMS karena lokasinya dekat, sehingga biaya transportasi rendah bahkan tidak ada, di samping itu ada mekanisme jemput bola dari petugasnya dan mekanisme grup pinjaman (pembayaran melalui kelompok yang lokasi tempat tinggalnya berdekatan selanjutnya petugas yang mendatangi nasabah), sehingga tidak ada biaya transportasi. Faktor ini yang menyebabkan tingginya nasabah menabung di LKMS. Ketiga, prosedur layanan LKMS juga sederhana dan mudah, baik dalam pinjaman maupun tabungan, dengan menggunakan teknik jemput bola (mobile banking) bisa menjangkau nasabahnya sampai ke pelosok dengan kondisi geografis yang sulit karena pegunungan dengan jalan setapak. Keempat, kompetisi diantara lembaga keuangan lainnya relatif tidak ada. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan tingkat kompetisi diantara lembaga keuangan lainnya tidak ada, mengingat nasabah LKMS sebagaian besar berada di perdesaan yang belum ada layanan keuangan formal seperti halnya perbankan. Kompetisi hanya diantara LKMS saja. Dan biasanya LKMS akan membuka layanannya kepada masyarakat yang belum dijangkau oleh layanan keuangan formal. Dengan kemudahan prosedur, maka akan semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk berpartisipasi baik dalam tabungan maupun pembiayaan. Tingginya tingkat pengembalian pembiayaan dari nasabah di daerah penelitian membuktikan keinginan dari nasabah untuk membayar pembiayaan berikut marjinnya sesuai waktunya. Kelima, tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil. Lembaga keuangan mikro dapat berkembang berkelanjutan dalam ekonomi yang berkembang dan stabil (Robinson 2001 dalam Arsyad 2005). Selama lima tahun dari tahun 2009 sampai tahun 2013, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor menunjukkan angka yang terus meningkat (tahun 2009 hanya 4.14% dan pada tahun 2013 mencapai 6.04%). Hal tersebut menujukkan iklim yang kondusif bagi perkembangan LKMS.

Berdasarkan hal tersebut, LKMS bisa merubah program keuangan mikro pada umumnya yang hanya sebagai pemberi pinjaman menjadi lembaga intermediasi yang berkelanjutan. Nilai pembiayaan yang besar di atas modal yang dimiliki tersebut, bisa dikarenakan berasal dari program linkage atau juga dari mobilisasi dana masyarakat. Semua LKMS responden sudah melakukan linkage. LKMS yang sangat tinggi portofolio pembiayaannya adalah Koperasi Baitul Ikhtiar. Jika dibandingkan antara nilai modal bahkan dengan nilai aset sekalipun, nampak portofolio pembiayaannya LKMS ini jauh lebih besar. Selain berasal dari sumber modal sendiri pembiayaan LKMS tersebut berasal dari program linkage baik dengan BPRS dan LPDB (Lembaga Pengelola Dana Bergulir)-Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. LKMS ini juga memfokuskan pemberian pembiayaan adalah dengan Joint Liability Group lending atau pembiayaan berbasis grup bukan pembiayaan individu, dengan mengadopsi model Grameen Bank. Dengan program linkage serta metode berbasis grup, LKMS tersebut semakin memperluas pembiayaannya sehingga jumlah jangkauan layanannya pun semakin bertambah (the breadth outreach), tersaji pada gambar 6.3.

76

Sumber: data primer diolah (2015)

Gambar 6.3 Jumlah Nasabah Masing-Masing LKMS Tahun 2012 dan 2013

Gambar 6.3 menunjukkan bahwa dibanding dengan LKMS lainnya, jumlah nasabah yang dilayani oleh LKMS Baitul Ikhtiar sangat tinggi yaitu pada tahun 2012 mencapai15.507 rumahtangga dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi 24.761 rumahtangga atau meningkat sebesar 60%. Sementara LKMS lainnya masih di bawah 5.000 rumahtangga. Dengan menggunakan metode berbasis grup, LKMS Baitul Ikhtiar mampu memperluas jangkauan layanannya. Seperti pengalaman Grameen Bank dan model replikanya yang telah banyak tumbuh selama tiga dekade ini, dengan model tersebut telah mampu menjangkau lebih dari 133 juta orang miskin dari dari 3316 LKM di seluruh dunia pada bulan Desember 2006 (Barbora and Sarma).

Nilai Pinjaman, Mekanisme Penyaluran,

Akad dan Mekanisme Pengembalian dan Periode Pengembalian Pembiayaan LKMS

Seperti pada umumnya lembaga keuangan, termasuk perbankan relatif sedikit portofolio kredit atau pembiayaan yang disalurkan kepada sektor pertanian, karena pertanian dikategorikan sektor berisiko tinggi dan turn overnya relatif lama. Berbeda dengan sektor perdagangan, sektor perdagangan relatif cepat turn overnya juga perhitungan bisnis dari sektor ini sudah dikuasai oleh lembaga keuangan. Hal sama terjadi juga pada LKMS, walaupun banyak LKMS beroperasi di wilayah perdesaan dan merupakan wilayah pertanian, sebagian besar portofolio pembiayaannya disalurkan kepada usaha perdagangan (Hasil wawancara dengan

2037 3373 530 1057 1086 1284 409 2775 2424 315 278 678 952 624 15,507 455 1336 4078 654 2117 1176 2683 293 2657 1189 342 379 1290 1036 748 24,761 573 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 2012 2013

77 beberapa LKMS). Hal ini menggambarkan bahwa rumahtangga tani masih terbatas yang akses kepada LKMS, walaupun di perdesaan. Namun demikian, masih ada LKMS yang memberikan pembiayaan untuk rumahtangga tani dengan nilai pembiayaan yang relatif bervariasi. Pembiayaan tersebut disalurkan, dialokasikan dan ditagih melalui mekanisme yang berbeda.

Tabel 6.1 menunjukkan hanya 3.8% rumahtangga tani nasabah yang memperoleh pembiayaan di atas Rp5.000.000. Pembiayaan di atas Rp5.000.000 tersebut antara Rp10.000.0000 sampai Rp50.000.000. Jika menggunakan nilai pinjaman sebagai proksi untuk kriteria nasabah miskin, maka LKMS di daerah penelitian telah menjangkau rumahtangga tani miskin sebagai nasabahnya. Hal ini disebabkan mayoritas yaitu 96. 20% nilai pembiayaan yang disalurkan antara Rp 5.000.000 ke bawah. Namun menurut Navajas et al. (2000), perhitungan nilai pembiayaan rata-rata sebagai proksi dalam menentukan jangkauan layanan LKMS dianggap terlalu kasar. Untuk itu banyak metode yang digunakan untuk mengukur jangkauan layanan LKMS tidak sebatas kepada nilai pembiayaan rata-rata. Selanjutnya, LKMS melakukan mekanisme jemput bola bagi nasabahnya yang akan melakukan pembayaran pembiayaan. Mekanisme ini tidak mungkin ditemukan di perbankan, dimana petugas LKMS secara rutin mendatangi nasabahnya untuk mengumpulkan tagihan. Mayoritas (97.47%) nasabahnya

melakukan pembayaran dengan layanan “jemput bola” dari LKMS. Nilai

pembiayaan yang relatif kecil-kecil tersebut menyebabkan tingginya biaya transaksi yang tinggi, terutama dengan kondisi geografis yang menyebar dan jauh- jauh dari kantor LKMS.

Pada tabel 6.1 ditunjukan bahwa untuk mengatasi tingginya biaya transaksi dan adanya asymmetric information bagi nasabah dengan nilai pembiayaan kecil maka digunakan metode penyaluran pembiayaan mayoritas berbasiskan grup (92.40 %) atau dikenal dengan Joint Liability Group lending dan sisanya rumahtangga tani responden menggunakan metode pembiayaan individu. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden rumahtangga tani dengan pembiayaan individu dinyatakan bahwa pengajuan pembiayaan harus ada jaminan tergantung dari besarnya pembiayaan. Untuk pembiayaan dengan nilai yang besar yaitu Rp15.000.000 dan Rp50.000.000 menggunakan jaminan sertifikat tanah. Sementara nilai pinjaman yang relatif kecil Rp2.000.000 ke bawah cukup dengan surat BPKB motor. Hal ini berbeda dengan metode pinjaman grup, yang tidak mensyaratkan jaminan atas pembiayaannya.

Secara teoritikal, operasional LKMS berbeda dengan LKM pada umumnya yang menggunakan instrument bunga. LKMS beroperasi dalam memobilisasi tabungan dan menyalurkan pembiayaan dengan mengimplementasikan pendekatan bagi hasil atau cost and profit sharing approach (Rodoni et al. 2008; Khadijah et al. 2013; Riwajanti 2013 ), Namun dalam praktiknya, penggunaan metode ini masih terbatas. Hal ini nampak dari penggunaan akad bagi hasil untuk pembiayaan, hanya 1.26%.

78

Tabel 6.1 Profil Pembiayaan, Mekanisme Pembayaran, Penyaluran dan Akad Pembiayaan, Alokasi Pembiayaan, Periode Pengembalian Pinjaman, dan Mekanisme Pengembalian Pembiayaan

Nilai Pembiayaan Frekuensi Presentase

79 100 kurang Rp1.000.000 1.000.000 – 1.900.000 2.000.000 – 2.900.000 3.000.000 – 3.900.000 4.000.000 – 4.900.000 5.000.000 Di atas 5.000.000 1 50 8 10 4 3 3 1.27 63.29 10.13 12.66 5.06 3.80 3.80

Mekanisme Penyaluran Pembiayaan 79 100

Grup Individu 73 6 92.40 7.60

Penggunaan Akad Pembiayaan 79 100

Mudharabah Murabahah Ijarah Al hiwalah 1 64 4 10 1.26 81.01 5.06 12.66 Alokasi Pembiayaan 79 100 Produktif Konsumtif

Produktif & Konsumtif

47 29 3 59.49 36.70 3.80

Periode Pengembalian Pinjaman 79 100

50 minggu 12 bulan 18 bulan 24 bulan 73 3 2 1 92.4 3.8 1.3 2.5 Perguliran Pinjaman 79 100

Baru satu kali Lebih dari satu kali

48 31

60,8 39.2

Mekanisme Pengembalian Pembiayaan 79 100

Mekanisme Jemput Bola

Mekanisme Pembayaran Langsung

77 2

97.47 2.53 Sumber: data primer diolah (2015)

79 Idealnya, pembiayaan dengan jenis akad cost and profit sharing approach mendominasi jenis pembiayaan untuk lembaga keuangan syariah. Pembiayaan ini didasarkan pada semangat kebersamaan dan keadilan, bahkan bagi petani di Indonesia jenis pembiayaan ini sudah biasa digunakan. Istilah bawon, maro, nelu di tanaman padi dan gaduh di peternakan merupakan istilah-istilah bagi hasil yang lazim dijumpai pada masyarakat perdesaan (Jusmaliani et al. 2008). Di saat ada keuntungan maka keuntungan tersebut dibagi, dan ketika mengalami kerugian pun akan ditanggung secara bersama pula. Tidak hanya di LKMS, di perbankan syariah dengan didukung oleh kemampuan modal yang besar dan teknologi informasi yang tinggi pun, ternyata akad bagi hasil ini pun masih relatif rendah dalam portofolio pembiayaannya. Dalam praktik bagi hasil komoditi padi di salah satu LKMS pun tidak murni bagi hasil, karena pembayarannya cicilan dilakukan bulanan ditambah dengan adanya marjin yang sudah ditentukan di awal. Komoditi padi, disamping memerlukan pembiayaan yang relatif besar juga jangka waktu yang cukup lama untuk pengembalian pinjaman kembali yaitu tiga bulan. Tentu kondisi ini akan menyulitkan likuiditas dana LKMS, karena ada masa tunggu sampai bisa menghasilkan, di sisi lain LKMS dihadapkan kepada keterbatasan kendala permodalan, sehingga pembiayaan ini jarang digunakan.

LKMS menggunakan akad tertentu ketika menyalurkan pembiayaan. Penggunaan akad disesuaikan dengan kebutuhan pembiayaan. Mayoritas nasabah LKMS menggunakan akad murabahah (81.01%) untuk pembiayaan yang digunakannya. Pembiayaan ini berbasiskan pembelian, dimana LKMS mengambil marjin untuk pembiayaan pembelian yang dibutuhkan nasabahnya. Pembiayaan pembelian ini digunakan untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif maupun produktif seperti halnya pembelian input produksi dan selanjutnya akan ditetapkan marjin keuntungan untuk LKMS.

Penggunaan akad murabahah untuk pembiayaan produktif seperti halnya pembeliaan input produksi, dimana LKMS memberikan sejumlah nilai pembiayaan yang diajukan oleh nasabah. Usaha produktif yang banyak dilakukan oleh nasabah adalah mengupayakan jenis tanaman padi (50.65%), hortikultura (46.75%), campuran antara padi dan tanaman hortikultura (2.59%). Sementara penerapan akad murabahah untuk pembiayaan konsumtif, seperti halnya pembiayaan renovasi rumah, misalkan nasabah akan membeli bahan-bahan material yang digunakan, maka LKMS akan menetapkan sejumlah marjin terhadap pembelian bahan-bahan material tersebut. Selanjutnya ditetapkan marjin untuk LKMS berkisar antara 25% sampai 30% dari total pembiayaan. Negosiasi antara nasabah dan LKMS dilakukan diantara kisaran 25 sampai 30% tersebut, jadi marjinnya bisa saja 26 %, 27 % dan tertinggi 30%.

Akad al hiwalah digunakan untuk menalangi hutang nasabah baik itu hutang untuk usaha produktif maupun kebutuhan konsumtif. Selanjutnya LKMS akan menetapkan sejumlah biaya untuk hal tersebut, kisarannya tidak jauh berbeda dengan akad-akad lainnya. Akad al hiwalah ini banyak digunakan dalam praktik di LKMS (12. 66 %).

LKMS juga menerapkan akad ijarah untuk nasabahnya (5.06%). Secara teori Akad Ijarah adalah pembiayaan yang merupakan talangan dana untuk pengadaan barang tertentu ditambah dengan keuntungan mark up yang disepakati dengan system sewa tanpa diakhiri dengan kepemilikan. Akad ini digunakan untuk pembiayaan baik produktif maupun konsumtif. Akad ijarah untuk usaha

80

produktif adalah akad yang digunakan untuk membayar biaya jasa tenaga kerja atau upah buruh, selanjutnya LKMS menetapkan sejumlah biaya tertentu dengan kisaran 25 % sampai 30%. Akad ijarah juga biasa digunakan untuk biaya pendidikan, dalam hal ini akad digunakan untuk pembayaran fee guru dan lain- lain.

Secara umum dapat dikatakan bahwa alokasi pembiayaan dari LKMS digunakan untuk tujuan usaha produktif, yaitu sebesar 59.49%. Pinjaman digunakan untuk pembelian input produksi, tambahan modal, pengembangan usaha, dan pembelian peralatan usaha. Untuk pembiayaan konsumtif sebesar 36.70%. Pembiayaan konsumtif tersebut antara lain: biaya anak sekolah, biaya berobat, renovasi rumah, pembayaran hutang dan makan sehari-hari. Di samping itu ada nasabah yang menggunakan pembiayaan LKMS untuk tujuan produktif dan konsumtif. Sebagian besar dari nasabah rumahtangga tani yang disurvey adalah nasabah baru yaitu sebesar 60.8%. Mekanisme pengembalian pembiayaan dilakukan dengan mekanisme jemput bola, dimana petugas LKMS secara aktif mendatangi nasabah di rumahnya atau dikenal dengan mobile banking technique. Teknik ini mendorong nasabah untuk membayar tepat waktu.

Berdasarkan gambaran profil pembiayaan nasabah tersebut, nampak bahwa LKMS sudah melakukan mekanisme untuk menekan biaya dengan melakukan pembiayaan melalui mekanisme grup. Perlunya LKMS melakukan efisiensi terutama dalam biaya dikarenakan sumber dana untuk pembiayaan dari mobilisasi dana masyarakat dan dana komersial lainnya, bukan dari dana donor maupun pemerintah. Kemampuan LKMS dalam menekan biaya atau beroperasi secara efisien dari sisi biaya akan membuat LKMS bisa beroperasi secara berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan perhitungan secara kompehensif terkait efisiensi bukan saja didasarkan kepada rasio-rasio keuangan .

Efisiensi Biaya LKMS

Sejak tahun 1990-an telah terjadi pergeseran dalam perdanaan LKM, yang pada awalnya berasal dari sumber donor atau pemerintah bergeser kearah mobilisasi dana masyarakat atau sumber komersil lainnya melalui linkage program. Supaya operasionalisasi LKM berkelanjutan sebagai akibat ketiadaan dana donor dan pemerintah, maka LKM harus efisien terutama dalam menutup biaya operasional yang selama ini berasal dari dana donor dan pemerintah. Disamping itu untuk memperluas jangkauanannya banyak yang melakukan mobilisasi dana dari masyarakat. LKMS banyak didirikan pada periode tahun 1990-an, dikatakan sebagai generasi kedua dari LKM, tanpa ada donor dan subsidi pemerintah, maka operasionalisasi LKMS harus efisien berdasarkan

Dokumen terkait