• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOGOR: PENDEKATAN PROPENSITY SCORE MATCHING

Pada bagian ini akan dianalisis dampak pembiayaan LKMS terhadap pengurangan kemiskinan. Permasalahan yang sering muncul dalam mengukur studi dampak adalah munculnya selection bias, terutama untuk studi observasi, sehingga tidak bisa menggunakan analisis standar. Untuk itu dilakukan analisis propensity score matching dengan menggunakan grup counterfactual.

Isu-Isu terkait dengan Self-Selection Bias

Salah satu isu yang paling sulit dihadapi oleh peneliti dalam studi dampak adalah mengidentifikasi bahwa kesejahteraan yang tercipta karena partisipasi dalam program atau pada awalnya partisipan sudah sejahtera ketika bergabung dalam suatu program. Hal ini dikenal sebagai selection bias (Setboonsarg and parpiev 2008).

Selection bias juga bisa terjadi ketika seseorang memutuskan untuk bergabung dalam program, mereka secara sukarela memilih untuk bergabung atau dipilih oleh kelompoknya dalam skim group-lending. Secara singkat, hal-hal yang mendasari pemilihan tersebut bisa menimbulkan bias. Pertama, kesejahteraan atau orang dengan memiliki kemampuan kewirausahaan berkecenderungan memilih secara sukarela ke dalam program. Kedua, bahkan jika seseorang yang miskin ingin bergabung dalam program, kemungkinan tidak akan terpilih ke dalam grup dimana anggotanya banyak yang sejahtera.

Pada bab 8, berdasarkan hasil perhitungan PCA ditunjukkan bahwa rumahtangga tani yang menjadi nasabah adalah rumahtangga tani yang relatif lebih sejahtera. Potensi adanya self-selection bias juga meningkat, karena adanya hal-hal yang tidak mudah untuk diamati. Misalkan, tingginya sikap kewirausahaan, kemampuan untuk mengidentifikasi peluang dan hal lainnya yang membuat sesorang tersebut memutuskan berpartisipasi dalam program LKMS (Swain and Floro 2012). Berdasarkan hasil analisis pada bab 5, kondisi modal sumberdaya dari nasabah rumahtangga tani lebih baik dibandingkan dengan yang bukan nasabah. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa rumahtangga tani nasabah dengan modal sumberdaya manusia yang dimilikinya mampu mengidentifikasi peluang yang membuatnya berpartisipasi dalam program LKMS. Masalah self selection bias terkait evaluasi dampak pembiayaan terhadap pengurangan kemiskinan ditunjukkan dengan melakukan perbandingan antara pendekatan regresi biasa dan propensity score matching. Perbandingan dilakukan untuk memilih metode yang akurat dalam mendeteksi adanya masalah self selection bias (Setboonsarg and parpiev 2008). Model Setboonsarg and parpiev (2008) menggunakan perbandingan variabel-variabel dalam Millenium Development Goals (MDGs) dari hasil studi Montgomery (2005) dengan analisis regresi dibandingkan model PSM. Hasil analisis dengan menggunakan regresi nampak pada tabel 9.1.

114

Tabel 9.1 Dampak Berpartisipasi dalam Pembiayaan LKMS terhadap Pengurangan Kemiskinan (Analisis Regresi)

F (12, 111) = 3.80 Prob > F = 0.0001 R-Squared = 0.2915 Adj R-squared = 0.2149 Koefisien Std.Err T P>| t | Konstanta Dummy 1= nasabah (berpartisipasi) 0= bukan nasabah (tidak berpartsipasi)

Umur kepala keluarga Pendidikan kepala keluarga Pekerjaan utama kepala keluarga

Pekerjaan sampingan kepala keluarga

Pengalaman usaha tani Pengusahaan lahan Pernah transaksi dengan bank

Jumlah anggota rumah tangga

Dependency ratio Pinjaman dari keluarga Pinjaman dari pelepas uang

-1.794001 0.4439755 0.0217492 0.0688193 0.0935724 0.0911451 -0.0703963 0.2754093 -0.7278753 0.0464664 -0.1380031 -0.1774995 -0.9897315 0.7221083 0.947248 0.0083301 0.1140421 0.0371145 0.0320555 0.0608434 0.1796571 0.2969598 0.0741109 0.4531162 0.6585324 0.5431923 -2.48 2.28 2.61 0.60 2.52 2.84 -1.16 1.53 -2.45 0.63 -0.30 -0.27 -1.82 0.014 0.025 0.010 0.547 0.013 0.005 0250 0.128 0.016 0.532 0.761 0.788 0.071 Sumber: Data Primer diolah (2015)

Berdasarkan tabel 9.1, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa nilai Prob > F = 0.0001 jauh dibawah tingkat signifikansi (α/2 = 0.025) maka dapat disimpulkan bahwa model regresi di atas dapat menjelaskan atau memprediksi dampak berpartisipasi dalam pembiayaan regresi secara signifikan berdampak kepada pengurangan kemiskinan.

Namun model ini tidak bisa mengatasi masalah self selection bias, dimana kondisi rumahtangga tani nasabah lebih baik dari sisi modal sumberdaya manusia, yang memungkinkan mereka memutuskan untuk berpartisipasi dalam LKMS. Bahkan hasil pendugaan skor kemiskinan (bab 8) menunjukkan bahwa jangkauan layanan LKMS adalah masyarakat yang relatif lebih sejahtera, sehingga apabila langsung mengevaluasi dampak treatment pembiayaan LKMS bagi pengurangan kemiskinan maka akan timbul bias.

115 Kesejahteraan bukan disebabkan oleh dampak berpartisipasi dalam pembiayaan LKMS, namun karena dari awal nasabahnya sudah sejahtera. Disamping itu, ketika rumahtangga tani memutuskan untuk berpartisipasi maka LKMS akan melakukan seleksi terhadap nasabahnya, hanya nasabah yang relatif sejahtera yang bisa berpartisipasi. Terutama jika dikaitkan dengan komersialisasi LKMS, yang menuntut LKMS harus efisien dalam biaya supaya operasionalisasinya berkelanjutan. Maka kondisi tersebut akan memunculkan bias. Bias-bias tersebut tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan model regresi biasa dalam evaluasi dampak pembiayaan LKMS terhadap pengurangan kemiskinan.

Hasil ini sejalan dengan hasil studi dari Setboonsarg and parpiev (2008), dimana analisis regresi tidak bisa mengatasi masalah adanya selection bias. Tanpa ada koreksi terhadap selection bias tersebut maka hasil analisis regresi akan berlebihan (overestimate). Untuk itu perlu adanya koreksi terhadap selection bias, salah satunya dengan menggunakan PSM.

Propensity Score Matching

Menurut Cerulli (2015), pemadanan skor propensitas (PSM) adalah pendekatan peluang yang paling tersebar (dalam stata ada perintah yang tersedia untuk PSM: teffects, pscore dan psmatch2) diantara literatur empiris evaluasi program. Kepopulerannya selain berdasarkan property yang dimilikinya (Estimasi skor propensitas, mengidentifikasi jumlah strata dari property the balancing yang memuaskan, estimasi treatment effect) juga karena kemampuan untuk menyediakan informasi langsung faktor yang mendorong pemilihan dalam treatment.

Pada bagian ini analisis menggunakan aplikasi PS Matching ditunjukkan dengan penggunaan pscore yang disediakan oleh Becker dan Ichino (2002). The pscore menggunakan skor propensitas treatment terhadap variabel menggunakan model probit dan menstratifikasi secara individual dalam blok-blok berdasarkan skor propensitas. Selanjutnya akan dicek dengan property the balancing, untuk menunjukkan hasilnya memuaskan atau tidak. Jika tidak memuaskan, artinya adalah masalah yaitu kurang parsimonious dalam spesifikasi skor propensitas sehingga harus ada variabel baru, kekuatan dan interaksi, juga dalam menyimpan skor propensitas dan dalam pemilihan jumlah blok.

Tahapan berikutnya, penggunaan metode matching (radius, kernel, nearest-neighbor), kemudian penggunaan jumlah blok sebagai input. Perintah pscore dalam menyusun tabulasi variabel treatment dimana pendugaan skor propensitas terlihat dari hasil pendugaan dengan model probit berikut ini:

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Probabilitas Rumahtangga Tani Berpartisipasi dalam Pembiayaan LKMS

Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi peluang rumhatangga tani berpartisipasi terhadap LKMS dan terhadap outcome variabel yaitu kemiskinan. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi probabilitas rumahtangga berpartisipasi terhadap pembiayaan LKMS adalah umur kepala keluarga (KK), pendidikan KK, pekerjaan utama KK, pekerjaan sampingan KK, pengalaman usaha tani,

116

penguasaan lahan milik sendiri, transaksi dengan bank, pinjaman dari pelepas uang, pinjaman dari keluarga, jumlah anggota rumahtangga, dan dependency ratio.

Variabel tersebut secara bersamaan diduga akan mempengaruhi variabel outcome yaitu pengurangan kemiskinan. Selain itu juga variabel tersebut digunakan juga sebagai dasar pencocokan karakteristik antara yang berpartisipasi sebagai nasabah dan tidak, sehingga ada kesamaan karakteristik yang diperbandingan melalui skor propensitas, dan yang tidak cocok dibuang. Selanjutnya, dari variabel-variabel yang diduga memengaruhi peluang berpartisipasi dalam pembiayaan LKMS dengan menggunakan model probit, ada variabel yang tidak dimasukkan ke dalam model sehingga harus didrop, yaitu pinjaman dari pelepas uang dan pinjaman dari keluarga. Adapun variabel-variabel yang masuk dalam model nampak pada tabel 9.2.

Tabel 9.2 Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Memengaruhi Peluang Rumahtangga Tani Berpartisipasi dalam Pembiayaan LKMS

Log likelihood = -62.839022 Jumlah observasi = 126

LR chi2(9) = 40.79 Prob .> chi2 = 0.0000 Pseudo R2 = 0.2450 No Variabel Koefisien Z P> |z| 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Konstanta

Umur kepala keluarga Pendidikan kepala keluarga Pekerjaan utama kepala keluarga Pekerjaan sampingan kepala keluarga Pengalaman usaha tani

Pengusahaan lahan

Pernah transaksi dengan bank Jumlah anggota rumah tangga Dependency ratio 2.56177 -0.03696 0.14344 0.21210 0.03726 -0.18203 0.16376 1.11871 -0.22256 2.56177 2.23 -2.76 0.75 2.04 0.74 -1.86 0.55 2.06 -1.96 1.1468 0.025 0.006 0.450 0.041 0.456 0.062 0.580 0.039 0.050 0.260 Sumber: Data primer yang diolah (2015)

117 Tabel 9.2 menunjukan nilai likehood ratio (LR) 40.78 dengan degree of fredoom 9 atau dengan p-value 0.000 jauh dibawah tingkat signifikansi (α = 5%) maka dapat disimpulkan bahwa model probit diatas secara keseluruhan dapat menjelaskan atau memprediksi keputusan rumah tangga petani untuk berpartisipasi menjadi nasabah LKMS. Hasil pendugaan dengan model probit hanya ada lima variabel yang signifikan. Faktor-faktor yang memengaruhi peluang berpartisipasi menjadi nasabah LKMS adalah umur kepala keluarga, pekerjaan utama kepala keluarga, pengalaman usaha tani, pernah bertransaksi dengan bank dan jumlah anggota rumah tangga.

Umur kepala keluarga mempunyai implikasi yang penting terhadap keputusan untuk berpartisipasi dalam program LKMS. Seperti yang diprediksi, umur merupakan faktor yang mempengaruhi probabilitias sesorang untuk berpartisipasi dalam pembiayaan LKMS. Hasil dugaan koefisien variabel umur bertanda negatif yang menyatakan bahwa semakin tua umur maka peluang untuk berpartisipasi dalam pembiayan LKMS semakin berkurang. Hal ini mengungkapkan bahwa semakin berumur akan menghindari untuk memperoleh pembiayaan karena ketakutan akan terjadinya gagal bayar. Hasil ini sesuai dengan penelitian dari Asogwa et al. (2014) yang menyatakan bahwa dengan semakin berumur maka akan menghindari untuk akses kepada kredit. Di sisi lain juga lembaga keuangan akan membatasi umur sesorang untuk bisa memperoleh pembiayaan atau kredit. Dengan demikian semakin berumur sesorang maka akses kepada kredit akan dibatasi (Ogah et al 2015). Umur produktif yaitu 31-50 tahun memiliki peluang yang lebih besar akses kepada sumber pembiayaan (Nkuah et al 2013).

Pekerjaan utama keluarga mempunyai nilai yang signifikan pada taraf α =

5 persen dan koesiennya positif. Artinya, pekerjaan utama di sektor pertanian mempunyai peluang yang lebih besar untuk berpartisipasi di pembiaayn LKMS. Selama ini, lembaga keuangan menganggap sektor pertanian terlalu berisiko dan turn overnya relatif lama dibandingkan sektor lainnya seperti halnya perdagangan, sehingga sektor ini tidak menarik untuk dibiayai (Mpuga 2010).

Pengamalan usaha tani signifikan pada taraf α = 10 persen, namun

parameter dugaan mempunyai tanda negatif. Hal ini mengungkapkan bahwa rumahtangga tani yang sudah lama menekuni usahanya berpeluang kecil berpartisipasi dalam LKMS. Hal ini tidak sesuai dengan teori. Peningkatan pengalaman usaha akan meningkatkan kemampuan rumahtangga tani untuk mempelajari peluang usaha baik dari sisi produksi, pasar produk dan kemampuan modal yang dibutuhkan (Azriani 2014).

Variabel untuk mengontrol akses kepada sumber pembiayaan lainnya yaitu transaksi dengan perbankan menunjukkan tanda positif dan signifikan di level 5%. Variabel ini secara tidak langsung bahwa masyarakat miskin adalah masyarakat yang selama ini mengalami kendala akses kepada sumber pembiayaan perbankan (Imai et al 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa rumahtangga tani yang pernah bertransaksi dengan bank akan semakin besar peluangnya untuk berpartisipasi dalam program LKMS. Bank cenderung memilih nasabah yang sejahtera, sehingga ketika seseorang yang pernah mengakses layanan perbankan, maka akan semakin mudah akses ke LKMS karena tingkat kesejahteraannya lebih baik.

118

Jumlah anggota rumahtangga, sebagai proksi kemampuan berjaga-jaga dalam menghadapi resiko bagi rumahtangga (Nuryartono 2005). Tanda koefisien sesuai dengan yang diharapkan yaitu bertanda negatif dan signifikan. Secara teoritikal, Rumahtangga yang memiliki jumlah yang besar berkecenderungan untuk mengurangi berpartisipasi dalam pembiayaan LKMS.

Analisis The Common Support

Setelah melakukan estimasi terhadap variabel-variabel yang memengaruhi peluang rumahtangga tani berpartisipasi terhadap LKMS, selanjutnya diturunkan skor propensitas dari masing-masing rumahtangga tani tersebut yang tersaji pada tabel 9.4. Skor propensitas tersebut merupakan kovariat yang membaur dari karakteristik yang dimiliki antara rumahtangga tani nasabah dan bukan nasabah yang menjadi satu skor.

Berdasarkan model probit pada tabel 9.2 ada lima variabel yang memengaruhi peluang berpartisipasi menjadi nasabah LKMS adalah umur kepala keluarga, pekerjaan utama kepala keluarga, pengalaman usaha tani, pernah bertransaksi dengan bank dan jumlah anggota rumah tangga. Kelima variabel tersebutlah yang akhirnya membentuk skor propensitas. Selanjutnya dilakukan analisis the common support.

Analisis the common support dilakukan untuk pencocokan karakteristik antara yang memperoleh perlakuan (nasabah) dan yang tidak memperoleh perlakuan (bukan nasabah/grup counterfactual) melalui skor propensitas. Hasil dari analisis the common support dalam estimasi skor propensitas akan memperbaiki kualitas pencocokan yang digunakan untuk mengestimasi ATT. Hal ini dilakukan dengan cara membuang individu antara yang tidak memperoleh perlakuan dan yang memperoleh perlakuan dimana skor propensitasnya di luar nilai kisaran. Skor propensitas bernilai antara 0 sampai 1. Semakin tinggi skor propensitas (mendekati nilai 1) menunjukkan peluang yang besar untuk menjadi nasabah LKMS dan sebaliknya. Apabila skor propensitas mendekati nilai 0 maka peluang kecil untuk menjadi nasabah LKMS.

Berdasarkan tabel 9.3 dari 131 responden rumahtangga tani, ada lima responden rumahtangga tani yang mempunyai skor propensitas yang di luar kisaran, sehingga dengan analisis the common support dibuang. Sekarang, jumlah responden yang mempunyai skor propensitas yang berada dalam kisaran the common support menjadi 126 rumahtangga tani responden baik nasabah maupun bukan nasabah dengan skor propensitas antara 0.076343 sampai 0.99991. Hanya 126 rumahtangga tanilah yang akan dilakukan analisis selanjutnya. Dari tabel 9.3 tersebut menunjukkan skor propensitas yang membaur antara rumahtangga tani nasabah dan bukan nasabah LKMS

119 Tabel 9.3 Distribusi Hasil Perhitungan Skor Propensitas Rumahtangga Tani Nasabah dan Bukan Nasabah

Rumahtangga tani Skor Propensitas Rumahtangga tani Skor Propensitas Rumahtangga tani Skor Propensitas 49 0.076343 46 0.482564 97 0.80257 93 0.100899 39 0.485659 68 0.820315 33 0.178611 124 0.496753 96 0.82282 2 0.190213 32 0.504066 110 0.83892 23 0.207353 38 0.510667 76 0.840078 37 0.229779 84 0.516674 130 0.854857 50 0.235521 10 0.536733 74 0.857457 19 0.238267 111 0.539288 118 0.858322 14 0.271306 85 0.542375 47 0.861728 52 0.289165 129 0.545515 67 0.864936 30 0.291629 56 0.563173 69 0.869294 26 0.296765 53 0.591988 99 0.870195 6 0.297936 88 0.592382 82 0.877002 41 0.298484 16 0.592503 106 0.891746 25 0.316368 91 0.596717 64 0.901424 77 0.319995 35 0.599692 123 0.901604 45 0.320032 17 0.608829 61 0.924325 104 0.322029 55 0.616429 94 0.926148 70 0.322074 73 0.634518 57 0.929455 83 0.324673 72 0.637555 71 0.929455 51 0.329581 66 0.638527 107 0.932437 109 0.331276 119 0.64114 131 0.933457 120 0.339741 75 0.643377 122 0.934089 12 0.354392 92 0.649866 125 0.937295 8 0.357169 102 0.659629 63 0.949496 24 0.357363 44 0.661851 127 0.949586 3 0.362703 22 0.664741 18 0.958498 27 0.38863 128 0.673752 126 0.963146 5 0.392864 86 0.673767 90 0.965582 7 0.401623 108 0.679626 114 0.972274 36 0.40509 112 0.706396 42 0.980925 103 0.40509 113 0.711829 60 0.984746 15 0.407461 89 0.71949 100 0.992811 34 0.415658 105 0.722385 115 0.994715 54 0.418164 65 0.73628 121 0.995528 98 0.428304 9 0.754085 59 0.99604 40 0.434591 78 0.761606 95 0.998427 1 0.441626 117 0.764189 80 0.999175 87 0.448539 58 0.765395 116 0.99991 28 0.458895 101 0.779287 13 - 21 0.474625 81 0.783409 20 - 4 0.476748 48 0.784438 29 - 11 0.478033 79 0.800504 31 - 62 0.800908 43 -

120

Hasil dugaan skor propensitas antara yang berpartisipasi sebagai nasabah dengan yang bukan nasabah LKMS/BMT dapat jelas terlihat pada gambar 9.1.

Sumber: Data primer yang diolah (2015)

Gambar 9.1 Pendugaan Skor Propensitas

Gambar 9.1 menunjukkan skor propensitas dari yang anggota BMT/LKMS cenderung mendekati nilai 1, sementara yang bukan anggota BMT/LKMS mayoritas berada pada kisaran 0.2 sampai 0.6. Ada beberapa rumahtangga tani bukan nasabah yang mempunyai skor propensitas mendekati angka satu.

Tabel 9.4 Gambaran Estimasi Skor Propensitas dalam Wilayah The Common Support

Pendugaan Skor Propensitas Percentil Terendah 1% 5% 10% 25% 50% 75% 90% 95% 99% 0.1786108 0.2382668 0.2984837 0.4074612 0.6385269 0.8583220 0.9584976 0.9928105 0.9991746 0.1008987 0.1786108 0.1902128 0.2073531 Tertinggi 0.9960398 0.9984275 0.9991746 0.9999103 Jumlah Observasi Mean Std.Dev Variance 125 0.6288848 0.2477558 0.0613829

Sumber: Data primer yang diolah (2015)

Pada tabel 9.4 menunjukkan nilai kisarannya antara 0.1008987 sampai 0.9999103. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

121 Percentil 1= 0.1786108, menunjukkan 1% sampel mempunyai skor propensitas sebesar 0.1786108. Percentil 5 = 0.2382668, menunjukkan 5% sampel mempunyai skor propensitas di bawah 0.2382668. Percentil 10 =0.2984837, menunjukkan 10% sampel mempunyai skor propensitas sebesar 0,2984837. Percentil 25 = 0.4074612, menunjukkan 25% sampel mempunyai skor propensitas di bawah 0.4074612. Percentil 50 = 0.6385269, menunjukkan 50% sampel mempunyai skor propensitas di bawah 0.6385269. Percentil 75 = 0.8583220, menunjukkan 50% sampel mempunyai skor propensitas di bawah 0,8583220. Percentil 95 = 0.9928105, menunjukkan 95% sampel mempunyai skor propensitas di bawah 0.9928105. Percentil 99 = 0.9991746, menunjukkan 99% sampel mempunyai skor propensitas di bawah 0.9991746.

Setelah penggunaan the common support atau menurunkan skor propensitas antara nasabah dan bukan nasabah yang terlebih dahulu dicocokan skornya, maka jumlah keseluruhan yang tersisa hanya 125 rumahtangga. 125 rumahtangga yang berada di wilayah the common support yang akan dipertahankan untuk dilakukan perbandingan.

Jumlah blok ini meyakinkan bahwa rata-rata skor propensitas adalah tidak berbeda antara yang diberi perlakuan dengan kontrol pada tiap blok. The Balancing property juga memuaskan hasilnya dengan jumlah akhir optimal blok skor propensitas sama dengan 5 (tabel 5). Hasil yang memuaskan tersebut, meyakinkan bahwa model layak untuk aplikasi matching karena kovariat yang diobservasi adalah dalam posisi seimbang diantara blok. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan dalam output antara unit treatment dan kontrol hanya diatributkan oleh pengaruh variabel treatment.

Tabel 9.5 Distribusi Nasabah dan Bukan Nasabah berdasarkan Nilai Skor Propensitas

Inferior of block of Pscore Responden Jumlah Bukan Nasabah Nasabah 0.1008987 0.2 0.4 0.6 0.8 2 19 17 5 3 1 6 13 21 38 3 25 30 26 41 Jumlah 46 79 125

Sumber: Data primer yang diolah (2015)

Tabel 9.5 menunjukkan distribusi antara nasabah dan bukan nasabah LKMS berdasarkan skor propensitas tidak sama. Grup kontrol yaitu yang bukan nasabah ada sedikit tumpah tindih pada skor propensitas diantara 0.2 dan 0.4. Sementara bagi grup treatment, tumpang tindih skor propensitas berada diantara nilai 0.6 dan 0.8. Dalam hal ini menyiratkan bahwa, dua grup membagi karakteristik yang sama dalam blok.

122

Analisis Matching dan Pendugaan Average Treatment on Treated (ATT) Dampak Partisipasi kepada LKMS terhadap Kemiskinan

Setelah semua tahapan yang dibutuhkan oleh the commont support terpenuhi, selanjutnya dilakukan analisis matching. Ada beberapa metode untuk analisis propensity score matching dalam mengidentifikasi grup yang diperbandingkan, yaitu metode nearest-neighbor (pemadanan satu per satu), Kernel dan stratification matching (Setboonsarg and Parviev 2008; Katchova 2013). Masing-masing analisis matching tersebut memiliki keunggulan dan kelemahannya (Setboonsarg and Parviev 2008). Pendekatan matching yang paling masuk akal adalah yang memadankan kelompok yang diberi perlakuan kepada kelompok kontrol dengan skor propensitas yang terdekat. Dalam kasus metode nearest-neighbor, semua unit yang diberi perlakuan akan menemukan padanannya. Bagaimanapun jelas bahwa ada beberapa pencocokan yang tidak terlalu cocok padanannya, karena beberapa unit yang diberi perlakuan mempunyai skor propensitas yang berbeda.

Untuk mengatasi hal tersebut digunakanlah metode Radius Matching dan Kernel Matching. Penggunaan radius matching, tiap yang diberi perlakuan hanya dicocokkan dengan unit kontrol yang mempunyai skor propensitas yang jatuh pada area yang sudah ditetapkan. Jika dimensi dari jarak/radius ini dibuat sangat kecil, mungkin bahwa beberapa unit yang diberi perlakuan tidak cocok karena jarak tidak berisi unit kontrol. Pendekatan lainnya adalah stratification matching, terdiri dari pembagian variasi jarak skor propensitas dalam suatu interval, ditiap interval tersebut, unit yang diberi perlakuan dan unit kontrol mempunyai rata-rata skor propensitas yang sama.

Untuk tujuan yang bersifat praktis, blok yang sama akan teridentifikasi oleh algoritma dari pendugaan skor propensitas yang digunakan. Kemudian, ditiap interval unit yang diberi perlakuan dan kontrol yang ada, perbedaan rata- rata keluaran yang diberi perlakuan dan kontrol dihitung. ATT akhirnya didapat sebagai nilai rata-rata ATT di tiap blok dengan dibobot yang diberikan oleh distribusi unit yang diberi perlakuan di masing-masing blok.

Dengan demikian, tiap kelompok yang diberi perlakuan dipadankan dengan kelompok kontrol yang diamati, perbedaan diantara keluaran untuk yang diberi perlakuan versus kontrol yang diamati dihitung. Presedur ini selalu diimplementasikan dengan replacement. Artinya, tiap individual yang diberi perlakuan mempunyai satu padanan, tetapi individual kontrol mempunyai padanan lebih dari satu individual yang diberi perlakuan. Seperti yang telah disebutkan, bahwa tiap unit yang diberi perlakuan dipadankan dengan unit kontrol, perbedaan antara keluaran dari unit yang diberi perlakuan dan keluaran dari unit kontrol yang dipadankan akan dihitung.

ATT didapat dengan merata-ratakan perbedaan ini. Deheija dan Wahba (1998 & 1999) menemukan bahwa matching dengan replacement memperbaiki kinerja dari pencocokan. Hasil pendugaan ATT dengan keempat metode matching tersebut tersaji dalam tabel 9.6.

123 Tabel 9.6. Hasil Pendugaan Average Treatment on Treated (ATT) dampak akses kepada LKMS terhadap pengurangan kemiskinan

Matching Algoritma

Perlakuan Kontrol ATT Std. Error t-stat Nearest Neighbor Radius Kernel Stratification 79 79 79 79 20 45 46 46 0.222 0.253 0.188 0.186 0.378 0.273 0.334 0.483 0.587 0.926 0.564 0.386 Sumber: Data primer yang diolah (2015)

Pada tabel 9.6 menunjukkan perbandingan antara nasabah LKMS (perlakuan) dan bukan nasabah (kontrol), yang dicocokan dengan keempat metode matching (Nearest-Neighbor, Radius, Kernel dan Stratification matching). Penggunaan keempat metode matching sekaligus dalam penelitian ini juga untuk menilai robustness hasil.

Jumlah yang diberi perlakuan (nasabah LKMS) dan dicocokkan dengan yang tidak diberi perlakuan (kontrol/bukan nasabah) berbeda hasilnya untuk keempat metode matching tersebut. Metode nearest neighbor menunjukkan bahwa yang diberi perlakuan/nasabah yang berjumlah 79 hanya bisa dicocokkan dengan 20 yang bukan nasabah. Yang bukan nasabah yang tidak cocok selanjutnya akan dihilangkan. Diantara empat metode matching, hanya metode nearest neighbor yang mempunyai jumlah grup kontrol yang matching dengan nasabah yang relatif kecil jika dibandingkan dengan metode lainnya. Hasil temuan ini sejalan dengan hasil temuan dari Setboonsarg and Parviev (2008), dimana metode nearest neighbor memiliki jumlah individu grup kontrol yang matching dengan grup treatment lebih kecil. Hal ini bisa dikatakan masuk akal mengingat pemadanan dengan metode nearest neighbor merupakan pemadanan satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai skor propensitas yang paling dekat. Dengan demikian pendekatan ini sangat kaku, untuk itu metode kernel dan radius menawarkan solusi mengatasi hal tersebut. Dengan metode radius matching, tiap unit yang ditreatment dipadankan hanya dengan unit kontrol yang skor propensitasnya dari awal didefinisikan apa yang dimaksud dengan neighborhood skor propensitas unit yang ditreatment. Jika definsi neighborhood (misal jarak) yang diset sangat kecil. Hal tersebut memungkinkan bahwa beberapa yang unit yang ditreatment tidak sepadan karena neighborhood tidak berisi unit kontrol. Dengan metode tersebut, unit yang ditreatment sebesar 79 dapat dipadankan dengan 45 unit kontrol karena dari awal sudah diset radius=0.1. Maka unit kontrol yang matching berada dalam kisaran radius = 0.1 yaitu sebanyak 45 unit.

Dua metode lainnya yang mempunyai unit kontrol yang lebih banyak dari metode nearest neighbor matching dan radius adalah metode kernel dan stratification dimana ada 46 unit kontrol yang dapat dipadankan dengan 79 unit yang ditreatment. Hal ini bisa terjadi karena pada metode kernel terlebih dahulu dilakukan pembobotan dengan jarak yang ditentukan antara unit kontrol dengan unit treatment, sehingga pembobotan tersebut bisa berdampak pada tingginya jumlah unit kontrol yang bisa dipadankan dengan unit treatment. Dengan metode stratification dilakukan interval antara unit yang ditreatment dengan unit kontrol. Adanya interval tersebut memungkinkan unit kontrol yang dipadankan dengan unit treatment akan banyak.

124

Pendugaaan Nilai Average Treatment on Treated (ATT)

Setelah semua tahapan dilakukan, barulah melakukan pendugaan nilai ATT dengan keempat metode algoritma matching. Caliendo dan Kopeinig (2008) menyarankan bahwa penggunaan metode algoritma yang beragam seharusnya dicoba dan jika hasilnya sama, pemilihan metode tidak penting dilakukan. Nilai penduga ATT mengukur dampak partisipasi kepada LKMS terhadap kemiskinan, dengan melakukan kontrol tehadap selection bias. Variabel kemiskinan diproksi berdasarkan nilai indeks kemiskinan yang dihasilkan dengan metode PCA, seperti yang telah dibahas pada bab 6. Nilai indeks kemiskinan merupakan variabel hasil ekstraksi dari berbagai variabel atau dimensi yang terkait dengan variabel modal manusia, variabel ketahanan dan kerawanan pangan, variabel perumahan dan

Dokumen terkait