• Tidak ada hasil yang ditemukan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4.1 Letak dan Luas

Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) berada dalam Wilayah Kabupaten Paser Propinsi Kalimantan Timur. Seacara geografis, kawasan ini terletak diantara 1160 02’ 57’’-1160 50’ 41’’ Bujur Timur dan 010 13’ 08’’ dan 010 45’ 33’’ Lintang Selatan, dengan memiliki luas kawasan sebesar 35.350 ha. Secara administratif pemerintahan, kawasan ini berada di Wilayah HLGL mencakup kedalam empat Kecamatan, yaitu: Kecamatan Muara Komam, Kecamatan Long Ikis, Kecamatan Batu Sopang, dan Kecamatan Long Kali, dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur (Simorangkir 2006).

Batas-batas wilayah kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) menurut BPPS Kabupaten Paser 2007; Dinas Kehutanan Kalimantan Timur 2002. Sebelah Utara : Desa Kepala Telake Kecamatan Long Kali

Sebelah Timur : Desa Muara Lambakan Kecamatan Long Kali, Desa Belimbing dan Desa Tiwei, masuk Kecamatan Long Ikis, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta, dan Desa Pinang Jatus, masuk Kecamatan Batu Sopang

Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, Desa Rantau Layung yang mencakup masuk pada Kecamatan Batu Sapong

Sebelah Barat : Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa Prayon, Desa Longsayo, dan Desa Swanslutung yang meliputi wilayah Kecamatan Muara Komam.

Terdapat beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL, seperti Desa Swanslutung, Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, dan Desa Kasungai. Desa Swanslutung terdapat satu dusun pemukiman penduduk di dalamnya, yaitu Dusun Muluy memiliki wilayah yang berada di dalam kawasan HLGL.

27

Gambar 8 Papan Pintu Masuk Kawasan HLGL.

4.2 Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan satu dari empat hutan lindung yang berada di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini terletak diarah timur laut Tanah Grogot ibukota Kabupaten Paser yang berjarak kurang lebih ± 84 km dari Penajam Paser Utara. Suatu kawasan hutan yang telah didiami oleh masyarakat Paser dan masyarakat Dayak Paser secara turun temurun dan mencapai 13 generasi. Dinamakan Gunung Lumut karena tumbuhan lumut tersebar secara melimpah pada batang pepohonan maupun permukaan batu-batuan yang ada di kawasan gunung tersebut. Secara tradisional wilayah Hutan Lindung Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (hak ulayat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dengan 1 dusun berada dalam kawasan di tiga kecamatan. Batas antar hak ulayat di kawasan tersebut menggunakan sarana-sarana alam yakni daerah aliran sungai atau perbukitan, seperti sungai pias, sungai tiwei, sungai Muluy, dan kasunge (Saragih 2004, diacu dalam Irma Nur Hayati 2006).

Dalam tahun 1970 hutan gunung lumut merupakan suatu areal konsesi HPH oleh PT Telaga Mas. Pada tanggal 15 Januari 1983 kawasan Hutan ini ditetapkan sebagai hutan lindung, berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 24/Kpts/Um/1983. Tiga tahun setelah dikeluarkannya SK Menteri tersebut

26 Januari-16 Maret 1986 dilakukannya penataan batas-batas wilayah kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, dan dikukuhkan oleh menteri Kehutanan RI tanggal 5 Januari 1987 dengan luas kawasan 35.350 Ha, berdasarkan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan (Departemen Kehutanan Kalimantan Timur 1986 dan 2002. Hingga saat ini kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut berada dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur (Surbakti 2006).

Penataan batas pada kawasan HLGL telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh tim orientasi tata batas dari Baplan Balikpapan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser yaitu pada tahun 1986, 1990 dan 2003, dengan panjang batas yang ditata batas berturut-turut adalah 100.975 meter, 20.600 meter dan 121.575 meter.

Kawasan HLGL dewasa ini dipandang sebagai salah satu kawasan yang mempunyai potensi wisata. Kondisi hutannya dipandang masih asli, dengan ditemukannya pula berbagai macam flora dan fauna serta berbagai obyek wisata lainnya seperti air terjun, sungai, dan pemandangan alam puncak Gunung Lumut di kawasan ini ditemukan pula pemukiman tradisional suku muluy. Dengan potensi wisata ini maka pihak dinas pariwisata Kabupaten Paser merencanakan untuk mengelolahnya sebagai daerah tujuan wisata minat khusus ekowisata, terutama untuk wisata penelitian (Dinas Pariwisata Kabupaten Paser 2008).

4.3 Bentuk Lahan dan Topografi

Secara fisiografik, kawasan HLGL terdiri dari bentuk lahan daratan berbukit dan perbukitan, yang terbagi kedalam enam subsistem lahan, yaitu: 1. Dataran sedimen yang berbukit dengan punggung bukit curam, pada bagian

barat, mempunyai pola drainase trellis;

2. Dataran sedimen yang berbukit, terdapat pada bagian barat daya, mempunyai pola drainase dendritik;

3. Perbukitan dengan punggung linear yang mempunyai lereng terjal di suatu sisi, terdapat di bagian barat, mempunyai pola drainase trellis;

4. Perbukitan batuan beku bukan endapan yang tidak simetris atau teratur, terdapat di bagian timur, mempunyai pola drainase dendritik;

29

5. Punggung bukit dan gunung karst yang curam, terdapat melintang dari arah timur laut kebarat daya, mempunyai pola drainase karstik; dan

6. Kelompok punggung gunung batuan bukan endapan, terdapat dibagian utara, mempunyai pola drainase rectangular.

Keadaan topografi kawasan tersebut bergelombang sedang sampai berat. Sungai-sungai yang terdapat didaerah ini adalah sungai anjur, sungai kendilo, sungai kasunge, sungai muluy, dan sungai prayan. Secara umum kawasan HLGL memiliki kondisi topografi lereng datar berombak (0-8%) dan bergelombang (8-15%), yaitu dengan luas masing-masing 2.662 ha (45.18%) dan (19.69%) yaitu dengan luas 1.160 ha. Ciri fisiknya berupa wilayah berbukit-bukit sampai berlereng terjal dengan udara yang sangat sejuk. Wilayah HLGL memiliki ketinggian tempat lebih dari 400 meter dari permukaan laut dengan memiliki ketinggian puncak Gunung Lumut 1.233 m dpl dengan kemiringan 450 puncak gunung lumut selalu diselimuti kabut dan suhu udara sangat dingin yang menyebabkan kondisi kawasan HLGL selalu basah. Di puncak gunung lumut terdapat hamparan batu-batuan yang membentuk relief yang menarik.

4.4 Geologi dan Tanah

Berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur (1981), keadaan geologi kawasan HLGL minimal tersusun dari tiga formasi buatan yakni Pemaluan Bed, Palaogene dan Pulau Balang Bed (batuan paleogen, pra tersier, tak dibedakan dan batuan basah). Berdasarkan Peta Repprot atau jenis tanah (1983) terdapat 2 jenis tanah utama, yaitu Ultisol dan Inceptisol. Jenis Ultisol berasal dari lithologi batuan sedimen yang mengandung mineral felsic dan mineral campuran. Tekstur tanah bervariasi dari kasar, cukup halus sampai halus dengan drainase menunjukkan kelas baik. Jenis tanah Ultisol terdiri dari dua kelompok besar tanah yaitu Tropudults dan Kandiudults (Pribadi et al. 2005).

Kondisi geologi tanah kawasan HLGL tersusun dari bahan batuan sedimen miosen atas, miosen bawah dan aluvium undak terunbukural. Jenis tanah terdiri dari tanah Komplek podsolik merah kuning, latosol dan litosol yang berasal dari bahan induk batuan beku, endapan dan metamorf dengan fisiografi pengunungan patahan.

4.5 Iklim

Berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, kawasan HLGL memiliki tipe iklim A atau sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika (nilai Q : 0,00) (klasifikasi Schmidh dan Ferguson, 1951). Kawasan ini memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan 10,36 hari hujan dengan nilai: 0,33 (agak basah) dan 1,00 (agak kering). Temperatur udara berkisar antara 240C-270C dan kelembaban 80%-90%. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April bersamaan dengan bertiupnya angin barat laut, sedang musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September saat angin bertiup dari arah timur.

4.6 Vegetasi

Keanekaragaman ekosistem di kawasan HLGL sangat tinggi dan keadaan vegetasi hutannya masih baik dan relatif utuh. Kondisi umum vegetasi dikawasan HLGL tergolong hutan hujan tropis yang didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan dari suku Dipterocarpaceae, antara lain meranti merah (Shorea spp) keruing (Dipteracarpus spp), bangkirai (Shorea laevis), meranti putih (Shorea spp), kapur (Dryobalanops spp), ulin (Eusideroxylon zwagerii), sungkai (Peronema canescens).

4.7 Hidrologi

Kondisi ekologi dan hidrologi kawasan HLGL pada umumnya masih bagus dan fungsinya masih sangat signifikan sebagai hulu dari Sungai Kendilo di Tanah Grogot dan Sungai Telake di Kecamatan Long Kali, yang terdapat di Kabupaten Paser. Kedua DAS tersebut berperan sebagai sumber persediaan air bagi 70 pemukiman di sekitarnya termasuk Tanah Grogot (Ibukota Kabupaten Paser), Muara Komam, Long Ikis, Batu Sopang, dan Long Kali (Simorangkir 2006). Kawasan HLGL merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir, sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan tersebut. Beberapa sungai dan anak sungai yang terkait dengan kawasan HLGL

31

adalah Sungai Kendilo dengan anak Sungai Busui (panjang 20 km), Sungai Telewong (panjang 3,5 km) Sungai Kesungai (panjang 54,5 km). Selanjutnya di jumpai pula anak-anak sungai yang relatif banyak dari Sub DAS Kesungai dengan panjang bervariatif mulai dari 0,5 km-2,0 km diantaranya Sungai Semau, Sungai Sembinai, Sungai Prayan, Sungai Prayamlin, Sungai Kelato, Sungai Buntut, Sungai Lempesu, Sungai Maridun, Sungai Belimbing, Sungai Merurong, Sungai Apo, Sungai Sunna, Sungai Beleko, Sungai Punan dan sebagainya.

4.8 Keanekaragaman Flora dan Fauna

Pada kawasan HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai keanekaragaman jenis flora mulai dari tingkat pertumbuhan semai sampai dengan pohon. Jenis Sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea indica) dan Buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (Bangkirai) dan jenis-jenis Keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis Mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, akar tunjuk, tumbuhan obat lainnya juga termasuk sarang burung walet (Aipassa 2004).

Berdasarkan hasil kegiatan biodiversity Assessmen oleh TBI-Indonesia (Simorangkir 2006) terdapat 23 jenis tumbuhan endemik, diantaranya Mangifera panjang, Monocarpia kalimantanensis, Layung (Durio dulcis), Paken/Lei (Durio kutejensis), Ngoi (Dryobalanops lanceolata), (Hopea rudiformis), Nansang puyan (Macaranga pearsonii), dan Kputu (Artocarpus lanceifolius). Tumbuhan yang dilindungi oleh masyarakat sekitar HLGL diantaranya Durian (Durio zibethinus), Ulin (Euzideroxylon zwageri), Kayu bawang (Scorodocarpus borneensis) dan Mayas (Duabanga moluccana). Keanekaragaman satwaliar yang cukup tinggi. Diantaranya terdapat berbagai jenis satwa liar yang hidup khususnya pada komunitas hutan primer yang menjadi berbagai habitat satwa liar yang tergolong pada kelompok mamalia adalah babi jenggot (Sus barbatus), kijang kuning (Muntiacus atherodes), beruang madu (Helarctos malayanus), pelanduk napu (Tragulus napu), Rusa sambar (Cervus unicolor), Tenggalung malaya (Viverra

tangalunga), landak raya (Hystrix brachyura), sero ambrang (Aonys cinerea), tupai tanah (Tupaia tana), bajing kecil telinga hitam (Nannosciurus melanotis), dan bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis) dan atau juga (babi, kijang, musang, kukang, macan dahan, dan masih banyak lagi), Untuk jenis mamalia primata diantaranya berbagai jenis satwa liar kelompok mamalia yang ada, selain monyet hitam, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), lutung dahi-putih (Presbytis frontata), lutung merah (Presbytis rubicunda), kukang (Nycticebus coucang), bekantan (Nasalis larvatus), dan dijumpai pula jenis primata yakni Owa/kelawot (Hylobates meulleri).

Owa/kelawot ditemukan pada beberapa habitat tertentu, khususnya komunitas hutan primer. Jenis ini merupakan jenis yang peka terhadap ganggoan berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut. Dari semua jenis mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat dua jenis yang termasuk kategori lower risk (beresiko rendah) yaitu babi jenggot (Sus barbatus) dan owa kelawot (Hylobates muelleri).

Untuk kelompok burung aves, yaitu (Enggang, murai batu, kucica, ayam hutan, dan lain-lain), dan reptilia (biawak, ular sawa, dan lain-lain), dalam kawasan HLGL keanekaragamannya jenisnya tergolong tinggi diantaranya jenis yang endemik di Pulau Kalimantan adalah bondol Kalimantan (Lonchura fuscans), tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), sikatan kalimantan (Cyornis superbus), dan pentis kalimantan (Prionochilos xanthopyangius). Jenis- jenis enggang seperti julang emas (Aceros comatus), Enggang Jambul (Aceros Comatus), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan rangkong gading (Buceros vigil), kacembang gading (Irena puella), luntur diard (Harpactes diardii), kucica hutan (Copsychus malabaricus), tukik tikus (Sasia abnormis), sempur hujan sungai (Cymbirhynchus macrorhynchos), paok delima (Pitta granatina), kuau raja (Argusianus argus), elang ular (Spilornis cheela palidus), seriwang asia (Tersiphone paradisi), dan lain sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang terdapat di kawasan HLGL diantaranya Ular cicin emas (Boiga dendrophilia) dan katak tanduk (Megophrys nasuta) dan lain sebagainya.

33

4.9 Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Ditinjau dari struktur masyarakat wilayah kawasan HLGL sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional sesungguhnya wilayah Hutan Lindung Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa sekitarnya dan satu dusun berada dalam kawasan di tiga kecamatan. Dimana batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung. Seperti sungai Pias, Sungai Tiwei, Sungai Muluy, Sungai Kasunge (Saragih 2004). Pada umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, terkecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung yang bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. (Wahyuni, at al. 2004).

4.9.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan

Penduduk yang bermukim di sekitar (daerah penyangga) kawasan dan di dalam kawasan HLGL pada umumnya adalah suku Paser. Berdasarkan data statistik Kabupaten Paser tahun 2006 jumlah penduduk yang mendiami daerah- daerah kecamatan di sekitar kawasan HLGL, seperti tertera dalam Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah Penduduk yang Mendiami Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

Kecamatan/desa

luas

wilayah Penduduk Jumlah

L P

Kecamatan Long Kali

1. Muara Lambakan 343.36 209 199 408 2. Kepala Talake 362.53 128 113 241

3. Pinang Jatus 69.03 155 129 284

Kecamatan Long Ikis

1. Belimbing 85.62 329 294 623

2. Tiwei 227.47 214 192 406

Kecamatan Batu Sopang

1. Rantau Layung 189.13 123 102 225

2. Rantau Buta 165.46 56 51 107

3. Kasungai 72.06 263 239 502

4. Busui 333.67 546 482 1,028

Kecamatan Muara Komam

1. Batu Butok 81.30 794 700 1,494 2. Uko 44.91 94 76 170 3. Muara Kuaro 20.36 232 205 437 4. Prayon 83.66 34 25 59 5. Long Sayo 233.76 78 81 159 6. Swanslutung 495.78 412 316 728

Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.

Desa-desa yang wilayahnya bersinggungan langsung dengan kawasan HLGL adalah Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung, Kasungai. Kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut relatif rendah. Hal ini terlihat dari luas wilayah desa serta jumlah penduduknya, seperti tertera pada Tabel 6.

Tabel 6 Kepadatan Penduduk Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

No. Nama Desa Luas Wilayah (km2)

Jumlah Penduduk Ruang gerak person (person/km2) 1. 2. 3. 4. Swanslutung Tiwei Rantau Layung Kasungai 495.78 227.47 189.13 72.06 728 406 225 502 68.1016 56.0270 84.0577 14.3545 Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.

4.9.2 Mata Pencaharian dan Ekonomi Masyarakat setempat

Masyarakat yang bermukim dan menetap di sekitar kawasan HLGL umumnya memiliki sumber hidup dari bertani secara tradisional. Pola bertani yang dianut adalah pertanian lahan kering yang bersifat musiman dan bergantung pada musim hujan. Lahan pertanian diperoleh dengan cara merambah hutan dan

35

digunakan secara turun temurun (bersifat tetap). Setiap rumah tangga memiliki lahan pertanian dengan luas antara 1-2 hektar.

Selain mempunyai sumber hidup dari bertani lahan kering, mereka juga memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai hasil hutan disekitarnya. Misalnya, dengan menjual buah-buahan durian hutan, madu, rotan, menjual daging hasil berburuh hewan hutan (daging kijang) dan mendulang emas pada sungai-sungai yang ada di sekitarnya.

Sebagian kecil masyarakat menggeluti pekerjaan lain seperti pegawai negri sipil, karyawan perusahaan, pedagang, buruh, tukang ojek sepeda motor, pengelolah rumah makan dan pengrajin souvenir. Secara umum, rata-rata pendapatan per kapita masyarakat setempat 750 ribu rupiah/bulan.

Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan protein hewani bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air bagi sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan, baik itu dari wilayah hutan lindung (HL) maupun dari hutan di sekitar HA (Hutan adat). Obat-obatan dan upacara adat, masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung, kebutuhan protein hewani dipenuhi dengan cara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut.

1.9.3 Kondisi Pendidikan Masyarakat

Secara garis besar penduduk di sekitar kawasan HLGL berpendidikan rendah dan bahkan masih banyak yang buta huruf. Data profil pendidikan masyarakat yang ditampilkan dalam penelitian ini adalah terhadap masyarakat dari kecamatan-kecamatan yang mendiami wilayah-wilayah di sekitar kawasan HLGL. Data-data tersebut diolah dan terangkum dalam Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah anak usia sekolah di kecamatan-kecamatan yang ada di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut tahun 2006

Kecamatan

jumlah anak SD

Jumlah anak usia SLTP (13 - 15 thn)

Jumlah anak usia SLTA (15 - 19 thn) (7 - 12 thn) sekolah

tidak

sekolah total sekolah tidak

sekolah Total Kecamatan Muara Komam 1470 176 100 555 0 1045 1045 Kecamatan Long Ikis 4918 1345 324 1.802 784 2441 3225 Kecamatan Batu Sopang 2267 470 125 695 229 867 1096 Kecamatan Long Kali 3269 700 181 1.001 268 2134 2402

Total 11924 2691 730 4053 1281 6487 7768

% 81,98 18,01 16,49 83,51

Sumber : Kabupaten Paser Dalam Angka, 2007, (data diolah)

Berdasarkan Tabel 7, tampak bahwa untuk anak usia SLTP dari total 4053 anak terdapat 18,01% anak tidak sekolah. Sedangkan untuk anak usia SLTA, dari total 7768 anak terdapat 83,51% anak tidak sekolah. Dari data ini, tampak bahwa partisipasi sekolah untuk anak usia SLTA sangat rendah. Khusus untuk Kecamatan Muara Komam, dari 1045 anak usia SLTA tidak ada satu orang pun yang sedang mengikuti pendidikan di tingkat SLTA.

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, anak-anak usia SLTP lebih dominan menyelesaikan pendidikannya sampai di tingkat SLTP, bahkan tidak menamatkan jenjang pendidikan tersebut. Mereka lebih memilih meninggalkan bangku pendidikan dan menggeluti dunia kerja sebagai buruh dan petani. Hal ini terjadi karena, pertama sarana pendidikan (sekolah) yang masih kurang (Tabel 8). Kedua, jarak tempuh dari tempat tinggal ke lokasi sekolah relatif jauh, bahkan ada yang harus menyeberangi sungai. Sedangkan untuk jarak tempuh dengan menggunakan sarana angkutan darat, hal ini terbentur dengan tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai. Ketiga, anak-anak cenderung dilibatkan secara aktif untuk mencari nafkah keluarga (bertani).

Tabel 8 Jumlah sekolah pada tiga kecamatan di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

No Kecamatan Jumlah SD Jumlah SLTP Jumlah SLTA 1

2 3 4

Kecamatan Muara Komam Kecamatan Long Ikis Kecamatan Batu Sopang Kecamatan Long Kali

17 40 13 31 1 4 1 2 0 1 1 1 Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.

37

Fokus perhatian kajian untuk kondisi pendidikan masyarakat sekitar kawasan HLGL lebih diarahkan terhadap anak-anak usia SLTP dan SLTA. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa anak-anak pada rentang usia tersebut merupakan kelompok masyarakat potensial untuk berpartisipasi dalam dinamika dan kebijakan pembangunan daerah.

4.9.4 Suku, Agama dan Potensi Seni Budaya Masyarakat

Masyarakat Kabupaten Paser pada umumnya yang mendiami daerah- daerah di sekitar kawasan HLGL khususnya, dikenal memiliki berbagai aneka potensi seni budaya etnik. Potensi seni budaya itu berupa tari-tarian daerah, nyanyian, alat musik khas daerah, serta berbagai upacara ritual adat khas. Tarian daerah terdiri dari Tari Ronggeng Paser, Tari Rembara, Tari Jepen Muslim, Tari Jepen Daya Taka atau Gintur (Gantar), Tari Singkir, Tari Nuyo, dan Tari Belian. Alat musik khas berupa alat musik Tari Belian, petikan gambus Muara Adang. Sedangkan lagu-lagu daerah berupa lagu-lagu yang dilanturkan untuk mengiringi tari-tarian.

Selain memiliki potensi seni tarian dan musik etnik, masyarakat setempat juga memiliki berbagai upacara adat. Jenis upacara itu adalah Kedari yang dilaksanakan ketika ada orang yang dituakan di kampung tersebut meninggal dunia, serta upacara Belian (untuk menyambut tahun pertanian serta syukuran seusai panen).

Suku-suku etnik yang ada adalah Suku Paser dan Suku Dayak Paser. Sebagian besar penduduk yang tinggal di sekitar kawasan HLGL berasal dari suku Paser. Suku ini merupakan bagian dari suku Dayak, hal ini terlihat pada kemiripan bahasa maupun adat istiadat, namun suku Paser sendiri enggan disebut sebagai suku Dayak karena pada umumnya mereka memeluk Agama Islam. Kehidupan sehari-hari Suku Paser berbeda dengan kebiasaan Suku Dayak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, Suku Paser tidak memakan daging babi karena tidak diperbolehkan dalam ajaran agama yang mereka percayai. Masyarakat Paser juga memiliki kepercayaan terhadap nenek moyang dan roh penjaga alam. Misalnya, dalam kegiatan berladang, pembuatan turbin, pengobatan dan hajat selalu diadakan upacara adat untuk menghormati penjaga alam. Dalam upacara adat ini terlihat pengaruh agama Islam yaitu dengan adanya pembacaan doa dan

shalawat. Sebagai salah satu upacara yang sering dilakukan oleh masyarakat Paser adalah upacara Belian. Upacara tradisional ini dilakukan secara turun- menurun oleh masyarakat dan biasa digunakan oleh masyarakat Paser untuk pengobatan atau untuk membayar hajat.

Mayoritas masyarakat Paser berasal dari Suku Paser dan menganut agama Islam. Kehidupan masyarakat setempat sangat dipedomani oleh hukum adat, yang mengatur mengenai prilaku hidup keseharian (misalnya perkawinan, kematian) dan berbagai upacara ritual lainnya. Khusus di Desa Rantau Layung, berlaku hukum adat yang mencantumkan larangan bagi masyarakat untuk menebang dan mengambil pohon buah seperti durian, lahung, rambutan, serta mengambil madu dari pohon Bangris (Compassia sp.) yang dikenal sebagai habitat Lebah madu (Sabara 2006).

Potensi seni lainnya yang memiliki daya tarik wisata adalah ukir-ukiran dan berbagai kerajinan tangan lainnya. Jenis-jenis ukiran dan kerajinan tangan masyarakat setempat seperti mandau, lanjung, dulang mas, cicin, gelang-gelang, keranjang dan berbagai wadah menyimpan barang berbahan baku rotan.

V HASIL DAN PEMBAHASAN