• Tidak ada hasil yang ditemukan

Leukosit, Diferensial Leukosit dan Indeks Fagositik

Dalam dokumen C08yab (Halaman 93-100)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil4.1 Hasil

4.2.6 Gambaran Darah

4.2.6.2 Leukosit, Diferensial Leukosit dan Indeks Fagositik

Leukosit merupakan sel yang berperan penting dalam sistem pertahanan seluler tubuh, sehingga peningkatan lekosit dapat meningkatkan daya tahan ikan uji. Pemberian imunostimulan ekstrak paci-paci 4 g/100 ml melalui injeksi 0.1 ml/ekor pada ikan uji pencegahan 7 hari pra infeksi dapat meningkatkan total lekosit darah ikan pencegahan pada hari ke 3 pasca infeksi A. hydrophila (Gambar 23, Lampiran 24). Menurut Moyle dan Cech (1988), leukosit berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh ikan yang bereaksi terhadap gangguan dari luar termasuk infeksi patogen. Peningkatan jumlah luekosit disebabkan oleh peningkatan jumlah limfosit, netrofil, monosit dan trombosit dalam darah ikan uji (Gambar 24, 25, 26 dan 27).

Persentase limfosit ditemukan lebih tinggi dari netrofil dan monosit dari awal sampai akhir pengamatan. Limfosit tidak bersifat fagositik, tetapi memegang peranan penting dalam pembentukan antibodi. Kekurangan limfosit dapat menurunkan konsentrasi antibodi dan menyebabkan meningkatnya serangan penyakit (Fujaya, 2002). Pada hari ke 0 setelah infeksi, total limfosit ikan uji perlakuan pencegahan lebih tinggi dan berbeda nyata dari ikan uji kontrol positif dan pengobatan. Pada hari ke 1 terjadi penurunan populasi limfosit dalam darah ikan uji semua perlakuan. Selanjutnya populasi limfosit semua perlakuan mengalami peningkatan pada hari ke 3 dan 7. Peningkatan tertinggi ditemukan pada ikan uji perlakuan pencegahan dan berbeda nyata dari perlakuan kontrol positif (Gambar 24, Lampiran 25).

Penurunan limfosit pada hari pertama diduga karena meningkatnya kadar kortisol (memiliki efek immunosuppresor) dalam darah sebagai upaya ikan yang sakit memulihkan diri dari keadaan sters akibat infeksi A. hydrophila, penurunan limfosit

juga diduga karena sel-sel limfosit berproliferasi membentuk sel T dan sel B yang didistribusikan ke situs luka dan infeksi untuk melisis dan menetralkan toksin dari antigen. Sel-sel limfosit ini bergerak secara aktif keluar dari dinding kapiler, meninggalkan pembuluh darah untuk menuju ke situs infeksi.

Sedangkan peningkatan limfosit ikan uji perlakuan pencegahan diduga karena meningkatnya aktifitas pembelahan (proliferasi) sel-sel limfosit. Proliferasi sel ini kemungkinan dirangsang oleh suatu senyawa aktif dalam ekstrak paci-paci yang bersifat mitogenik. Senyawa ini bekerja dengan cara mengaktivasi sel pertahanan untuk berdiferensiasi, menyebabkan terjadinya sintesa DNA pada sel limfosit (Rorstad et al., 1993 dalam Alifuddin, 1999). Kandungan senyawa aktif dalam ekstrak paci-paci seperti flavonoid yang bersifat antimikroba, antiinflamasi dan antioksidan (Naim, 2004; Angka et al., 2004b; Anonimous, 2007a), alkaloid yang bersifat sebagai detoksifikasi racun dan saponin yang bersifat antibakteri dan dapat meningkatkan sistem kekebalan (Anonimous, 2007a) diduga mampu mempercepat regenerasi sel-sel yang rusak dan pemulihan jaringan pada pusat organ limfoid yaitu ginjal, timus dan limpa. Sehingga pemberian imunostimulan paci-paci diduga mampu merangsang organ limfomieloid untuk menghasilkan respon immun seluler dan humoral. Menurut Fujaya (2002), mekanisme respon seluler melalui produksi limfosit dalam jumlah besar yang secara khusus peka terhadap antigen asing sedangkan respon humoral melalui pembentukan antibodi untuk menyerang bakteri patogen dan produk toksin yang dihasilkannya. Selanjutnya menurut Fujaya (2002) kemampuan mengadakan reaksi terhadap rangsangan imunologik pada dasarnya terletak pada sistem sel-sel limfoid. Reaksi terhadap kehadiran antigen merangsang sel induk limfoid berdiferensiasi membentuk dua populasi yaitu limfosit T yang berasal dari kelenjar timus dan berperan mengatur kekebalan yang mampu mengeliminasi antigen melalui cell mediated immune response sedangkan limfosit B diduga berasal dari ginjal dan berperan dalam pembentukan antibodi dalam sirkulasi.

Neutrofil adalah jenis leukosit fagosit yang pertama meninggalkan pembuluh darah, mengandung enzim-enzim lisosime yang dapat menghancurkan organisme yang dimakannya (Roberts et al., 1978; Ingram, 1980 dalam Affandi dan Tang, 2002;

Irianto, 2002). Pada Gambar 25 dan Lampiran 26 dapat diketahui persentase neutrofil ikan uji pencegahan pada hari ke 0, 1 dan 3 setelah infeksi terlihat mengalami peningkatan dan pada perlakuan pengobatan jumlah netrofil dalam darah mengalami peningkatan tertinggi pada hari ke 3 dan 7. Peningkatan netrofil dalam darah diduga karena meningkatnya produksi pada pusat organ limfoid yaitu ginjal, timus dan limpa untuk menghasilkan sel-sel fagosit dan aktivasi fagosit dari neutrofil granulosit untuk melisis antigen dalam pembuluh darah sebelum menuju ke situs infeksi. Penurunan jumlah neutrofil dalam darah ikan uji perlakuan pencegahan pada hari ke 7 diduga karena ikan mengalami penyembuhan tukak dan menurunnya gejala klinis infeksi sehingga organ limfoid timus dan ginjal tidak lagi memprodukasi neutrofil dalam jumlah yang banyak. Menurut Dellman dan Brown (1989), pada saat terjadi infeksi bakteri, biasanya jumlah neutrofil dalam darah meningkat, hal ini disebabkan limfoid perlu melepas leukosit untuk melawan infeksi.

Sistem pertahanan alamiah selain neutrofil (leukosit granular), yaitu sel-sel fagositik yang terdiri dari monosit dan makrofag. Menurut Moyle dan Cech (1988), monosit berfungsi sebagai fagosit terhadap benda-benda asing, termasuk agen penyakit. Jumlah monosit dalam darah ikan uji perlakuan pencegahan pada hari ke 1 terlihat lebih tinggi dan berbeda nyata dari kontrol positif dan kontrol negatif. Selanjutnya pada hari ke 3 dan 7 jumlah monosit perlakuan pencegahan mengalami penurunan, sedangkan jumlah monosit perlakuan pengobatan pada hari ke 3 dan 7 mengalami peningkatan tertinggi dan berbeda nyata dari kontrol positif dan kontrol negatif (Gambar 26, Lampiran 27)

Jumlah monosit dalam darah terlihat berbanding lurus dengan rataan nilai indeks fagositik selama perlakuan. Meningkatnya jumlah monosit dalam darah ikan uji pencegahan pada hari ke 1 juga turut meningkatkan nilai indeks fagositik pada hari yang sama dan hasil uji statistik menunjukkan beda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol sedangkan penurunan jumlah monosit pada hari ke 3 dan 7 juga turut menurunkan nilai indeks fagositik, namun jumlah sel fagosit yang melakukan fagositosis terlihat masih lebih tinggi dan berbeda nyata dari perlakuan kontrol positif. Meningkatnya jumlah monosit perlakuan pengobatan pada hari ke 3 dan 7,

juga turut meningkatkan nilai indeks fagositik dan hasil uji statistik menunjukkan beda nyata dari kontrol positif dan kontrol negatif (Gambar 28, Lampiran 29).

Peningkatan monosit dalam darah ikan uji pencegahan dan pengobatan diduga karena adanya pemaparan antigen mengakibatkan stimulasi organ ginjal, timus dan limpa menghasilkan monosit lebih banyak dan mengalami sirkulasi sebelum menuju ke situs infeksi untuk memfagosit antigen. Penurunan jumlah monosit perlakuan pencegahan pada hari ke 3 dan 7 diduga karena monosit bermigrasi menuju situs infeksi yang mengalami luka, trauma atau infeksi untuk melakukan fagositosis antigen. Penurunan monosit ini juga diduga karena kondisi ikan semakin membaik dengan menurunnya gejala infeksi sehingga monosit akan menembus dinding pembuluh darah kapiler, masuk ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag yang terikat pada jaringan dan menjadi ekstravaskuler. Makrofag terutama ditemukan dalam sel reticulo endothelia ginjal, timus, limpa, hati dan juga pada jaringan insang dan usus (Affandi dan Tang, 2002; Fujaya, 2002).

Sel fagosit yang berperan sebagai faktor immunitas seluler alamiah non spesifik yaitu monosit (prekursor-prekursor makrofag), makrofag, dan neutrofil granulosit (Robert, 1989 dalam Affandi dan Tang, 2002; Irianto, 2002). Eosinofil, neutrofil dan monosit adalah leukosit fagosit. Eosinofil adalah fagosit lemah sedangkan neutrofil dan monosit adalah fagosit kuat (Fujaya, 2002) sedangkan menurut Suzuki (1984) dalam Irianto (2002), monosit dan makrofag memiliki kapasitas fagositik lebih kuat dibanding netrofil granulosit, meskipun netrofil granulosit berjumlah lebih besar dan mungkin merupakan komponen yang signifikan dalam rangkaian pertahanan diri ikan melalui fagositik.

Pada pengamatan indeks fagositik, sel fagosit yang lebih banyak ditemukan melakukan fagositosis adalah monosit. Menurut Fujaya (2002), monosit lebih kuat dibanding neutrofil dalam memfagositosis bakteri, bahkan dapat memfagositosis partikel yang lebih besar. Makrofag merupakan monosit matang yang mampu memfagosit 100 bakteri. Sedangkan satu netrofil hanya dapat memfagosit 5 sampai 20 bakteri sebelum netrofil menjadi tidak aktif dan mati. Affandi dan Tang (2002) menyatakan bahwa peranan sel neutrofil ikan dalam respon peradangan masih belum

dapat dimengerti dengan baik. Sel-sel neutrofil nampaknya mempunyai fungsi fagositik, namun beberapa laporan menunjukkan bahwa fagositosis mungkin bukan merupakan fungsi utama.

Pada Lampiran 9 terlihat proses fagositosis oleh monosit dilakukan dengan mendekati antigen yang akan dihancurkan melalui proses penelanan dengan cara mengeluarkan pseudopodi ke segala arah sekitar antigen, selanjutnya pseudopodi satu sama lain saling bersatu pada tempat yang berlawanan. Fujaya (2002) menyatakan bahwa bila partikel asing telah difagosit, lisosom segera melekatkan diri pada vesikel fagositik sehingga kedua membran saling bersatu, selanjutnya lisosom melimpahkan enzim asam hidrolase ke dalam vesikel. Menurut Irianto (2002) segera setelah penelanan patogen, sel fagosit akan mengalami asidifikasi oleh suatu pompa proton membran dan kemudian bergabung dengan satu atau beberapa lisosom membentuk fagolisosom atau vakuola pencernaan. Lisosom merupakan granula-granula sitoplasmik pada neutrofil, monosit dan makrofag, mengandung beragam enzim pencernaan dan senyawa bakterisidal yang dapat mendegradasi sel bakteri yang tertelan. Selanjutnya menurut Affandi dan Tang (2002), lisosom merupakan enzim yang terdapat di dalam serum, mukus dan sel fagosit yang bersifat bakteriolitik, aktivitas ini dimungkinkan oleh adanya enzim nuramidase.

Jumlah trombosit perlakuan kontrol positif dan pengobatan pada hari ke 0 dan 1 lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan pencegahan dan kontrol negatif. Selanjutnya jumlah trombosit dalam darah ikan uji semua perlakuan mengalami penurunan pada hari ke 3 dan 7, namun jumlah trombosit ikan uji kontrol positif terlihat masih lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 27, Lampiran 28).

Trombosit dapat meningkat karena adanya hemoragi dan tukak, karena trombosit diproduksi agar darah membeku guna mencegah terjadinya pendarahan lebih banyak (Angka et al., 2004). Tingkat virulensi bakteri A. hydrophila yang lebih tinggi dan penyembuhan luka tukak yang lebih lambat pada kontrol positif diduga menjadi penyebab jumlah trombosit ditemukan lebih tinggi sampai hari ke 7 pengamatan dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan meningkatnya

jumlah trombosit dalam darah ikan uji pengobatan hari ke 0 dan 1 diduga karena ikan dalam kondisi sakit yang diberi pengobatan melalui injeksi dapat menyebabkan ikan menjadi stres sehingga kondisi tubuh ikan semakin melemah. Menurut Fujaya (2002), trombosit tidak umum terdapat di dalam darah pada situasi normal, tetapi bila terjadi sesuatu yang mengejutkan jumlah trombosit dapat meningkat tajam.

Pemberian ekstrak paci-paci pada ikan uji perlakuan pencegahan dan pengobatan diduga mampu mengurangi tingkat kerusakan akibat infeksi A.

hydrophila dan mempercepat sembuhnya luka tukak sehingga jumlah trombosit

selama pengamatan cenderung menurun. Penurunan jumlah trombosit ini diduga karena trombosit meninggalkan pembuluh darah menuju ke jaringan yang mengalami luka untuk melokalisasi serangan patogen sehingga tidak meluas serta untuk menutup luka dan pembekuan darah. Senyawa flavonoid yang bersifat antiinflamasi dan antioksidan (Angka et al., 2004b; Anonimous, 2007), alkaloid yang bersifat sebagai detoksifikasi racun, dan saponin yang dapat meningkatkan respon immun ikan (Anonimous, 2007) diduga mampu meningkatkan hemostasis dan pembekuan darah bila pembuluh darah pecah serta mempercepat regenerasi untuk menutup jaringan yang luka akibat tukak.

4.2.7 Kualitas Air

Kualitas air dapat mempengaruhi keadaan ketahanan tubuh ikan dan dapat mempengaruhi subur atau tidak suatu penyakit (Taufik, 1984). Selama perlakuan, parameter kualitas air pada awal dan akhir pengamatan menunjukkan kisaran suhu, pH, DO dan TAN yang layak untuk media budidaya ikan lele dumbo (Lampiran 30). Kisaran suhu setiap hari selama penelitian masih berada dalam kisaran normal untuk pemeliharaan ikan lele dombo yaitu 25-28 °C. Menurut Soetomo (1989), kisaran suhu optimal untuk pemeliharaan ikan lele dumbo adalah 25-30 oC sedangkan menurut Najiyati (1992), suhu air yang ideal bagi kehidupan ikan lele dumbo adalah 24-26 oC. Suhu air untuk memelihara lele tidak boleh terlalu dingin karena pertumbuhannya akan terhambat (Suyanto, 1995). Suhu air secara langsung mempengaruhi fisiologi, reproduksi dan pertumbuhan ikan. Perubahan suhu akan mempengaruhi kecepatan

perkembangan mekanisme pertahanan dan pembentukan antibodi, perubahan suhu dapat menjadi penyebab stres yang mempengaruhi kesehatan ikan (Nabib dan Pasaribu, 1989).

Pada ikan, temperatur lingkungan yang relatif tinggi tetapi masih dalam batas-batas toleransi akan menyebabkan semakin cepatnya produksi antibodi dan tingginya reaksi antibodi yang dihasilkan (Ellis, 1982; Supriyadi 1985). Bila suhu lebih rendah lagi, respon kekebalan humoral dapat terhenti (Anderson, 1974; Ellis, 1982). Menurut Taufik (1984), pada temperatur 30-35 oC ikan akan mengalami stres yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga bakteri A. hydrophila lebih mudah menyerang ikan.

Nilai pH selama penelitian masih berada dalam kisaran normal antara 6,29 sampai 7,52. Kisaran pH air yang cocok untuk pemeliharaan ikan lele dumbo adalah pH 6,5-8 (Departemen Pertanian, 1989). Menurut Najiyati (2002), kisaran nilai pH yang ideal bagi kehidupan ikan lele dumbo adalah air yang mempunyai pH 5-9. Boyd (1982) menyatakan bahwa air dengan pH kurang dari 4 akan membunuh ikan, antara pH 6,5 sampai 9 baik untuk budidaya, pH lebih dari 9,5 akan membahayakan ikan dan pH 11 akan membunuh ikan. Menurut Taufik (1984), bakteri A. hydrophila akan tumbuh subur pada pH 5-5,9.

Kandungan oksigen terlarut dalam media pemeliharaan selama penelitian berkisar 5,10-6,21 mg/l, sehingga nilai ini masih optimal untuk pemeliharaan ikan lele. Menurut Allen (1976) dalam Stickney (1993), ikan channel catfish yang dipelihara dalam tangki, kadar oksigen terlarut yang direkomendasikan minimal 3 ppm. Untuk menjaga kesehatan ikan menurut Taufik (1984), kadar oksigen yang optimum dalam media pemeliharaan harus berada dalam kisaran 6,5-12,5 ppm.

Kandungan amoniak nitrogen selama penelitian masih berada pada kisaran optimal yaitu 0,013-0,603 mg/l. Konsentrasi amoniak untuk pemeliharaan ikan adalah kurang dari 0,52 mg NH3-N/liter sedangkan pada konsentrasi 1,2-2 ppm dapat menyebabkan kematian ikan dan proporsi amoniak total ini akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan pH (Boyd, 1982).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam dokumen C08yab (Halaman 93-100)

Dokumen terkait