• Tidak ada hasil yang ditemukan

C08yab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "C08yab"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PACI-PACI Leucas lavandulaefolia UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN INFEKSI PENYAKIT

MAS Motile Aeromonad Septicaemia DITINJAU DARI PATOLOGI MAKRO DAN HEMATOLOGI

IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

YUSUF ABDULLAH C01400025

SKRIPSI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

EFEKTIFITAS EKSTRAK DAUN PACI-PACI Leucas lavandulaefolia UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN INFEKSI PENYAKIT MAS Motile

Aeromonad Septicaemia DITINJAU DARI PATOLOGI MAKRO DAN

HEMATOLOGI IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Maret 2008

YUSUF ABDULLAH C01400025

(3)

RINGKASAN

YUSUF ABDULLAH. Efektivitas Ekstrak Daun Paci-paci Leucas lavandulaefolia

untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Penyakit MAS Motile Aeromonad

Septicaemia Ditinjau dari Patologi Makro dan Hematologi Ikan Lele Dumbo Clarias

sp. Dibimbing oleh Dr. SUKENDA dan Dr. DINAMELLA WAHJUNINGRUM. Ikan lele dumbo Clarias sp. termasuk komoditas yang banyak dibudidayakan secara intensif. Budidaya ikan lele dombo ini dihadapkan pada kendala penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila. Penyakit ini sering timbul sebagai wabah di Asia Tenggara sampai sekarang dan menimbulkan kematian dengan derajat penularan yang tinggi pada ikan-ikan air tawar. Penggunaan antibiotik untuk penanggulangan penyakit bakterial secara terus menerus dan tidak terkontrol menyebabkan timbulnya resistensi bakteri. Karena itu, penanggulangan penyakit ikan sedang diarahkan pada penggunaan bahan-bahan alami yang terbukti efektif, murah, aman terhadap manusia dan ramah lingkungan. Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak digunakan untuk pengobatan tradisional pada manusia dan sekarang ini mulai dicobakan untuk pengendalian penyakit pada sistem budidaya ikan. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun dan akar paci-paci yaitu minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin, alkaloid dan metanol diketahui bersifat sebagai antimikroba dan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh ikan.

Informasi mengenai potensi tanaman paci-paci sebagai imunostimulan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap infeksi A. hydrophila masih kurang. Karena itu, dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun paci-paci baik untuk pencegahan dan pengobatan infeksi penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) yang disebabkan oleh A. hydrophila secara in vivo ditinjau dari patologi makro dan parameter hematologi ikan lele dumbo (Clarias sp.).

Penelitian ini dilakukan bulan Maret sampai Oktober 2007. Tempat penelitian di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Kaca 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu uji LD-50 dan uji in vivo. Uji LD-50 dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi bakteri yang akan diinfeksikan pada uji in vivo. Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan bakteri A. hydrophila pada ikan lele dumbo dengan konsentrasi 104, 105, 106, 107 dan 108 cfu/ml sebanyak

0.1 ml/ekor. Jumlah ikan uji 10 ekor tiap perlakuan. Sedangkan uji in vivo dilakukan untuk melihat pengaruh ekstrak daun paci-paci lewat injeksi secara intramuskular terhadap daya tahan, patologi makro dan parameter hematologi ikan lele dumbo setelah diinfeksi A. hydrophila. Sehingga dari pengujian ini dapat dilihat potensi tanaman paci-paci sebagai imunostimulan. Penelitian ini terdiri atas 4 perlakuan yaitu pencegahan, pengobatan, kontrol positif dan kontrol negatif dan masing-masing perlakuan terdiri atas 3 ulangan. Jumlah ikan uji masing-masing 10 ekor tiap ulangan. Ikan uji perlakuan pencegahan diinjeksi ekstrak paci-paci dosis 4 g/100 ml sebanyak 0.1 ml/ekor dan tujuh hari kemudian diuji tantang dengan A. hydrophila 105 cfu/ml.

Ikan uji perlakuan pengobatan dan kontrol positif diinfeksi A. hydrophila 105 cfu/ml

sebanyak 0.1 ml/ekor sedangkan ikan uji perlakuan kontrol negatif diinjeksikan PBS sebanyak 0.1 ml/ekor. Setelah gejala klinis muncul pada jam ke 18 pasca infeksi, ikan uji perlakuan pengobatan diinjeksi ekstrak paci-paci dosis 8 g/100 ml sebanyak 0.1 ml/ekor.

(4)

Pengamatan respon imunitas ikan uji dilakukan pada hari ke 0, 1, 3 dan 7 pasca infeksi, parameter hematologi yang diamati meliputi kadar hematokrit, kadar hemoglobin, total eritrosit, total leukosit, diferensial leukosit serta aktifitas fagositik sedangkan patologi makro meliputi gejala klinis diamati setiap hari dan pengamatan organ internal ikan uji dilakukan hari ke 14. Mortalitas diamati setiap hari. Sebagai data pendukung dilakukan pengamatan respon nafsu makan, bobot serta kualitas air.

Hasil uji LD-50 didapatkan konsentrasi bakteri A. hydrophila yang akan digunakan pada uji in vivo sebesar 105 cfu/ml. Dari uji ini juga diketahui bakteri yang

digunakan merupakan bakteri virulen. Pertambahan bobot tertinggi terjadi pada ikan uji pencegahan (8.31%) dan kontrol negatif (13.04%), kedua perlakuan ini memiliki respon makan yang relatif baik dari awal hingga akhir pengamatan, sedangkan ikan uji perlakuan kontrol positif (1.70%) dan pengobatan (3.24%) memperlihatkan pertambahan bobot yang lebih rendah. Selama pengamatan tidak ditemukan ikan uji yang mati pada perlakuan kontrol negatif. Pada akhir penelitian didapatkan angka mortalitas ikan perlakuan pencegahan 23.33%, pengobatan 50% dan kontrol positif 56.67%. Imunostimulan ekstrak daun paci-paci terbukti mampu menekan persentase kematian ikan uji yang terinfeksi A. hydrophila lebih baik pada ikan uji perlakuan pencegahan.

Gejala klinis yang diamati meliputi hiperemia, radang, hemoragi, nekrosis dan tukak. Berdasarkan nilai skor rata-rata gejala klinis, proses penyembuhan perlakuan pencegahan mulai terjadi hari ke 3 dan terus berlangsung lebih cepat sampai akhir pengamatan dibandingkan perlakuan pengobatan dan kontrol negatif. Dari hasil pemeriksaan organ internal, ikan uji pencegahan dan pengobatan yang diberi ekstrak paci-paci menunjukkan tingkat kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan ikan uji kontrol positif.

Pada uji in vivo, pemberian imunostimulan paci-paci dapat meningkatkan total eritrosit darah. Kadar hematokrit, kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit ikan uji pencegahan selama pengamatan terlihat lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kontrol positif. Sedangkan ikan uji perlakuan pengobatan, kadar hematokrit, kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit meningkat pada hari ke 3 dan 7. Jumlah leukosit ikan uji pencegahan dan pengobatan pada hari ke 1 pasca infeksi berturut-turut sebesar 7.91x105 dan 7.05x105 sel/mm3 lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kontrol

positif sebesar 4.10 x105 sel/mm3. Peningkatan leukosit terus berlangsung sampai hari

ke 3 dengan jumlah leukosit tertinggi ditemukan pada ikan uji pencegahan sebesar 8.15x105 sel/mm3 dan menunjukkan beda nyata dengan perlakuan kontrol. Persentase

jumlah limfosit ditemukan lebih tinggi dari netrofil dan monosit dari awal sampai akhir pengamatan. Jumlah monosit dalam darah ikan terlihat berkorelasi kuat dengan rataan indeks fagositik. Peningkatan jumlah limfosit, netrofil dan monosit berperan besar dalam meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap infeksi A. hydrophila Dari hasil pengamatan hematologi dan patologi makro, terbukti ekstrak daun paci-paci mampu meningkatkan daya tahan tubuh ikan uji dengan meningkatkan respon pertahanan seluler sehingga mengurangi tingkat gejala klinis dari infeksi Aeromonas

(5)

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PACI-PACI Leucas lavandulaefolia UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN INFEKSI PENYAKIT

MAS Motile Aeromonad Septicaemia DITINJAU DARI PATOLOGI MAKRO DAN HEMATOLOGI

IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

YUSUF ABDULLAH C01400025

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Budidaya Perairan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

SKRIPSI

Judul Skripsi : Efektivitas Ekstrak Daun Paci-paci Leucas lavandulaefolia untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Penyakit MAS

Motile Aeromonad Septicaemia Ditinjau dari Patologi

Makro dan Hematologi Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Nama Mahasiswa : Yusuf Abdullah

Nomor Pokok : C01400025

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Sukenda Dr. Dinamella Wahjuningrum

NIP. 132045962 NIP. 132234940

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Indra Jaya, M. Sc NIP. 131578799

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2007 mengambil judul ”Efektivitas Ekstrak Daun Paci-paci Leucas lavandulaefolia untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Penyakit MAS Motile Aeromonad Septicaemia Ditinjau dari Patologi Makro dan Hematologi Ikan Lele Dumbo Clarias sp.”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sukenda dan Ibu Dr. Dinamella Wahjuningrum selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama melaksanakan penelitian dan menulis skripsi ini, serta kepada Ibu Dr. Dinar Tri Soelistyowati atas kesediaannya menjadi dosen penguji tamu. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ranta dan seluruh teknisi serta semua staff Departemen Budidaya Perairan atas bantuannya. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua rekan-rekan BDP 40 dan seluruh civitasnya atas dukungan dan bantuannya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Rasa terima kasih paling dalam penulis sampaikan untuk orang tua tercinta dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga skripsi ini dapat memberi informasi dan masukan yang bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tulisan ini. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya membangun agar menjadi lebih baik lagi. Terima kasih

Bogor, Maret 2008 Penulis

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang Makassar pada tanggal 1 Maret 1980 dari Ayah Abdullah Chalid dan Ibu A. Siti Hafsah. Penulis merupakan putra kedua dari enam bersaudara.

Penulis menamatkan pendidikan di SMU Negeri 1 Watampone tahun 2000. Pada Tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Penyakit Ikan (2003/2004 dan 2006/2007) dan mata kuliah Dasar-dasar Mikrobiologi Akuatik (2003/2004 dan 2006/2007). Penulis melaksanakan praktek lapang di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi dengan komoditas Lobster Air Tawar Cherax

quadricarinatus dan Ikan Hias Mas Koki Carasius aeratus pada tahun 2004.

Untuk menyelesaikan studi S1 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Ekstrak Daun Paci-paci

Leucas lavandulaefolia untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Penyakit MAS Motile Aeromonad Septicaemia Ditinjau dari Patologi Makro dan Hematologi Ikan

(9)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ... i DAFTAR GAMBAR ... ii DAFTAR LAMPIRAN ... iv I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) ... 4

2.2 Senyawa Antimikroba dari Tanaman ... 9

2.3 Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.)... 13

2.4 Bakteri Aeromonas hydrophila ... 16

2.5 Hematologi Ikan ... 21

III. METODOLOGI ... 27

3.1 Waktu dan Tempat ... 27

3.2 Alat dan Bahan ... 27

3.3 Metode Penelitian ... 28

3.3.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji ... 28

3.3.2 Pembuatan Ekstrak Daun Paci-paci Leucas lavandulaefolia ... 28

3.3.3 Penyediaan Suspensi Bakteri A. hydrophila ... 29

3.3.4 Uji LD-50 ... 30

3.3.5 Uji In Vivo ... 31

3.3.6 Parameter Yang Diamati ... 32

3.3.6.1 Respon Makan dan Uji Refleks... 32

3.3.6.2 Pertambahan Bobot Ikan Lele Dumbo ... 32

3.3.6.3 Mortalitas Ikan Lele Dumbo ... 32

3.3.6.4 Gejala Klinis dan Diameter Kelainan Klinis ... 33

3.3.6.5 Pemeriksaan Organ Internal Tubuh Ikan Lele Dumbo .... 33

3.3.6.6 Parameter Hematologi ... 34

3.3.6.7 Kualitas Air... 38

3.3.7 Analisa Data... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Hasil... 39

4.1.1 Uji Patogenitas Bakteri dengan Menghitung LD-50... 39

4.1.2 Uji In Vivo ... 40

4.1.2.1 Respon Makan dan Uji Refleks Ikan ... 40

4.1.2.2 Bobot Rata-rata Ikan Lele Dumbo ... 41

(10)

4.1.2.4 Gejala Klinis ... 43

4.1.2.5 Pemeriksaan Organ Dalam lele Dumbo (Clarias sp.)... 49

4.1.3 Parameter Hematologi ... 54

4.1.3.1 Kadar Hematokrit ... 54

4.1.3.2 Kadar Hemoglobin ... 55

4.1.3.3 Jumlah Sel Darah Merah ... 56

4.1.3.4 Jumlah Sel Darah Putih ... 57

4.1.3.5 Diferensial Leukosit (Sel Darah Putih) ... 58

4.1.3.6 Indeks Fagositik ... 60

4.1.4 Kualitas Air ... 61

4.2 Pembahasan ... 63

4.2.1 Konsentrasi Bakteri untuk Uji Tantang (LD-50) ... 63

4.2.2 Respon Makan dan Pertambahan Bobot ... 63

4.2.3 Mortalitas ... 65

4.2.4 Gejala Klinis ... 66

4.2.5 Organ Dalam Ikan Lele Dumbo ... 72

4.2.6 Gambaran Darah ... 75

4.2.6.1 Kadar Hematokrit, Kadar Hemoglobin dan Jumlah Eritrosit ... 75

4.2.6.2 Leukosit, Diferensial Leukosit dan Indeks Fagositik ... 77

4.2.7 Kualitas Air ... 82

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

5.1 Kesimpulan ... 84

5.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Respon makan ikan lele dumbo selama perlakuan... 40 2. Perbedaan organ dalam ikan lele pada perlakuan kontrol negatif,

kontrol positif, pencegahan dan pengobatan... 53 3. Kualitas air selama perlakuan... 61

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman paci-paci (Leucas lavandulaefolia Smith)... 4

2. Ikan lele dumbo (Clarias sp.)... 14

3. Bakteri Aeromonas hydrophila... 16

4. Eritrosit dan jenis - jenis lekosit dalam darah ikan... 21

5. Bobot rata-rata ikan lele dumbo (Clarias sp.) selama perlakuan... 41

6. Kematian ikan lele dumbo setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila selama perlakuan (%)... 42

7. Ikan lele kontrol negatif tidak mengalami kelainan klinis sampai akhir pengamatan... 44

8. Ikan lele kontrol positif pada jam ke 6 mengalami radang disertai hiperemia setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila...45

9. Ikan lele kontrol positif pada jam ke 18 mengalami hemoragi disertai hiperemia setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila... 45

10. Ikan lele kontrol positif pada jam ke 21 mengalami nekrosis disertai hiperemia setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila... 45

11. Ikan lele kontrol positif pada hari ke 1 mengalami tukak disertai hiperemia setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila... 45

12. Ikan lele perlakuan pencegahan pada jam ke 21 mengalami nekrosis dan hiperemia setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila... 45

13. Ikan lele perlakuan pencegahan pada hari ke 1 mengalami tukak dan hiperemia setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila... 48

14. Ikan lele perlakuan pencegahan hari ke 3 mengalami penyembuhan tukak setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila... 48

15. Ikan lele perlakuan pencegahan pada hari ke 14 sembuh total setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila... 48

16. Skor rata-rata gejala klinis perlakuan kontrol positif, pencegahan dan pengobatan penyakit MAS... 49

(13)

17. Organ dalam ikan lele dumbo kontrol negatif (A), kontrol positif (B),

pencegahan (C) dan pengobatan (D)... 50

18. Organ dalam ikan uji perlakuan pencegahan (A) dan pengobatan (B) yang mati dengan kelainan radang, hemoragi dan nekrosis disertai hiperemia dan organ dalam ikan uji perlakuan pencegahan (C) dan pengobatan (D) yang mati akibat kelainan tukak... 51

19. Organ dalam ikan uji perlakuan kontrol positif yang mati akibat kelainan radang, hemoragi dan nekrosis disertai hiperemia (A) dan mati akibat kelainan tukak yang luas disertai hiperemia (B)... 52

20. Kadar hematokrit selama perlakuan (%)... 54

21. Kadar hemoglobin selama perlakuan (g %)... 55

22. Jumlah sel darah merah selama perlakuan... 56

23. Jumlah sel darah putih selama perlakuan... 57

24. Persentase jumlah limfosit selama perlakuan... 58

25. Persentase jumlah netrofil selama perlakuan... 58

26. Persentase jumlah monosit selama perlakuan... 59

27. Persentase jumlah trombosit selama perlakuan... 60

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Pengenceran konsentrasi bakteri dalam biakan murni dengan teknik pengenceran berseri (a) dan pengenceran berseri untuk mendapatkan

konsentrasi bakteri yang akan disuntikkan pada uji LD-50... 93

2. Uji LD-50 Isolat Ah1... 95

3. Uji LD-50 isolat Ah2... 96

4. Mortalitas ikan uji yang diinfeksi bakteri A. hydrophila isolat Ah1 (avirulen) pada perlakuan dosis 108, 107, 106, 105 dan 104 cfu/ml... 97

5. Mortalitas ikan uji yang diinfeksi bakteri A. hydrophila isolat Ah2 (virulen) pada perlakuan dosis 108, 107, 106, 105 dan 104 cfu/ml... 97

6. Kelimpahan total Aeromonas hydrophila metode pengukuran nilai kurva standar... 98

7. Kelimpahan total Staphylococcus aureus metode pengukuran nilai kurva standar... 99

8. Diferensial lekosit... 100

9. Fagositosis bakteri Staphylococcus aureus oleh monosit... 100

10. Bobot tubuh ikan lele awal dan akhir perlakuan... 101

11. Pertambahan bobot ikan lele selama perlakuan (%)... 101

12. Bobot tubuh ikan lele awal dan akhir pada perlakuan kontrol negatif.... 102

13. Bobot tubuh ikan lele awal dan akhir pada perlakuan kontrol positif... 102

14. Bobot tubuh ikan lele awal dan akhir pada perlakuan pencegahan... 103

15. Bobot tubuh ikan lele awal dan akhir pada perlakuan pengobatan... 103

16. Mortalitas ikan lele selama perlakuan (%)... 104

17. Kelainan klinis dan diameter kelainan klinis ikan lele kontrol positif setelah diinfeksi A. hydrophila... 105

18. Kelainan klinis dan diameter kelainan klinis ikan lele pencegahan setelah diinfeksi A. hydrophila... 108

19. Kelainan klinis dan diameter kelainan klinis ikan lele pengobatan setelah diinfeksi A. hydrophila... 111

(15)

20. Skor rata-rata kelainan klinis dan diameter kelainan klinis ikan lele

perlakuan kontrol positif (A), pencegahan (B) dan pengobatan (C)... 114

21. Jumlah hematokrit selama perlakuan (%)... 117

22. Jumlah hemoglobin selama perlakuan (Gr %)... 118

23. Jumlah sel darah merah selama perlakuan (x 106 sel/mm3)... 119

24. Jumlah sel darah putih selama perlakuan (x 105 sel/mm3)... 120

25. Jumlah limfosit selama perlakuan (%)... 121

26. Jumlah netrofil selama perlakuan (%)... 122

27. Jumlah monosit selama perlakuan (%)... 123

28. Jumlah trombosit selama perlakuan (%)... 124

29. Rataan indeks fagositik selama perlakuan (%)... 125

30. Kualitas air selama perlakuan... 126

31. Contoh penerapan RAL Model Tetap dengan ulangan sama... 127

32. Gejala klinis hiperemia... 130

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan lele dumbo adalah salah satu jenis hibrida lele yang diintroduksi ke Indonesia dari Taiwan. Pertama masuk ke Indonesia ikan lele ini bernama ilmiah

Clarias fuscus dengan nama populer king catfish yang berarti raja ikan lele. Ikan

ini mempunyai kelebihan yaitu pertumbuhannya cepat dan mencapai ukuran yang besar dalam waktu pemeliharaan yang relatif singkat, oleh karena cepat tumbuh dan cepat besar sehingga diberi nama lele dumbo (Suyanto, 1992).

Budidaya ikan lele saat ini berkembang menjadi budidaya intensif karena semakin tingginya permintaan ikan lele dipasaran. Kondisi ini tentunya akan memperbesar peluang berjangkitnya wabah penyakit pada ikan. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri menjadi salah satu kendala budidaya ikan lele karena dapat menyebabkan kematian serta telah menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Bakteri yang paling sering menginfeksi ikan lele adalah Aeromonas sp. (Simanjuntak, 1989). Jenis bakteri yang diisolasi dari daerah yang pertama kali terserang wabah bercak merah di Bogor pada tahun 1980 adalah Aeromonas sp. dan Pseudomonas sp. (Angka et al., 1982). Aeromonas sp. merupakan bakteri patogen dan sering menjadi penyebab penyakit pada ikan-ikan air tawar (Angka et

al., 2004a). Bakteri ini juga patogen terhadap amphibi, reptil, burung, mamalia dan

manusia (Popoff 1984 dalam Angka et al., 2004a).

Penyakit yang sering ditemukan menginfeksi ikan-ikan air tawar, termasuk lele dumbo adalah penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) dikenal juga sebagai penyakit bercak merah (red spot disease) disebabkan bakteri Aeromonas

hydrophila (Angka et al., 2004b). Ikan-ikan dari golongan Siluridea, Ictaluridae,

Clariidae, Cyprinidae, dan Centrachidae juga rentan terhadap penyakit ini (Plumb, 1999). Penyakit dengan gejala klinis peradangan dan borok ulcerative dermatitis dilaporkan menginfeksi ikan mas di Yugoslavia, Polandia dan Jerman, goldfish di Amerika Serikat dan Salmon di Kanada (Angka et al., 1981).

Penyakit bercak merah dengan gejala haemorrhagic septicaemia sering timbul sebagai wabah di Asia Tenggara sampai sekarang. Di Indonesia, wabah bercak merah bermula terjadi bulan September 1980 bersamaan dengan datangnya

(17)

ikan mas yang baru diimpor dari Taiwan. Pada bulan Oktober 1980 wabah yang disebabkan Aeromonas hydrophila telah meluas di Kodya dan Kabupaten Bogor menyebabkan 430,4 ton ikan-ikan air tawar terserang penyakit bercak merah dengan angka kematian ikan 82,288 ton dan sampai bulan Desember 1980 seluruh propinsi Jawa Barat telah menjadi daerah wabah dengan jumlah ikan yang mati 95,382 ton dan yang terinfeksi 519,382 ton (Angka et al., 1981). Selanjutnya di Malaysia dan Thailand, wabah bercak merah terjadi pada tahun 1981, disusul Burma dan Philipina tahun 1985, lalu Sri Langka tahun 1987 serta Bangladesh, India dan Nepal tahun 1988 (Roberts et al., 1992 dalam Angka et al., 2004b).

Pengendalian perluasan penyakit harus dilakukan sedini mungkin untuk mencegah berjangkitnya wabah penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi. Pengelolaan kesehatan ikan, terutama upaya untuk mencegah penyakit merupakan langkah bijaksana dalam penanggulangan terjadinya penyakit karena lebih mudah dan murah, dibandingkan kegiatan pengobatan ketika ikan sudah mengalami sakit. Upaya pengendalian penyakit MAS pada budidaya ikan, sampai saat ini masih menggunakan antibiotik. Namun, menurut Alifuddin (2000) pemakaian antibiotik untuk jangka panjang, tidak terkontrol dan tidak tepat dosis dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak ini bukan saja dikhawatirkan dengan munculnya strain-strain bakteri resisten terhadap antibiotik yang dapat membahayakan manusia (zoonotik), tetapi juga dapat mencemari lingkungan perairan, bahkan berdampak pada kesehatan dengan adanya residu kimia dari antibiotik pada produk perikanan yang dikonsumsi. Antibiotik adalah obat impor yang mahal, sehingga pada skala kolam penggunaan antibiotik menyebabkan biaya yang tinggi sehingga kurang efisien (Mariyono dan Sundana, 2002; Angka et al., 2004b).

Untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan antibiotik, sehingga perlu dicari alternatif pengobatan yang efektif, murah, aman terhadap manusia dan ramah lingkungan. Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit ikan pada sistem budidaya sedang diarahkan pada penggunaan imunostimulan dari bahan alami yang terbukti efektif dan aman untuk manusia dan lingkungan.

Fitofarmaka atau obat herbal adalah obat alamiah yang bahan bakunya disarikan dari tanaman untuk digunakan dalam pengobatan (Anonimous, 2004). Terdapat lebih kurang 250.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan sekitar 54 % di

(18)

antaranya terdapat di hutan-hutan tropika. Namun hanya sekitar 0.3 % dari jumlah tumbuhan tersebut yang telah diselidiki manfaatnya oleh peneliti. Sebagai negara yang beriklim tropis, hutan tropika Indonesia ditumbuhi lebih dari 30.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi yang sangat potensial dikembangkan sebagai obat herbal (Inayah dan Ernayenti, 2007). Fitofarmaka memiliki kelebihan karena murah, mudah didapat, aman dan efektif sehingga telah lama dimanfaatkan sebagai obat pada manusia, tetapi belum banyak digunakan dalam pengelolaan kesehatan ikan.

Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang banyak tumbuh liar di sawah, kebun, di tanah kering sepanjang tepi jalan, tanah terlantar dan kadang ditanam di pekarangan sebagai tanaman obat. Penelitian tentang tumbuhan ini belum banyak dilakukan, namun secara empiris paci-paci untuk pengobatan tradisional telah terbukti mampu mengobati berbagai macam penyakit pada manusia (Anonimous, 2005a). Sedangkan petani ikan biasa menggunakan paci-paci untuk mengobati penyakit borok pada ikan gurame dan lele dumbo dengan cara merendam seluruh tanaman paci-paci segar pada kolam-kolam pemeliharaan ikan yang terserang penyakit.

Dari hasil penelitian yang terbatas kandungan kimia dari ekstrak paci-paci diketahui mengandung senyawa aktif yang bersifat antimikroba, antiinflamasi, antioksida, bersifat sebagai detoksifikasi racun dan mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit. Senyawa aktif dalam daun dan akar paci-paci terdiri atas minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin (Anonimous, 2005a), alkaloid (Anonimous, 2006a) dan metanol (Mukherjee et al., 1997a) adalah senyawa toksik yang memiliki aktivitas antibakteri sehingga diharapkan mampu menjadi alternatif bahan alami sebagai pencegahan dan pengobatan infeksi penyakit MAS dalam pengelolaan kesehatan untuk kegiatan budidaya ikan.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah pengujian secara in vivo untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun paci-paci (Leucas lavandulaefolia) sebagai imunostimulan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicemia) yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila ditinjau dari patologi makro dan parameter hematologi ikan lele dumbo (Clarias sp.).

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paci-paci (Leucas lavandulaefolia)

Tanaman Leucas lavandulaefolia mempunyai nama lokal yang berbeda di setiap daerah seperti paci-paci di Sunda (Jawa Barat), sarap nornor di Madura, gofu hairan di Ternate, laranga di daerah Tidore sedangkan nama daun setan, lenglengan, lingko-lingkoan, nienglengan atau plengan di Jawa (Anonimous, 2005a).

Gambar 1. Tanaman paci-paci (Leucas lavandulaefolia Smith)

Klasifikasi tanaman paci-paci menurut Germplasm Resources Information Network Taxonomi (2004) dan Brown (2007) adalah sebagai berikut :

Dunia : Plantae

Filum : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Lamiales

Famili : Lamiaceae (alt. Labiatae) Sub famili : Lamioideae Genus : Leucas

Species : Leucas lavandulaefolia Smith.

Leucas lavandulaefolia Smith tumbuh liar di sawah, kebun, tanah kering

(20)

tanaman obat. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian kurang dari 1.500 m di atas permukaan laut. Batang berkayu, tinggi 20-60 cm, berbuku-buku, bercabang, berambut halus, berwarna hijau. Daun tunggal, letak berhadapan dan bertangkai. Helaian daun bentuknya lanset, ujung dan pangkalnya runcing, tepi bergerigi, panjang 1,5-10 cm, lebar 2-10 mm, warnanya hijau tua pada bagian atas dan berwarna hijau muda pada bagian bawah (Anonimous, 2005a).

Memiliki bunga kecil-kecil, berwarna putih dan berbentuk seperti lidah, tumbuh tersusun dalam karangan semu yang padat. Buahnya buah batu berwarna coklat. Biji bulat kecil berwarna hitam, perbanyakannya dengan biji. Tanaman herbal ini mempunyai khasiat yang sama dengan Leucas zeylanica (Anonimous, 2005a), terdapat biji sebelum bunga seperti biji padi terbuka. Bunga ada sepanjang tahun. Distribusi tanaman ini dari India sampai Cina, dekat Malaysia dan tumbuh secara liar (Soerjani et al., 1987 dalam Sopiana 2005; Anonimous, 2006a).

Sebagai obat herbal alami, paci-paci dapat mengobati gangguan seperti susah tidur, rasa gelisah, batuk, batuk rejan, sakit kepala, difteri, cacing kremi, gangguan pencernaan, jantung berdebar, tidak datang haid, kejang panas pada anak, influenza, diabetes melitus, ayan (epilepsi), luka, koreng, kudis, sebagai penambah nafsu makan (Anonimous, 2005a), sebagai obat katimumul dan antiseptik (Soesilo et al., 1989

dalam Sopiana, 2005).

Penduduk semenanjung Malaya antara Cina dan Malaysia menggunakan paci-paci untuk mengobati luka yang sakit dan meradang, daun paci-paci-paci-paci ditumbuk sampai halus dan diberikan sebagai tapal di atas luka atau pada daerah yang radang. Paci-paci juga sebagai obat tradisional untuk pengobatan sakit kepala, flu, demam, digosokkan pada perut yang sakit, pengobatan setelah melahirkan, sebagai imunostimulan yang mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menambah vitalitas, sebagai obat rematik karena bersifat antirheumatic (Anonimous, 2006a), pengobatan diabetes melitus karena bersifat antidiabetic activity (Mukherjee et al., 1998; Anonimous, 2005a). Akar serta daunnya pahit dan berbau tajam dapat untuk mengobati jerawat, mengobati penyakit kulit seperti kudis dan sebagai insektisida pembasmi serangga (Anonimous, 2006a). Daun paci-paci yang dimemarkan dapat untuk mengobati puru

(21)

kaki yang menahun. Air dari seduhan akar paci-paci digunakan untuk merendam kaki yang luka dan kulit kaki yang mengeras (Heyne, 1987 dalam Sopiana, 2005).

Tanaman Paci-paci juga digunakan untuk mengobati hewan ternak yang sakit. Paci-paci ditumbuk dan diberikan sebagai tapal di atas perut kuda untuk mengobati infeksi serangan cacing (Heyne, 1987 dalam Sopiana, 2005). Dapat pula daun ini dimemarkan lalu dicampur dengan kapur sirih dan tembakau sebagai pembersih luka dan untuk mengobati luka yang berbau busuk pada hewan ternak. Seduhan daun paci-paci digunakan sebagai obat luar dan dalam untuk menyembuhkan penyakit mikosis sakharomukosa pada kuda yaitu penyakit kulit yang meradang berisi cendawan

Saccharomyces (Heyne, 1987 dalam Suparman, 2005).

Komposisi sifat kimiawi dan efek farmakologis daun paci-paci yaitu pahit, pedas, hangat, penenang, antiseptik. Senyawa tanaman ini juga memiliki sifat sebagai

antidiabetic activity(Mukherjee et al., 1998; Anonimous 2005a), antimikroba (Naim, 2004), antiperadangan (antiinflamasi), sebagai analgesic, antioksidan (Anonimous, 2007a), sebagai wound healing activity sehingga mampu mempercepat penyembuhan luka (Mukherjee et al., 1997b), antirhematic (Anonimous, 2006a), hepatoprotective

activity terhadap racun dalam tubuh (Chandrashekar et al., 2007). Kandungan kimiawi dalam daun dan akar tanaman Leucas lavandulaefolia yaitu minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin (Anonimous, 2005a), alkaloid (Anonimous, 2006a) dan metanol (Mukherjee et al., 1997a).

Minyak atsiri memiliki daya antibakteri disebabkan adanya senyawa fenol dan turunannya yang mampu mendenaturasi protein sel bakteri (Hasim, 2003). Senyawa fenolik memiliki daya antiseptik dan sudah dipakai dalam aplikasi kesehatan sejak PD II (Pelczar, 1986 dalam Rahman, 2003). Substansi fenolik dari minyak atsiri telah diketahui dapat menstimulasi makrofag yang memiliki efek negatif tidak langsung terhadap infeksi bakteri dan mencegah infeksi virus. Senyawa fenol memiliki efek inhibtori terhadap bakteri gram positif dan ditemukan memiliki aktivitas antifungi. Senyawa fenolik minyak atsiri memiliki efek antiviral, antikoagulan, rodentisida dan secara in vitro menghambat Candida albicans (Naim, 2004). Menurut Heyne (1987)

(22)

turunannya. Salah satu senyawa turunan itu adalah kavikol yang memiliki daya bakterisidal lima kali lebih kuat dibandingkan dengan fenol. Menurut Naim (2004) selain kavikol terdapat pula fenol sederhana dan asam-asam seperti fenolat, sinnamat dan kaffeat merupakan contoh umum senyawa turunan fenilpropan. Asam kaffeat bersifat toksik terhadap virus, bakteri dan fungi. Selanjutnya menurut Naim (2004) senyawa turunan minyak atsiri lainnya adalah katekol dan pirogalol merupakan fenol terhidroksilasi yang bersifat toksik terhadap mikroorganisme. Hasil dari uji in vitro (Hasim, 2003) menunjukkan aktivitas minyak atsiri sebagai antibakteri ditandai dengan zona hambatan yang tidak lagi ditumbuhi bakteri. Menurut Hasim (2003) daya antibakteri minyak atsiri lebih efektif karena memiliki zona hambatan lebih besar dan bersifat bakterisidal. Senyawa turunan seperti katekol yang memiliki dua grup hidroksil dan pirogalol yang memiliki tiga grup hidroksil adalah fenol terhidroksilasi yang bersifat toksik terhadap mikroorganisme (Naim, 2004). Sisi dan jumlah grup hidroksil pada fenol diduga memiliki hubungan dengan toksisitas relatif terhadap mikroorganisme dengan bukti bahwa hidroksilasi yang meningkat juga menyebabkan tingginya toksisitas zat ini (Naim, 2004). Kepolaran gugus hidroksil fenol dari minyak atsiri mampu membentuk ikatan hidrogen yang larut dalam air sehingga efektif sebagai desinfektan (Nogrady, 1992)

Fenol dapat merusak membran sel bakteri dan menyebabkan lisis (terlarutnya) sel bakteri (Nogrady, 1992). Sifat toksik fenol mengakibatkan struktur tiga dimensi protein bakteri terganggu dan terbuka sehingga menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan struktur kerangka kovalen, sehingga protein terdenaturasi. Deret asam amino protein tetap utuh setelah denaturasi namun aktivitas biologisnya rusak sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya (Hasim, 2003). Menurut Naim (2004) mekanisme toksisitas senyawa fenolik pada mikroorganisme meliputi inhibitor enzim oleh senyawa yang teroksidasi, kemungkinan melalui reaksi dengan grup sulfhidril atau melalui interaksi nonspesifik dengan protein. Minyak atsiri dari Leucas

lavandulaefolia juga diketahui mengandung komponen utama sitronelol (Lestari 1989 dalam Widowati et al., 1995) dan geraniol (Anonimous 2008) menghasilkan aroma

(23)

(Anonimous, 2005b). Komponen geraniol dan sitronelol merupakan senyawa kimia alami yang efektif untuk mengusir nyamuk, lalat dan semut (Anonimous, 2007b).

Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka (Anonimous, 2007a), bersifat antibakteri dan antioksidan (Angka et al., 2004b; Anonimous, 2007a), mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan benda asing lebih cepat dihasilkan dan sistem limfa lebih cepat diaktifkan (Angka et al., 2004b). Flavonoid diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang bersifat lipofilik sehingga mampu merusak membran mikroba, mereduksi infektivitas serta memperlihatkan efek inhibitori terhadap berbagai virus (Naim, 2004). Flavonoid juga bersifat sebagai zat insektisidal dan fungisidal (Robinson, 1991 dalam Rahman, 2003). Selanjutnya menurut Robinson (1991) dalam Rahman (2003), flavonoid merupakan metabolit sekunder tanaman yang juga berfungsi sebagai kontrol hormon pada pertumbuhan (tiroid dan somatotropin). Selanjutnya Zairin (2003) menyatakan bahwa hormon tiroid berperan pada proses pertumbuhan, meningkatkan pengaruh hormon anabolik terutama memfasilitasi pelepasan somatotropin dari sel-sel hipofisis, meningkatkan food intake (respon makan) ikan dan memberi aksi imunomodulatori. Hormon pertumbuhan (somatotropin) berperanan dalam merangsang pertumbuhan dan metabolisme pada ikan, meningkatkan respon makan dan mencegah kerusakan hati, meningkatkan aktivitas makrofag dan aktivitas hemolitik pada serum ikan.

Senyawa tanin yang memiliki kadar tinggi pada suatu tanaman lebih bersifat sebagai zat pertahanan dari serangan hama (Robinson, 1991 dalam Rahman, 2003). Seluruh tannin nabati adalah jenis senyawa fenolik yang memiliki daya antiseptik (Pelczar, 1986 dalam Rahman, 2003). Menurut Naim (2004) banyak aktivitas fisiologik manusia seperti stimulasi sel-sel fagositik, host mediated tumor activity dan sejumlah aktivitas antiinfektif telah ditetapkan untuk tannin. Tannin diketahui mampu membentuk ikatan yang kuat dengan protein dan senyawa lainnya dalam kondisi tertentu. Salah satu aksi molekul tannin yaitu mampu membentuk kompleks dengan protein melalui kekuatan nonspesifik ikatan hidrogen dan memiliki efek hidrofobik sebagaimana pembentukan ikatan kovalen. Selanjutnya Naim (2004) menyatakan

(24)

bahwa mekanisme antimikrobial tannin mungkin berhubungan dengan kemampuan menginaktivasi adhesin mikroba, enzim, protein transport cell envelope dan mampu membentuk kompleks dengan polisakarida. Konsumsi minuman yang mengandung tannin diketahui mampu mencegah dan mengobati sejumlah penyakit (Naim, 2004).

Senyawa saponin yang dihasilkan tanaman paci-paci diketahui memiliki aktivitas antibakteri dan antivirus, mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan penambah vitalitas karena mampu memperbaiki struktur maupun fungsi sel-sel tubuh (Anonimous, 2007a). Saponin sering dimanfaatkan untuk desinfeksi media budidaya sehingga peranannya sebagai antimikroba sudah teruji (Lesmanawati, 2006).

Alkaloid bersifat toksik terhadap mikroba sehingga efektif membunuh bakteri dan virus, sebagai antiprotozoa dan antidiare (Naim, 2004), bersifat detoksifikasi yang mampu menetralisir racun (Anonimous, 2007a). Alkaloid diketahui mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Zat ini akan dibawa aliran darah menuju sel-sel tubuh. Hasilnya, sel-sel itu menjadi lebih aktif, sehat dan terjadi perbaikan-perbaikan struktur maupun fungsi (Anonimous, 2006b).

Kandungan metanol tanaman paci-paci (Mukherjee et al., 1997a) diketahui bersifat sebagai antioksidan, antiinflamasi, analgesik dan insektisida (Fachriyah et al., 2007). Metanol adalah salah satu senyawa umum terpenoid yang diketahui bersifat aktif membunuh bakteri, fungi, virus, dan protozoa (Naim, 2004). Menurut Naim (2004) mekanisme antimikroba metanol diduga terlibat dalam merusak membran sel mikroba oleh senyawa lipofilik.

2.2 Senyawa Antimikroba dari Tanaman

Fitokemikal antimikroba dari tanaman menurut Naim (2004) dapat dibagi ke dalam kategori fenolik dan polifenol (minyak atsiri berupa fenol serta turunannya,

flavon, flavonoid, falavonol, tannin, quinon, coumarin), senyawa terpenoid (metanol, camphor, famesol, artemisin) dan minyak esensial (alkaloid, lektin dan polipeptida), campuran (komponen kimiawi aktif yang heterogen, berbagai macam alkaloid) dan senyawa lain (poliamin, isotiosianat dan glikosida).

(25)

Menurut Naim (2004) tanaman memiliki suatu kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk mensintesis substansi aromatik yang kebanyakan adalah minyak atsiri. Substansi ini adalah metabolit sekunder dan yang telah diisolasi berjumlah paling sedikit 12.000 jenis (diperkirakan kurang dari 10 persen dari jumlah totalnya). Minyak atsiri tersebut berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tanaman terhadap mikroorganisme, insekta dan herbivora. Substansi seperti terpenoid memberi aroma pada tanaman, sedangkan quinon dan tanin berfungsi sebagai pigmen tanaman.

Minyak atsiri adalah cairan lembut, bersifat aromatik, dan mudah menguap pada suhu kamar. Minyak atsiri diperoleh dari ekstrak bunga, biji, daun, kulit batang, kayu dan akar pada tumbuh-tumbuhan tertentu. Satu jenis minyak atsiri umumnya memiliki beberapa khasiat berbeda misalnya sebagai antiseptik dan antibakteri. Minyak atsiri yang disemprotkan ke udara membantu menghilangkan bakteri, jamur, menghilangkan bau pengap dan bau yang tidak mengenakkan. Minyak atsiri murni merupakan substansi yang amat kuat dengan efek 75 sampai 100 kali lebih potensial sebagai antimikroba jika dibandingkan bahan asalnya (Anonimous, 2003).

Flavonoid berasal dari kata flavon yang merupakan nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan sering ditemukan pada tanaman. Menurut perkiraan sekitar 2 % dari seluruh karbon yang difotosintesis tumbuhan-tumbuhan (sekitar 1x109 ton/tahun) diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat

dengannya. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon sebagai inti dasarnya dan membentuk dua cincin aromatik (C6) yang terikat

pada rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6. Flavon, flavonoid

dan falavonol disintesis tanaman dalam responsnya terhadap infeksi mikroba sehingga secara in vitro efektif terhadap mikroorganisme. Antimikroba senyawa ini mungkin disebabkan oleh kemampuannya membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut serta dengan dinding sel. Flavonoid yang bersifat lipofilik mungkin juga akan merusak membran mikroba. Uji secara in vitro menunjukkan senyawa flavonoid memiliki aktivitas antimikroba yang mampu menghambat Vibrio

cholerae, Streptococcus mutans, Shigella dan jenis bakteri lainnya (Naim, 2004).

(26)

jika terjadi pendarahan pada luka atau pembengkakan akibat infeksi dan sebagai antioksidan (Anonimous, 2007a). Senyawa flavonoid menurut Naim (2004) juga memiliki efek inhibitori terhadap berbagai virus.

Tannin adalah senyawa fenol yang larut dalam air dan mampu mengendapkan protein (Utami, 2007), memiliki bobot molekul besar dan memiliki gugus hidroksil ataupun karboksil (Robinson, 1991 dalam Rahman, 2003). Tannin merupakan grup substansi fenolik polimer yang diketahui mampu mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal sebagai astringensi. Senyawa tannin ditemukan hampir di setiap bagian tanaman yaitu kulit kayu, daun, buah dan akar. Tannin dibagi ke dalam dua kelompok yaitu tannin yang dapat dihidrolisis dan tannin kondensasi. Senyawa ini mungkin dibentuk melalui kondensasi derivatif flavan yang ditransportasikan ke jaringan kayu dari tanaman, mungkin juga dibentuk dengan polimerisasi unit quinon.

Senyawa quinon menurut Naim (2004), menyebabkan reaksi kecoklatan pada batang, buah dan daun yang terluka atau terpotong. Senyawa berwarna ini bersifat reaktif tinggi dan memiliki kisaran potensial efek antimikroba cukup luas. Quinon diketahui membentuk kompleks bersifat irreversible dengan asam amino nukleofilik dalam protein yang menyebabkan inaktivasi protein sehingga sel kehilangan fungsi. Target yang mungkin pada sel mikroba adalah adhesin (molekul untuk menempel pada sel inang) yang terdapat pada permukaan sel, polipeptida dinding sel dan enzim yang terikat pada membran sel. Anthraquinon merupakan pigmen yang menyebabkan reaksi kecoklatan diketahui bersifat bakterisidal terhadap Pseudomonas pseudomallei dan bersifat bakteriostatik terhadap bakteri Bacillus anthracis, Corynebacterium

pseudodiphthericum serta Pseudomonas aeruginosa.

Menurut Naim (2004) sebagai suatu grup substansi fenolik, coumarin yang dihasilkan tanaman telah diketahui memiliki aktivitas antitrombotik, antiinflamatori dan vasodilatori, sebagai antikoagulan dan rodentisida, memiliki efek antiviral, secara

in vitro menghambat Candida albicans, mampu menstimulasi makrofag, memiliki

efek inhibtori terhadap bakteri gram positif dan memiliki aktivitas antifungi.

Daun paci-paci menghasilkan aroma harum yang tajam (Anonimous, 2005a). Harum dari tanaman menurut Naim (2004) disebabkan kandungan fraksi minyak

(27)

esensial, merupakan metabolit sekunder yang kaya senyawa dengan struktur isopren. Minyak esensial dengan elemen tambahan oksigen disebut terpen atau terpenoid. Terpenoid aktif terhadap bakteri, fungi, virus dan protozoa. Tanaman paci-paci mengandung senyawa terpenoid salah satunya dalam bentuk metanol (Mukherjee et

al., 1997a). Menurut Naim (2004) bahwa senyawa umum terpenoid adalah metanol,

camphor (monoterpen), famesol dan artemisin (sesquiterpenoid). Artemisin dan derivatifnya alpha arteether juga dikenal dengan nama qinghaosu sebagai antimalaria sehingga pada tahun 1985 WHO memutuskan untuk mengembangkannya sebagai obat untuk malaria serebral. Triterpenoid betulinic acid merupakan salah satu terpenoid yang memperlihatkan efek menghambat HIV. Mekanisme kerja terpen menurut Naim (2004) belum diketahui dengan baik dan dispekulasi terlibat dalam perusakan membran sel mikroba oleh senyawa lipofilik. Kandungan terpenoid dari minyak esensial tanaman bermanfaat mengontrol Listeria monocytogenes pada makanan. Kandungan terpenoid seperti capsaicin memiliki aktivitas biologik pada manusia yang dapat merangsang sistem syaraf, cardiovaskuler dan degestif. Capsaicin bersifat bakterisidal terhadap Helicobacter pylori. Senyawa terpenoid yang disebut petalostemumol memperlihatkan aktivitas antibakteri terhadap Bacillus subtilis,

Staphylococcus aureus, bakteri gram negatif dan Candida albicans (Naim, 2004).

Alkaloid adalah senyawa nitrogen heterosiklik. Salah satu contoh alkaloid yang bermanfaat di bidang medis adalah morfin yang diisolasi tahun 1805. Alkaloid diterpenoid yang diisolasi dari tanaman memiliki sifat antimikroba dan inhibitor terhadap proliferasi virus sehingga mungkin bermanfaat menekan infeksi HIV dan infeksi intestinal yang berhubungan dengan AIDS (Naim, 2004). Alkaloid diketahui memiliki sifat sebagai antimikroba (termasuk terhadap Giardia dan Entamoeba). Efek antidiare utama alkaloid kemungkinan disebabkan oleh efek pada usus kecil. Alkaloid ditemukan potensial efektif terhadap trypanosoma dan plasmodia. Mekanisme kerja dari alkaloid dihubungkan dengan kemampuan berinteraksi dengan DNA (Naim, 2004). Alkaloid juga bersifat sebagai detoksifikasi yang mampu menetralisir racun dalam tubuh (Anonimous, 2007a).

(28)

Peptida bersifat inhibitor terhadap mikroorganisme pertama kali dilaporkan pada tahun 1942. Peptida sering bermuatan positif dan mengandung ikatan disulfida. Mekanisme kerja mungkin dengan pembentukan ion channel pada membran sel atau hambatan kompetitif adhesi protein mikroba ke respetor polisakarida inang. Hal yang menarik adalah fokus pada studi peptida dan lektin anti-HIV. Inhibisi bakteri dan fungi oleh makromolekul peptida telah lama diketahui (Naim, 2004). Menurut Naim (2004), thionin merupakan peptida umum mengandung 47 residu asam amino bersifat toksik terhadap khamir, bakteri gram negatif dan gram positif. Sedangkan molekul lektin merupakan inhibtor terhadap proliferasi virus (HIV, cytomegalovirus) dan kemungkinan berhubungan dengan hambatan interaksi virus dengan komponen sel inang. Senyawa lain yang dihasilkan tumbuhan yaitu saponin, diketahui bermanfaat sebagai antibakteri dan antivirus, mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas, mampu mengurangi kadar gula darah dan mengurangi penggumpalan darah (Anonimous, 2007a).

2.3 Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.)

Klasifikasi ikan lele dumbo menurut Saanin (1984), Suyanto (1992) dan Apjii (2006) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Sub kingdom : Metazoa Phyllum : Chordata Sub phyllum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub ordo : Siluroidea Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies : Clarias sp.

(29)

Gambar 2. Ikan lele dumbo (Clarias sp.)

Jenis ikan Clarias sp. ini bukan asli dari Indonesia, tetapi merupakan suatu hibrida dari jenis Clarias fuscus induk betina yang merupakan lele asal Taiwan dengan jenis Clarias mosambicus sebagai induk jantannya yang merupakan lele asal Afrika (Suyanto, 1992; Rustidja, 1999).

Ikan lele dumbo memiliki morfologi tubuh memanjang, warna tubuh bagian atas gelap, daerah perut dan sisi bawah kepala terang, kadang-kadang terdapat garis bintik-bintik terang pada sisi badan (Najiyati, 1992; Murniarti et al., 2004), jika terkena sinar matahari, warna tubuh lele berubah menjadi pucat dan jika terkejut atau stres warna tubuhnya menjadi loreng seperti mozaik hitam putih (Djatmika dan Rusdi, 1986; Viveen et al., 1987; Suyanto, 1995). Memiliki kulit licin tidak bersisik dan mengeluarkan mucus, kepala pipih berbentuk segitiga atau setengah lingkaran, dilindungi lempengan tulang kepala yang keras. Bagian badan silindris sedangkan bagian ekor pipih, memiliki mata yang kecil sehingga indra penglihatan kurang baik. Sebagai gantinya, ikan lele mempunyai alat peraba berupa empat pasang sungut, yaitu satu pasang sungut hidung, satu pasang sungut maksilar dan dua pasang sungut mandibula (Viveen et al., 1987; Najiyati, 1992). Menurut Handojo et al. (1986)

dalam Utomo (2006), ikan lele mempunyai dua buah alat olfaktori yang terletak dekat

sungut hidung berfungsi untuk mengenali mangsa melalui perabaan dan penciuman. Pada bagian depan sirip dada terdapat jari-jari sirip yang mengeras disebut patil. Patil ini tidak begitu kuat dan tidak mengandung racun, selain sebagai alat pergerakan di dalam air, juga dipakai untuk merayap di tempat yang tidak berair dan sebagai senjata untuk melindungi diri bila ada gangguan (Viveen et al., 1987; Najiyati, 1992). Pada beberapa jenis lele memiliki patil yang mengeras, tajam dan

(30)

berbisa terutama pada lele berusia dewasa (Djatmika dan Rusdi, 1986; Murhananto, 2002). Patil ini juga digunakan untuk melompat dari kolam dan berjalan di atas tanah, sehingga lele mempunyai nama tambahan sebagai walking catfish (Djatmika dan Rusdi, 1986).

Insang ikan lele berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian belakang (Najiyati, 1992) dan terdiri dari dua dinding berkantung tipis yang disatukan oleh tabung melintang (Jayaram, 1981 dalam Utomo, 2006), hal ini menyebabkan ikan lele kadang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan oksigen di perairan sehingga kekurangan ini dilengkapi oleh alat pernapasan tambahan pada lembar insang kedua dan keempat, merupakan modifikasi insang berbentuk seperti bunga karang disebut arborescent organ yang penuh dengan pembuluh darah kapiler.

Arborescent organ memungkinkan ikan lele dapat mengambil oksigen langsung dari

udara sehingga mampu hidup diperairan yang kandungan oksigennya rendah (Susanto, 1989; Angka et al., 1990; Suyanto, 1992) maupun perairan yang kadar CO2

tinggi (Puspowardoyo dan Djarijah, 2002). Organ pernapasan tambahan ini hanya berfungsi saat insang tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen (Handojo et al., 1986

dalam Utomo, 2006). Pada kondisi lembab, ikan lele dapat tetap hidup di luar

perairan (Susanto, 1989; Murhananto, 2002). Alat genital dekat anus tampak sebagai tonjolan. Pada ikan jantan tonjolan berbentuk lancip sedangkan pada ikan betina tonjolan relatif membundar (Angka et al., 1990).

Habitat ikan lele adalah semua perairan tawar. Di sungai yang airnya tidak terlalu deras atau di perairan yang tenang seperti danau, waduk, telaga, rawa serta genangan-genangan kecil seperti kolam. Ikan ini tidak membutuhkan perairan yang mengalir untuk mendukung pertumbuhannya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya kemampuan ikan tersebut untuk mengambil oksigen langsung dari udara melalui organ arborescent yang dimilikinya, sehingga pada perairan yang tidak mengalir, perairan yang kotor dan berlumpur dengan kandungan oksigen rendah, ikan lele masih bisa hidup (Soetomo, 1989; Suyanto, 1992).

Ikan lele bersifat nokturnal yaitu aktif mencari makan pada malam hari. Pada siang hari ikan ini memilih berdiam diri dan berlindung di tempat gelap. Ikan lele ini

(31)

memiliki kebiasaan membuat atau menempati lubang-lubang di tepi sungai atau kolam sebagai sarangnya dan mengaduk-ngaduk lumpur di dasar air untuk mencari makanan (Angka et al., 1990). Ikan lele termasuk ikan omnivora, juga cenderung bersifat karnivora. Di alam bebas, makanan alami ikan lele terdiri fitoplankton dari jenis alga dan zooplankton yang berupa jasad-jasad renik seperti kutu air, cacing rambut, rotifera, jentik-jentik nyamuk, ikan kecil serta sisa bahan organik yang masih segar (Simanjuntak, 1989; Najiyati, 1992). Ikan lele juga senang makanan yang membusuk sehingga termasuk golongan pemakan bangkai dan bersifat kanibal saat jumlah makanan kurang tersedia (Simanjuntak, 1989).

2.4 Bakteri Aeromonas hydrophila

Klasifikasi dan identifikasi A. hydrophila menurut Holt et al. (1994) sebagai berikut : Filum : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Pseudomonadales Famili : Vibrionaceae Genus : Aeromonas

Spesies: Aeromonas hydrophila

Penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) yang juga dikenal dengan nama penyakit bercak merah (red spot disease) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila (Angka et al., 2004b). Sedangkan beberapa peneliti lain menurut Angka (2001) menamakannya EUS (Epizootik Ulcerative Syndrome). Morfologi A. hydrophila dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.

(32)

Nama sinonim dari bakteri Aeromonas hydrophila adalah A. formicans dan A.

liquefaciens (Cipriano et al., 1984; Austin dan Austin, 1993). Bakteri A. hydrophila

termasuk golongan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek dengan ukuran 1,0-1,5 x 0,7-0,8 µm, bergerak dengan sebuah polar flagel dan bersifat oksidatif fermentatif (Kabata, 1985). Aeromonas hydrophila juga bersifat fakultatif aerob, yaitu dapat memanfaatkan nutrisi yang terdapat di air dan dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa adanya inang (Kabata, 1985; Camus et al., 1998). Bakteri ini berkembang dengan baik pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi dan tumbuh optimum pada suhu 20-30 oC (Kabata, 1985). Austin dan Austin

(1993) menyatakan bahwa bakteri ini mampu tumbuh pada suhu 37 oC.

Kabata (1985) menyatakan bahwa A. hydrophila merupakan penyebab umum dari penyakit bacterial haemorrhagic septicaemia yaitu penyakit yang merusak jaringan dan organ pembuat sel darah. Serangan penyakit ini cenderung bersifat musiman dan meningkat selama musim panas. Penyakit ini mempunyai gejala-gejala sebagai berikut :

1. Busung perut, ditandai dengan membengkaknya rongga visceral oleh cairan. 2. Tukak atau borok, ditandai dengan luka pada kulit dan otot.

3. Haemorrhagic septicaemia yang disebut juga infectious abdominal dropsi atau

red mouth disease atau red pest dengan tanda-tanda kulit kering, kasar dan

melepuh.

Menurut Amlachler (1961) dalam Snieszko dan Axelrod (1971), serangan bakteri A. hydrophila menyebabkan haemorrhagic septicaemia yang terjadi dalam 4 tingkatan berbeda, sebagai berikut:

1. Akut, merupakan septicaemia yang fatal, infeksi cepat dengan sedikit tanda-tanda penyakit yang terlihat, ditandai dengan pembengkakan organ dalam.

2. Sub akut, terlihat gejala dropsi, lepuh, abses, dan pendarahan pada sisik.

3. Kronis, terlihat gejala tukak, bisul-bisul, dan abses yang perkembangannya berlangsung lama.

4. Laten, tidak memperlihatkan gejala penyakit, namun pada organ dalam terdapat bakteri penyebab penyakit.

(33)

A. hydrophila mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1980, karena bakteri ini

merupakan penyebab wabah penyakit bercak merah pada ikan air tawar yang pertama kali terjadi di Jawa Barat (Angka et al., 1981). Menurut Angka et al. (1981), penyakit bercak merah ini menyerang beberapa jenis ikan yaitu ikan mas, gurame, nila, tawes, tambakan, mola, mujair dan lele. Peradangan kulit yang disertai gejala perdarahan dan nekrose (haemorrhagic necrotic dermatitis) terjadi kebanyakan pada ikan mas berukuran kurang dari 500 g, peradangan kulit disertai perdarahan, nekrose dan borok (ulcerative necrotic haemorrhagic dermatitis) banyak ditemui pada ikan gurame dan mas berukuran lebih dari 500 g sedangkan pada ikan lele peradangan kulit dengan borok (ulcerative dermatitis) yang didahului lepuh yang menonjol.

Adanya kepadatan parasit dan densitas ikan yang tinggi, beban bahan organik di air tinggi, aktifitas pemijahan, penanganan dan transportasi yang kasar juga dapat memicu timbulnya penyakit (Camus et al., 1998). Bakteri Aeromonas hydrophila dapat menimbulkan penyakit pada populasi ikan yang lemah atau sebagai infeksi sekunder saat ikan terinfeksi penyakit lain. Stressor lingkungan seperti memburuknya kualitas air dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Faktor-faktor tersebut diantaranya fluktuasi suhu air tinggi, kadar amonia dan nitrit tinggi, gangguan pH dari kondisi normal, dan kelarutan oksigen rendah. Menurut Kabata (1985), penyakit ini bersifat musiman dan meningkat selama musim panas serta berhubungan dengan populasi ikan yang mengalami stres. Motil aeromonads merupakan bakteri yang sangat melimpah yang terdapat di lingkungan air tawar. Dapat juga hidup di perairan payau, tapi jumlahnya semakin berkurang saat salinitas di atas 15 ppt.

Ikan yang telah terinfeksi A. hydrophila memperlihatkan tingkah laku yang abnormal seperti respon renang lambat, megap-megap di permukaan air, dan nafsu makan menurun. Gejala lainnya sirip rusak, kulit kering dan kasar, lesi pada kulit yang berkembang menjadi tukak dan mata menonjol (exophthalmus), serta terkadang perut menggembung berisi cairan kemerahan (Kabata, 1985)

Bakteri A. hydrophila menghasilkan zat beracun yang dikenal sebagai toksin. Kemampuan A. hydrophila untuk menghasilkan suatu toksin yang mempunyai efek buruk terhadap inang dan sifat racun toksin tersebut merupakan faktor penting untuk

(34)

menyebabkan penyakit (Angka, 2001). Menurut Thune et al. (1982) dalam Angka (2000) dan Angka (2001) menyatakan bahwa A. hydrophila menghasilkan eksotoksin (ECP) dan endotoksin. Produk toksin yang dihasilkan akan diekskresikan ke medium sekitarnya (eksotoksin) atau disimpan di dalam selnya (endotoksin) sebagai bagian dari sel tersebut (Pelczar dan Chan, 1988). Karakteristik bakteri A. hydrophila di perairan sangat beragam yang disebabkan oleh perbedaan produksi endotoksin dan eksotoksin yang tidak sama untuk setiap galurnya (Angka, 2004a).

Menurut Angka (2001) penelitian tentang bakteri A. hydrophila telah banyak dilakukan dan diketahui bahwa bakteri ini mampu menghasilkan produk eksotoksin. Eksotoksin adalah protein yang dapat berdifusi dan diekskresikan dari sel bakteri ke dalam sistem peredaran darah dan jaringan inang. Selanjutnya menurut Angka (2001)

A. hydrophila menghasilkan berbagai toksin ekstraseluler atau enzim ekstraseluler

yang merupakan faktor virulen. Produk ekstraseluler dari A. hydrophila terdiri atas hemolisin α danβ , protease, elastase, lipase, cytotoksin, enterotoksin, gelatinase, caseinase, lecithinase dan leucocidin. Pertumbuhan bakteri A. hydrophila yang cepat dan produksi ekstraseluler yang dihasilkannya adalah penyebab terjadinya gangguan fisiologis dan kematian ikan yang terinfeksi (Brenden dan Huizinga, 1986). Menurut Angka (2001), karena bakteri ini dapat memanfaatkan albumin, casein, fibrinogen dan gelatin sebagai substrat protein sehingga dapat diketahui galur A. hydrophila bersifat proteolitik sehingga patogen pada ikan. Aktifitas hemolitik dan proteolitik adalah faktor paling penting dalam patogenesis dan virulensi dari bakteri (Austin dan Austin, 1993). Protease berfungsi untuk berkembangnya penyakit dengan melawan pertahanan tubuh inang dan mengambil penyediaan nutrien sehingga bakteri berkembang biak (Angka, 2001). Hemolisin merupakan enzim yang mampu melisis sel-sel darah merah dan membebaskan hemoglobinnya. Menurut Pelczar dan Chan (1988) hemolisinα danβ menghasilkan zona hemolisis yang bening di sekeliling koloni A. hydrophila yang tumbuh pada agar darah. Lecithinase adalah enzim yang menghancurkan berbagai sel jaringan dan terutama aktif melisis sel-sel darah merah sedangkan leucocidin adalah enzim yang dapat membunuh sel-sel darah putih (Pelczar dan Chan, 1988).

(35)

Bakteri Aeromonas hydrophila adalah bakteri gram negatif dengan struktur dinding sel yang terdiri atas fosfolipid dan karbohidrat (lipopolysaccharide), dikenal sebagai endotoksin. Endotoksin ini dapat menyebabkan radang, demam dan renjatan (shock) pada hewan inang (Pelczar dan Chan, 1988; Angka, 2001). Endotoksin dilepaskan hanya bila sel dari bakteri tersebut hancur sehingga adanya substansi toksin di dalam populasi bakteri Aeromonas hydrophila disebabkan karena terlisisnya beberapa dari sel tersebut. Endotoksin pada umumnya memegang peranan pembantu dalam menimbulkan penyakit (Pelczar dan Chan, 1988).

Bakteri ini dapat ditemukan pada air dengan bahan organik yang melimpah, seperti pada kolam dan sistem akuakultur yang lain, dapat diisolasi dari perairan payau, muara sungai, air PAM, tanah kulit, saluran pencernaan dari ikan sehat, dari lumpur kolam, tanaman air dan parasit protozoa tertentu (Camus et al., 1998; Angka, 2001). Faktor-faktor tersebut membuat pemusnahan A. hydrophila pada sistem pemeliharaan ikan menjadi hal yang tidak mungkin (Camus et al., 1998).

A. hydrophila merupakan patogen oportunis dan hanya dapat menimbulkan

penyakit pada populasi ikan yang lemah atau sebagai infeksi sekunder saat ikan terinfeksi penyakit lain. Faktor stres lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas air yang buruk, mempertinggi perkembangan penyakit. Faktor-faktor tersebut diantaranya suhu air tinggi, kadar amonia dan nitrit tinggi, gangguan pH, dan oksigen terlarut rendah. Kepadatan parasit dan ikan yang tinggi, beban bahan organik di air yang tinggi, aktifitas pemijahan, penanganan dan transportasi yang kasar juga dapat memicu timbulnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila (Camus et

al., 1998).

Aeromonas sp. selain menjadi penyebab penyakit pada ikan-ikan air tawar

(Angka et al., 2004a) juga patogen dan dapat menular pada amphibi, reptil, burung, mamalia, serta manusia (Popoff 1984 dalam Angka et al. 2004a) melalui luka terbuka atau tertelan bersama air atau makanan. Orang yang tertular A. hydrophila dengan daya tahan tubuh yang menurun akan mengalami diare atau septicaemia (Angka, 2001).

(36)

2.5 Hematologi Ikan

Darah ikan tersusun atas cairan plasma dan sel darah yang terdiri dari sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel-sel-sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah (Randal, 1970 dalam Affandi dan Tang, 2002). Menurut Fujaya (2002), darah terdiri atas dua kelompok besar, yaitu sel dan plasma. Sel terdiri atas sel-sel diskret yang memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda terdiri dari eritrosis dan leukosit (limfosit, monosit,neutrofil dan trombosis) sedangkan komponen dari plasma yaitu fibrinogen, ion-ion anorganik dan organik. Menurut Affandi dan Tang (2002) plasma darah mengandung ion anorganik seperti Na+, Cl-, Mg2+, Ca2+ dan senyawa organik

seperti hormon, vitamin, enzim, protein plasma (albumin, globulin, transferin dan fibrinogen), lemak dan nutrien.

Chinabut et al., 1991

Keterangan : L = Limfosit M = Monosit N = Netrofil T = trombosit E = Eritrosit

Gambar 4. Eritrosit dan jenis - jenis lekosit dalam darah ikan

Darah ikan berfungsi mengedarkan nutrien yang berasal dari pencernaan makanan ke sel-sel tubuh, membawa oksigen ke sel-sel tubuh (jaringan) dan membawa hormon dan enzim ke organ tubuh yang memerlukannya (Lagler et al., 1977). Fujaya (2002) menyatakan bahwa fungsi darah sebagai pembawa oksigen, karbondioksida, sari-sari makanan maupun hasil metabolisme. Pada ikan, darah mengalir dengan membawa oksigen dari insang ke jaringan, karbondioksida ke kulit dan insang, produk pencernaan dari hati ke jaringan dan ion seperti Na+ dan Cl- yang

berperan dalam osmoregulasi. Darah juga membawa hormon dan vitamin, terutama dalam plasma. Sedangkan bahan-bahan asing atau yang tidak dibutuhkan oleh tubuh diangkut ke ginjal dan dikeluarkan melalui urin atau dipagositasi. Selain itu, menurut

(37)

Affandi dan Tang (2002) komponen-komponen leukosit mempunyai fungsi yang khusus. Secara fungsional, sel monosit berperan sebagai makrofag, limfosit berfungsi sebagai antibodi untuk melawan antigen, neutrofil diyakini mempunyai fungsi fagositik dan trombosit berperan dalam proses pembekuan darah. Menurut Fujaya (2002), komponen yang juga berperan dalam pembekuan darah yang berasal dari plasma yaitu fibrinogen.

Organ pembentuk respon imun dan darah pada ikan dikenal sebagai organ

limfomieloid disebut demikian karena jaringan limfoid (organ yang merespon antigen)

dan mieloid (organ penghasil darah) bergabung menjadi satu (Affandi dan Tang, 2002). Jaringan tersebut terbentuk dari jaringan granulopoietik yang kaya dengan enzim lisozim yang diduga mempunyai peran penting dalam reaksi kekebalan tubuh (Fange, 1982). Pada ikan, jaringan pembentuk darah terdapat dalam stroma limpa dan intersitium ginjal. Selain itu juga dibagian tepi hati dan submukosa usus (Angka, 1990). Menurut Affandi dan Tang (2002) organ limfomieloid ikan teleostei adalah limpa, timus dan ginjal anterior.

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah adalah spesies, perbedaan induk (genetik), kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur (Dellman dan Brown, 1989). Volume darah dalam tubuh ikan lebih sedikit dibandingkan vertebrata yang lain, yaitu sekitar 5 % dari berat tubuh ikan (Angka, 1990). Sedangkan menurut Affandi dan Tang (2002), volume darah dalam tubuh ikan teleostei adalah sekitar 3 % dari bobot tubuh.

Parameter darah menjadi salah satu indikator adanya perubahan kondisi pada kesehatan ikan, baik karena faktor infeksi akibat mikroorganisme atau karena faktor non infeksi oleh lingkungan, nutrisi dan genetik. Menurut Amlacher (1970), darah mengalami perubahan-perubahan yang sangat serius khususnya bila terkena infeksi oleh bakteri, dalam hal ini Bacterial Haemorragic Septicemia. Selain itu, kelebihan dan kekurangan makanan juga mempengaruhi komposisi darah (perubahan pada level protein total, hemoglobin, dan total eritrosit).

Eritrosit pada ikan merupakan sel yang terbanyak jumlahnya. Bentuknya hampir sama untuk semua jenis ikan, berinti seperti burung dan reptil. Eritrosit muda

(38)

disebut polikromatosit ditemukan sekitar 1 % dari total eritrosit. Eritrosit dewasa berbentuk bulat telur dengan inti bulat telur dan sitoplasma merah muda. Ukuran rataan sel darah merah ikan lele dewasa adalah 9,3 x 8,2 µm (Angka, 1990). Eritrosis yang matang berbentuk oval hingga bundar, inti kecil dengan sitoplasma dalam jumlah yang besar. Ukuran eritrosit ikan lele Clarias batrachus adalah 10× 11 µm hingga 12× 11 µm, dengan diameter inti 4-5 µm. Jumlah eritrosis dalam darah ikan lele adalah 3,18× 106 sel/ml (Chinabut et al., 1991). Rendahnya jumlah eritrosit

menandakan ikan menderita anemia dan kerusakan organ ginjal. Sedangkan tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer dan Yasutake, 1977; Nabib dan Pasaribu, 1989).

Hematokrit adalah perbandingan antara padatan sel-sel darah (eritrosit) di dalam darah yang dinyatakan dalam persen (Hesser, 1960 dalam Angka et al., 1985; Affandi dan Tang, 2002). Menurut Bond (1979) dan Sastradipraja et al. (1989) hematokrit merupakan perbandingan antara volume sel darah dengan plasma darah. Bond (1979) menyatakan bahwa plasma darah adalah cairan yang jernih berisikan mineral terlarut, hasil buangan jaringan, enzim, antibodi dan gas terlarut. Menurut Angka et al. (1990), hematokrit ikan bervariasi tergantung pada faktor nutrisi dan umur ikan. Anak ikan dengan nutrisi baik mempunyai kadar hematokrit lebih tinggi daripada ikan dewasa atau anak ikan dengan nutrisi rendah. Tidak ada perbedaan kadar hematokrit didapatkan pada waktu/musim berbeda dan jenis kelamin berbeda. Menurut Bond (1979) kisaran kadar hematokrit darah ikan adalah sebesar 20-30 %. Angka et al. (1985) menyatakan bahwa kisaran nilai hematokrit ikan lele (Clarias

batrachus) pada kondisi normal sebesar 30,8-45,5 %, sedangkan ikan lele yang

terserang ulser mempunyai nilai hematokrit sebesar 34,4-48,2 %. Nabib dan Pasaribu (1989) menyatakan bahwa nilai hematokrit di bawah 30 % menunjukkan defisiensi eritrosis. Gallaugher et al. (1995) menyatakan nilai hematokrit yang lebih kecil dari 22 % menunjukkan ikan mengalami anemia.

Menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui apakah pakan memiliki kandungan protein yang rendah, defisiensi vitamin atau ikan mendapat infeksi sehingga nafsu makan menurun. Sedangkan meningkatnya kadar

Gambar

Tabel 1. Respon makan ikan lele dumbo selama perlakuan
Gambar  8. Ikan lele  kontrol positif pada jam ke 6 mengalami  radang disertai  hiperemia setelah penyuntikan dengan bakteri A
Gambar 12. Ikan lele perlakuan pencegahan pada jam ke 21 mengalami nekrosis  dan hiperemia setelah penyuntikan dengan bakteri A
Gambar 18A. Organ   dalam   ikan   uji   perlakuan   pencegahan   yang   mati   dengan  kelainan radang, hemoragi dan nekrosis disertai hiperemia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat efektivitas ekstrak daun salam dengan penambahan daun mint sebagai obat kumur alami serta mengetahui kualitas

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemberian kombinasi ekstrak etanol daun angsana ( Pterocarpus indicus Willd) dan metformin pada perbaikan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas SNEDDS daun salam yang dibandingkan dengan metformin, ekstrak kloroform daun salam, kombinasi (½ dosis SNEDDS+½ dosis metformin)

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara ekstrak daun muda Acacia nilotica (EDMAN) dengan daun muda Desmanthus virgatus (EDMDV) terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak bawang putih tunggal sebagai imunostimulan melalui pengujian aktivitas dan kapasitas fagositosis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetah ui efektivitas ekstrak daun cip lukan ( Physalis angulat a ) seb agai imunostimulan dalam meningkatkan jumlah leukosit dan

Untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun salam (Syzygium polyanthum) sebagai larvasida nyamuk Aedes aegypti, telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui

Efektifitas Daun Paci-paci Leucas lavandulaefolia untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Penyakit MAS Motile Aeromonas Septicaemia Ditinjau dari Patologi Makro dan