IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil4.1 Hasil
4.2.2 Respon Makan dan Pertambahan Bobot
Dari hasil uji in vivo pada ikan uji kontrol negatif memiliki respon makan paling baik kecuali setelah disuntik PBS dan mulai makan secara normal pada hari ke 3 hingga akhir pengamatan. Respon makan yang hilang pada awal pengamatan setelah disuntik dengan PBS steril secara intramuskuler 0.1 ml/ekor kemungkinan disebabkan oleh adanya gangguan pada kegiatan metabolisme dalam tubuh ikan. Respon makan perlakuan kontrol negatif tidak hilang sama sekali namun berkurang pada hari ke 1 sampai hari ke 2 pengamatan. Pada hari ke 3 hingga akhir pengamatan hari ke 14, ikan uji kontrol negatif respon makannya sangat baik. Semakin besar konsumsi pakan maka semakin besar kesempatan ikan tersebut untuk memperoleh nutrien (karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral) yang seimbang dan energi yang cukup untuk maintenance, proses metabolisme, aktivitas fisik dan pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan bobot tubuh rata-rata sebesar 13.04 % lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Uji refleks juga tampak baik, tidak nampak gejala klinis dan organ dalam juga normal.
Sedangkan pada perlakuan kontrol positif, setelah penyuntikan bakteri A.
hydrophila, nampak ikan lele mengalami respon makan sedikit hingga akhir
penelitian. Rendahnya nafsu makan menyebabkan kenaikan bobot tubuh yang rendah, terlihat pada akhir penelitian kenaikan bobot tubuh rata-rata hanya 1.70 %. Dari 30 ekor ikan uji yang diamati, 11 ekor menunjukkan kenaikan bobot antara 1.494 gram sampai 2.562 gram, namun 2 ekor ikan uji hanya mengalami kenaikan bobot masing-masing sebesar 0.268 gram dan 0.396 gram sedangkan sebanyak 17 ekor ikan uji mengalami kematian (Lampiran 13). Rendahnya nafsu makan ikan perlakuan kontrol positif diduga akibat terjadinya kerusakan organ dalam berupa pembengkakan hati, ginjal dan empedu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Taufik (1984) dan Kabata (1985) bahwa respon makan yang rendah merupakan salah satu gejala infeksi bakteri
A. hydrophila. Bakteri A. hydrophila juga dapat menyebabkan pendarahan pada organ
hati (Runnels et al., 1965). Cipriano et al. (1984) menyatakan bahwa hati merupakan salah satu organ target A. hydrophila dan terganggunya hati berpengaruh terhadap proses metabolisme. Hati merupakan pusat metabolisme tubuh, di dalam organ hati glikogen dan lemak disimpan, menghasilkan cairan empedu sebagai emulsifikator lemak yang berperan penting dalam proses pencernaan makanan sehingga lemak dapat diserap oleh dinding usus (Lagler et al., 1977) dan berfungsi sebagai metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Affandi dan Tang, 2002). Kerusakan jaringan hati, ginjal dan empedu pada kontrol positif mengakibatkan ikan bertambah sakit serta kehilangan nafsu makan sehingga menyebabkan berat badan menurun. Jika kesehatan tubuh ikan uji menurun maka ikan akan mengalami stres sehingga menurunkan kemampuannya untuk mempertahankan diri dari serangan penyakit. Stres dapat mengganggu sistem imunitas yang berdampak negatif pada pertumbuhan
Berbeda dengan perlakuan kontrol positif, ikan lele perlakuan pencegahan dan pengobatan menunjukkan kenaikan bobot tubuh rata-rata yang relatif tinggi yaitu masing-masing sebesar 8.31 % dan 3.24 %. Kenaikan bobot tubuh ikan uji diduga karena adanya penyembuhan organ hati yang berlangsung cepat sehingga proses metabolisme dapat berjalan baik dan adanya penyembuhan organ ginjal dan limpa sebagai jaringan limfomieloid penghasil respon immun ikan.
Respon makan ikan pencegahan yang sangat baik sebelum infeksi dan cepat pulihnya nafsu makan ikan pencegahan pada hari ke 4 dan ikan pengobatan pada hari ke 6 pasca infeksi sehingga ikan uji mampu memenuhi nutrien untuk pertumbuhan dan metabolisme. Menurut Zairin (2003), selama ini hormon tiroid dianggap berperan penting pada proses pertumbuhan dan meningkatkan pengaruh hormon anabolik terutama somatotropin, memfasilitasi pelepasan somatotropin dan meningkatkan pengambilan pakan (food intake), namun hormon tiroid telah diketahui mampu memberi aksi imunomodulatori pada ikan. Kandungan senyawa flavonoid daun paci-paci juga diketahui mampu berfungsi sebagai kontrol hormon pada pertumbuhan (Robinson, 1991 dalam Rahman, 2003). Mekanisme flavonoid sebagai kontrol hormon pada pertumbuhan diduga berhubungan dengan kemampuannya merangsang kelenjar prosimal pars distalis mensekresi hormon pertumbuhan (somatotropin). Menurut Zairin (2003) hormon somatotropin mampu merangsang pertumbuhan dan metabolisme, meningkatkan respon makan, mencegah kerusakan hati dan terbukti memiliki sifat imunostimulatori pada sel-sel imuno kompeten serta meningkatkan aktivitas makrofag dan aktivitas hemolitik pada serum ikan.
4.2.3 Mortalitas
Pengamatan terhadap mortalitas ikan uji perlakuan pencegahan (23.33 %) dan pengobatan (50.00 %) setelah dilakukan uji tantang dengan bakteri A. hydrophila lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif (56.67 %). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak paci-paci, sebelum dan sesudah uji tantang mampu meningkatkan ketahanan tubuh ikan uji dengan menghambat infeksi penyakit MAS yang disebabkan bakteri A. hydrophila (Gambar 6 dan Lampiran 16).
Pada perlakuan pengobatan menunjukkan mortalitas sebesar 50.00 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikan dalam kondisi sakit yang diberi pengobatan melalui injeksi dapat menyebabkan ikan menjadi stres sehingga kondisi tubuh ikan semakin melemah. Dalam upaya pemulihan diri dari keadaan stres, ikan akan memproduksi kortisol (Fletcher, 1986 dalam Affandi dan Tang, 2002). Namun, untuk jangka panjang kadar kortisol yang tinggi akan berdampak negatif terhadap kesehatan
ikan. Anderson et al. (1982) dalam Affandi dan Tang (2002) menyatakan bahwa kortisol adalah hormon yang diketahui mempunyai efek menekan terbentuknya tanggap kebal ikan, kondisi ini pada akhirnya akan menyebabkan ikan semakin lemah. Kortisol menekan kemampuan leukosit untuk membentuk antibodi (Zairin, 2003). Hal ini terlihat sampai hari ke 3 ikan nampak berenang lemah.
Umumnya kematian ikan uji karena kelainan klinis berupa tukak, namun beberapa ikan uji juga mengalami kematian karena radang, hemoragi dan nekrosis (Lampiran 17, 18 dan 19). Hal ini menurut Angka et al. (2000) karena A. hydrophila menghasilkan produk yang bersifat toksin sehingga menyebabkan darah mengalami hemolisis, kemungkinan hemolisis ini yang menyebabkan kematian walaupun kelainan klinis yang terlihat dari luar karena peradangan. Bila telah terjadi infeksi A.
hydrophila maka pertumbuhan bakteri di dalam tubuh ikan berlangsung sangat cepat
dan produk toksin yang dihasilkan dapat menyebabkan kerusakan yang tidak pulih sehingga menyebabkan kematian pada ikan uji (Brenden dan Huizinga, 1986).
4.2.4 Gejala Klinis
Sebelum ikan uji mengalami kematian, umummnya memperlihatkan gejala-gejala yang tidak normal seperti ditemukan kelainan tukak dengan diameter luka yang luas, sirip berdiri dan sebagian tercabik, mata menonjol (eksopthalmia), mengalami hiperemia yang parah pada sirip anal, sirip perut, sirip punggung, sirip dada, sirip ekor, sungut dan bibir, perut membesar, bergerak lambat, diam di dasar, kolom atau mengapung di permukaan air, kadang-kadang berenang dengan posisi tubuh vertikal atau pada posisi yang abdominal mengarah ke atas.
Kelainan klinis yang muncul setelah diinfeksi bakteri A. hydrophila umumnya ikan lele mengalami hiperemia (Lampiran 32), radang, hemoragi, nekrosis dan tukak. Perubahan yang pertama kali ditemukan pada semua ikan uji setelah diinfeksi A.
hydrophila adalah gejala hiperemia pada sirip anal, sirip perut, sirip punggung, sirip
dada, sirip ekor, bibir dan sungut. Hiperemia menurut Himawan (1994) adalah pembendungan atau suatu keadaan yang disertai dengan meningkatnya volume darah dan pembuluh yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Sedangkan menurut
Runnels et al. (1965), hiperemia adalah kenaikan jumlah darah dari sistem sirkulasi dan timbulnya hiperemia merupakan mekanisme tubuh untuk menambah nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan jaringan tubuh bila laju metabolisme meningkat saat tubuh mengadakan perlawanan terhadap antigen yang masuk setelah infeksi. Hiperemia muncul akibat adanya gangguan fisika, kimia, panas, virus, bakteri dan parasit yang akan akan bekerja pada dinding pembuluh mengakibatkan pelebaran dari arteri di tempat tertentu. Gejala hiperemia yang muncul pada jam ke 6 setelah penyuntikan dengan bakteri A. hydrophila, mungkin juga disebabkan seringnya ikan tersebut diamati sehingga menimbulkan stres pada ikan. Afrianto dan Liviawati (1992) menyatakan bahwa penanganan yang kurang cermat dapat menimbulkan gangguan (stres) pada ikan.
Pada ikan uji perlakuan kontrol positif, cepatnya infeksi seperti radang, hemoragi, nekrosis dan tukak serta waktu penyembuhan yang lebih lambat (Lampiran 17), mungkin karena rusaknya jaringan limfomieloid sehingga ikan uji tidak mampu meningkatkan mekanisme respon imunitasnya, baik seluler maupun humoral. Infeksi
A. hydrophila berkembang cepat dalam waktu 24 jam setelah infeksi, sehingga
pertahanan awal yang baik sangat penting untuk mencegah serangan infeksi penyakit. Hal ini terlihat pada ikan lele pencegahan, pemberian imunostimulan ekstrak paci-paci selain dapat mengurangi tingkat gejala klinis setelah penyuntikan A. hydrophila juga mengalami infeksi radang, hemoragi, nekrosis dan tukak yang berlangsung lebih lambat serta waktu penyembuhan yang lebih cepat (Lampiran 18) sedangkan pada perlakuan pengobatan yang diberikan ekstrak paci-paci pada jam ke 18 setelah terinfeksi bakteri A. hydrophila mampu mengurangi tingkat gejala klinis dan mempercepat proses penyembuhan tukak (Lampiran 19).
Pemberian imunostimulan paci-paci dosis 4 g/100 ml pada perlakuan pencegahan dan dosis 8 g/100 ml pada perlakuan pengobatan yang disuntikkan secara intramuskuler sebanyak 0.1 ml/ekor, diduga mampu meningkatkan produk jaringan limfomieloid untuk menghasilkan sek-sel darah dan meningkatkan respon imunitas ikan terhadap serangan patogen. Alifuddin (1999) menyatakan bahwa imunostimulan merupakan senyawa kimia, obat atau bahan lainnya yang mampu meningkatkan
mekanisme respon imunitas ikan, baik seluler maupun humoral. Jaringan limfomieloid ikan teleost adalah limpa, timus dan ginjal depan yang mampu membentuk respon immun (alamiah dan adaptif) dan sel-sel darah (Alifuddin, 1999; Affandi dan Tang 2002). Sistem immunitas diperlukan untuk proteksi terhadap serangan patogen seperti virus, bakteri, cendawan dan parasit dengan demikian kondisi fisiologis homeostasi tubuh tetap terkendali (Anderson, 1990 dalam Affandi dan Tang, 2002), meningkatkan hemostasis dan pembekuan darah untuk mencegah kehilangan darah bila sel darah pecah (Fujaya, 2002).
Daerah suntikan pada tubuh bagian kiri nampak mengalami kelainan klinis berupa radang yang mulai terlihat pada jam ke 6 dan terus berlangsung sampai jam ke 12. Menurut Affandi dan Tang (2002) reaksi peradangan juga dapat terjadi di sekitar situs masuknya patogen, dalam hal ini komponen lainnya yang berperan dalam proses pertahanan seluler seperti leukosit akan membanjiri situs untuk menyingkirkan bahan asing atau mikroorganisme patogen. Selanjutnya Nabib dan Pasaribu (1989) menyatakan bahwa reaksi peradangan adalah reaksi lokal yang memberikan perlindungan non spesifik dengan membatasi daerah infeksi. Reaksi peradangan ini non spesifik dalam arti reaksi peradangan bisa terjadi karena stres dan kerusakan yang disebabkan oleh bakteri, zat-zat kimia maupun oleh racun.
Reaksi peradangan yang terjadi pada ikan uji akan berkembang menjadi hemoragi, nekrosis kemudian menjadi tukak. Kabata (1985) menyatakan bahwa gejala klinis awal ikan lele yang terinfeksi A. hydrophila adalah kulit kering dan kasar, lepuh dan kulit berwarna pucat. Selanjutnya ikan akan kehilangan nafsu makan, lepuh pecah sehingga timbul tukak, erosi tukak menyebabkan tampaknya tulang ikan, akibatnya metabolisme ikan terganggu. Kelainan hemoragi pada ikan uji terjadi pada jam ke 18 setelah infeksi bakteri A. hydrophila. Hemoragi adalah pendarahan atau keluarnya darah dari batas sistem kardiovaskuler dan keluarnya darah yang sebenarnya dari tubuh (Fauzan Fabian, 1997). Runnels et al. (1965) menyatakan bahwa hemoragi terjadi karena bakteri dapat masuk dan menempel pada dinding pembuluh darah serta merusaknya sehingga pembuluh darah pecah dan darah keluar.
Bakteri A. hydrophila bersifat patogen karena memproduksi racun endotoksin dan infeksi bakteri ini dapat menyebabkan nekrosis (Brenden dan Huizinga, 1986). Perkembangan hemoragi menjadi nekrosis pada ikan uji terjadi pada jam ke 21, terlihat berwarna putih, dikelilingi oleh zona berwarna merah dan lebih rapuh. Menurut Snieszko dan Alexrod (1971), bakteri A. hydrophila ini berkumpul pada pembuluh darah, kemudian keluar ke jaringan urat daging, lalu berkembang biak membentuk suatu pembengkakan yang berisi bakteri, darah dan jaringan yang mengalami nekrosis. Kematian lokal jaringan pada daerah sekitar suntikan terlihat mempunyai batas yang jelas dari daerah sekitarnya dan nampak mengalami koagulasi biasanya berwarna putih, keabu-abuan, kuning atau jingga, dikelilingi zona berwarna merah yang merupakan reaksi radang serta bagian otot yang mati lebih rapuh.
Menurut Supriyadi dan Taufik (1981), infeksi secara intramuskuler akan menunjukkan gejala yang tampak dari luar berupa luka pada kulit yang akan menembus ke daerah daging. Angka (1981) menyatakan bahwa kelainan nekrosis merupakan awal dari gejala furunculosis berupa lepuh, yang dalam kondisi akut akibat infeksi menyebabkan bakteri terdapat dalam darah, semua jaringan dan luka. Lepuh terjadi karena membengkaknya rongga visceral oleh cairan (Kabata, 1985). Hilangnya jaringan karena nekrosis dapat juga disebabkan oleh toksin atau oleh penyumbatan kapiler akibat radang (Himawan, 1994).
Huizinga et al. (1979) dalam Cipriano et al. (1984) menyatakan bahwa gejala kronis infeksi A. hydrophila dicirikan oleh timbulnya tukak. Pada hari ke 1 pasca infeksi, nekrosis pecah disertai pendarahan yang kemudian menjadi tukak dengan tepi yang tidak rata. Terjadinya tukak karena kematian sel-sel luar lebih cepat dari pada regenerasi dan pergantian sel baru (Runnels et al., 1965). Infeksi A. hydrophila menghasilkan toksin yang dapat merusak jaringan kulit (Oliver et al., 1989 dalam Cipriano et al., 1984). Pada jaringan kulit inilah tempat infeksi pertama terjadi sebelum bakteri menyebar diseluruh jaringan yang lain.
Pemberian ekstrak paci-paci pada perlakuan pencegahan dan pengobatan diduga mampu menstimulasi organ limfomieloid untuk meningkatkan upaya proteksi terhadap infeksi, meningkatkan hemostasis saat terjadi luka, menjaga fisiologi
homeostasi tubuh agar tetap stabil, mempercepat pemulihan organ dalam dan mempercepat pulihnya respon makan ikan uji. Respon makan pada ikan uji menjadi faktor yang sangat menunjang proses penyembuhan karena ikan uji yang respon makannya baik maka penyembuhan pun semakin cepat. Hal ini terkait dengan asupan nutrisi yang tercukupi sehingga ikan patin memiliki cukup energi untuk proses penyembuhan. Respon makan pasca infeksi pada perlakuan pencegahan mulai normal pada hari ke 4 dan perlakuan pengobatan respon makan mulai normal pada hari ke 6 sehingga proses penyembuhan berlangsung lebih cepat ditandai dengan mengecilnya diameter tukak dan berwarna kecoklat-coklatan. Sedangkan pada ikan kontrol positif respon makannya mulai normal pada hari ke 12 sehingga proses penyembuhannya berlangsung lebih lambat, hal ini terlihat pada hari ke 7 tukak masih mengalami pendarahan dan pada akhir pengamatan hari ke 14 ikan uji yang bertahan hidup masih mengalami proses penyembuhan tukak.
Pada gambar skor rata-rata gejala klinis tampak perlakuan pencegahan mengalami gejala klinis yang lebih ringan dan proses penyembuhan yang lebih cepat dibanding perlakuan lainnya (Gambar 13 dan Lampiran 17, 18, 19, 20). Gejala klinis kontrol positif memuncak pada hari ke 3, sedangkan pada perlakuan pencegahan dan pengobatan gejala klinis memuncak sampai hari ke 2 setelah penyuntikan bakteri A.
hydrophila. Ikan uji perlakuan pencegahan dan pengobatan mulai mengalami
penyembuhan gejala klinis pada hari ke 3 dan terus berlangsung lebih cepat sampai akhir pengamatan hari ke 14 jika dibandingkan dengan ikan uji kontrol positif
Penyembuhan yang cepat dengan tingkat gejala klinis yang lebih ringan pada ikan uji pencegahan dan pengobatan disebabkan adanya kandungan bahan aktif dari ekstrak paci-paci yang mampu meningkatkan aktivitas sel pertahanan seluler ataupun humoral. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun dan akar paci-paci yaitu minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin (Anonimous, 2005a), alkaloid (Anonimous, 2006a) dan metanol (Mukherjee et al.,1997a).
Menurut Hasim (2003) kemampuan antibakteri minyak atisiri disebabkan oleh senyawa fenol dan turunannya yang mampu mendenaturasi protein sel bakteri. Heyne (1987) dalam Hasim (2003) menyebutkan salah satu senyawa turunan itu adalah
kavikol yang memiliki daya bakterisidal lima kali lebih kuat dibandingkan dengan fenol. Hasil uji in vitro menunjukkan aktivitas dari minyak atsiri sebagai antibakteri ditandai dengan zona hambatan yang tidak lagi ditumbuhi bakteri. Hasil penelitian Hasim (2003) menunjukkan sifat antibakteri minyak atsiri lebih efektif karena memiliki zona hambatan lebih besar dan bersifat bakterisidal. Senyawa lain seperti katekol yang memiliki dua grup hidroksil dan pirogalol yang memiliki tiga grup hidroksil adalah fenol terhidroksilasi yang bersifat toksik terhadap mikroorganisme. Sisi dan jumlah grup hidroksil pada senyawa fenol diduga memiliki hubungan dengan toksisitas relatif terhadap mikroorganisme, dengan bukti bahwa hidroksilasi yang meningkat menyebabkan toksistas yang meningkat pula (Naim, 2004). Minyak atsiri paci-paci diketahui mengandung komponen utama sitronelol (Lestari, 1989 dalam Widowati et al., 1995). Minyak atsiri dengan komponen utama sitronelol dan geraniol diketahui bersifat antiseptik dan antibakteri (Anonimous, 2005b).
Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka (Anonimous, 2007a), bersifat antibakteri dan antioksidan (Angka et al., 2004b; Anonimous, 2007a), mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan benda asing lebih cepat dihasilkan dan sistem limfe lebih cepat diaktifkan (Angka et al., 2004b). Flavonoid memiliki aktivitas antimikroba yang bersifat lipofilik sehingga mampu merusak membran mikroba dan mereduksi infektivitas (Naim, 2004). Flavonoid bersifat insektisidal dan fungisidal dan merupakan metabolit sekunder tanaman yang juga berfungsi sebagai kontrol hormon pada pertumbuhan (Robinson, 1991 dalam Rahman, 2003).
Aktivitas fisiologik seperti stimulasi sel-sel fagositik, host-mediated tumor
activity dan sejumlah aktivitas antiinfektif telah ditetapkan untuk tannin. Salah satu
aksi molekul tannin adalah membentuk kompleks dengan protein melalui kekuatan non spesifik seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik sebagaimana pembentukan ikatan kovalen. Mekanisme kerja antimikrobial tannin mungkin berhubungan dengan kemampuan untuk menginaktivasi adhesin mikroba, enzim dan protein transport cell envelope serta mampu membentuk kompleks dengan polisakarida (Naim, 2004).
Alkaloid mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Zat ini akan dibawa aliran darah menuju sel-sel tubuh. Hasilnya, sel-sel itu menjadi lebih aktif, sehat dan terjadi perbaikan-perbaikan struktur maupun fungsi (Anonimous, 2006b). Alkaloid memiliki aktivitas antimikroba sehingga efektif membunuh bakteri dan virus (Naim, 2004) dan bersifat detoksifikasi yang mampu menetralisir racun sedangkan kandungan saponin bermanfaat sebagai antibakteri, antivirus dan mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Anonimous, 2006a). Kandungan metanol tanaman paci-paci (Mukherjee et al., 1997a) diketahui bersifat sebagai antioksidan, antiinflamasi, analgesik dan insektisida (Fachriyah et al., 2007). Metanol adalah salah satu senyawa umum terpenoid yang diketahui bersifat aktif membunuh bakteri, fungi, virus, dan protozoa (Naim, 2004).