• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lillâh-Billâh a Lillâh

Dalam dokumen TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah (Halaman 187-196)

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

G. Panca-Ajaran Pokok Wahidiyah

1. Lillâh-Billâh a Lillâh

Pengertian lillâh adalah melaksanakan segala amal perbuatan seraya disertai niat beribadah kepada Allah dengan ikhlas tanpa pamrih, baik pamrih duniawi maupun ukhrawi. Dengan menyertakan niat tersebut (di dalam hati) maka perbuatan yang kita lakukan akan ter- catat sebagai amal ibadah. Dengan demikian, hal itu juga sesuai dengan kehendak Allah yang digariskan dalam QS. adz-Dzariyat ayat 56. Perlu ditegaskan pula bahwa perbuatan yang boleh dan bahkan harus disertai niat ibadah lillâh terbatas hanya pada perbuatan yang tidak terlarang (tidak melanggar syari’at). Adapun perbuatan yang melanggar syari’at atau undang-undang, yang tidak diridhai oleh Allah, atau yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, hal itu sama sekali tidak boleh disertai dengan niat ibadah lillah (karena Allah). Dalam hal ini, penerapan niat ibadah karena Allah dilakukan pada saat menjauhi atau meninggalkan sesuatu yang memang melanggar syari’at (dilarang oleh Allah). Ini berarti bahwa meninggalkan per- buatan yang melanggar syariat agar bisa bernilai ibadah juga harus diniati dalam rangka menjalankan perintah Allah.

Dengan demikian, secara lebih jelas, ketika kita menjalankan shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, mem- baca Al-Qur’an, berzikir, membaca shalawat, dan amal (aktivitas) yang lain supaya disertai niat yang ikhlas untuk beribadah mencari ke- ridhaan Allah, seperti ungkapan kita dalam shalat: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah Rabb al- ‘âlamîn”. Ini juga sesuai dengan kandungan ayat yang sering kita baca dalam shalat: Iyyaka Na’budu (hanya kepada Engkaulah kami meng- abdikan diri). Dengan demikian, orang yang mampu menerapkan hal-hal tersebut dapat dikatakan hatinya senantiasa ber-tahlîl: La Ilaha Illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah).

Dalam Wahidiyah, ajaran pokok ini diasah secara intensif dengan memperbanyak mujahadah, di samping juga melatih hati secara terus- menerus dengan niat melakukan ibadah secara ikhlas. Mujahadah secara intensif dibangun ke arah kemajuan dan peningkatan dalam hal beribadah kepada Allah dengan niat ikhlas. Dalam hal ini, firman Allah berikut ini penting untuk diperhatikan:

Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah (beribadah) kepada Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata kerena (menjalankan) agama, dan supaya mereka menjalankan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang benar (QS. Al- Bayyinah [98]: 5).

D alam Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI diterangkan bahwa yang dimaksud “men- jalankan agama dengan lurus” adalah terbebas dari syirikdan ke- sesatan. Untuk menyelamatkan diri dari bahaya syirik dan kesesatan, ajaran Wahidiyah memberikan bimbingan praktis, yaitu penerapan konsep billâh sebagaimana penjelasan berikut ini.

b. Billâh

Term billâh mengandung makna bahwa di dalam segala per- buatan dan gerak-gerik lahir maupun batin, di mana pun dan kapan pun, hati senantiasa merasa dan berkeyakinan bahwa yang mencipta- Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

kan dan menitahkan itu semua adalah Allah Sang Maha Pencipta. Kita dilarang mengaku atau merasa mempunyai kekuatan dan ke- mampuan sendiri tanpa dititahkan oleh Allah. Dengan demikian, billah boleh dikatakan merupakan perwujudan dari ungkapan: La haula wa la quwwata illa billah (tiada daya dan kekuatan melainkan atas titah Allah) dan penerapan firman Allah: “Dan Allah-lah yang menciptakan kamu sekalian dan apa saja yang kamu sekalian per- buat” (Q S. Ashl-Shaffat [37]: 96); serta firman Allah: “Dan kamu sekalian tidak dapat menghendaki (tidak dapat berkehendak menempuh jalan yang lurus) melainkan apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam” (Q S. At-Takwir [81]: 29).

Atas dasar itu semua, di dalam kita melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, diam, berangan-angan, dan berpikir hendak- nya hati selalu sadar dan merasa bahwa semua yang menggerakkan dan menitahkan adalah Allah. Perasaan atau sadar billâh harus me- rasuk di dalam hati. Tidak cukup hanya di dalam pikiran, bukan sekadar pengertian ilmiah saja.

Nilai penting sadar billah juga diungkapkan oleh Syaikh Abul Hasan asy-Syadzali, ghauts az-zamanih (seorang ghauts pada zaman- nya). Dia menyatakan: “Barang siapa tidak mencicipi ilmuku ini (sadar billâh) maka dia tetap membawa dosa besar sekalipun betapa banyak amal ibadahnya65 dan dia tidak menyadarinya.”

Penerapan niat ikhlas karena Allah (lillâh) sekaligus memuncul- kan kesadaran bahwa segala sesuatu ada karena kehendak Allah (billâh) dalam setiap perbuatan dilakukan dalam rangka untuk mengarahkan nafsu agar bisa ikhlas. Nafsu sendiri mempunyai ciri khas, yaitu pamrih. Dengan kata lain, sifat pamrih dari nafsu ini harus diarahkan dengan sistem penerapan niat ikhlas dan kesadaran. Sebab, jika sifat pamrih itu dibiarkan saja dan tidak diarahkan maka ia akan makin menjadi-jadi dan bercokol di dalam hati. Sifat itu semakin lama se- makin tebal, semakin besar, dan semakin kokoh. Dari situ kemudian 65 Ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah lahir

muncul darinya “kerajaan” di dalam hati, yaitu “kerajaan anâniyah” atau rasa ke-Aku-an (egosentris); rasa Aku yang berusaha, Aku yang mengerjakan, Aku yang berkuasa, Aku yang menentukan; kalau tidak karena Aku … , dan seterusnya.

Orang yang hatinya sudah dijajah oleh nafsu seperti itu akan menjadikan segala langkah dan amal perbuatannya disetir oleh hawa nafsunya, dan diarahkan pada apa yang menjadi kepuasan nafsu. Segala amal, tindakan, dan perbuatannya semata-mata hanya untuk menuruti kemauan nafsunya tanpa memandang benar atau salah, tidak perduli yang hak atau batil, dan tidak perduli terhadap orang lain, sekalipun orang lain menderita. Padahal tindakan yang hanya didasarkan pada nafsu hanya akan menjerumuskan pelakunya pada kehancuran, kebinasaan, dan kesengsaraan.

Pada umumnya, orang yang bertindak atas dasar nafsu tidak akan pernah sadar hingga ia mengalami kesengsaraan dan kehancuran. Setelah hancur dan sengsara, dia baru merasa bahwa tindakannya telah diombang-ambingkan oleh nafsunya sendiri. Jika mendapat pertolongan dari Allah maka dia baru menyadari dosa dan perbuat- annya, dan kemudian bertobat. Akan tetapi, jika tidak memeroleh pertolongan Allah, niscaya dia akan senantiasa dalam kesengsaraan dan kegelapan yang merongrong jiwanya. Dalam situasi seperti ini, beruntunglah orang yang menyadari kesalahannya dan kemudian menyesali dan bertobat. Sebab, jika dia tidak mendapat petunjuk dari Allah niscaya dia akan senantiasa berada dalam kesesatan seumur hidup dan di akhirat nanti akan menyesali segala apa yang telah dilakukannya di dunia. Padahal penyesalan di akhirat tidak lagi ber- makna, tidak ada kesempatan untuk memperbaiki diri karena pintu tobat sudah tertutup dan dia akan merasakan kepedihan siksa yang dahsyat selama-lamanya. Oleh karena itu, selagi masih ada kesempatan di dunia ini, kita harus berusaha untuk membebaskan diri kita dari belenggu nafsu dan berperang melawan nafsu.

Jihad melawan nafsu(jihâd an-nafs) merupakan perjuangan yang teramat berat. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa sekembalinya Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

pasukan Islam dari suatu peperangan yang berat dan menelan banyak korban, Rasulullah bersabda: “Kita baru kembali dari perang kecil dan akan menghadapi perang yang lebih besar”. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, perang besar yang mana lagi?” Rasulullah menjawab: “jihâd an-nafs (perang melawan hawa nafsu)” (HR. Baihaqi).

Dengan demikian, setiap manusia memang harus berjuang keras (berperang) melawan hawa nafsu. Hal ini memang berat. Namun demikian, setiap orang yang menginginkan keselamatan dan kebaha- giaan hidup di dunia dan akhirat maka dia harus mau melakukannya. Jika tidak, dia akan dikuasai dan menjadi budak nafsu. Nafsu harus dikuasai dan diarahkan oleh manusia, bukan sebaliknya, manusia yang dikuasai dan dikendalikan oleh hawa nafsunya.

Cara yang paling praktis dan tanpa risiko untuk menguasai dan mengarahkan nafsu ialah dengan menerapkan sikap sadar billâh secara terus-menerus di samping niat lillâh dalam perbuatan, sambil me- mupuk kesadaran dengan mujahadah. Sadar billâh adalah masalah paling pokok yang akan menentukan bahagia atau tidaknya seorang manusia. Sikap sadar billah ini memang bukan sesuatu yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Sebab, jika seseorang me- mang sungguh-sungguh berusaha untuk sadar billah niscaya Allah akan memberikan jalan untuknya. Hal ini sesuai dengan firman- Nya: “Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) dalam menuju kepada Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan- jalan Kami” (Q S. Al-Ankabut [29]: 69).

Lebih jauh, ibadah yang tidak disertai dengan niat ikhlas karena Allah tidak akan diterima oleh-Nya. Lebih berat lagi jika ketidak- ikhlasan itu disertai dengan pengakuan pelakunya bahwa ia merasa mempunyai kemampuan sendiri. Merasa mampu menjalankan ibadah. Tidak menyadari bahwa kemampuannya melakukan ibadah adalah karena mendapat keutamaan (fadhal) dan pertolongan dari Allah. Orang seperti itu berarti telah terjangkiti sifat ujub, riya, dan takabur sekalipun dalam kadar yang sangat halus.

Apabila rasa seperti itu diperlihatkan kepada orang lain, dengan lisan maupun tindakan, lebih-lebih dengan kedua-duanya maka ia sudah terjangkiti penyakit riya, dan apabila merasa dirinya lebih baik daripada orang lain maka ia telah besikap takabur.

Ujub, riya, dan takabur adalah bagian dari penyakit hati dan kesemuanya merupakan penyebab hancurnya amal ibadah. Jika hati disusupi sifat-sifat ini, ibadah yang pada mulanya dilakukan sebagai wujud ketundukan terhadap Allah pada akhirnya dilakukan hanya untuk menampakkan ego pelakunya. Dengan perilaku seperti itu, seseorang berarti telah mempersekutukan Allah secara halus (syirik khafi). Sedemikian halusnya syirik jenis ini, sampai-sampai pelakunya sendiri tidak menyadarinya. Dosa syirik, sekalipun khafi, akibatnya sangatlah berat. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak memberi ampun jika dipersekutukan dan Allah mengampuni dosa-dosa selain dosa syirik bagi orang yang Dia kehendaki; dan siapa menyekutukan Allah maka sungguh ia telah melakukan dosa besar” (Q S. An-Nisa [4]: 48).

Berat sekali akibat dan siksa bagi dosa syirik. Nabi Muhammad dan juga para nabi serta para rasul sebelumnya, yang menjadi kekasih Allah dan dijamin terpelihara dari dosa (ma’shûm), juga diberi peringatan oleh Allah tentang bahaya syirik. Allah berfirman: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang (nabi- nabi) sebelum engkau, jika engkau melakukan syirik pasti amal-amal- mu menjadi lebur, dan (oleh karenanya) engkau termasuk golongan orang-orang yang mengalami kerugian besar” (Q S. Az-Zumar [39]: 6 5 ).

Begitu beratnya ancaman Allah terhadap orang yang melakukan syirik, meskipun syirik khafi. Amal perbuatan yang baik tidak akan berarti apa-apa jika di dalam hatinya terdapat syirik walaupun sedikit dan samar. Oleh karena itu, mujâhadah an-nafs perlu senantiasa di- tingkatkan di dalam setiap gerak dan laku, yakni dengan terus- menerus melatih hati dan tidak berhenti karena merasa sudah mampu melaksanakan ajaran lillah-billah. Dalam hal ini, ketika kita telah Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

mampu menerapkan ajaran lillâh-billâh, kita juga harus merasa bahwa hal itu terjadi atas kehendak Allah (billâh)—bukan atas kehendak dan kemampuan kita sendiri. Kesadaran akan hal itu berlaku seterusnya. KH. Abdoel Madjid Ma’roef menganjurkan kepada pengamal Wahidiyah agar memperbanyak membaca: Ya sayyidi ya Rasulallah di setiap kesempatan: kapan pun dan di mana pun kita berada, di sam- ping mujahadah Wahidiyah pada waktu-waktu tertentu. Jika nidak ya sayyidi ya Rasulallah itu dibaca secara rutin, baik dengan lisan maupun hanya dalam batin sesuai dengan situasi dan kondisi maka InsyaAllah akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi hati untuk bisa menerapkan lillâh-billâh.

Secara komparatif, sebenarnya ada perbedaan di dalam menerap- kan konsep lillah-billah. Penerapan lillâh terbatas pada hal-hal yang tidak dilarang oleh syari’at. Perbuatan atau tindakan yang dilarang oleh syari’at, baik perbuatan lahir maupun perbuatan batin, sama sekali tidak boleh disertai niat karena Allah. Adapun kesadaran billâh itu bersifat mutlak, tidak terbatas, dan menyeluruh; dalam segala ke- adaan, situasi, dan kondisi. Dalam segala tingkah laku, baik lahir maupun batin, dan tidak membeda-bedakan taat atau maksiat. Sekali- pun di dalam keadaan maksiat, baik yang tidak disengaja ataupun yang disengaja, harus disertai kesadaran billâh; bahwa tiada daya dan kekuatan melainkan atas titah Allah. Dalam Al-Qur’an juga di- jelaskan bahwa: “Katakanlah (wahai Muhammad) segala sesuatu itu datang dari Allah”(Q S. An-Nisak [4]: 78).

Menurut ajaran Wahidiyah, orang yang melakukan maksiat dan tidak merasa billâh maka dosanya menjadi berlipat. Pertama, dosa karena berbuat maksiat itu sendiri, yakni melanggar syari’at, dan kedua, dosa karena tidak sadar billâh. Dosa yang kedua ini justru lebih berat sebab termasuk dosa syirik, sekalipun syirik khafi (syiriksecara samar). Akan tetapi harus diingat bahwa hal tersebut tidak boleh diartikan bahwa seseorang diperbolehkan melakukan maksiat asal sudah bisa sadar billâh. Persoalan boleh atau tidaknya melakukan maksiat, hal itu masuk wilayah syari’at (bidang lillâh). Sedang billâh adalah bidang

iman (tauhid). Setiap orang harus mengisi seluruh wilayah, baik syari’at maupun tauhid, secara baik dan total. Di dalam bidang syari’at, tindakan maksiat tetap dianggap sebagai maksiat sehingga harus di- cegah dan dihindari sekuat mungkin. Apabila seseorang terpaksa menjalankan maksiat maka harus diakui bahwa tindakan tersebut adalah terlarang, dan pelakunya harus segera bertobat. Ketika sese- orang menghindarkan diri dari maksiat dan bertobat maka hal itu juga harus disertai dengan niat lillâh di samping juga harus sadar billâh. Sebab, siapa saja yang melakukan maksiat dalam keadaan sadar billâh dan dia tidak segera meninggalkannya dengan didasari oleh sikap lillâh maka hal itu dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap Allah.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpa dirimu adalah dari kesalahan dirimu sendiri”(Q S. An-Nisa [4]: 79). Ayat ini adalah contoh bagimana mengisi bidang syari’at dan bidang adab. Apa yang dirasakan baik maka harus disadari bahwa itu merupakan pemberian dari Allah, kemudian meningkatkan syukur kepada-Nya. Sementara apa yang dirasa tidak baik maka harus diakui dengan jujur bahwa itu adalah akibat perbuatan dan kesalahan (dosa-dosa) pelaku- nya sendiri. Dia harus secepatnya bertobat, memohon ampunan, dan memperbaiki hal-hal yang kurang baik.

c. Lillâh-Billâh

Semua orang yang beragama, apa pun agamanya, sama-sama dikaruniai kemampuan oleh Allah Tuhan Yang Mahakuasa untuk dapat menerapkan ajaran lillah-billah. Dalam arti bukan dalam suatu ritual keagamaan, melainkan dalam keseragaman sikap hati manusia beragama atau manusia yang beriman kepada Tuhan. Jadi, lillâh- billâh seharusnya menjadi uniform bagi hati setiap manusia yang menyatakan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.

Bagi bangsa Indonesia yang mengakui dan menggunakan falsafah Pancasila sebagai pedoman atau tuntunan hidup, ajaran lillah-billah juga bisa diterapkan. Sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Yang Maha Esa. Oleh karena itu, bangsa Indonesia dituntut untuk bisa menerapkan ajaran lillâh-billâh. Atau jika memakai istilah Pancasila: “untuk Tuhan Yang Maha Esa dan sebab Tuhan Yang Maha Esa”. Ajaran tersebut harus diterapkan di dalam hati setiap bangsa Indonesia dalam segala langkah dan kegiatan hidupnya.

Lillâh = Li Tuhan Yang Maha Esa = Untuk Tuhan Yang Maha Esa Billâh = Bi Tuhan Yang Maha Esa =Sebab Tuhan Yang Maha Esa

Dalam perspektif Wahidiyah, semua elemen bangsa Indonesia diberi kemampuan dapat menerapkan ajaran ini. Semua lapisan masyarakat dipandang mampu menerapkannya. Penerapan lillâh- billâh tidak membutuhkan syarat yang berat, tidak membutuhkan wawasan ilmiah yang rumit, dan juga tidak memerlukan batasan umur, sudah dewasa atau belum dewasa; semuanya diberi kemampuan oleh Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam hal ini, yang penting adalah adanya kemauan sebab siapa saja yang mempunyai kemauan maka dia pasti akan diberi jalan-petunjuk.66

Menurut ajaran Wahidiyah, penjelasan ilmiah atau teoretis konsep lillah-billah sangat mudah untuk dipelajari. Akan tetapi, pene- rapannya perlu perhatian yang khusus dan serius. Penerapan konsep lillah-billah digerakkan dan dituntun oleh petunjuk (hidayah) dari Allah. Hidayah Allah inilah yang akan menentukan keselamatan hidup umat manusia. Jika seseorang mendapat hidayah dari Allah niscaya dia akan selamat dalam menjalani hidup di dunia dan juga akhirat. Akan tetapi sebaliknya, jika seseorang tidak mendapat hidayah dari Allah maka dia tidak memeroleh syafa’at dari Rasulullah sehingga ia akan sukar menerapkan konsep lillah-billah. Oleh karena itu, umat manusia di samping perlu mempelajari ilmu pengetahuan, juga harus berusaha untuk bisa memeroleh hidayah Allah. Adapun salah satu caranya, dalam perspektif Wahidiyah, adalah dengan melakukan mujahadah. Dalam kaitan ini, penting kiranya memerhatikan sabda Rasulullah: 66 Dalam Al-Qur’an ditegaskan: Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di dalam menuju kepada-Ku, pasti Aku tunjukkan berbagai jalan-Ku” (QS. al-Ankabut [29]: 69).

“Barang siapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya maka dia tidak menjadi dekat (kepada Allah), tetapi justru semakin jauh dari-Nya” (HR. Abu Mansur dan ad-Dailami).

2. Lirrasul-Birrasul

Dalam dokumen TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah (Halaman 187-196)