• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Tasawuf di Indonesia

Dalam dokumen TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah (Halaman 108-122)

MEMAHAMI DUNIA TASAWUF

E. Pemikiran Tasawuf di Indonesia

Tentang pemikiran tasawuf di Indonesia, ada hasil penelitian yang berharga untuk diperhatikan sebagai pertimbangan referensi, yakni penelitian M. Solihin dalam bukunya Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara.88

Dalam penelitiannya, M. Solihin menyimpulkan bahwa Is- lam datang pertama kali ke wilayah Aceh. Oleh karena itu, Aceh sekaligus berperanan penting dalam penyebaran tasawuf ke seluruh wilayah Nusantara, termasuk juga ke semenanjung-semenanjung Melayu. Tasawuf yang singgah pertama kali di Aceh memiliki corak falsafi. Tasawuf falsafi ini begitu kuat tersebar dan dianut oleh sebagian masyarakat Aceh, dengan tokoh utama-nya adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Dua tokoh sufi-falsafi ini mempunyai pengaruh cukup besar hingga corak ajaran tasawuf yang diajarkannya tersebar ke daerah-daerah lain di Nusantara.

Kehadiran tasawuf yang bercorak falasafi ini kemudian disusul oleh tasawuf yang bercorak sunni. Kedatangan tasawuf sunni menjadi semacam koreksi terhadap pemahaman tasawuf falsafi yang cen- derung manut pada ajaran-ajaran Ibnu Arabi dan al-Jili atau bahkan al-Hallaj. Dengan kehadiran dua aliran tasawuf yang berbeda haluan ini, menggambarkan bahwa di Indonesia terjadi polemik yang tarik- menarik antara keduanya. Masing-masing mempunyai argumen- argumen yang menguatkan masing-masing aliran Tasawuf tersebut. Meski bagaimanapun, dua aliran tasawuf itu kemudian me- warnai pemahaman-pemahaman tasawuf di seluruh daerah di In- donesia dan semenanjung Melayu lainnya. Munculnya dua tokoh Aceh yang bercorak falsafi di atas kemudian disusul oleh ar-Raniri, Abd Ra’uf al-Sinkili, Abd Shamad al-Palimbani, Wali Songo, Abd Muhyi Pamijahan, Muhammad Aidrus, Syaikh Yusuf al-Makassari. Munculnya tokoh sufi pasca-Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani ini Memahami Dunia Tasawuf

88 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).

lebih menampakkan ajaran tasawuf yang tipikal al-Ghazali. Bahkan, tasawuf yang bernuansa pemahaman al-Ghazali ini kemudian menjadi begitu dominan di Nusantara hingga kini. Demikian juga yang kelihatan cukup menarik, ternyata mereka hadir menyebarkan tasawuf di Indonesia dengan berlatarbelakang tarekat yang dibawa dari guru-guru mereka, baik yang langsung dari sumber-sumber Arab seperti al-Qusyairi, al-Kurani, dan tokoh lainnya, maupun lewat belajar pada ulama-ulama sufi yang sudah ada di Indonesia. O leh karena itulah sering ditemukan sejumlah tarekat yang berkembang di Indonesia, misalnya Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syathariyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah.

Pada sisi lain patut diperhatikan juga bahwa ada dua tokoh lain yang memperkaya khazanah ketasawufan di Indonesia, yakni Ronggowarsito di Jawa Tengah yang bernuansa “Kejawen” dan Haji Hasan Musthafa di Jawa Barat yang bernuansa alam “Pasundan”. Kedua tokoh ini mempunyai pemahaman spiritual yang berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya. Mereka memerlihatkan adanya per- gumulan antara pemikiran tasawuf dengan budaya setempat.

Berdasarkan data-data yang ada, sufi-sufi tersebut di atas cukup memahami ajaran-ajaran wahdah al-wujûd atau wujudiyah milik Ibn Arabi dan ajaran insân kâmil milik al-Jili, dengan basis teori tanazzul dan tajalli. Teori-teori yang terkesan membawa phanteisme ini kemudiann masuk ke Nusantara melalui dua tokoh Aceh seperti yang disebutkan di atas. Teori-teori produk dua tokoh ini semakin kuat pengaruhnya karena ditopang juga oleh Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri (tokoh tasawuf kelahiran India). Ia juga mempunyai pengaruh yang tidak kalah pentingnya dibanding dengan Ibn Arabi dan al-Jili bagi sufi-sufi di Indonesia. Hal ini terutama disebabkan oleh buku Tuhfah karya al-Burhanpuri yang masuk dan dipelajari oleh beberapa sufi di Indonesia. Kemudian konsep wahdah al-wujûd karyaIbn Arabi dan insân kâmil produk al-Jili berpadu dengan Tuhfah milik al-Burhanpuri sehingga melahirkan teori Martabat Tujuh. Teori ini terlihat mewarnai wacana pemikiran-pemikiran sufi Indonesia. Hanya saja, kemudian dapat

dibedakan siapa tokoh yang menganut seutuhnya perpaduan pemikiran Ibn Arabi, al-Jili, dan al-Burhanpuri, serta siapa yang kemudian menolak paham ketiga sufi itu yang banyak diklaim sebagai penganut wujûdiyyah mulhidah.

Teori Martabat Tujuh ternyata berhubungan erat dengan paham tanazzul dan tajalli, dan ini ternyata menjadi fenomena yang banyak dijumpai di Indonesia. Konsep martabat tujuh merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tujuh martabat, yaitu: (1) ahadiyah, (2) wahdah, (3) wâhidiyah, (4) ‘alam arwah, (5) ‘alam mitsal, (6) ‘alam ajsâm, dan (7) ‘alam insân. Para pemerhati martabat tujuh di Pulau Jawa mengenal ungkapan la dudu iku iya iki, sejatine iku iya (bukan itu iya ini, sesungguhnya memang iya), yang artinya bahwa hakikat ini dan itu adalah sama, itu-itu juga. Ungkapan ini dalam istilah Haji Hasan Musthafa dikenal dengan ungkap-annya disebut aing da itu, disebut itu da aing (apabila dikata-kan aku kenyataannya itu; dan apabila dikatakan itu, kenyataannya aku). Atas dasar pemahaman terhadap ungkapan-ungkapan itulah maka banyak tokoh yang mengidentikkan ajaran martabat tujuh dengan wahdah al-wujûd (manunggaling kawula-Gusti).

Kecenderungan kepada paham manung-galingkawula-Gusti itulah yang kemudian ditolak keras oleh para sufi bercorak Sunni di Indonesia, misalnya Nuruddin ar-Raniri dan Sayyid Alawi. Kemudian ada empat tokoh tasawuf yang sedikit berbeda dengan ar-Raniri dan Alawi, yakni Abd Shamad al-Palimbani, Abd Ra’uf as-Sinkli, Muhammad ‘Aidrus, dan Syaikh Yusuf al-Makassari. Keempat sufi ini berpegang teguh pada transendensi Tuhan. Meskipun secara spiritual manusia dapat dekat (qurb) dengan Tuhan, keempat sufi ini berpegangan bahwa proses qurb tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, empat sufi ini lebih moderat dalam pemahaman tentang ajaran wujudiyyah atau martabat tujuh sehingga ada yang menyebut aliran tasawuf mereka ini bercorak neosufisme. Istilah neosufisme ini kelihatan menunjuk pada paham tasawuf yang mengambil jalan tengah, yakni paham yang menafsirkan konsep Memahami Dunia Tasawuf

yang agak “menghebohkan” itu dengan menggunakan analisis dan penafsiran gaya al-Ghazali, al-Junaidi, atau al-Qusyairi, yang tetap membedakan antara manusia dengan Tuhan, yang keduanya tidak mungkin dapat bersatu, kendatipun manusia dapat dekat (qurb) dengan Tuhan lewat ibadah dan pemahaman yang tetap berlandaskan syari’at.

Pemahaman seperti itu kelihatannya lebih tegas dipahami oleh Wali Songo di Pulau Jawa, yang lebih tampak corak sunninya. Gaya- gaya penafsiran mereka ini kelihatan tetap cenderung pada tasawuf sunni. Tasawuf sunni ini cukup memengaruhi, bahkan umumnya dianut di Indonesia sampai sekarang.

Untuk mengetahui secara ringkas pokok-pokok pemikiran dan para tokoh tasawuf di Indonesia, simak tabel berikut ini:88

83

Tabel 6:

Pemikiran Tasawuf di Indonesia

Mema

ham

i Dunia

Ta

Pemikiran tasawuf sebagaimana termuat dalam tabel di depan merupakan hasil pemikiran para tokoh sufi Indonesia. Meskipun ada proses derivasi dari tasawuf falsafi yang masuk ke Indonesia melalui Aceh, ijtihad mereka untuk memproduk pemikiran khas tasawuf di di negeri ini menjadi khazanah tersendiri. Bahkan pemikiran tasawuf mereka dituangkan dalam banyak karya yang menggunakan aneka bahasa (Arab, Inggris, dan daerah). Hal inilah yang membedakannya dengan aliran-aliran pemikiran tasawuf yang ada dan aliran-aliran tarekat di Indonesia yang berusaha mempertahankan corak tasawuf dari sumbernya di Timur Tengah.

3

Wahidiyah dan Fenomena

Dalam dokumen TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah (Halaman 108-122)