• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipologi Tasawuf

MEMAHAMI DUNIA TASAWUF

C. Tasawuf dan Tarekat di Dunia Islam

1. Tipologi Tasawuf

Dalam konsepsi penulis, tipologi tasawuf muncul sebagai akibat dari adanya variasi pendekatan dalam pengalaman ketasawufan di kalangan kaum sufi. Variasi pendekatan itu membentuk karakter- karakter tertentu yang kemudian mengelompok sesuai dengan rum- pun pemahaman dan konsepsinya. Tasawuf itu sendiri mesti terkait dengan dua hal pokok, yakni: (1) kesucian jiwa untuk menghadap Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci, dan (2) upaya pendekatan diri secara individual kepada Tuhan. Dengan demikian, pada intinya, tasawuf adalah usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran Tuhan senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.

Kedua pokok tasawuf itu mengacu pada pesan dalam Al- Qur’an: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) dan dia ingat nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan shalat,”33 dan “Sekali-kali janganlah kamu patuh

kepadanya (setan); sujud dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).”34

Atas dasar kandungan dua ayat tersebut, kaum sufi mencoba untuk lebih berintrospeksi diri daripada memerhatikan orang lain. Semboyan mereka: “Hiasilah dirimu dengan sifat-sifat tercela!” me- ngandung makna bahwa hendaklah manusia senantiasa menyadari noda-noda (dosa-dosa) dirinya, supaya ia tidak berhenti menyuci- kannya.35

Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa tasawuf pada hakikat- nya adalah dimensi yang dalam dan esoteris dari Islam (the inner and esoteric dimension of Islam)yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits serta perilaku Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Adapun syari’at 33 QS. al-A’la [87]: 14–15.

34 QS. al-’Alaq [96]: 19.

35 Lihat Asep Usman Ismail, “Tasawuf”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi

Tematis Dunia Islam, Jld. III, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 305–306.

36 Seyyed Hussein Nasr, Ideal and Realities of Islam, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1966).

adalah dimensi luar (eksoteris) ajaran Islam. Pengamalan kedua di- mensi itu secara seimbang merupakan keharusan bagi setiap muslim, agar di dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadi sempurna lahir dan batin.36

Dalam hal ini, Usman Ismail juga menjelaskan bahwa dengan bertolak dari pandangan kesufian yang menekankan kesucian jiwa, Imam al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.), menempatkan kesucian kalbu sebagai awal perjalanan spiritual kaum sufi. Menurutnya, yang menjadi hakikat manusia ialah qalb (kalbu, hati)-nya. Kalbu yang merupakan zat halus dan bersifat ilahiah itu dapat menangkap hal-hal gaib yang bersifat keruhanian. Dengan kalbu inilah nabi menerima wahyu Ilahi.37 Bagi kaum sufi, kalbu inilah yang menjadi

titik pusat pandangan Tuhan pada diri manusia. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk dan

tubuhmu, tetapi Ia memandang hati dan perbuatanmu.”38

Jika akal dapat memahami adanya Tuhan secara rasional maka kalbu dapat merasakan kehadiran Tuhan, dan bahkan merasakan keintiman bersama-Nya. Ajaran pokok tasawuf ini, oleh kaum sufi dipahami melalui pendekatan yang bervariasi. Variasi pendekatan ini pada gilirannya membentuk karakter-karakter tertentu sehingga melahirkan dua tipe tasawuf, yakni: (a) tasawuf falsafi dan (b) tasa- wuf sunni. Tasawuf sunni ini terbagi ke dalam dua tipe, yaitu: tasawuf akhlaqi dan tasawuf ‘amali. Tasawuf akhaqi dapat disebut secara lengkap dengan tasawuf sunni akhlaqi, sedang tasawuf ‘amali dapat juga disebut tasawuf sunni ‘amali.

a.Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya disusun secara kompleks dan mendalam, dengan bahasa-bahasa simbolik- filosofis. Sesuai dengan namanya, tasawuf falsafi cenderung menon- 37 Usman Ismail, “Tasawuf”, hlm. 306.

38 Abu al-Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Kairo: Dar al-Hadits, 1997 M./1418 H.).

39 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf ..., hlm. 10.

jolkan sifat filosofis di dalamnya. Tokoh-tokohnya, antara lain, Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan al-Jilli. Sedangkan teori- teori yang dilahirkan dari tokoh-tokoh ini adalah teori fanâ‘, baqâ‘, dan ittihâd yang dicetuskan oleh Abu Yazid al-Busthami, teori hulûl yang dipelopori oleh al-Hallaj, teori wahdah al-wujûd yang digagas oleh Ibn Arabi, dan teori insân kâmil yang dirumuskan oleh al- Jilli.39

Lahirnya teori-teori ini disebabkan adanya keyakinan dari kaum sufi falsafi bahwa manusia bisa mengalami “kebersatuan” dengan Tuhan. Oleh karena itu, teori-teori ini pada akhirnya melahirkan paham pantheisme. Teori “kebersatuan” inilah yang ditolak keras oleh kalangan penganut tasawuf sunni, dengan alasan bahwa manusia tidak akan pernah bisa bersatu dengan Tuhan; manusia hanya bisa dekat dengan Tuhan dalam batas-batas syari’at. Dalam pandangan Asmaran, tasawuf falsafi ialah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antaravisi mistis dengan visi rasional. Pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini, dengan sendirinya telah membuat ajarannya bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti ajaran dari Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang karena para tokohnya— meskipun mem- punyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam—tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan status mereka sebagai umat Islam.40

Lebih lanjut Asmaran menjelaskan bahwa ciri umum tasawuf falsafi ialah adanya kesamaran dalam ajarannya, akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang menganut ajaran tasawuf jenis ini.41

Para sufi yang juga filsuf pendiri aliran tasawuf falsafi ini me- ngenal dengan baik filsafat Yunani beserta ajaran dari tokoh-tokoh-

40 Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf ..., hlm. 152–153. 41 Ibid., hlm. 153.

nya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan juga aliran Neo Plato- nisme dengan ajaran filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka juga cukup akrab dengan filsafat yang sering disebut Hermetisisme yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan juga filsafat- filsafat Timur Kuno, baik dari Persia maupun India, di samping tentu saja mereka juga menelaah ajaran filsafat para filsuf muslim sendiri, seperti al-Farabi dan Ibn Sina. Selain itu, mereka juga dipengaruhi oleh paham batiniah sekte Isma’iliyah dari aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan ash-Safa’.

Begitulah para tokoh tasawuf falsafi menguasi berbagai ajaran filsafat, baik dari filsuf Yunani maupun Islam. Selain itu, mereka juga memiliki pemahaman tentang ilmu-ilmu agama Islam, seperti teologi, kalam, fiqh, hadits, dan juga tafsir. Tegasnya, para tokoh tasawuf falsafi bersifat ensiklopedis dan berlatar belakang budaya, pengalaman, dan pendidikan yang bermacam-macam.

Sufi yang beraliran falsafi memandang bahwa manusia mampu naik ke jenjang persatuan dengan Tuhan, yang kemudian disebut dengan ittihâd, hulûl, wahdah al-wujûd, dan isyrâq. Dengan muncul- nya karakteristik tasawuf seperti ini maka pembahasan tasawuf sudah lebih bersifat filosofis, dalam arti pembahasannya telah meluas ke masalah-masalah metafisika, seperti proses kebersatuan manusia dengan Tuhan, yang sekaligus membahas konsep manusia dan Tuhan. Konsep tasawuf tipe ini, yang terpenting adalah: (1) fanâ‘ dan baqâ‘, (2) ittihâd, (3) hulûl, (4) wahdah al-wujûd, dan (5) isyrâq.

(1) Fanâ‘ dan baqâ‘

Secara bahasa, fanâ‘ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada; sementara baqâ‘ berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus (lawan dari fana). Konsep fanâ‘ dan baqâ‘ ini dibawa oleh Abu Yazid al-Busthami. Konsep ini merupakan peningkatan dari konsep ma’rifah dan mahabbah. Irfan Abdul Hamid Fattah mengata- 42 Ifran Abdul Hamid Fattah, Nasy’ah al-Falsafah as-Sufiyah wa Tatawwuruha,

(Beirut: al-Maktab al-Islâmi, 1973), hlm. 169.

kan bahwa dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid di- pandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan wujud” (ittihâd).42 Sebelum seorang sufi memasuki tahap kebersatuan

dengan Tuhan (ittihâd), ia harus terlebih dahulu mampu melenyapkan kesadarannya melalui fanâ‘ dan bahwa pelenyapan kesadaran dalam khazanah sufi senantiasa diiringi dengan baqâ‘.

Dalam kepustakaan tasawuf, fanâ‘ dimaknai sebagai hilangnya perasaan dan kesadaran seseorang di mana ia tidak lagi merasakan apa yang terjadi pada dirinya dan alam di sekitarnya. Abu Yazid al- Busthami, yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi per- tama yang membawa paham fanâ‘ dan baqâ‘ mengartikan fanâ‘ sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi (al-fanâ‘ ‘an an-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam irâdah Tuhan, bukan menyatu dengan wujud-Nya. Lebih jelas, paham ini tersimpul dalam kata-katanya: “Aku mengenal Tuhan melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku mengenal Tuhan melalui diri- Nya maka aku pun hidup.” Ungkapannya yang lain: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan aku pun hidup ... aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup.”43

Dengan demikian, jika seorang sufi telah mencapai al-fanâ’ ‘an an-nafs, yakni ketika wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah wujud ruhaninya dan ketika itu ia akan “bersatu” dengan Tuhan, dan kebersatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fanâ‘ ‘an an-nafs.

Dalam ajaran sufi, fanâ‘ merupakan keadaan mental yang ber- sifat insidental, atau tidak berlangsung terus-menerus. Sebab, jika keadaan itu berlangsung secara terus-menerus maka jelas berten- tangan dengan tugasnya sebagai khalifah dan hamba Allah untuk melaksanakan kewajiban agama di muka bumi. Al-Kalabazi, dalam 43 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme ..., hlm. 81.

kitabnya yang bertitel At-Ta’arruf li Mazhab ‘an at-Tashawwuf, berkata: “Keadaan fanâ‘ itu tidak berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ- organ tubuh untuk melaksanakan fungsi dan peranannya di muka bumi.” Lebih lanjut al-Kalabadzi menyatakan: “Seseorang yang mengalami keadaan fanâ‘ bukanlah disebabkan hilangnya kesadaran (pingsan), bukan karena kebodohan, dan bukan pula karena sirnanya sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya sehingga dia menjadi malaikat atau seorang spiritualis, tetapi dia fanâ‘ dari penyaksian akan hal- hal yang berkenaan dengan dirinya.” Dengan demikian, keadaan fanâ‘ yang dialami seseorang tidaklah menyebabkannya dapat menanggalkan kewajiban-kewajiban agama. O leh karena itu, dapatlah dipahami mengapa ath-T husi di dalam kitabnya al-Luma’ memperingatkan bahaya-bahaya yang mungkin timbul dari keadaan fanâ‘, yaitu adanya anggapan bahwa fana adalah hilangnya sifat- sifat kemanusiaan dan dia bersifat dengan sifat-sifat ketuhanan, padahal sifat kemanusiaan tidak dapat sirna dari manusia.

(2) Ittihâd

Konsep ittihâd ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari konsep fanâ‘ dan baqâ‘ sebagaimana telah diuraikan di atas. Konsep ittihâd ini timbul sebagai konsekuensi lebih lanjut dari pendapat sufi bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi. Atau dengan kata lain, “Aku”-nya manusia adalah pancaran dari yang Maha Esa. Siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriah, atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya (al-fanâ‘ ‘an an-nafs) maka ia akan memeroleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan bersatu-padu dengan Yang Tunggal, dan dari situ, yang dilihat dan dirasakannya hanyalah satu, yaitu Allah.

Menurut Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihâd ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya

44 Ibid., hlm. 82.

45 Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyah, I, hlm. 2.

bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.44

Sementara menurutIbrahim Madkur, ittihâd adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Or- ang yang telah sampai ke tingkat ini maka terbukalah dinding baginya; dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itulah sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang dalam tasawuf disebut dengan syathahât.45

D alam istilah Abu Yazid, pengalaman ittihâd ini disebut dengan tajrîd fanâ‘ fi at-tauhîd,46 yaitu kebersatuan dengan Tuhan

yang tidak diperantarai oleh sesuatu apa pun. Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya adalah satu substansi dengan Tuhan, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur kesadaran eksistensinya sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fanâ‘ ‘an an-nafs).47 Dengan istilah lain, barang siapa

yang mampu menghapuskan kesadaran pribadinya dan mampu membebaskan diri dari alam di sekelilingnya maka ia akan memeroleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan bersatu- padu dengan Yang Tunggal.

Konsep fanâ‘, baqâ‘, dan ittihâd ini dalam dunia tasawuf terus berkembang dan memicu kontroversi hingga sekarang. Persoalannya, apakah konsep-konsep ini benar-benar berasal dari ajaran Islam atau- kah dari luar? Dalam hal ini, Ibrahim Madkur melihat bahwa konsep ittihâd adalah sesuatu yang paling rumit di dalam tasawuf dan ia selalu memunculkan pro dan kontar: ada yang menerima dan juga 46 Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1984),

hlm. 136.

47 Team Penulis, Pengantar llmu Tasawuf, hlm. 106. 48 Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyah, I, hlm. 65.

49 Muhammad ash-Shadiq Arjun, At-Tashawwuf fî al-Islâm Manâbi’uh wa Atwâruh, (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1967), hlm. 118.

tidak sedikit yang menolaknya.48 Berbagai kelompok yang menolak

adanya paham ittihâd berkeyakinan bahwa tidak akan mungkin terjadi persatuan antara dua substansi (zat), yaitu antara manusia dengan Tuhan.49 Lebih lanjut Ibrhaim Madkur mengatakan bahwa

konsep ittihâd ini sebenarnya tidak bersumber dari Islam. Al-Qur’an dengan ungkapan yang tegas, secara mutlak, tidak memberi tempat pada adanya paham ittihâd. Hanya saja, para pendukungnya tidak kehilangan akal untuk melandasinya dengan sebagian ayat Al-Qur’an dan hadits nabi.50

Sementara itu, terkait dengan paham fana’, Nicholson me- ngatakan bahwa konsep ini dapat dipastikan berasal dari India. Peng- anjurnya, Abu Yazid al-Busthami, mungkin telah menerima dari gurunya, Abu Ali as-Sindi (India). Tambahan lagi bahwa dalam sejarah, selama ribuan tahun sebelum kemenangan umat Islam, Budhisme pernah memiliki akar yang kuat di kawasan Timur Persia dan Bactria sehingga hampir dapat dipastikan bahwa ia telah memengaruhi perkembangan tasawuf di wilayah tersebut.51 (3) Hulûl

Konsep hulûl ini tidak dapat dipisahkan dari konsep fanâ‘ dan baqâ‘. Jika fanâ‘, seperti dikatakan oleh at-Taftazani, telah membuat al-Busthami sampai pada pendapat tentang terjadinya ittihâd maka bagi al-Hallaj, fana’ telah mendorongnya sampai pada pendapat tentang terjadinya hulûl.52 Menurut Abu Nasr ath-T husi, hulûl ialah

paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.53

51 Nicholson, The Mystics of Islam, hlm. 17–18. Lihat juga Sayyid Athar Abbas Rizvi, A History of Saefism in India, (New Delhi: Munashiram Manoharial, 1978), hlm. 44–45.

52 At-Taftazani, Madkhal ilâ at-Tashawwuf ..., hlm. 123.

53 Abu Nasr Sarraj at-Tusi, Al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960), hlm. 541.

54 At-Taftazani, Madkhal ilâ at-Tashawwuf ..., hlm. 123.

Seperti halnya Abu Yazid, al-Hallaj adalah seorang sufi yang didominasi oleh keadaan fanâ‘. Oleh karena itu, seperti halnya al- Busthami, dia juga mengeluarkan ungkapan-ungkapan ganjil yang secara harfiah syar’iah tidak bisa diterima. Akan tetapi, secara umum, ungkapan-ungkapan al-Hallaj tentang kondisi yang dialaminya lebih dalam dan teliti dibanding al-Busthami. Al-Hallaj, kata at-Taftazani, tampaknya benar-benar terpengaruh oleh berbagai kebudayaan asing, seperti filsafat Yunani, pemikiran-pemikiran Persia, doktrin- doktrin Syi’ah, dan juga ajaran-ajaran agama Kristen.54

Mengenai kemungkinan seseorang mencapai fana’, al-Hallaj menyatakan bahwa jika Allah ingin mengangkat salah seorang hamba-Nya sebagai seorang wali maka Dia akan membukakan pintu zikir baginya. Kemudian Dia mendudukkannya di atas singgasana tauhid. Selanjutnya, D ia singkapkan untuknya tirai sehingga tampak baginya ketunggalan-Nya dalam pandangan mata hatinya dan Dia pun memasukkan hambanya yang terpilih ke dalam istana ketunggalan. Lebih jauh lagi dikatakan, Dia akan menyingkapkan untuknya kebesaran dan keindahan-Nya. Jika pandangannya tertuju pada keindahan tersebut maka dia kekal bersama-Nya. Ketika itulah sang hamba mengalami fanâ‘ dan dia kekal dalam yang Mahabenar sehingga terpaterilah yang M ahasuci dalam ingatannya dan terungkap dalam kata-katanya.

Dalam keadaan fanâ‘ seperti inilah al-Hallaj mengeluarkan ung- kapan yang populer: Ana al-Haqq (Akulah yang Mahabenar). Dalam keadaan seperti ini dia mempergunakan kata hulûl, yakni penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan, atau dengan kata lain, sesuai dengan terminologi yang dipergunakannya, hulûl-nya lâhût dalam nâsût.

Konsep hulûl, dalam paham al-Hallaj ini ternyata cukup kontra- diktif. Sebab, pada beberapa lirik syair dan ungkapan al-Hallaj ter- gambar adanya konsep hulûl dalamajaran tasawufnya, namun di 55 Lihat ath-Thusi, Al-Luma’, hlm. 128.

tempat lain, dia menolak keras adanya paham hulûl tersebut. Dengan kata lain, terkadang hulûl dinyatakan secara bersama konsep penyatuan, namun di sisi lain al-Hallaj menegasikan penyatuan itu dan secara tegas meniadakan unsur-unsur antromorphis dalam konsep ketuhanan.55 Al-Hallaj juga menegasikan kemungkinan

penyatuan makhluk dengan Tuhan. Dalam hal ini, al-Hallaj berkata: “Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan, ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan maka kafirlah dia. Sebab, Allah mandiri dalam zat maupun sifat- Nya dari zat dan sifat makhluk, dan Dia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-makhluk-Nya; dan mereka pun tidak sekali-kali menye- rupai-Nya.”

Kontradiksi inilah yang menarik perhatian T houlk. Dia me- ngatakan bahwa al-Hallaj berada dalam keadaan fanâ‘, yang mana hal itu membuatnya tanpa sadar menyatakan ungkapan-ungkapan kontradiktif. Akan tetapi, kontradiksi ini bisa juga diinterpretasikan bahwa al-Hallaj, dengan ungkapan-ungkapannya yang menegasikan perpaduan antara lâhût dan nâsût, khawatir terhadap kemarahan fuqahâ’ pada masanya.

Ada dugaan kuat bahwa konsep hulûl al-Hallaj bersifat majazi, bukan haqiqi. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapannya yang di- riwayatkan oleh as-Sulami: “Kemanusiaan tidak terpisah dari-Nya dan tidak berhubungan dengan-Nya.” Ini berarti bahwa manusia— yang diciptakan Allah sesuai citra-Nya—adalah tempat tajalli Tuhan. Dengan demikian, dalam pengertian ini, dia berhubungan dengan Allah tanpa terpisah dari-Nya. Akan tetapi, tajalli Allah pada hamba-Nya, atau munculnya Allah menurut citra-Nya pada diri manusia, tidak berarti terjadinya hubungan dengan manusia secara haqiqi. Di sini, al-Hallaj dengan jelas mengatakan adanya perbedaan antara hamba dan Tuhannya. Dengan begitu, pendapatnya tentang hulûl tidak terjadi secara haqiqi, tetapi hanya sekadar kesadaran psikis yang berlangsung di saat kondisi fanâ‘ (al fanâ‘ fillâh); atau menurut ungkapannya, “sekadar terleburnya nâsût dalam lâhût”, atau dengan kata lain, kondisi fana’-nya berada di dalam-Nya. Dalam hal ini, Memahami Dunia Tasawuf

al-Hallaj berkata: “Hai manusia! Dia (Allah) menciptakan makhluk karena kasih sayang-Nya kepada mereka, kemudian Allah me- nyembunyikan diri-Nya dari mereka sebagai pelajaran. Seadainya tanpa tajalli-Nya, niscaya mereka semua menjadi kafir, dan se- andainya Dia tidak menyembunyikan diri, niscaya mereka semua akan terpesona. Oleh karena itu, Dia pun tidak tetap pada salah satu dari kedua [keadaan] itu. Agar Dia tidak tertutup dariku walau sesaat, yang membuatku beristirahat maka nâsût-ku terlebur dalam lâhût-Nya, dan tubuhku luluh dalam cahaya-cahaya zat-Nya sehingga aku pun tanpa mata, bekas, muka, dan tanpa berita.”

Pernyataan al-Hallaj tentang hulûl yang muncul dalam keadaan fanâ‘ barangkali adalah di luar kehendaknya; dan ini bisa dimengerti oleh sebagian pihak. Al-G hazali, misalnya, dari segi psikis, menguraikan kemungkinan keluarnya ungkapan-ungkapan seperti yang diucapkan al-Hallaj dan al-Busthami itu sebagai di luar kehen- dak mereka. Hal itu seperti yang ia nyatakan dalam kitabnya yang bertitel Misykât al-Anwâr: “Setelah naik ke puncak hakikat, orang- orang ‘arif sependapat bahwa tidak ada yang terlihat dalam wujud ini kecuali yang Maha Esa dan Mahabenar.”56

(4) Wahdah al-wujûd

56 Untuk penjelasan lebih jauh dapat diambil sebuah contoh. Betapa sering manusia berdiri di depan cermin dan memandang gambar yang terpantul dari cermin tersebut. Sering kali kita tidak melihat cermin itu, dan kita mengira bahwa gambar yang dia lihat dalam cermin bersatu dengan cerminnya. Seandainya hal seperti ini menjadi kebiasaan dan terpancang kuat, dia akan tenggelam di dalamnya. Jika keadaan ini sedemikian dominan maka disebutlah oleh para sufi dengan fanâ‘ atau disebut pula fanâ‘ al-fanâ‘ sebab dia fanâ‘ dari dirinya sendiri serta fanâ‘ dari ke-fana’-annya. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak merasakan ketidaksadaran dirinya sendiri. Seandainya dia merasakan ketidaksadaran dirinya sendiri, pasti dia merasakannya sendiri. Keadaan ini, di samping disebut sebagai