• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tarekat dan Perkembangannya di Dunia Islam

Dalam dokumen TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah (Halaman 90-103)

MEMAHAMI DUNIA TASAWUF

C. Tasawuf dan Tarekat di Dunia Islam

2. Tarekat dan Perkembangannya di Dunia Islam

Tarekat merupakan bentuk praksis dari tasawuf. Tarekat meng- alami perkembangan makna, dari makna pokok ke makna secara psikologis, sampai makna secara keorganisasian.80 Kata “tarekat”

berasal dari bahasa Arab, yakni tharîqah, yang secara harfiah berarti “jalan” sebagai makna pokok. Kata tersebut semakna dengan kata 79 Lihat Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, hlm. 140–152.

80 Tentang perkembangan makna, macam-macam, dan penilaian keabsahan tarekat, lihat Asep Usman Ismail, “Tasawuf”, hlm. 305–318.

syarî’ah, shirâth, sabîl, dan minhâj. Adapun secara istilah, tarekat mengandung arti “jalan menuju Allah guna mendapatkan ridha- Nya dengan cara menaati ajaran-Nya.”

Istilah tarekat (tharîqah) dalam tasawuf sering dihubungkan dengan dua istilah lain, yakni syarî‘ah (syari’at) dan haqîqah (hakikat). Ketiga istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan peringkat penghayatan keagamaan seorang muslim. Penghayatan keagamaan peringkat awal disebut syari’at, peringkat kedua disebut tarekat, sementara peringkat yang tertinggi adalah hakikat. Syari’at merupakan jenis penghayatan keagamaan eksoterik, sedangkan tarekat merupakan jenis penghayatan keagamaan esoteris. Adapun hakikat secara harfiah berarti “kebenaran”, namun yang dimaksud dengan hakikat di sini ialah pengetahuan yang hakiki tentang Tuhan, yang diawali dengan pengamalan syari’at dan tarekat secara seimbang.

Di samping pengertian tersebut, tarekat juga sering dimaknai sebagai “cara” atau “metode”, yakni cara atau metode untuk men- dekatkan diri kepada Allah melalui amalan yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad, dikerjakan oleh para saha- bat dan tabiin, dan kemudian secara sambung-menyambung di- teruskan oleh guru-guru tarekat. Transmisi ruhaniah dari seorang guru tarekat kepada guru tarekat berikutnya diistilahkan dengan “silsilah tarekat”. Guru tarekat itu sendiri biasa dipanggil mursyid (pembimbing spiritual).

Pada perkembangannya, kata tarekat mengalami pergeseran makna.Jika pada mulanya tarekat berarti jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah maka pada tahap selanjutnya istilah tarekat digunakan untuk menunjuk pada suatu metode psikologis yang dilakukan oleh guru tasawuf (mursyid) ke- pada muridnya untuk mengenal Tuhan secara mendalam. Melalui metode psikologis tersebut, murid dilatih mengamalkan syari’at dan latihan-latihan keruhanian secara ketat sehingga ia mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan.

Peranan mursyid di dalam tarekat mirip dengan peranan se- orang dokter. Mursyid adalah orang yang mendiagnosis penyakit hati dan menentukan pengobatannya, agar murid sanggup menyadari kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Tarekat sebagai dimensi esoteris ajaran Islam mempunyai segi-segi eksklusif me- nyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia”. Bobot keruhaniannya yang amat dalam tentu tidak semuanya dapat dimengerti oleh orang yang hanya menekuni dimensi eksoterik ajaran Islam. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi salah pengertian dari kalangan awam yang melihatnya. Seseorang tidak dibenarkan mengamalkan tarekat tanpa bimbingan seorang mursyid yang terpercaya dan yang sudah diakui kewenangannya dalam mengajarkan tarekat. Kewenangan (ijâzah) untuk mengajarkan tarekat bagi seorang mursyid diperoleh dari gurunya secara mutawatir sehingga membentuk mata rantai guru- guru tarekat yang disebut “silsilah tarekat”.

Pada mulanya, suatu tarekat hanya berupa “jalan atau metode yang ditempuh oleh seorang sufi secara individual”. Kemudian para sufi itu mengajarkan pengalamannya kepada murid-muridnya, baik secara individual maupun kolektif. Dari sini, terbentuklah suatu tarekat, dalam pengertian “jalan menuju Tuhan di bawah bimbingan seorang guru”. Setelah suatu tarekat memiliki anggota yang cukup banyak maka tarekat tersebut kemudian dilembagakan dan menjadi sebuah organisasi tarekat. Pada tahap ini, tarekat dimaknai sebagai “organisasi sejumlah orang yang berusaha mengikuti kehidupan tasawuf ”. Dengan demikian, di dunia Islam dikenal beberapa tarekat besar, seperti Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syathariyah, Sam- maniyah, Khalwatiyah, Tijaniyah, Idrisiyah, dan Rifaiyah.

Dilihat dari ajaran ortodoks Islam, ada tarekat yang dipandang sah (mu’tabarah) dan ada pula tarekat yang dianggap tidak sah (ghair mu‘tabarah). Suatu tarekat dikatakan sahjika memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga amalan dalam tarekat tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara syari’at. Sebaliknya, jika suatu tarekat tidak memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga ajaran tarekat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Memahami Dunia Tasawuf

syari’at maka ia dianggap tidak memiliki dasar keabsahan dan oleh karenanya disebut tarekat yang tidak sah (ghair al-mu’tabarah).

Dalam kajian Asep Usma Ismail disebutkan bahwa di Indone- sia terdapat tarekat-tarekat besar yang mu‘tabarah. Tarekat-tarekat itu masuk ke Nusantara bersamaan dengan proses masuk dan ber- kembangnya agama Islam. Di lingkungan organisasi Nahdhatul Ulama (NU), para pengamal tarekat mu‘tabarah itu bernaung di bawah organisasi tarekat yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Thariqah Mu’tabarah (Perkumpulan Tarekat yang Sah). Perkumpulan tarekat ini bertujuan, antara lain, untuk memberikan arahan agar pengamalan tarekat di lingkungan organisasi para ulama itu tidak menyimpang dari ketentuan ajaran Islam. Meskipun demikian, wewenang untuk mengawasi amalan sebuah tarekat sebenarnya tidak sepenuhnya berada di atas pundak para ulama NU. Pengawasan dan pemberian label keabsahan bagi suatu tarekat adalah tanggung jawab kaum muslim pada umumnya, yang pelaksanaannya didelegasikan kepada ulama.81

Asep Usman Ismail lebih lanjut menjelaskan bahwa standar penilaian yang digunakan untuk menentukan apakah sebuah tarekat tergolong mu’tabarah atau tidak adalah Al-Qur’an dansunnahNabi Muhammad, serta amalan para sahabat. Semangat yang menjiwai tarekat mu’tabarah ini ialah keselarasan dan kesesuaian antara ajar- an esoteris Islam dengan ajaran eksoterisnya. Semangat seperti ini telah dirintis oleh Imam al-Qusyairi dan kemudian disempurnakan oleh Imam al-Ghazali sehingga mencapai puncak kemapanannya. D alam hal ini, Al-Qur’an dan sunnah nabi senantiasa menjadi kriteria utama untuk menentukan keabsahan sebuah tarekat.82

Pemikiran al-Ghazali memiliki pengaruh yang dominan dalam penghayatan keagamaan kaum muslim di Indonesia pada khususnya dan di Asia Tenggara pada umumnya. NU sebagai salah satu organi- sasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, dalam muktamarnya di Situbondo pada 1984 menetapkan secara formal bahwa salah satu 81 Asep Usman Ismail, “Tasawuf”, hlm. 317–318.

ketentuan tentang paham Ahlussunnah Waljama’ah dalam tasawuf ialah mengikuti tarekat mu’tabarah dengan berpedoman pada ajaran al-Ghazali, dan ajaran para tokoh sufi Sunni yang lain.83

D i dalam sebuah organisasi tarekat terdapat sej umlah komponen yang meliputi: guru, murid, amalan, zawiyyah, dan adab.84

a. Guru tarekat

Dalam sebuah tarekat sufi, seorang guru tarekat, atau biasa juga disebut syaikh, murad, pir, atau mursyid, memiliki peranan penting dan bahkan mutlak. Jika para ulama sebagai pewaris nabi mengajarkan ilmu lahir maka para mursyid tarekat menjadi pewaris nabi dalam hal mengajarkan penghayatan keagamaan yang bersifat batin. Oleh karena itu, dalam setiap silsilah tarekat, terlihat posisi nabi berada pada puncaknya, setelah Allah dan Jibril.

Seorang syaikh atau mursyid harus menguasai ilmu syari’at dan ilmu hakikat secara mendalam dan lengkap. Pemikiran, perkataan, dan perilakunya harus mencerminkan akhlak terpuji. Dalam mem- bimbing penyembuhan murid-muridnya, seorang mursyid dibantu oleh beberapa wakil yang disebut khalifah atau badal. Dalam tradisi tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, para wakil mursyid biasa disebut Wakil Talkin. Ini dikaitkan dengan salah satu fungsi utama mursyid tarekat, yakni memberikan talkin kepada calon murid yang akan mengikuti latihan kehidupan tarekat.

b. Murid atau sâlik tarekat

Seorang kandidat sâlik disyaratkan harus berjanji setia kepada dirinya di hadapan mursyid bahwa ia akan mengamalkan segala bentuk amalan dan wirid yang telah diajarkan guru kepadanya dengan sungguh-sungguh. Janji setia itu dikenal dengan istilah baiat (bay’ah).

Memahami Dunia Tasawuf

83 Di Indonesia, organisasi sosial keagamaan yang juga memerhatikan masalah tarekat, selain NU, adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Sumatera Barat dan Jam’iyah al-Washliyah di Sumatera Utara. Lihat ibid.

Dalam kehidupan tarekat, dikenal dua jenis baiat, yakni: (1) bay’ah shuwariyah dan (2) bay’ah ma’nawiyah. Baiat pertama adalah baiat kandidat sâlik dalam mengakui bahwa mursyid yang membaiatnya itu adalah gurunya, tempat ia berkonsultasi tentang berbagai masalah keruhanian, dan sang guru juga mengakui bahwa orang tersebut adalah muridnya. Kandidat sâlik seperti ini tidak perlu meninggalkan ke- luarganya untuk menetap di dalam zawiyyah tarekat guna bersuluk atau berzikir bersama sang guru. Ia boleh tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan sehari-hari sesuai dengan profesinya. Ia cukup mengamalkan wirid dan berbagai amalan pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh mursyid. Meski demikian, ia diperbolehkan mengunjungi zawiyyah kapan saja ia sempat. Adapun baiat yang kedua adalah baiat kandidat sâlik dalam mengakui bahwa ia bersedia dididik dan dilatih menjadi sufi yang ‘arif bi Allah. Sâlik yang menyatakan baiat demikian harus meninggalkan keluarga dan tugas keduniawian. Ia ber-khalwat dalam zawiyyah tarekat untuk beberapa tahun, sesuai dengan bimbingan sang mursyid.

c. Amalan atau wirid tarekat

Salah satu amalan utama yang menjadi inti wirid tarekat ialah zikir. Semua kelompok tarekat mengajarkan zikir.85 Lantas apa

makna zikir itu sendiri? Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa zikir adalah menyebut asma (nama-kalimat) Allah dengan ungkapan- ungkapan yang baik (kalimah thayyibah), yang telah ditentukan oleh ajaran Islam, seperti membaca tashbih (Subhâna Allâh - Maha Suci Allah); tahmid (Alhamdulillâh - Segala Puji bagi Allah); takbîr (Allâhu Akbar - Allah Mahabesar); dan membaca tahlîl (Lâ ilâha illâ Allâh - Tiada Tuhan selain Allah).

85 Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengisyaratkan peranan zikir dalam kehidupan orang-orang beriman, seperti firman Allah: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah karena hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenteram” (QS. ar-Ra’d [13]: 28 dan “Oleh karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku juga akan ingat kepadamu dan bersyukurlah kepada­Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. al-Baqarah [2]: 152). Dalam ayat lain juga ada peringatan agar manusia tidak lupa kepada Allah karena hal itu akan mengakibatkan Allah membuat manusia lupa kepada diri sendiri (QS.al-Hasyr [59]: 19).

Selain membaca kalimat-kalimat di atas, membaca Al-Qur’an dan doa-doa yang bersumber dari kitab suci juga termasuk dalam pengertian zikir. Para ahli tarekat telah berhasil mempraktikkan ber- bagai teknik berzikir secara sistematis. Mereka membagi zikir atas dua bagian, yakni zikir yang diucapkan dengan lisan (zikr jahr)dan zikir yang diingat dalam kalbu (zikr khafi). Ucapan yang mereka pilih dalam zikr jahr ialah kalimat Lâ ilâha illâ Allâh. Mereka memilih ungkapan tahlîl sebagai formulasi zikir karena ia mengandung suatu pernyataan yang lengkap bagi seorang muslim, yaitu penegasian tuhan-tuhan selain Allah. Dengan pengucapan kalimat Lâ ilâha illâ Allâh maka dapat dipastikan bahwa orang yang mengucapkannya adalah muslim. Ini berbeda dengan ucapan tasbîh, tahmîd, dan takbîr, yang tidak dapat mengubah status seseorang yang bukan muslim menjadi muslim. Dalam kaitan ini, nabi sendiri telah menyatakan dalam haditsnya: “Sebaik-baik ucapanku dan ucapan para nabi sebelumku ialah Lâ ilâha illâ Allâh” (HR. Abu Hurairah dari Jabir bin Abdullah).

Kalimat Lâ ilâha illâ Allâh disebut juga sebagai kalimat tauhid dan kalimat zikir nafi-itsbat (penafian dan pengukuhan). Dalam kalimat Lâ ilâha (tiada Tuhan) terkandung makna menafikan, tidak ada yang patut disembah, tidak ada yang kaya, dan tidak ada yang kuasa. Setelah itu kemudian dikukuhkan dengan kalimat illâ Allah (selain Allah) yang mengandung pengertian bahwa Allahlah satu- satunya yang berhak disembah, Yang Mahakaya, Mahakuasa, dan Maha segalanya. Tarekat Qadiriyah termasuk salah satu tarekat yang mengutamakan pengamalan zikir nafi-isbat ini.

d. Zawiyah Tarekat

Zawiyah adalah majelis tempat para sâlik mengamalkan suluk, zikir, dan berbagai wirid tarekat yang lain, seperti membaca manâkib Syaikh Abdul Q adir al-J ailani dan membaca ratib Syaikh Muhammad Saman. Latar belakang munculnya zawiyat tidak lepas dari kebiasaan kaum sufi dalam mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka berwatak kosmopolitan dalam mencari pembimbing ruhani, tanpa terikat oleh batas-batas teritorial suatu Memahami Dunia Tasawuf

negara. Dari kebiasaan tersebut, terbentuklah pusat-pusat kegiatan kaum sufi di berbagai kawasan dunia Islam.

e. Adab atau etika sâlik dengan syaikh tarekat

Menurut Ibn Arabi, seorang sâlik di hadapan gurunya hen- daklah bersikap bagaikan mayat yang berada di tangan orang yang memandikannya. Dari sini kemudian muncul sederet etika sâlik terhadap gurunya, yang meliputi:

(1)Sâlik tidak boleh berprasangka buruk atau ragu terhadap gurunya;

(2)sâlik tidak boleh duduk pada tempat yang biasa diduduki oleh gurunya;

(3)sâlik tidak boleh memakai suatu barang yang biasa dipakai oleh gurunya;

(4)apabila sang guru menyuruh sâlik mengerjakan sesuatu maka hendaklah ia segera mengerjakannya;

(5)sâlik tidak boleh mengajukan usul apa pun jika ia tidak atau belum memahami jenis pekerjaan itu;

(6)jika sâlik melihat gurunya berjalan ke suatu arah, ia tidak boleh bertanya ke mana gurunya pergi;

(7)sâlik tidak boleh menikahi janda gurunya ketika gurunya telah bercerai atau meninggal dunia; dan

(8)murid yang berani melawan gurunya dalam sebuah tarekat di- pandang telah melawan Allah karena syaikh tarekat itu bersama- sama dengan Allah dan ia berposisi sebagai mazhâriyah (pe- nampakan diri) Allah.

Penghormatan dan ketaatan seorang murid kepada mursyid merupakan komponen penting dalam tarekat. Menurut Ibn Arabi, seorang sâlik yang tidak hormat dan tidak taat kepada sang guru maka hancurlah adab-nya kepada Nabi Muhammad. Sebab, syaikh adalah wakil Nabi Muhammad dalam kepemimpinan ruhani sampai ke hadirat Allah. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa orang

Keterangan Sumber:

Tabel dibuat oleh penulis atas dasar kajian Asep Usman Isma’il, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, “Tasawuf”, hlm. 305-322.

tentang berbagai hal yang j ika diterangkan j ustru akan mendatangkan kesukaran bagi mereka.86 Oleh karena itu, para sâlik

dalam sebuah tarekat harus memelihara adab kepada gurunya. Mereka tidak boleh berdiskusi, menyanggah, atau mempertanyakan pesan-pesan gurunya. Adab kepada guru ini dimaksudkan agar seorang sâlik memeroleh limpahan berkah dari sang guru guna meningkatkan maqâm-nya; sebab limpahan berkah itu adalah atas izin Allah, yang hanya dikaruniakan kepada murid yang berkhidmat atau mengabdi kepada gurunya secara tulus.

Di bawah ini disajikan dua tabel untuk diketahui pokok-pokok tasawuf dan tarekat.

Tabel 1:

Dimensi Ajaran Tasawuf dan Tarekat

Memahami Dunia Tasawuf

Kultural : Fenomena Shala wat W ahidiya h Tabel 2:

Kultural : Fenomena Shala wat W ahidiya h Keterangan sumber:

Sebagaimana tabel di atas, tabel ini juga dibuat oleh penulis atas dasar kajian Asep Usman Ismail, dalam Ensikpoledi Tematis Dunia Islam. Lihat Utsman Isma’il, Tasawuf, hlm. 305-322.

Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa tasawuf pada umumnya merupakan usaha suluk (perjalanan ruhani) seorang hamba untuk mencapai batas kedekatan kepada Allah. Dalam proses suluk ini ada bimbingan ruhani dari mursyid kepada murid sesuai dengan jalur silsilah tarekatnya. Pada silsilah inilah ada hierarki yang dapat dilukiskan seperti gambaran berikut ini.

Gambar 1:

Hirarki dalam Tasawuf/Tarekat pada Umumnya Allah

Malaikat Jibril a.s.

Nabi Muhammad Saw. Pendiri Tarekat

Mursyid/Murad/Syaikh/Pir Mursyid/Murad/Syaikh/Pir Mursyid/Murad/Syaikh/Pir Dan seterusnya

Mursyid/Murad/Syaikh/Pir Murid

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa visi berbagai aliran tasawuf secara umum adalah “menjadikan tasawuf sebagai sarana batiniah untuk terciptanya kedekatan diri kepada Allah guna mendapatkan ridha-Nya dengan menaati ajaran-Nya. Sementara misinya adalah “menyucikan jiwa guna mendekatkan diri kepada Dari Nabi Muhamad sampai ke murid disebut “jalur silsilah”. Jalur silsilah diperoleh dengan proses baiat (janji setia) murid di hadapan mursyid.

Jalur silsilah semakin lama se- makin panjang karena semakin jauhnya masa hidup antara murid dan pendiri tarekat.

Target ketasawufannya adalah kesucian jiwa dalam rangka men- dekatan diri kepada Allah dan mengharapkan ridha-Nya.

Allah”. Proses penyucian jiwa ini dilaksanakan dengan tujuh tahap, yakni: (1) tobat, (2) zuhud, (3) sabar, (4) tawakkal, (5) cinta (mahabbah), (6) dan (7) ma’rifat. Sedangkan instrumen batiniah untuk penyucian jiwa adalah perangkat zikir yang telah diramu sedemikian rupa oleh tiap-tiap para pendiri aliran tasawuf.

Dalam dokumen TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah (Halaman 90-103)