• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

LINGKUNGAN SOSIAL

Keluarga LINGKUNGAN Sekolah JALANAN Masyarakat Otoritas jalanan / Public spaces Kepolisian Trantib LSM

Teman-teman, Kenalan, Perek Preman, Agen/Bos/Abang, Paedofil, Kelompok marginal lainnya Kelompok sebaya

Faktor-faktor pengaruh : 1.Kategori anak jalanan 2.Kesamaan asal daerah,

jenis pekerjaan, nasib 3.Hubungan sosial 4.Nilai & norma jalanan 5.Persaingan

6.Peluang ekonomi 7.Krisis ekonomi

Anak Jalanan

Teman-teman, Kenalan, Preman, Agen/Bos/Abang, Perek,

Paedofil, Kelompok marginal lainnya. MASYARAKAT LUAS Sekolah Pemerintah Masyarakat Pengadilan Kepolisian LSM/Orsos

Kelompok sebaya, teman- teman, kenalan, atau lingkungan dekat

Keluarga Anak

Faktor yang mempengaruhi : 1.Lingkungan social 2.Relasi-relasi

3.Norma dan nilai masyarakat 4.Lingkungan tetangga 5.Lingkungan keluarga 6.Resesi ekonomi 7.Kemiskinan 8.Pasar kerja

Setting yang lebih khusus dari lingkungan jalanan adalah kehidupan kaum marginal. Jalanan adalah ruang yang terbuka, dimana siapapun bisa masuk dan mengadu nasib. Jenis-jenis pekerjaan di jalanan tidak membutuhkan persyaratan formal, kecuali kondisi fisik yang kuat, keberanian, dan modal usaha yang tidak banyak. Karena bersifat terbuka dan longgar terhadap norma sosial, maka ragam pekerjaan mereka bervariasi baik positif maupun negatif. Pemulung, pengamen, dan pengasong tergolong positif, yang negatif adalah pemalak, penodong, pe- meras, preman dan pelacur jalanan. Anak jalanan dengan kemampuan yang terbatas, sulit membedakan antara positif dan negatif, sehingga ada beberapa perilaku yang terinternalisasi dalam pola perilaku mereka yang juga didorong untuk survival. Kaum marginal juga menjadi situasi tandingan bagi anak jalanan sehingga meskipun ada tekanan dari pemegang otoritas jalanan, mereka selalu mendapat tempat dimana keberadaan mereka dapat diterima dan seolah-olah mengesahkan sikap dan nilai-nilai yang dianutnya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Lebih spesifik dari kaum marginal adalah kehidupan kelompok sebaya diantara anak-anak jalanan. Rata-rata anak jalanan hidup dalam suatu kelompok yang terbentuk karena kesamaan asal daerah, kesamaan jenis pekerjaan, kesamaan nasib, kesamaan kesenangan, dan sebagainya. Dalam kelompoknya, mereka mengembangkan cara / strategi agar dapat terus hidup di jalanan, mampu bersaing, dan menguasai wilayah pekerjaan. Tidak jarang mereka menciptakan suatu sub kultur yang diadopsi dari kultur jalanan, misalnya menggunakan anting- anting, tato, menciptakan bahasa dan istilah sendiri, mencari ruang dan cara yang aman jika tidur seperti di atas pohon, dan sebagainya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Situasi sosial dan berbagai settingnya di atas bersifat dinamis dan rentan terhadap pengaruh luar. Krisis ekonomi misalnya mempengaruhi situasi di jalanan secara luar biasa. Jumlah kaum marginal dan anak-anak jalanan meningkat pesat padahal peluang ekonomi sempit. Persaingan memuncak, anak-anak harus memperpanjang waktu di jalanan untuk mempertahankan pendapatan, yang berarti memperpanjang resiko. Kejahatan jalanan meningkat, di mana anak jalanan bisa

menjadi korban atau sebagai pelaku, baik secara sendiri, berkelompok, atau diperalat preman. Situasi sosial anak jalanan secara tetap juga berkorelasi dengan faktor-faktor pengaruh lainnya seperti kategori anak jalanan, kesamaan asal daerah, jenis pekerjaan, dan nasib, hubungan sosial, nilai dan norma jalanan, persaingan, peluang ekonomi dan sebagainya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Dari kedua situasi sosial di atas terlihat, bahwa lingkungan pertama anak jalanan adalah kelompok sebayanya, dengan lingkungan keduanya adalah lingkungan yang justru secara dominan dapat menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak selanjutnya. Hal ini jelas terlihat berbeda dengan lingkungan anak pada umumnya, di mana keluarga sebagai lingkungan pertama bagi anak. Namun demikian, sejauhmana lingkungan pertama dan kedua akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak, perlu diteliti lebih lanjut.

Tinjauan tentang Pemberdayaan

Pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhan (Pranarka dan Moeljarto, 1996). Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya. Pemberdayaan dalam pengembangan masyarakat menekankan kemandirian masyarakat sebagai suatu sistem yang mampu mengorganisir dirinya.

Senada dengan hal di atas Payne (1997) mengemukakan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan kekuatan (daya) untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Pemberdayaan pada hakekatnya adalah upaya pemberian kesempatan, kewenangan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan sesuai dengan profesi, peranan serta fungsinya.

Pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan (Sulistiyani, 2004). Berdasarkan pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/ kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi, sekaligus memilih alternatif pemecahan dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki.

Pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah individu, kelompok dan masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Makna "memperoleh" daya/kekuatan/kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata "memperoleh" mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari individu, kelompok dan masyarakat itu sendiri.

Makna kata "pemberian" menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari individu, kelompok dan masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lainnya (Sulistiyani, 2004). Hal ini senada dengan sesuatu yang dikemukakan oleh Pranarka dan Moeljarto (1996) bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan : (1) proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada individu, kelompok dan masyarakat agar mereka lebih berdaya. (2) menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu,

kelompok dan masyarakat agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Kartasasmita (1995) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu : (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinan potensi individu, kelompok dan masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumberdaya manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya/kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. (2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), sehingga diperlukan langkah yang lebih positif, baik iklim maupun suasananya. (3) Memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat.

Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu, kelompok dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian individu, kelompok dan masyarakat merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lain yang bersifat fisik-material.

Proses pemberdayaan tidak terjadi selamanya melainkan sampai target mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi (Sumodiningrat, 2000). Hal ini berarti pemberdayaan dilakukan melalui proses belajar hingga mencapai status mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya

tidak mengalami kemunduran. Pencapaian tujuan tersebut membutuhkan upaya dan kerja keras yang serius dari semua pihak sebagai pelaku pemberdayaan (stakeholders) yang berperan sebagai motivator, mediator dan fasilitator.

Lima bentuk kemampuan yang dianggap sangat relevan dengan kualitas pelaku pemberdayaan (Tjokrowinoto, 2001) yaitu:

(1) Kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada.

(2) Kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang dianggap prioritas dengan mengacu pada visi, misi dan tujuan yang ingin dicapai.

(3) Kemampuan mengidentifikasikan subjek-subjek yang mempunyai potensi memberikan berbagai input dan sumber bagi proses pembangunan.

(4) Kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin; dan

(5) Kemampuan memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri.

Keterpaduan kelima kemampuan pelaku pemberdayaan (stakeholders) tersebut patut dijadikan rujukan atau pedoman oleh seluruh unsur stakeholders, terutama yang mempunyai tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan pembangunan. Namun dukungan kelima kemampuan ini pun tidak akan berarti kalau tidak disertai dengan sikap perilaku adil dan komitmen yang kuat. Keberhasilan pelaku pemberdayaan (stakeholders) dalam memfasilitasi proses pemberdayaan juga dapat diwujudkan melalui peningkatan partisipasi aktif individu, kelompok dan masyarakat.

Menurut Jamasy (2004), setidaknya ada tujuh syarat kemampuan umum yang harus dimiliki pelaku pemberdayaan (stakeholders) dan kesemuanya harus terefleksi dalam kegiatan yang dilakukan, yaitu : (1) Kemampuan untuk mempertahankan keadilan. (2) Kemampuan untuk mempertahankan kejujuran. (3) Kemampuan melakukan problem solving. (4) Kemampuan

mempertahankan misi (sense of mission atau mission driven profesionalism). (5) Kemampuan memfasilitasi. (6) Kemampuan menjual inovasi, social marketing (termasuk kemampuan melakukan asistensi dan promosi), dan (7) Kemampuan fasilitasi yang bertumpu kepada kekuatan individu, kelompok dan masyarakat sendiri (self-reliant development).

Jenis Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak

Upaya peningkatan kesejahteraa sosial bagi anak semakin ramai dibicarakan. Pemerintah melalui Departemen Sosial bersama dengan instantsi terkait, LSM dan masyarakat bekerja bersama untuk dapat mewujudkannya. Namun pada kenyataannya (das sein) situasi dan kondisi kesejahteraan sosial anak masih belum selaras dengan apa yang dicita-citakan (das sollen), kesejahteraan sosial anak jalanan. Keadaan ini memerlukan penanganan sehingga kuantitas dan kualitas kesejahteraan sosial anak dapat lebih ditingkatkan.

Upaya penanganan terutama difokuskan pada permasalahan yang secara umum menghinggapi anak-anak yaitu Perlakuan Salah Terhadap Anak (PSTA) / child abuse yang juga termasuk di dalamnya penelantaran anak (child neglect), eksploitasi anak (child exploitation), penolakan terhadap anak (child rejection) dan perawatan/pengasuhan salah terhadap anak (child maltreatment). PSTA adalah perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, maupun orang-orang di luar keluarga yang ada di lingkungan sekitar anak. Dalam hal ini anak jalanan seringkali mengalami permasalahan secara komprehensif dan berkesinambungan sehingga menimbulkan luka batin yang relatif sulit untuk dapat disembuhkan.

PSTA meliputi PSTA secara fisik (physical abused) secara psikis (mentally abused), secara seksual (sexually abused) dan secara sosial (social abused), yaitu :

(1)PSTA secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas

gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar atau berpola seperti sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan di daerah paha, pipi, dada, perut, punggung, atau daerah bokong. Terjadinya PSTA secara fisik biasanya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya.

(2)PSTA secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan film, buku dan gambar pornografi pada anak. Anak yang mendapat perlakukan ini umumnya menunjukkan gejala-gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri pemalu, menangis bila didekati, takut keluar rumah, takut bertemu dan berhubungan dengan orang lain, dan lain-lain. (3)PSTA secara seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak

dengan orang yang lebih besar, melalui kata-kata, sentuhan, gambar visual, maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa, seperti hubungan incest, perkosaan, eksploitasi seksual dan berbagai bentuk pelecehan seksual lainnya.

(4)PSTA secara sosial meliputi dua bentuk, yaitu penelantaran anak (child neglect) dan eksploitasi anak (child exploitation), yaitu :

(a) Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap pemenuhan kebutuhan dasar anak untuk kelangsungan hidup, proses tumbuh kembang dan perlindungan fisik, mental dan sosial anak. Misalnya : anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, tidak diberi pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak dan lain-lain.

(b) Eksploitasi anak adalah sikap diskriminatif dan atau perlakuan sewenang- wenang terhadap anak yang dilakukan baik di dalam lingkungan keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. Salah satu bentuk eksploitasi anak adalah memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan- kepentingan ekonomi, sosial maupun politik tanpa memperhatikan hak- hak anak untuk mendapat perlindungan sesuai dengan kondisi, peran, dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk berperang, bekerja di pabrik-pabrik dengan upah rendah, bekerja di jalan atau fasilitas umum

lainnya tanpa memperhatikan keamanan, atau dipaksa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya, dan lain-lain.

PSTA umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti :

(1)Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa ;

(2)Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak ;

(3)Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi ;

(4)Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan cara mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistik, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak yang lahir di luar nikah ;

(5) Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi ;

(6)Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah pula anak-anaknya.

(7)Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil .

Berdasarkan data yang dikumpulkan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia/YKAI sampai Desember 1996 (Suharto, 1997), ditemukan 476 kasus PSTA dengan rata-rata pelaporan 39 kasus per bulan atau satu kasus setiap harinya. Dilihat dari umur korban terlihat bahwa kebanyakan kasus terjadi pada

anak berusia 0-13 tahun (63,26 persen). Berdasarklan jenis kelamin PSTA lebih sering terjadi pada anak perempuan (79,8 persen) dibandingkan anak laki-laki (20,2 persen). Pada akhir tahun 1996, PSTA secara seksual dilaporkan terjadi sebanyak 289 kasus dan 62,41 persen diantaranya terjadi pada gadis berusia 13 tahun ke bawah.

Sejalan dengan perubahan sosial dewasa ini, selain kasus-kasus PSTA di atas terdapat pula masalah-masalah khusus yang dihadapi anak, seperti anak yang hidup di jalanan (street children) yang sangat boleh jadi muncul akibat PSTA dan juga rentan terhadap terjadinya PSTA, juga anak yang bekerja di sektor informal (working children), pekerja anak di sektor formal (child labour), prostitusi anak, pengangkatan anak, penculikan anak dan jual beli anak (child trafficing), anak tertular HIV AIDs, dan lain-lain.

Menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (Suharto, 1997) kesulitan dalam mengungkapkan kasus-kasus PSTA dalam keluarga, terutama disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

(1)Keluarga yang mengalami kasus menganggap bahwa hal tersebut adalah aib mereka sendiri dan memalukan bila diungkap secara umum ;

(2)Anggapan bahwa tidak sepatutnya masyarakat mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri atau orang tua anak ;

(3)Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas ‘tanda-tanda fisik’ pada tubuh anak yang mengalami PSTA sehingga sulit mengenali korban, terutama pada kasus PSTA secara seksual, sebab tidak ada tanda-tanda fisik yang jelas terlihat.

(4)Belum memasyarakatnya sistem dan prosedur pelaporan dari polisi yang baku untuk menagani korban PSTA.

Kasus PSTA dalam keluarga menunjukkan bahwa keluarga gagal dalam menjalankan fungsi-fungsinya terkait dengan pelaksaan peranan-peranan orang tua dalam keluarga. Kegagalan orang tua dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya terhadap anak ini menimbulkan hak substitusi atau ‘hak ketiga’ yang disebut ‘hak negara’. Ini didasari asumsi bahwa negara dan bangsa sebagai suatu nation-state dibentuk atas dasar ‘kontrak sosial’ antara berbagai kepentingan dan

kelompok masyarakat. Negara dalam konsepsi makro adalah sebuah ‘masyarakat’ atau keluarga besar yang memiliki hak dan tanggung jawab seperti halnya keluarga dalam arti yang sebenarnya.

Campur tangan negara dalam hak substitusi ini adalah untuk menjamin terpeliharanya kebutuhan dasar akan hak politik dan sosial masyarakat, termasuk pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan terutama bagi anak. Costin (1979) mengemukakan negara memiliki hak untuk mencampuri (mengganti) tanggung jawab orang tua yang bertindak sebagai pelindung terhadap anak-anak yang belum dewasa dengan menggunakan legitimasi hukum melalui pengadilan untuk merawat dan menyembuhkan anak-anak yang bermasalah ‘secara lebih baik’. ‘Secara lebih baik’ mengandung arti bila orang tua tidak mampu melakukan peran dan tanggung jawabnya secara baik.

Terkait dengan penjelasan di atas pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak secara umum yang ditawarkan, seyognyanya bersifat holistik-komprehensif, yakni menempatkan anak dalam konteks situasi total keluarga, masyarakat dan negara. Model holistik-komprehensif pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak secara umum ini, seperti tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Model Holistik-Komprehensif Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak

Pendekatan dan Sasaran Strategi Program Individual Anak (1) Child Based

Services (2) Institutional Based Services Konseling, Perawatan Medis, Rehabilitasi Sosial, Pemisahan Sementara/Permanen Kelompok : Keluarga inti

dan keluarga besar

(3) Family Based Services

Konseling Keluarga dan Perkawinan, terapi kelompok, Program UEP Msyarakat : Komunitas lokal (4) Community Based Services (5) Location Based Services (6) Half-way House Services Pengembangan masyarakat, Terapi Sosial, Kampanye Sosial, Akasi Sosial, Rumah Singgah, Rumah Belajar

Negara : Pemerintah (7)State Based Services

Perumusan Kebujakan, Law Emforcement. Sumber : Suharto (1997).

Berdasarkan model tersebut di atas, terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak, yaitu :

(1)Child Based Services. Strategi ini menempatkan anak sebagai basis penerima pelayanan. Anak yang mengalami luka-luka pisik dan psikis perlu segera diberikan pertolongan yang bersifat krisis, baik perawatan medis, konseling, atau dalam keadaan tertentu anak dipisahkan dari keluarga yang mengancam dan membahayakan kehidupannya.

(2)Institutional Based Services. Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga/panti. Pelayanan yang diberikan meliputi, fasilitas tinggal menetap, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan, dan pelatihan ketrampilan, serta program rehabilitasi sosial lainnya.

(3)Family Based Services. Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan. Pelayanan ini diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar memiliki kemampuan ekonomi, psikologis dan sosial dalam menumbuhkembangkan anak, sehingga mampu memecahkan masalahnya sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan anak. Keluarga sebagai satu kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis dalam memenuhi kebutuhan anak. Misalnya, melalui program Usaha Ekonomi Produktif (UEP), diterapkan pada keluarga yang mengalami masalah keuangan, terapi perkawinan diberikan pada keluarga yang mengalami permasalahan emosional dan sosial.

(4)Community Based Services. Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Para pekerja sosial datang secara periodik ke masyarakat untuk merancang dan melaksanakan program pengembangan masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, terapi sosial, kampanye sosial, aksi sosial serta penyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang.

(5)Location Based Servises. Pelayanan yang diberikan di lokasi anak yang mengalami masalah. Strategi ini biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak yang bekerja di jalan dan pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik

atau tempat-tempat dimana anak berada, dan memanfaatkan sarana yang di disekitarnya sebagai fasilitas dan media pertolongan. Untuk anak jalanan dan anak yang bekerja di jalan, strategi ini sering disebut sebagai Street Based Services (Pelayanan Berbasiskan Jalanan) (Yohanes, 1996).

(6)Half-way House Services. Strategi ini disebut juga strategi semi-panti yang lebih terbuka dan tidak kaku. Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka untuk berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan anak dengan keluarganya, rumah keluarga pengganti, atau tempat anak yang mengembangkan sub kultur tertentu. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan pendampingan dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah.

(7)State Based Services. Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung (macro and indirect services). Para pekerja sosial mengusahakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial bagi anak. Perumusan kebijakan kesejahteraan sosial dan perangkat

Dokumen terkait