• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN POLITIK DAN SIYASAH DUSTURIYAH A.Pengertian dan Model-model Gerakan Politik

B. Pengertian dan Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyah 1.Pengertian Siyasah Dusturiyah 1.Pengertian Siyasah Dusturiyah

2. Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyah

Fiqh siyasah dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan kompleks. Sekalipun demikian, secara umum, disiplin ini meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Persoalan imamah, hak dan kewajibannya; (2) Persoalan rakyat, status dan hak-haknya; (3) Persoalan bai‟at; (4) Persoalan waliyul ahdi, sumber kekusaan dan kriteria imam; (5) Persoalan perwakilan; (6) Persoalan ahlul halli wal aqdi; (7) Persoalan wuzaroh dan perbandingannya.41

Berkenaan dengan konsep siyasah dusturiyah kaitannya dengan pelaksanaan pemilihan umum kepala Daerah (pilkada) di DKI Jakarta, dibatasi pada konsep imamah, hak dan Persoalan Waliy Al-Ahdi, Sumber Kekuasaan dan kriteria Imam. Lebih lanjut dua konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Imamah, Hak dan Kewajibannya

Al-Mawardi menta‟rifkan bahwa Imamah adalah suatu kedudukan atau

jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia. Pendapat lain dikemukakan oleh Yusuf Musa dengan mensitir pendapat Ibn Kholdun menjelaskan bahwa khalifah atau imamah adalah yang membawa atau memimpin masyarakat sesuai dengan kehendak agama dalam memenuhi kemaslahatan akhirat dan dunianya yang kembali kepada keakhiratan itu, karenanya hal ihwal keduniaan kembali

41

seluruhnya menurut Allah untuk kemaslahatan akhirat. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai dua fungsi sekaligus dalam menjalankan misi dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah dari Allah dan menegakkan peraturan-peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya.

Sedangkan imam yang menjalankan tugas kepemimpinan atau kekhilafan tersebut. Kata-kata imam menunjukkan kepada bimbingan yang menuju ke arah kebaikan. Oleh karena itu, seperti yang dikenal Islam, imam adalah seorang khalifah yang mengatur umat, sebagai pengganti dari Rasulullah SAW dalam menegakkan agama dan mengatur dunia dengan agama itu. Dia adalah pemimpin tertinggi daulah Islam yang bersatu.42

Berbicara tentang hak imam, Al-Mawardi menyebutkan dua hak imam, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. Akan tetapi, bila mempelajari sejarah, layaknya seperti apa yang terjadi pada Abu Bakar, ternyata ada hak lain yang diperuntukkan untuk imam yaitu hak untuk mendapat imbalan dari harta baitul mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut, sesuai dengan kedudukannya sebagai imam. Hak-hak imam ini sangat erat sekali kaitannya dengan kewajiban rakyat. Hak untuk ditaati dan dibantu adalah kewajiban rakyat untuk mentaati dan membantu, seperti tersurat dalam QS. An-Nisa 59, yaitu:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran), dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada

42

Yusuf Qardhawy, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsra, 2003), hlm. 50

Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih

baik akibatnya.43

Islam sebagai agama amal adalah sangat wajar apabila meletakkan kewajiban sebagai focus interest-nya, karena hak itu datang apabila kewajiban telah dilaksanakan dengan baik. Adapun kewajiban-kewajiban seorang imam meski dalam hal ini tidak ada kesepakatan yang pasti dari para ulama dalam hal perinciannya, sebagai contoh akan dikemukakan kewajiban-kewajiban imam menurut Al-Mawardi, yaitu:44

1) Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah ditetapkan dan apa-apa yang telah disepakati oleh ulama salaf.

2) Mentahfidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.

3) Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tenteram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat bepergian dengan aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwa dan hartanya.

4) Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan. 5) Menjaga tapal batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani

menyerang dan menumpahkan darah muslim atau nonmuslim yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim (mu‟ahid).

6) Memerangi orang yang menentang Islam setelah dilakukan dakwah dengan baik-baik tetapi mereka tidak mau masuk Islam dan tidak pula jadi kafir dzimmi.

7) Memungut zakat dan shadaqah-shadaqah sesuai dengan ketentuan syara atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu.

8) Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari baitul mal dengan wajar serta membayarkannya pada waktunya.

9) Menggunakan orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan kepengurusan kekayaan negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta negara diurus oleh orang-orang yang jujur.

10)Melaksanakan sendiri tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan menjaga agama.

43

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya 44

Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 37

Apabila kewajiban-kewajiban ini dikaitkan dengan maqoshidu

asy-syari‟ah, maka tugas dan kewajiban imam tidak terlepas dari hal-hal sebagai

berikut: 45

1) Yang dharuri, yaitu yang meliputi hifdzu din, hifdzu nafs, hifdzu al-„aql, hifdzu al-nasl/iridl, dan hifdzu al-maal serta hifdzu al-ummah, dalam arti seluas-luasnya, seperti dalam hifdzu al-maal termasuk di dalam mengusahakan kecukupan sandang, pangan dan papan, disamping menjaga agar jangan terjadi gangguan terhadap kekayaan.

2) Hal-hal yang bersifat haaji, yang mengarah kepada kemudahan-kemudahan di dalam melaksanakan tugas.

3) Hal-hal yang taksini, yang mengarah kepada terpeliharanya rasa keindahan dan seni dalam batas-batas ajaran Islam.

Dengan kata lain, yang terpenting ulil amri harus menjaga dan melindungi hak-hak rakyat dan mewujudkan hak asasi manusia, seperti hak milik, hak hidup, hak mengemukakan pendapat dengan baik dan benar, hak mendapatkan penghasilan yang layak melalui kasb al-halal, hak beragama dan lain-lain.

b. Persoalan Waliy Al-Ahdi, Sumber Kekuasaan dan kriteria Imam. Imamah atau pemerintahan dapat terjadi dengan dua cara, yaitu dengan cara pemilihan ahl al-hall wa al-„aqd dan cara lain adalah dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang sebelumnya.46

Dalam buku Fiqh Siyasah A. Djazuli, cara yang kedua adalah cara yang dimaksud dengan waliyul ahdi. Cara ini bisa dilakukan atas dasar:

1) Abu Bakar menunjuk Umar yang kemudian kaum muslimin menetapkan keimanan atau pemerintahan Umar atas penunjukkan Abu Bakar tersebut. 2) Umar menunjuk menyerahkan pengangkatan khalifah kepada ahlu syura

(imam orang sahabat) yang kemudian disetujui atau dibenarkan oleh sahabat yang lain.

Jadi, di dalam kasus ini bukan menunjuk seseorang tetapi menyerahkan pengangkatan khalifah kepada sekelompok orang (ahlu syura yang

45

Al-Mawardi, Hukum Tata Negara………. hlm. 37 46

berwenang). Sedangkan pendapat Qadli Abu Ya‟la yang dikutip oleh A. Djazuli menjelaskan bahwa wilayah al-ahd dapat pula dilaksanakan kepada orang yang mempunyai hubungan nasab, baik garis lurus ke atas atau garis lurus ke bawah dengan syarat orang yang ditunjuk itu memenuhi persyaratan imam, karena imamah tidaklah terjadi karena semata penunjukkan akan tetapi imamah terjadi karena persetujuan kaum muslimin.

Dari keterangan di atas, bahwa anak seorang khalifah bisa saja jadi khalifah dengan syarat memenuhi persyaratan sebagai seorang khalifah serta pengangkatannya disetujui oleh setidak-tidaknya mayoritas ahl hall wa al-„aqd. Tetapi seseorang yang tidak memiliki hubungan nasab pun dapat menjadi khalifah, apabila dia yang paling memenuhi syarat serta disetujui oleh ahl al-hall wa al-„aqd.

Berdasarkan pemenuhan syarat dan mendapatkan persetujuan, maka wilayah al-ahdi ini kembali kepada dua masalah poko yaitu siapa yang harus memiliki atau memegang kekuasaan dan apa syarat-syarat yang harus dimiliki iamam yang memegang kekuasaan tersebut.

Perbedaan pendapat para ulama baik ulama terdahulu atau ulama sekarang tidak hanya dalam masalah siapa yang akan memegang kekuasaan saja, untuk masalah syarat-syarat bagi si pemegang kekuasaan ternyata ada para ulama yang memberikan persyaratan yang sangat ketat dan ada pula yang memberi persyaratan yang longgar. Sebagai contoh, Al-Mawardi memberikan tujuh persyaratan sebagai berikut:47

1) Adil dengan segala persyaratannya, yaitu (a) benar tutur katanya, (b) dapat dipercaya, (c) terpelihara dari segala yang haram, (d) menjauhi segala yang dosa dan hal-hal yang meragukan, (e) memegang muru‟ah; yang mengurangi keadilan itu adalah al-fasqu, yang terdiri dari dua hal, yaitu (1) mengikuti syahwat, yang berhubungan dengan anggota badan yaitu melakukan yang haram dan kemungkaran, (2) yang berhubungan dengan syubhat.

2) Memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk ijtihad di dalam hukum dan kasus-kasus hukum yang harus dipecahkan.

3) Sehat panca inderanya baik pendengaran, penglihatan, dan lisannya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

47

4) Sehat anggota badannya dari kekurangan-kekurangan yang dapat mengganggu geraknya.

5) Kecerdasan dan kemampuan di dalam mengatur rakyat dan kemaslahatan. 6) Kebenaran dan punya tanggung jawab, serta tabah di dalam

mempertahankan negara dan memerangi musuh.

7) Nasab imam itu orang Quraisy atas dasar nash dan ijma.

Sedangkan Abu Ya‟la al-Hanbali menyabut empat syarat bagi si

pemegang kekuasaan, yaitu:

1) Haruslah orang Quraisy (keturunan Nadlar bin Kinanah bin Huzaimah bin Mudzrikah bin Ilyas bin Mudlar bin Nasar bin Zaad bin adnan).

2) Memiliki syarat-syarat sseorang hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal, berilmu dan adil.

3) Mampu memegang kendali di dalam masalah-masalah peperangan, siyasah dan pelaksanaan hukuman.

4) Orang yang paling baik atau utama dalam ilmu dan agama.

Namun demikian, Ibn Taimiyah tidak mengharuskan seseorang penguasa memiliki kualitas yang lebih banyak dari seorang saksi yang dapat dipercayai. Tetapi meskipun demikian, Ibn Taimiyah memberikan syarat tambahan yaitu amanah dan memiliki kekuatan. Amanah itu antara lain takut kepada Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dan tidak takut kepada manusia. Sedangkan kekuatan itu sesuai dengan tugas yang disandangnya. Untuk seorang panglima, kekuatan itu berarti memiliki keberanian, pengalaman berperang, tahu taktik dan strategi perang. Kekuatan dalam memutuskan perkaraadalah memiliki ilmu tentang keadilan yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan sunnah, serta mampu melaksanakan hukum.

Dalam literatur lain48 dijelaskan bahwa Menurut Islam, tugas pemimpin itu mengatur urusan dunia dan memelihara Agama. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan seorang pemimpin yang tidak beragama dapat memelihara Agama. Karena itu, kriteria pertama menjadi pemimpin haruslah orang yang beriman. Hal inilah yang disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 144, yaitu.

48

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang kafir menjadi pemimpinmu dengan meninggalkan orang Mukmin. Apakah

kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?”49

Kriteria kedua bahwa pemimpin haruslah seorang yang mempunyai visi dan program kerja untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu. Dalam hadits sahih riwayat Bukhari dan

Muslim disebutkan sabda Rasul SAW yang artinya, “Barang siapa yang tidak

mementingkan urusan kaum Muslim maka ia bukan dari golongan mereka.”

Kriteria ketiga bahwa pemimpin harus seorang yang mampu dalam menjalankan tugasnya. Dalam sebuah hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim Nabi bersabda yang artinya, “Apabila suatu perkara kepada orang

yang bukan ahlinya, tunggulah kehancuran.”

Kriteria keempat bahwa pemimpin haruslah seorang yang diterima di tengah-tengah warganya. Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim

disebutkan yang artinya, “Sebaik-baik pemimpinmu adalah orang yang kamu

cintai dan yang mencintaimu, yang mendoakan kamu dan yang kamu

doakan.”

Kriteria kelima pemimpin tidak diktator dan takabbur. Dalam Al-Quran banyak disebutkan kisah Firaun dan raja Namrud sebagai pebguasa diktator dan zalim. Mereka memerintah sekehendak hatinya semata-mata untuk kenikmatan sendiri. Perintah mereka tidak boleh dibantah. Siapa yang membantahnya dibunuh atau dihukum berat. Kisah-kisah ini dikemukakan dalam A-Quran sebagai celaan terhadap pemimpin yang zalim.

Berdasarkan istilah tersebut, Hasan Al-Banna membaginya dalam tiga kelompok, yaitu: 50

49

Departemen Agama RI., al-Qur‟an dan Terjemahnya. 50

1) Para ahli fiqh dan para mujtahid yang pendapat-pendapat mereka dijadikan sebagai pegangan dalam mengeluarkan fatwa maupun mengambil suatu keputusan hukum.

2) Orang-orang yang memiliki keahlian dalam urusan-urusan yang bersifat umum.

3) Orang-orang yang memiliki sifat kepemimpinan dan kepeloporan di tengah-tengah masyarakat seperti para pemimpin rumah tangga dan keluarga, pemimpin kabilah atau ketua-ketua kelompok masyarakat.

Masih menurutnya, mereka dapat dipilih melalui sistem pemilihan yang terencana dengan dibuat syarat-syarat atau kualifikasi-kualifikasi yang jelas, sehingga orang-orang yang memenuhi persyaratan tersebut bisa dicalonkan dan orang-orang yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak bisa dicalonkan dan dipilih.

Al-Mawardi menyebut orang-orang yang memilih khalifah ini dengan ahl al-ikhtiyar harus memenuhi tiga syarat, yaitu: pertama, keadilan yang memenuhi segala persyaratannya; kedua, memiliki ilmu pengetahuan tentang orang yang berhak menjadi imam dan persyaratan-persyaratannya ketiga, memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan paling mampu serta tahu tentang kebijakan-kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.51

Dari uraian para ulama tentang ahl al-hall wa al-„aqd tampak hal-hal sebagai berikut: 52

1) Ahl al-hall wa al-„aqd adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang

mempunyai wewenang untuk memilih dan membai‟at imam.

2) Ahl al-hall wa al-„aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan

masyarakat kepada yang maslahat.

3) Ahl al-hall wa al-„aqd mempunyai wewenang membuat undang-undang

yang mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal yang diatur secara tegas oleh Al-Quran dan Hadits.

4) Ahl al-hall wa al-„aqd adalah tempat konsultasi imam di dalam

menentukan kebijakannya.

5) Ahl al-hall wa al-„aqd mengawasi jalannya pemerintahan. Wewenang

nomor 1 dan 2 mirip dengan wewenang MPR, wewenang nomor 3 dan 5 adalah wewenang DPR, dan Wewenang nomor 4 adalah wewenang DPA di Indonesia.

51

Al-Mawardi, Hukum Tata Negara……….., hlm. 17 52

Berdasarkan penjelasan di atas, fiqh siayasah dusturiyah berarti pengaturan hubungan antara warga negara dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara yang dalam batas-batas administrasi suatu negara, atau dengan kata lain yaitu pengaturan tentang hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya dalam upaya untuk menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatan. Karenanya, permasalahan di dalam fiqh siayasah dusturiyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, di dalamnya biasanya dibatasi hanya membahas pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.

Sama halnya dengan gerakan-gerakan politik yang dilakukan oleh partai-partai politik, termasuk PKS, kajiannya termasuk dalam kajian siyasah dusturiyah. Karena secara perundang-undangan, partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.53

Dalam hal ini, partai politik melalui fungsi pendidikan politik, sosialisasi politik, perumusan dan penyaluran kepentingan serta komunikasi politik yang secara riil akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat, merekatkan berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat, mendukung integrasi dan persatuan nasional, mewujudkan keadilan, menegakkan hukum, menghormati hak asasi manusia, serta dapat menjamin terciptanya stabilitas keamanan.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan ada empat bagian konsep-konsep dalam siayasah dusturiyah, yaitu konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya perundang-undangan dalam

53

suatu negara), legislasi yaitu mengenai proses perumusan undang-undang), dan demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting dalam perundang-undangan negara serta ummah yang menjadi pelaksana undang-undang tersebut.

BAB III

SEJARAH PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)