• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Pertarungan di Pilkada DKI Jakarta merupakan pertarungan terbuka, artinya rakyat dengan calon gubernur memiliki arus informasi yang lancar, bisa dibilang dalam Pilkada pemilih tidak lagi melihat calon berdasarkan rekomendasi elit, tetapi publik memiliki pengetahuannya sendiri tentang informasi yang bisa diakses dengan mudah. Cara berkampanye dengan gaya elitis justru menambah „gap‟ komunikasi politik, seperti dengan deklarasi

dukungan dari elit parpol, artis, elit-elit kelompok, ormas dan juga tokoh masyarakat. Elitisme kampanye politik ini tidak sama sekali menunjukkan pemilih real di lapangan, misalnya saja elit dari tokoh masyarakat yang melakukan klaim memiliki pengikut ribuan orang, karena komunikasi antara calon dengan pemilih sudah lancar maka tidak dibutuhkan lagi referral, bahkan masyarakat dengan mudah menilai bahwa dukung mendukung elitnya kepada calon tertentu ada harganya. Bisa jadi malah menghilangkan kredibilitas partai.

Seperti pada putaran pertama, dukung-mendukung calon tertentu berdasarkan elitisme tidak akan berpengaruh signifikan pada perolehan suara Jokowi-Ahok atau Fauzi Bowi-Nahrowi Ramli. Tetapi tetap saja PKS sekarang menjadi gula yang manis, Suara PKS menjadi rebutan karena dikenal solid dan berada pada angka yang cukup berpengaruh. Akan banyak godaan bagi PKS untuk melengkapi logistik ataupun menambah jaring kekuasaannya di DKI Jakarta, tetapi kalau ini bisa dijadikan titik balik PKS untuk meneguhkan citra bersih, peduli, profesional secara real bukan tidak mungkin massa PKS akan bersimpati kembali. Pemilih PKS di Jakarta merupakan pemilih rasional, yang perlu diingat bahwa pemilih rasional kritis dan cair. Sehingga sekuat apapun PKS membangun citra tetapi tidak membangun karakter yang kuat label sebagai partai pragmatis tidak akan hilang. Masalah yang dihadapi PKS untuk masa depan adalah bagaimana mengklarifikasi tuduhan bahwa mereka memiliki ide kelompok yang sempit. Selanjutnya dengan ide ini PKS mencari dukungan di ceruk politik yang kecil dan harus bersaing dengan parpol lain yang juga mencari dukungan pemilih yang sama.

Kekalahan PKS di Pilgub DKI 2012 yang mengusung Hidayat – Didik, tentunya di luar ekspektasi para kader PKS. Pasalnya, ekspektasi ini nampak dari kepercayaan diri PKS untuk tetap maju seorang diri mengulang kejayaan 2007. Tidak hanya itu, tokoh yang dimajukan PKS kali ini juga merupakan orang yang populer, sama populernya dengan ketika Adang Daradjatun diusung pada 2007 yang lalu. Beberapa hipotesis yang dapat

jadikan evaluasi dan diskursus untuk menyikapi fenomena “anjlok”-nya suara PKS yaitu:

1) Euphoria Masa Lalu

Hipotesis pertama yang perlu ditelaah adalah adanya euforia masa lalu. Pilgub DKI 2007 meskipun secara suara memberikan kekalahan pada PKS, namun nyatanya hal itu tetap membawa kabar gembira bagi PKS. Betapa tidak, PKS seorang diri bisa meraih hingga 42%, jika dibandingkan dengan 20 partai lainnya yang hanya meraih 58%.Tentunya euforia masa lalu inilah yang menjadi referensi utama PKS dalam memajukan Hidayat – Didik. Begitu juga dengan apa yang terjadi di tataran kader grassroot. Mereka begitu yakin bahwa suara PKS sudah sedemikian kuatnya di Jakarta.

Ada fakta bahwa pada pemilihan legislatif untuk DPRD DKI Jakarta tahun 2009 PKS menempati juara dua (di bawah Partai Demokrat) dengan perolehan 17%, namun hal ini nampaknya tidak banyak diingat. Memang pada awalnya PKS sempat mendekati Fauzi Bowo untuk berkoalisi, dimana PKS waktu itu mengajukan Triwisaksana sebagai cawagub. Namun, pada akhirnya PKS memajukan Hidayat – Didik dengan harapan kedua tokoh nasional ini dapat mendongkrak perolehan suara 17% ini menjadi minimal urutan kedua agar masuk ke putaran kedua.

2) Figure Calon

Hipotesis kedua mengenai faktor figur calon. Euforia 2007 yang memajukan tokoh juga kembali diulang dengan memajukan tokoh yang juga populer, dengan harapan akan membuahkan hasil yang tidak jauh berbeda. Namun, meskipun Hidayat – Didik merupakan tokoh yang sudah berkapasitas nasional, tetap ada perbedaan dengan Adang Daradjatun. Adang Daradjatun merupakan mantan Wakil Ketua Polri, dan sedari awal memang merupakan tokoh yang bukan dibesarkan atau ditokohkan oleh PKS. Figur ini juga yang membuat Adang Daradjatun lebih terasa dimiliki oleh semua kalangan, mulai dari kaum agamis, preman, ormas, para pengusaha, hingga floating mass. Berbeda dengan Hidayat. Walaupun merupakan tokoh yang populer, namun masih dimiliki hanya kalangan tertentu saja, terutama dari kalangan muslim

dan agamis. Sementara Didik juga masih dimiliki hanya oleh kalangan muslim dan akademisi.

Melihat kondisi ini, wajar jika dengan Hidayat – Didik suara PKS tidak dapat terdongkrak jauh. Hal ini membuktikan bahwa ternyata, fenomena besarnya suara PKS pada 2007 lebih banyak ditopang oleh keberadaan floating mass. Mereka tidak lagi setia dan loyal untuk memilih PKS karena figur yang tidak seperti Adang Daradjatun.

Kunci pertarungan PKS pada hampir di semua pilkada adalah keberadaan kelas menengah. Selama ini jika kita amati, kader PKS dan basis sosialnya memang dari kalangan kelas menengah dan kalangan intelektual. Namun, untuk kali ini PKS nampaknya hanya bisa merebut suara dari kalangan intelektual. Sementara suara dari kalangan kelas menengah beralih kepada calon-calon lainnya.

3) Dominasi Status Quo

Hipotesis terakhir yang menyebabkan suara PKS anjlok adalah kelas menangah yang sudah jenuh akan status quo. Sudah dikatakan bahwa karakter kelas menengah di antaranya adalah mempunyai mobilitas tinggi dan padat aktivitas. Hal ini –disadari atau tidak– membuat kelas menengah selalu menemukan hal-hal baru dan mengejutkan, seperti yang diungkapkan Bullock (1990). Fenomena-fenomena yang berkelebat secara cepat dalam pikiran dan

pandangan kelas menengah membuatnya “ketagihan”, menerka-nerka sesuatu

yang baru, dan cenderung mengabaikan fenomena yang sedang berkelebat ini kecuali hanya melihatnya sebatas permukaan. “Apa fenomena selanjutnya?” Begitu kira-kira pertanyaan yang menyeruak di imaji kelas menengah yang menjadi floating mass ini. Dampaknya, status quo adalah hal yang sangat dihindari.

Hidayat – Didik memang tidak mempunyai track record buruk selama pengalaman kepemimpinan dan karyanya, namun sekaligus juga tidak ada

sesuatu yang “mengejutkan” yang dilihat kelas menengah. Inilah poin

utamanya. Masyarakat kelas menengah tidak menemukan karakter “kejutan” dalam diri Hidayat – Didik, melainkan akan tetap pada status quo. Bahkan hal

ini juga mungkin terhadap PKS yang dianggap tetap pada status quo.

Meskipun sempat membawa isu “partai terbuka”, namun toh nyatanya

masyarakat lupa terhadap “kejutan” yang dibuat oleh PKS ini.

Itulah empat hipotesis yang dapat kita jadikan bahan telaah dan diskursus. PKS memang sudah mempunyai basis massa dari kalangan agamis, intelektual, dan pemuda. Namun, PKS harus lebih bisa memainkan peran media dalam mengambil simpati kelas menengah, yang notabene merupaka floating mass dan biasanya mempunyai massa dalam jumlah besar. Caranya, dengan melakukan “kejutan-kejutan” secara berkala, dan membuat pemantiknya pada masa-masa mendekati momentum pemilihan umum. Mungkin hal ini bisa dilakukan untuk Pilwalkot Bekasi, Pilgub Jawa Barat, dan Pilwalkot Bandung yang sebentar lagi akan datang.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dari hasil kajian pustaka dan lanpangan dari uraian yang telah penulis kemukakan. pada bagian akhir peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan terkait dengan rumusan masalah skeipsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Strategi pemenangan pemilu yang dilakukan oleh PKS di DKI Jakarta.

Strategi DPW PKS DKI untuk memenangkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 2012 dengan melakukan strategi kedalam dan strategi keluar. Strategi ke dalam adalah penguatan internal PKS, memaksimalkan kerja struktur PKS untuk bekerja sesuai bidangnya masing-masing dengan semangat perbaikan. Atau bisa dikatakan strategi kedalam yakni meningkatkan kapasitas internal. Sedangkan strategi keluar adalah PKS memberikan kemanfaatan kepada masyarakat secara umum.

2. Gerakan politik Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera DKI Jakarta.

Gerakan politik DPW PKS DKI Jakarta yaitu memadukan antara politik dan dakwah. Berdasarkan gerakan tersebut penulis menemukan bahwah hubungan politik dan dakwah di dalam PKS dan kader PKS tidak dapat dipiasahkan. kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan prinsip dakwah dan Ukhuwah yakni persaudaraan di antara sesama umat manusia. Ukhuwwah dalam arti luas melampaui batas-batas etnik, rasial, agama, latar belakang sosial, keturunan dan lain sebagainya. Masalahnya, setiap orang terlepas dari latar belakang manapun ia datang, jika dipukul pasti sakit, jika tidak makan pasti lapar dan seterusnya. Oleh karena itu, perbuatan politik yang berkualitas tinggi akan menghindari gaya politik konfrontatif yang penuh dengan konflik dan melihat pihak lain sebagai pihak yang harus dieliminasi.

Sebaliknya, gaya politik yang diambil adalah yang penuh dengan ukhuwwah, mencari saling pengertian dan membangun kerjasama keduniaan seoptimal mungkin dalam menunaikan tugas-tugas kekhilafahan.

Model baru gerakan PKS DPW DKI Jakarta adalah dengan gerakan sosial berupa bantuan dana pendidikan bagi kader dan masyarakat lainnya. Melalui program ini kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahu membahu memberikan solusi bagi kader dan masyarakat yang membutuhkan dana untuk biaya sekolah anak dan pemberian modal usaha dan advokasi kesehatan secara berkelanjutan. Strategi dakwah yang yang unik dengan melalui pendekan individu maupun sacara jam‟i dalam aktivitas politiknya sebagai media dakwah kader PKS tidak selalu mencari politik baru dalam rangka meningkatkan perkembangan PKS untuk kekuatan politiknya. Maka PKS melakukan terobosan dalam aktvitas sehariharinya, seperti pemberian alat sekolah dan makanan ringan.

3. Faktor-faktor kekalahan Partai keadilan Sejahtera pada Pilgub DKI Tahun 2012.

Faktor-faktor terkait kekalahan PKS pada Pilgub DKI Jakarta dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu:

a. Faktor Internal

Faktor internal yaitu: 1) Issu korupsi yang meninpa kader partai, dugaan korupsi yang melibatkan unsur pimpinan partai menjadikan elektabilitas partai turun secara drastis, sehingga berakibat pada kekalahan dalam pilkada di DKI Jakarta, 2) Adanya euforia masa lalu sehingga tidak memperhatikan dengan kondisi yang terjadi di tataran kader grassroot. Euphoria tersebut menjadikan PKS begitu yakin bahwa suara sudah sedemikian kuatnya di Jakarta. 3) Calon yang diajukan PKS pada pilkada DKI Tahun 2012 dianggap tidak merepresentasikan semua kalangan. Meskipun dua tokoh yang diajukan merupakan tokoh yang sudah

berkapasitas nasional, tetap ada perbedaan dengan tokoh sebelumnya yang merupakan mantan Wakil Ketua Polri, dan sedari awal memang merupakan tokoh yang bukan dibesarkan atau ditokohkan oleh PKS. Figur itulah yang membuat tokoh tersebut lebih terasa dimiliki oleh semua kalangan, mulai dari kaum agamis, preman, ormas, para pengusaha, hingga floating mass. Berbeda dengan pilkada tahun 2012 merupakan tokoh yang populer, namun masih dimiliki hanya kalangan tertentu saja, terutama dari kalangan muslim dan agamis serta akademisi.

b. Faktor Eksternal

Sedangkan faktor ekternalnya adalah: Pilgub sebelumnya hanya diikuti 2 kandidat, suara tidak terlalu pecah-pecah, b) Semakin sering Pilkada dilaksanakn di Indonesia, masyarakat terpolarisasi secara pragmatis, c) Persoalan DPT juga menjadi penyebab yang sangat signifikan. Karena besar kemungkinan by design. Dimana potensi pemilih kandidat tertentu tidak terdaftar di DPT. Daerah-daerah basis PKS pada Pilgub dan Pemilu sebelumnya banyak yang tidak terdafar, d) Netralitas PNS dan birokrasi masih sangat menyedihkan.

B. Saran-saran

Berlandaskan pada kesimpulan di atas, peneliti dapat memberikan beberapa saran-sarannya terkait dengan pembahasan sebagaimana berikut:

1. Bagi segenap peneliti setelah ini, supaya melanjutkan kajian tentang Partai Poltik Sebagai media dakwah yang telah penulis lakukan ini terutama dalam mengkaji area-area DKI Jakarta belum bisa penulis jangkau secara lebih mendalam. Akan tetapi penulis menemukan perbedaan aktivitas PKS dengan aktivitas partai lainya di DKI Jakarta.

2. Bagi segenap umat Islam, supaya memberikan perhatian yang lebih terhadap jalannya PKS di DKI Jakarta khususnya yang berhubungan langsung dengan politik sebagai media dakwah supaya mendapatkan

pelajaran berharga dari peristiwa-peristiwa aktivitas PKS dalam menyikapi segala bentuk perbedaan.

3. Dengan adanya sekularisasi politik yang terlihat menguat dengan makin merosotnya dukungan pada partai Islam di DKI hendaknya PKS dapat menata ulang strategi dakwah dan gerakan politiknya.