• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1.Pemasaran

5. Loyalitas Konsumen

Reynold dan Beatty (dalam Zulganef, 2002), berhasil membuktikan bahwa kepuasan konsumen akan mempengaruhi loyalitas (besarnya pembelian). Mereka menamakan besarnya pembelian tersebut sebagai share of purchases.

Wulf, Schroder dan Laobucci (dalam Zulganef,2002:104) mendefinisikan loyalitas sebagai besarnya konsumsi dan frekuensi pembelian yang dilakukan oleh seorang konsumen terhadap suatu perusahaan (toko retail). Mereka juga berhasil menemukan bahwa kualitas keterhubungan yang terdiri dari

kepuasan, kepercayaan, dan komitmen mempunyai hubungan yang positif dengan loyalitas.

Loyalitas konsumen secara umum dapat diartikan kesetiaan seseorang atas sesuatu produk, baik barang maupun jasa tertentu. Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan konsumen dalam menggunakan fasilitas maupun jasa pelayanan yang diberikan oleh pihak perusahaan, serta untuk tetap menjadi konsumen dari perusahaan tersebut. Loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu menjadi konsumen, yang memiliki kekuatan dan sikap positif atas perusahaan itu. Loyalitas konsumen terhadap suatu barang atau jasa merk tertentu tergantung pada beberapa faktor: besarnya biaya untuk berpindah ke merk barang atau jasa yang lain, adanya kesamaan mutu, kualitas atau pelayanan dari jenis barang atau jasa pengganti, adanya resiko perubahan biaya akibat barang atau jasa pengganti dan berubahnya tingkat kepuasan yang didapat dari merk baru dibanding dengan pengalaman terhadap merk sebelumnya yang pernah dipakai. Konsumen dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya, akan membeli produk dengan merk tertentu.

Dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Basu Swastha Dharmesta (1999), Loyalitas diartikan sebagai sebuah konsep yang menekankan pada runtutan pembelian seperti yang dikutip oleh Dick dan Basu (1994) dari Day (1969) dan Jacoby dan Olson (1970).

“Pelanggan yang loyal adalah pelanggan yang memiliki ciri – ciri antara lain melakukan pembelian secara berulang terhadap badan usaha yang sama, memberitahukan kepada orang lain tentang kepuasan – kepuasan yang didapat dari badan usaha tersebut, dan menunjukkan kekebalan terhadap tawaran – tawaran dari badan usaha penting” (Griffin, 1998:130).

Menurut Feldwick (1998 dalam skripsi Wahyu dan Irinius) ada beberapa tingkat pelanggan, yaitu:

a. Pelanggan Loyal (entrenched), pelanggan tidak akan pindah ke produk lain.

b. Pelanggan Normal (average), pelanggan yang mempunyai loyalitas cukup tinggi, tetapi masih ada kemungkinan pindah ke produk lain.

c. Pelanggan setengah loyal (shallow), pelanggan setengah loyal setengahnya lagi mempunyai sikap switcher.

d. Pelanggan tidak loyal (convertible), pelanggan akan selalu berpindah ke produk lain.

Loyalitas mungkin memudar seiring dengan berjalannya waktu. Aspek lain loyalitas pelanggan adalah kesediaan pelanggan untuk merekomendasikan perusahaan tersebut kepada teman, anggota keluarga, dan kolega. Pelanggan yang puas akan lebih mungkin menceritakan pengalaman pelanggan kepada orang lain dan merekomendasikan bisnis tersebut kepada orang lain. Loyalitas ini mengarah pada pembelian yang berulang, perekomendasian dan proporsi pembelanjaan yang meningkat.

Assael (1992:112 dalam jurnal Basu S;1999) mengemukakan tiga hal yang menunjukkan kecenderungan pelanggan yang loyal sebagai berikut:

1) Pelanggan yang loyal terhadap merk cenderung lebih percaya diri terhadap pilihannya.

2) Pelanggan yang loyal lebih memungkinkan merasakan tingkat resiko yang lebih tinggi dalam pembeliannya.

3) Kelompok pelanggan yang minoritas cenderung untuk loyal terhadap merk.

Loyalitas juga berkembang mengikuti tiga tahap, yaitu kognitif, afektif dan konatif. Tinjauan ini memperkirakan bahwa konsumen menjadi lebih loyal dahulu terhadap aspek kognitifnya, lalu kepada aspek afektifnya, dan yang terakhir pada aspek konatif. Dalam hal ini ketiganya harus berjalan selaras meskipun dalam literatur tentang disonasi memperlihatkan tidak semua kasus mengalami hal yang sama (Oskamp,1991 dalam jurnal Basu S :1999).

Dalam penelitian Basu Swastha (1999) dikatakan loyalitas kognitif lebih didasarkan pada karakteristik fungsional, terutama biaya, manfaat, dan kualitas. Jika ketiga faktor tersebut jelek, konsumen akan sangat mudah beralih ke merk lain. Pada loyalitas afektif, kerentanan konsumen lebih banyak berfokus pada tiga faktor yaitu ketidakpuasan dengan merk yang ada, persuasi dari pemasar maupun konsumen merk lain, dan upaya mencoba

merk lain. Sedangkan pada loyalitas konasi dan tindakan, kerentanan konsumen lebih berfokus pada faktor persuasi dan upaya coba merk lain. Dalam loyalitas tindakan, konsumen kebal terhadap upaya pemasaran-balik dari merk saingan: komunikasi dan strategi pemasaran merk lain tidak banyak mendapatkan perhatian. Ini disebabkan konsumen tidak melakukan pencarian informasi dan evaluasi. Assael, 1998 (dalam skripsi Wahyu Finasari dan Irinius) memasukkan kebiasaan dan perilaku respon yang sudah rutin ke dalam tindakan loyalitas ini.

Jenis Loyalitas

Loyalitas dapat dibedakan menjadi empat jenis berdasarkan keterikatannya terhadap suatu produk yang ditawarkan, yaitu (Griffin, 2003: 22-23):

1) Tanpa loyalitas: pelanggan tidak mengembangkan loyalitas terhadap produk atau jasa tertentu.

2) Loyalitas yang lemah: pelanggan melakukan pembelian berulang karena suatu kebiasaan atau karena toko tersebut dekat dari tempat tinggalnya. 3) Loyalitas tersembunyi: pelanggan menentukan pembelian berulang

karena pengaruh situasi, bukan karena pengaruh sikap.

4) Loyalitas premium: pelanggan yang memiliki keterikatan tinggi dan melakukan pembelian berulang yang tinggi pula. Bahkan mereka akan memberi tahu atau menawarkannya kepada orang lain pula.

Berpindah-pindah/peka terhadap perubahan harga Tidak ada loyalitas merek

Pembeli komit Menyukai merek

Menganggap merek sebagai sahabat

Pembeli yang puas Dengan biaya peralihan

Pembeli yang puas / bersifat kebiasaan Tidak ada masalah untuk beralih

Gambar II.3 Piramida Loyalitas

Sumber: Junaedi, M.F. Shellyana. 2003. “Hubungan antara Kepuasan Konsumen dan Kualitas Jasa: Studi Perilaku Konsumen terhadap Loyalitas Merk”. Modus Vol.15.

Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, p.108

Pengukuran Loyalitas

Setiap kali seseorang melakukan pembelian, ia akan melalui lima tahap pembelian, yaitu: kesadaran Î pembelian awal Î evaluasi pasca-pembelian

Î keputusan membeli kembali Î pembelian kembali (Griffin, 2003:18-20).

Pengaruh Kepuasan Konsumen Terhadap Loyalitas

Loyalitas terbentuk melalui proses pembelajaran, yaitu suatu proses dimana konsumen melalui pengalamannya berusaha mencari merk yang paling sesuai untuknya, dalam arti produk dari merk tersebut dapat memberikan kepuasan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhannya. Konsumen akan terus menerus mencoba berbagai macam merk sebelum menemukan merk yang benar-benar cocok.

Kepuasan konsumen akan tetap merupakan bagian yang sangat penting dalam loyalitas merk. Kesetiaan merk biasanya mengakibatkan repeated buying dan recommended buying. Jika konsumen puas akan performance

suatu merk maka akan membeli terus merk tersebut, menggunakannya bahkan memberitahukan pada orang lain akan kelebihan merk tersebut berdasarkan pengalaman konsumen dalam memakai merk tersebut. Jika konsumen puas akan suatu merk tertentu dan sering membeli produk tersebut maka dapat dikatakan tingkat kesetiaan merk itu tinggi, sebaliknya jika konsumen tidak terlalu puas akan suatu merk tertentu dan cenderung untuk membeli produk dengan merk yang berbeda-beda maka tingkat kesetiaan merk rendah.

Kepuasan konsumen perlu dipelihara dan ditingkatkan agar dapat menciptakan dan mempertahankan kesetiaan terhadap merk. Bila konsumen memperoleh kepuasan dari pembeliannya akan suatu produk, maka hal tersebut akan menciptakan sikap positif terhadap merk tersebut sehingga konsumen akan melakukan pembelian.

Griffin (2003:35) menyebutkan tujuh tahap dalam menumbuhkan pelanggan yang loyal, yaitu:

1) Suspect: Orang yang mungkin membeli produk atau jasa anda.

2) Prospek: Orang yang membutuhkan produk atau jasa dan memiliki kemampuan untuk membeli (orang tersebut baru mengetahui saja).

3) Prospek yang diskualifikasi: Setelah dipelajari, dapat diketahui bahwa orang tersebut tidak membutuhkan dan tidak memiliki kemampuan membeli.

4) Pelanggan pertama kali: Orang yang telah membeli satu kali. 5) Pelanggan berulang: Orang yang telah membeli lebih dari dua kali. 6) Klien: Orang melakukan pembelian secara teratur.

7) Penganjur (advocate): Tidak hanya melakukan pembelian secara teratur, tetapi juga menganjurkan orang lain untuk membeli produk tersebut.

Komunikasi Word of Mouth

“Word of Mouth adalah komunikasi interpersonal antara dua atau bahkan lebih individu seperti anggota kelompok referensi atau konsumen dan tenaga penjual” (Assael, 1998:100). Rekomendasi dari mulut ke mulut merupakan salah satu faktor terpenting yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang dalam membeli suatu produk.

Menurut Assael (1998: 99), “A satisfied customer is your best sales person”. Menurut Assael Word of Mouth sangat penting untuk pemasar, kepuasan pelanggan atas pengaruh teman dan secara relatif akan merupakan bujukan yang kuat untuk melakukan pembelian, sedangkan ketidakpuasan akan menghalangi penjualan.

Indikator dari Word of Mouth

Assael (1998: 99) mengemukakan bahwa indikator dari Word of Mouth yaitu: a) Kemauan pelanggan dalam membicarakan keunggulan produk kepada

orang lain.

b) Rekomendasi jasa perusahaan kepada orang lain.

c) Dorongan terhadap teman/relasi untuk melakukan pembelian.

Menurut Kotler (Edisi Millenium 2002: 638-639), dua manfaat utama dari pengembangan rujukan atau sumber dari mulut ke mulut adalah:

(1) Sumber dari mulut ke mulut lebih meyakinkan.

Kata – kata yang keluar dari mulut adalah salah satu metode promosi yang dilakukan dari konsumen oleh konsumen, dan untuk konsumen. (2) Sumber mulut ke mulut itu biayanya rendah.

Mengadakan kontak dengan pelanggan yang puas dan membuat konsumen sebagai pemberi nafkah akan membebani perusahaan dengan biaya relatif rendah. Bisnis mungkin menjadi timbal balik dengan mengarahkan bisnis ke petunjuk dan memberikan petunjuk pelayanan atau diskon yang lebih tinggi, serta menawarkan hadiah yang kecil.

6. SEM (Structural Equation Modeling)

SEM merupakan sekumpulan teknik – teknik statistikal yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan yang relatif “rumit” secara simultan atau bersama. Hubungan yang rumit itu dapat dibangun antara satu atau beberapa variabel yang dipengaruhi (dependent) dengan satu atau beberapa variabel yang mempengaruhi (independent). SEM dikenal dengan banyak nama antara lain: causal modeling, causal analysis, simulatanieous equation modeling atau analisis struktur kovarians (Ferdinand, 2002:6).

Konvensi dalam SEM :

a. Variabel terukur (Measured variable)

Variabel ini disebut juga observed variables, indicator variables atau

manifest variable, digambarkan dalam bentuk persegi atau bujur sangkar. Variabel terukur adalah variabel yang datanya harus dicari melalui penelitian lapangan, misalnya melalui instrumen survei.

b. Faktor

Faktor adalah sebuah variabel bentukan, yang dibentuk melalui indikator yang diamati di dunia nyata. Karena ia merupakan variabel bentukan, maka disebut latent variables. Nama lain untuk latent variables adalah construct

atau unobserved variables. Faktor atau konstruk atau variabel laten ini digambarkan dalam bentuk diagram lingkar atau oval atau elips.

c. Hubungan antar variabel

Hubungan antar variabel dinyatakan melalui garis. Karena itu bila tidak ada garis berarti tidak ada hubungan langsung yang dihipotesakan.

Jenis – jenis model dalam SEM terdiri dari dua macam model yaitu model deskriptif dan prediktif. Berikut ini langkah – langkah dalam membuat permodelan dalam SEM yaitu:

a. Pengembangan model berbasis teori.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengembangkan sebuah model yang punya dasar teori yang kuat. Apabila dasar teori tidak kuat maka SEM tidak dapat digunakan. Hal ini dikarenakan SEM tidak digunakan untuk menghasilkan sebuah model namun digunakan untuk mengkonfirmasi model teoritis melalui data empirik.

b. Pengembangan diagram alur untuk menunjukkan hubungan kausalitas. Model teoritis yang telah dibangun pada langkah pertama digambarkan dalam sebuah path diagram.Path diagram tersebut akam mempermudah peneliti untuk melihat hubungan kausalitas yang akan diuji. Konstruk yang dibangun dalam diagram jalur (path diagram) dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1). Konstruk eksogen (exogenous constructs), dikenal sebagai “source variable” atau”independent variable” yang tidak diprediksi oleh variabel yang lain.

2). Konstruk Endogen (endogenous constructs), konstruk endogen adalah faktor – faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa kosntruk. Konstruk endogen dapat memprediksi satu atau beberapa konstruk endogen lainnya, tetapi kosntruk eksogen hanya dapat berhubungan kausal dengan konstruk endogen.

c. Konversi diagram alur ke dalam persamaan struktural dan spesifikasi model pengukuran.

Setelah melewati langkah pertama dan kedua maka langkah ketiga adalah mengkonversi spesifikasi model tersebut ke dalam rangkaian persamaan. Persamaan yang dibangun terdiri dari:

1). Persamaan struktural (structural equations), persamaan ini dirumuskan untuk menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai konstruk. Persamaan struktural berpedoman pada rumus:

dengan model persamaan struktural η2=γ2.1ξ1+ γ2.2ξ2+β2.1η1+ς 2). Persamaan spesifikasi model pengukuran (measurement model), pada spesifikasi model harus ditentukan variabel mana yang akan mengukur konstruk mana, serta menentukan matriks yang akan menunjukkan korelasi yang dihipotesakan antar kosntruk atau variabel.

d. Pemilihan matriks input dan teknik estimasi atas model yang dibangun.

Input data yang digunakan dalam permodelan dan estimasinya adalah matriks varians/kovarians atau matriks korelasi. Matriks kovarians ini digunakan karena memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi atau sampel yang berbeda, hal mana yang tidak dapat disajikan oleh korelasi. Observasi individual tidak digunakan untuk input analisis namun ukuran sampel memegang peranan penting dalam estimasi dan interpretasi hasil SEM.

Gambar II.4 Pedoman Ukuran Sampel

Sumber:Ferdinand, Augusty. 2002. Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen, Edisi Kedua. Semarang: BP Undip

Setelah model dikembangkan dan input data dipilih peneliti harus menentukan program komputer yang dapat digunakan untuk mengestimasi modelnya. Terdapat banyak program antara lain LISREL,

Pedoman Ukuran Sampel

1. Untuk teknik Maksimum Likehood Estimation

menggunakan 100-200 sampel.

2. Tergantung pada jumlah parameter yang diestimasi.

Pedomannya adalah 5-10 kali jumlah parameter yang diestimasi. 3. Tergantung pada jumlah indikator yang digunakan dalam seluruh variabel laten. Bila ada 20 indikator maka sampelnya antara 100-200.

4. Bila sampelnya sangat besar, maka peneliti dapat memilih teknik estimasi. Misalnya bila jumlah sampel diatas 2500, teknik estimasi ADF (asymptotically distribution free estimation) dapat digunakan.

yang handal untuk analisis model kausalitas. Program ini berada di bawah naungan SPSS. Sejak diambil alih oleh SPSS program AMOS 4.0 mengalami kemajuan yang sangat pesat saat ini sudah menjadi AMOS 18. Teknik estimasi yang tersedia dalam AMOS adalah sebagai berikut:

1) Makximum Likehood Estimation (ML)

2) Generalized Least Square Estimation (GLS)

3) Unweight Least Square Estimation (ULS)

4) Scale Free Least Square Estimation (SLS)

5) Asymptotically Distribution- Free Estimation (ADF)

Beberapa dasar dapat digunakan untuk menentukan teknik estimasi mana yang akan digunakan, dapatlah mengacu pada studi Hu, Bentler dan Kano (1992) yang disajikan dalam Tabachick & Fiddel (1997), yang ringkasannya adalah sebagai berikut:

Tabel II. 1

Memilih Teknik Estimasi

Pertimbangan Teknik yang

dapat dipilih

Keterangan Bila ukuran sampel adalah

kecil (100-200) dan asumsi normalitas dipenuhi

ML ULS dan SLS biasanya

tidak menghasilkan uji

χ2

, karena itu tidak menarik perhatian peneliti.

Bila asumsi normalitas dipenuhi dan ukuran sampel antara 200-500

ML dan GLS Bila ukuran sampel

kurang dari 500, hasil GLS cukup baik

Bila asumsi normalitas kurang dipenuhi dan ukuran sampai lebih dari

ADF ADF kurang cocok bila

ukuran sampel kurang dari 2500

e. Menilai problem identifikasi

Problem identifikasi adalah problem mengenai ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Problem identifikasi dapat muncul melalui gejala – gejala berikut ini: 1) Standard error untuk satu atau beberapa koefisien adalah sangat besar

2) Program tidak mampu menghasilkan matriks informasi yang

seharusnya disajikan.

3) Muncul angka – angka yang aneh seperti adanya varians error yang negatif.

4) Munculnya korelasi yang sangat tinggi antar koefisien estimasi yang didapat (misalnya lebih dari 0,9).

Cara untuk menguji ada – tidaknya problem identifikasi adalah sebagai berikut:

a) Model diestimasi berulang – ulang, dan setiap diestimasi

menggunakan starting value yang berbeda- beda. Bila hasilnya tidak dapat konvergen pada satu titik yang sama, maka identifikasi ini harus diamati lebih dalam.

b)Model yang ada diestimasi lalu catatlah angka koefisien dari salah satu variabel. Estimasi lagi model tersebut, jika angka koefisien menunjukkan hasil yang berbeda maka diduga terdapat problem identifikasi.

f. Evaluasi Kriteria Goodness-of-fit

Yang harus dilakukan pertama kali adalah peneliti harus memastikan data yang digunakan sudah memenuhi asumsi- asumsi SEM. Asumsi – asumsi tersebut adalah:

1) Ukuran Sampel

Ukuran sampel yang harus dipenuhi adalah minimum 100 sampel dan selanjutnya menggunakan perbandingan 5 observasi untuk setiap

estimated parameter. 2) Normalitas dan Linearitas

Sebaran data harus dianalisis untuk melihat apakah asumsi normalitas dipenuhi sehingga data dapat diolah lebih lanjut untuk permodelan SEM. Normalitas dapat diuji dengan melihat gambar histogram data atau dapat diuji dengan metode statistik. Uji normalitas dilakukan baik untuk normalitas data tunggal maupun normalitas multivariat. Uji linearitas dapat dilakukan dengan mengamati scatterplots dari data yaitu dengan memilih pasangan data dan dilihat pola penyebarannya untuk menduga ada tidaknya linearitas.

3) Outliers

Outliers adalah observasi yang muncul dengan nilai- nilai ekstrim baik secara univariat maupun multivariat yaitu yang muncul karena kombinasi karakteristik unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh

berbeda dari observasi lainnya. Outliers dapat muncul dalam empat kategori, yaitu:

a) Outlier muncul karena kesalahan prosedur seperti kesalahan dalam memasukkan data atau dalam mengkoding data.

b) Outlier muncul karena keadaan yang benar – benar khusus yang memungkinkan profil datanya lain daripada yang lain, seringkali peneliti punya penjelasan mengenai penyebab munculnya nilai ekstrim tersebut.

c) Outlier dapat muncul karena adanya suatu alasan tetapi peneliti tidak dapat mengetahui penyebab munculnya nilai ekstrim tersebut.

d) Outlier muncul dalam range nilai yang ada, tetapi bila dikombinasikan dengan variabel lain, kombinasinya menjadi tidak lazim atau sangat ekstrim. Hal ini disebut multivariate outliers.

Untuk outlier multivariate jarak mahalanobis pada tingkat p<0,001. Jarak mahalanobis harus dievaluasi menggunakan χ2

pada derajat bebas sebesar jumlah variabel yang digunakan dalam penelitian. Jika terdapat outlier multivariate maka harus dicari penyebabnya dan harus dirubah agar tidak terdapat outlier multivariate.

4) Multicollinearity dan singularity

Multikolinearitas adalah kondisi terdapatnya hubungan linier atau korelasi yang tinggi antara masing-masing variabel independen dalam model regresi. Multikolinearitas biasanya terjadi saat sebagian besar variabel yang digunakan saling terkait dalam suatu model regresi. Oleh karena itu masalah multikolinearitas tidak terjadi pada regresi linier sederhana yang melibatkan satu variabel independen(http://ariyoso.wordpress.com/2009/11/27/multikolinearitasdan autokorelasi).  Multikolinearitas dapat dideteksi dari determinan matriks kovarians. Nilai determinan matriks kovarians yang sangat kecil menunjukkan adanya problem multikolinearitas atau singularitas. Singularitas menunjukkan kegagalan suatu invers

pemetaan atau pemetaan untuk mempunyai balikan. Munculnya singularitas suatu pemetaan menimbulkan akibat yang bermacam-macam. Singularitas berkaitan dengan divergensi nilai fungsi itu di suatu titik. Divergen dalam artian bahwa nilai fungsi itu pada titik yang bersangkutan mempunyai nilai tidak terbatas

(www.wikipedia.com). Apabila terdapat multicollinearity dan singularity maka telitilah kembali data yang digunakan dan keluarkan data yang menyebabkan multicollinearity dan singularity, dan rubah data tersebut menjadi composite variable. 

Setelah mengevaluasi model dengan asumsi – asumsi SEM maka selanjutnya adalah mengukur derajat kesesuaian antara model yang dihipotesakan dengan data yang disajikan. Beberapa indeks kesesuaian dan cut off value untuk digunakan dalam menguji apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak. 

a) Likelihood- Ratio Chi- Square (χ2

), ukuran fundamental dari overall fit. Chi- square ini sangat sensitif terhadap besar sampel yang digunakan. Karena itu bila jumlah sampel cukup besar atau lebih dari 200 maka statistik chi- square harus didampingi oleh alat uji lainnya (Hair et al.,1995; Tabachnick & Fidell, 1996 dalam Ferdinand 2002) nilai chi- square makin kecil makin baik, namun nilai signifikan harus >0,05 atau >0,01 (Hulland et al.,1996).

b) Significance Probability, hasil analisis Chi- square ini bernilai rendah maka akan menghasilkan sebuah signifikansi yang ≥ 0,05 yang akan mengindikasikan tak adanya perbedaan yang signifikan antara matriks kovarians data dan matriks kovarians yang diestimasi.(Hair et al., 1995).

c) RMSEA-The Root Mean Square Error of Approximation, adalah indeks yang dapat digunakan untuk mengkompensasi chi- square

yang dapat diharapkan bila model diestimasi dalam populasi (Hair et al., 1995 dalam Ferdinand, 2002:56). Nilai RMSEA ≤0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan close-fit dari model itu berdasarkan degrees of freedom (Browne dan Cudeck, 1993 dalam Ferdinand, 2002:56).

d) GFI- Goodness of Fit Index, merupakan indeks kesesuaian yang akan menghitung proporsi tertimbang dari varian dalam matriks kovarian sampel yeng terestimasikan (Bentler dan Tanaka dan Huba dalam Ferdinand, 2002:57)

e) AGFI- Adjustes Goodness of Fit Index, analog dengan koefisien determinasi (R2) pada analisis regresi berganda. Indeks ini dapat disesuaikan terhadap derajat bebas yang tersedia untuk menguji diterimanya model (Arbuckle, 1999 dalam Ferdinand, 2002:57). Tingkat penerimaan yang direkomendasi adalah bila AGFI ≥0,90 (Hair et al., 1995).

f) CMIN/DF (The Minimun Sample Discrepancy Function), umumnya dilaporkan oleh peneliti sebagai salah satu indikator mengukur tingkat fitnya sebuah model. CMIN/DF tidak lain adalah statistik χ2

dibagi dengan df sehingga disebut χ2

relatif. Nilai χ2

relatif ≤2,0 bahkan ≤3,0 adalah indikasi dari model fit dengan data (Arbuckle, 1999 dalam Ferdinand).

g) TLI (Tucker-Lewis Index), TLI adalah sebuah alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah

baseline model. Nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model adalah ≥0,9 dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan a very good fit. TLI merupakan index fit yang kurang dipengaruhi oleh ukuran sampel.

h) CFI (Comparative Fit Index), CFI juga dikenal sebagai Bentler Comparative Index. CFI merupakan indeks kesesuaian incremental yang membandingkan model yang diuji dengan full model. Indeks ini dikatakan baik untuk mengukur kesesuaian sebuah model karena tidak dipengaruhi ukuran sampel. Indeks yang mengindikasikan bahwa model yang diuji memiliki kesesuaian yang baik adalah apabila CFI ≥ 0.90.

Tabel II.2

Goodness-of-fit Indices

Goodness of Fit Index Cut-off Value

χ2- Chi-Square Diharapkan kecil

Significance Probability ≥ 0.05 RMSEA ≤ 0.08 GFI ≥ 0.90 AGFI ≥ 0.90 CMIN/DF ≤ 2.00

Dokumen terkait