• Tidak ada hasil yang ditemukan

Luas, Produksi, Produktivitas dan Nilai Ekspor

Dalam dokumen BAPPEDA Sumbar Road Map Sida (Halaman 34-47)

B. Indikator Komoditi Unggulan

1) Luas, Produksi, Produktivitas dan Nilai Ekspor

Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian telah mencatat data luas dan produksi kakao nasional semenjak tahun 1967, dimana luas tanaman kakao nasional saat itu lebih kurang seluas 12.839 ha dengan total produksi sebesar 1.233 ton. Sementara itu ekspor komoditi kakao baru tercatat pada tahun 1969 dengan volume ekspor diperkirakan baru sekitar 410 ton dari 1.763 ton produksi kakao nasional yang ada saat itu. Nilai ekspor kakao pada tahun 1969 tercatat lebih kurang sebesar 155.000 US dolar.

Pertambahan luas dan produksi tanaman kakao nasional terus menunjukkan peningkatan setiap tahun, dimana pada tahun 2011 luas tanaman kakao nasional sudah mencapai seluas 1.745.789 ha atau 136 kali luas tanaman kakao pada tahun 1967 dengan produksi sebesar 903.092 ton atau 732 kali produksi kakao pada tahun 1967. Pertambahan luas dan produksi kakao nasional ini mengindikasikan bahwa permintaan akan komoditi ini juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Data luas dan produksi kakao nasional dari tahun 2000 – 2011 dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.8

Luas dan Produksi Kakao Nasional dari tahun 2000 – 2011

NO TAHUN

LUAS AREAL ( Ha ) PRODUKSI ( Ton)

PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah 1 2000 641,133 52,69 56,094 749,917 363,628 34,79 22,724 421,142 2 2001 710,044 55,291 56,114 821,449 476,924 33,905 25,975 536,804 3 2002 798,628 54,815 60,608 914,051 511,379 34,083 25,693 571,155 4 2003 861,099 49,913 53,211 964,223 634,877 32,075 31,864 698,816 5 2004 1,003,252 38,668 49,04 1,090,960 636,783 25,83 29,091 691,704 6 2005 1,081,102 38,295 47,649 1,167,046 693,701 25,494 29,633 748,828 7 2006 1,219,633 48,93 52,257 1,320,820 702,207 33,795 33,384 769,386 8 2007 1,272,781 57,343 49,155 1,379,279 671,37 34,643 33,993 740,006 9 2008 1,326,784 50,584 47,848 1,425,216 740,681 31,13 31,783 803,594 10 2009 1,491,808 49,489 45,839 1,587,136 741,981 34,604 32,998 809,583 11 2010 1,555,596 50,104 45,839 1,651,539 773,707 36,844 34,075 844,626 12 2011 1,641,130 54,443 50,216 1,745,789 828,255 38,068 36,769 903,092 Sumber: Ditjen Perkebunan (2012)

Tabel 2.8 di atas memperlihatkan bahwa perkebunan kakao di Indonesia di dominasi oleh perkebunan rakyat, dimana pada tahun 2011 luas perkebunan kakao rakyat adalah 94 % dari total luas tanaman kakao nasional dan produksi perkebunan rakyat sejumlah 92 % dari total produksi kakao nasional. Sebagaimana komoditi dari perkebunan rakyat lainnya, tanaman kakao dari perkebunan rakyat terlihat memiliki produktivitas yang relatif lebih rendah. Hal ini tentu ikut memberi kontribusi pada rendahnya produktivitas kakao secara nasional. Pada tahun 2012 rata-rata produktivitas tanaman kakao nasional adalah sebesar 0,52 ton per ha. Data produktivitas tanaman kakao ini merupakan rata-rata dari produktivitas

tanaman kakao dari Perkebunan Rakyat sebesar 0,50 ton per ha, produktivitas perkebunan Besar Nasional 0,70 ton per ha dan produktivitas Perkebunan Besar Swasta sebesar 0,73 ton per ha.

Produksi tanaman kakao di Indonesia sebagian besar di ekspor ke berbagai negara, namun disisi lain Indonesia juga tercatat melakukan impor kakao dari negara lain. Pada tahun 2009 volume ekspor kakao nasional tercatat lebih kurang sebesar 535.236 ton dengan nilai ekspor sebesar 1.413.535 US dolar. Sementara itu pada tahun yang sama Indonesia juga mengimpor kakao sebesar 46.356 ton dengan nilai sebesar 119.321 US dolar. Lebih jelasnya volume dan nilai ekspor serta volume dan nilai impor kakao nasional dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.9

Volume dan Nilai Ekspor serta Volume dan Nilai Impor Kakao Nasional dari tahun 2000 – 2009.

No TAHUN EKSPOR IMPOR

Volume (Ton) Nilai (US$) Volume (Ton) Nilai (US$)

1 2000 424.089 341.860 18.252 18.953 2 2001 392.072 389.262 11.841 15.699 3 2002 465.622 701.034 36.603 64.001 4 2003 355.726 621.022 39.226 76.205 5 2004 366.855 546.560 46.974 77.023 6 2005 463.632 664.338 52.353 82.326 7 2006 609.035 852.778 47.939 74.185 8 2007 503.522 924.157 43.528 82.786 9 2008 515.523 1.268.914 53.331 113.381 10 2009 535.236 1.413.535 46.356 119.321

Sumber: Ditjen Perkebunan (2012)

Tabel 2.9 di atas memperlihatkan bahwa volume dan nilai ekspor kakao nasional cendrung meningkat setiap tahun yang sama halnya dengan impor kakao dimana volume dan nilainya juga meningkat setiap tahun. Jika diperhatikan data produksi dan ekspor kakao nasional dari tahun 2000, maka terlihat bahwa lebih dari 50 % produksi kakao nasional diekspor ke berbagai negara. Data tahun 2009 memperlihatkan dari 809.583 ton produksi kakao nasional sebanyak 535.236 ton atau lebih kurang 66 % dari total produksi kakao nasional diekspor ke mancanegara.

Disinyalir selama ini ekspor kakao nasional sebagian besar adalah merupakan biji kakao kering yang tidak difermentasi, sehingga di negara pengimpor biji kakao Indonesia dihargai lebih rendah dibanding biji kakao

dari negara lainnya. Disatu sisi Indonesia mengimpor biji kakao yang difermentasi dari negara lain guna memenuhi kebutuhan industri pengolahan coklat dan makanan berbahan baku coklat di dalam negeri. Kementrian Perindustrian mencatat terdapat lebih kurang sebanyak 105 perusahaan yang mengolah coklat dan makanan dari coklat di dalam negeri. Sebagian supplay bahan baku untuk memenuhi industri pengolahan coklat di dalam negeri ini dilakukan dengan mengimpor biji kakao dari beberapa negara. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan biji kakao fermentasi dari dalam negeri.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementrian Pertanian pernah mengungkapkan bahwa rata-rata produk-tivitas kakao Indonesia adalah sebesar 813 kg/ha/tahun. Disisi lain mutu biji kakao yang dihasilkan relatif masih rendah, sehingga di pasar Amerika biji kakao dari Indonesia terkena automatic detention sekitar US$ 300/ton. Bandingkan dengan produktivitas kakao di Pantai Gading yang mencapai 1.500 kg/ha/tahun dan produktivitas kakao di Ghana mencapai 2.000 kg/ha/tahun dengan kualitas yang baik, sehingga di pasar ekspor biji kakao mereka memperoleh harga premium lebih tinggi sekitar US$ 300/ton. Dengan demikian selisih harga kakao Pantai Gading dan Ghana dengan kakao Indonesia adalah sekitar US $ 600 per ton. Kalau tiap tahun kita mengekspor biji kakao sekitar 600.000 ton, maka kehilangan devisa sekitar US$ 360.000.000 atau setara dengan Rp 3,6 triliun.

Pertumbuhan yang baik dari pasar biji kakao, produk coklat serta produk olahan coklat juga menyebabkan semakin meluasnya daerah penghasil kakao di Indonesia, termasuk Provinsi Sumatera Barat. Dari survey yang dilakukan, di beberapa daerah di Provinsi Sumatera Barat tanaman kakao telah dibudidayakan semenjak tahun 1980-an. Meski demikian Provinsi Sumatera Barat baru mulai mempopulerkan pengembangan budidaya tanaman kakao semenjak tahun 2006 dengan dicanangkannya provinsi ini sebagai sentra pengembangan kakao di Wilayah Barat Indonesia. Pencanangan ini kemudian memicu pengembangan tanaman kakao pada 17 dari 19 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat.

Semenjak pencanangan sebagai daerah sentra tanaman kakao, maka tanaman ini sudah menjadi prioritas perhatian pemerintah melalui perencanaan pembangunan pertanian. Sebagai wujud perhatian tersebut, maka di dalam dokumen Rencana Pembangunan jangka Menengah (RPJM)

Provinsi Sumatera Barat tahun 2010-2015, tanaman kakao merupakan tanaman perkebunan yang akan dikembangkan dalam program dan kegiatan pembangunan pertanian lima tahun yang akan datang.

Perhatian yang serius dalam pengembangan tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat, menyebabkan relatif tingginya angka pertambahan luas tanaman kakao setiap tahunnya dibandingkan dengan komoditi perkebunan lainnya. Pertumbuhan luas beberapa komoditi perkebunan di Sumatera Barat dapat di lihat pada tabel berikut.

Tabel 2.10

Data luas tanaman perkebunan Provinsi Sumatera Barat

NO KOMODITI TAHUN 2007 2008 2009 2010 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelapa Sawit Karet Kelapa Kakao Gambir Cassiavera Kopi Nilam Pinang 291.734 149.759 90.760 49.743 19.350 38.300 47.511 2.965 9.022 327.653 151.032 91.272 65.103 19.663 38.566 47.907 2.976 9.035 344.351 159.039 91.367 82.450 28.335 38.741 47.413 2.997 9.007 353.300 175.985 91.672 101.014*) 21,400 38.701 47.764 3.880 9.077 *) Termasuk perkebunan Besar Swasta

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, 2011.

Tabel 2.10 di atas memperlihatkan hingga tahun 2010 tanaman kakao sudah menempati urutan ke tiga dalam hal luas penanaman dibanding tanaman perkebunan lainnya di Sumatera Barat, disamping itu tanaman kakao juga memperlihatkan tingkat pertambahan luas yang relatif paling tinggi dari tanaman perkebunan lainnya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Data menunjukan bahwa tanaman kakao rata-rata tumbuh sebesar 29 % setiap tahun, disusul tanaman gambir sebesar 23 % setiap tahun. Sementara itu tanaman kelapa sawit hanya tumbuh rata-rata sebesar 9 % setiap tahun dan tanaman karet hanya tumbuh rata-rata sebesar 3 % setiap tahun.

Sebagaimana ciri perkebunan kakao secara nasional, di Provinsi Sumatera Barat perkebunan kakao sebagian besar juga merupakan perkebunan rakyat yang tersebar pada 19 Kabupaten/Kota yang ada. Dari 19 Kabupaten/Kota yang mengembangkan tanaman kakao, yang merupakan daerah sentra utama adalah Kabupaten Pasaman diikuti oleh

Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Pendefinisian daerah sentra di sini adalah berdasarkan pada luas penanaman dan jumlah produksi kakao yang dihasilkan. Untuk lebih jelasnya luas tanaman kakao per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat dapat di lihat pada tabel berikut.

Tabel 2.11

Luas Tanaman Kakao Perkebunan Rakyat Per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat dari Tahun 2006 sampai dengan tahun 2010.

No Kabupaten/Kota Luas (Hektar)

2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Agam 2,790 3,152 4,302 4,477 7,561 8,231 2 Pasaman 9,362 15,039 15,639 15,831 19,417 21,886 3 50 Kota 769 1,035 2,295 2,980 5,610 5,686 4 Tanah Datar 178 312 625 1,343 2,351 3,208 5 Padang Pariaman 2,002 3,641 6,001 15,669 18,187 21,129 6 Solok 583 1,073 2,573 2,573 3,114 3,957 7 Pesisir Selatan 334 521 1,221 1,663 3,143 4,241 8 Sijunjung 439 658 937 1,097 2,251 2,902 9 Kep. Mentawai 259 598 918 1,668 1,704 1,863 10 Solok Selatan 16 158 349 631 1,016 1,431 11 Pasaman Barat 3,676 7,204 8,337 8,737 12,661 15,883 12 Dharmasraya 50 303 827 1,202 1,918 2,488 13 Kota Padang 64 152 268 610 836 1,119 14 Kota Pdg Panjang - - - 5 15 20

15 Kota Paya Kumbuh 192 192 222 287 1,084 1,472

16 Kota Solok 20 27 34 99 229 313

17 Kota Sawahlunto 375 1,190 1,820 2,412 3,124 3,951

18 Kota Bukittinggi 3 6 13 13 20 21

19 Kota Pariaman 24 99 246 167 515 1,213 J u m l a h 21,136 35,360 46,627 61,464 84,756 101,014 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, 2011

Dari tabel 2.11 di atas dapat kita perhatikan data luas pertanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat dari tahun 2006 hingga tahun 2010 telah terjadi peningkatan seluas 61.975,6 ha atau rata-rata seluas 15.493,9 ha setiap tahunnya. Pencanangan Provinsi Sumatera Barat sebagai daerah sentra pengembangan kakao di Wilayah Barat Indonesia antara lain ditandai dengan penetapan target luas tanaman kakao lebih kurang 108 ribu ha pada tahun 2010. Bila kita perhatikan data capaian luas tanaman kakao dari

Perkebunan Rakyat di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 yaitu seluas 98.706 ha, maka capaian luas penanaman sudah mencapai angka 91 % dari target luas tanaman kakao yang diharapkan. Jika data perkebunan rakyat ini ditambah dengan tanaman kakao dari Perkebunan Besar milik Swasta, maka luasnya sudah menjadi 101.014 ha atau mencapai 93 % dari target luas tanaman kakao pada tahun 2010.

Berdasarkan sebaran luas pertanaman kakao yang ada di Provinsi Sumatera Barat, dapat kita lihat bahwa areal terluas perkebunan kakao rakyat terdapat di Kabupaten Pasaman dengan luas mencapai 22 % dari total luas tanaman kakao rakyat dan dengan produksi sebesar 31 % dari total produksi kakao rakyat yang ada di Sumatera Barat. Selanjutnya disusul oleh Kabupaten Padang Pariaman seluas 21% dari total luas perkebunan kakao rakyat dengan produksi sebesar 20% dari total produksi kakao rakyat yang ada di Sumatera Barat, dilanjutkan dengan Kabupaten Pasaman Barat dengan luas mencapai 16% dari total luas perkebunan kakao rakyat dengan produksi sebesar 14% dari total produksi karet rakyat yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Areal yang relatif luas setelah itu berturut-turut adalah Kabupaten Agam (8%) dan Lima Puluh Kota (6%). Lebih jelas sebaran luas tanaman kakao berdasarkan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada tahun 2010 dapat di lihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1.

Sebaran luas pertanaman kakao berdasarkan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada tahun 2010. (diganti)

Dengan luas tanaman kakao seluas 101.014 ha pada tahun 2010 (perkebunan rakyat dan perkebunan swasta nasional), dan produksi sebesar 49.769 ton, maka rata-rata produktivitas tanaman kakao di

Sumatera Barat hanya sebesar 0,49 ton/ha/th, sementara secara teoritis potensi produktivitas tanaman kakao adalah lebih kurang 2 ton/ha/tahun. Data luas tanaman, produksi dan produktivitas tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel 2.11 berikut sedangkan distribusi produksi per Kabupaten/Kota dapat dilihat pada gambar 2.2.

Pada tahun 2011 luas tanaman kakao Provinsi Sumatera Barat tercatat seluas 117.014 ha dengan tingkat produksi sebesar 56.000 ton. Jika diperhatikan data tahun 2011 luas dan produksi tanaman kakao Provinsi Sumatera Barat baru sekitar 7 % dari total luas dan produksi kakao nasional.

Data di atas menunjukan bahwa produktivitas tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat relatif rendah dari produktivitas tanaman kakao secara nasional yang sudah mencapai angka 0,52 ton/ha/tahun. Rendahnya produktivitas tanaman kakao ini, mendorong pemerintah untuk melakukan upaya agar produktivitas ini bisa mencapai angka 1,2 ton/ha/tahun. Jika angka produktivitas ini tercapai maka mulai tahun 2015 produksi biji kakao di Sumatera Barat akan mencapai angka 121 ribu ton. Jumlah ini tentu jauh meningkat dari produksi kakao yang ada saat ini yang hanya sebesar 49 ribu ton.

Tabel 2.12

Produksi, luas areal dan produktivitas Tanaman Kakao Per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat pada Tahun 2010 No Kab/Kota Produksi (ton) Luas Produktivitas

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Kab. Agam Kab. Pasaman Kab. 50 Kota Kab. Tanah Datar Kab. Padang Pariaman Kab. Solok

Kab. Pss Selatan Kab. Sijunjung Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat Kab. Dhamasraya Kota Sawahlunto Kota Pariaman Kab Mentawai 5.354 15.175 2.387 1.092 9.731 1.638 1.485 1.143 421 6.817 994 1.397 231 835 6.182 21.886 5.686 3.208 21.129 3.957 4.241 2.902 1.431 15.883 2.488 3.951 1.213 1.863 0,39 0,69 0,42 0,34 0,46 0,41 0,35 0,39 0,30 0,43 0,40 0,35 0,19 0,45

No Kab/Kota Produksi (ton) Luas Produktivitas 15 16 17 Kota Solok Kota Payakumbuh Kota Padang 103 546 408 313 1.472 1.119 0,33 0,37 0,37 Total 49.769 101.014 0,49

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat. 2011.

Gambar 2.2

Distribusi Jumlah Produksi kakao Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat pada Tahun 2010.

Sejalan dengan peningkatan produksi, ekspor kakao dari Provinsi Sumatera Barat juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Jika dilihat dari data tahun 2005 hingga tahun 2009 volume ekspor kakao dari Sumatera Barat naik rata-rata sebesar 95% per tahun dan nilai ekspor juga naik dengan rata-rata sebesar 131% per tahun. Lebih jelas volume dan nilai ekspor kakao dari Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel 2.13

Tabel 2.13

Volume dan Nilai Ekspor Kakao Provinsi Sumatera Barat 2005 – 2009

Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 Volume (000 Ton) 3.202 5.353 8.112 12.284 38.000

Nilai (000 USD) 3.386 4.401 10.717 27.030 80.959 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat. 2011.

2) Permasalahan

Salah satu sasaran pembangunan sektor pertanian adalah terwujudnya masyarakat tani yang sejahtera. Hal ini dapat dicapai bilamana hasil pertanian yang diusahakan bisa memberikan nilai profit yang tinggi bagi petani. Penciptaan nilai profit yang tinggi dapat terwujud antara lain dengan peningkatan produktivitas hasil pertanian dan peningkatan nilai tambah produk pertanian di tingkat pelaku usaha tani.

Kondisi sebagaimana yang diharapkan di atas belumlah sepenuhnya dapat dicapai pada pertanian kakao di Indonesia dan Sumatera Barat khususnya. Produktivitas tanaman kakao petani masih sangat rendah dengan rata-rata 0,49 ton/ha/tahun dari potensi sebesar 2 ton/ha/tahun. Disatu sisi hampir belum ada nilai tambah dari produk olahan biji kakao yang bisa diperoleh pada tingkat pelaku usaha tani kakao. Jangankan melakukan pengolahan biji kakao, untuk melakukan fermentasi biji kakao dengan harapan dapat dijual sedikit lebih mahal itupun belum dilakukan oleh sebagian besar petani.

Ada beberapa yang diduga sebagai penyebab rendahnya produktivitas tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat antara lain:

1. Bibit kakao yang digunakan oleh sebagian besar petani adalah merupakan bibit asalan yang dikembangan sendiri oleh petani, bukan merupakan bibit dari klon unggul.

2. Sebagian besar tanaman kakao ditanam sebagai tanaman tumpang sari dengan berbagai jenis tanaman pohon, namun tidak tertata dengan baik, sehingga tanaman kakao tidak mendapatkan pencahayaan sinar matahari yang cukup. Disisi lain ada juga petani yang mengembangkan tanaman kakao sebagai tanaman monokultur, tapi tidak disediakan tanaman pelindung yang baik, sehingga juga menyebabkan tidak berproduksinya tanaman kakao dengan baik.

3. Sebagian besar petani tidak melakukan pemupukan tanaman kakao dengan benar, sehingga tanaman kakao tidak mempunyai cukup hara untuk makanannya.

4. Sebagian besar petani tidak melakukan pemangkasan tanaman kakao dengan benar, sehingga tanaman tumbuh seperti tanaman hutan. Kondisi ini menyebabkan tidak terdistribusinya penyinaran matahari dengan baik pada pokok tanaman dan mudah berkembang biaknya hama dan penyakit pada tanaman kakao.

5. Masih rendahnya sistem pengendalian hama penyakit yang dilakukan oleh petani, sehingga hama dan penyakit disamping menyerang buah juga ada yang menyerang pokok tanaman sehingga menyebabkan tanaman menjadi mati. Disamping itu buah atau bakal buah tanaman kakao kemudian tidak berkembang dengan baik dan tidak menghasilkan biji atau kalaupun menghasilkan biji, kualitas biji menjadi sangat rendah.

Tanaman kakao adalah tanaman perkebunan dengan tingkat intensitas perawatan yang relatif tinggi, diantaranya adalah pelaksanaan pemangkasan. Oleh sebab itu dari hasil wawancara yang dilakukan dengan petani dimana 1 keluarga tani dengan 1 orang Bapak dibantu oleh istri dan 1 orang anak hanya akan mampu mengelola tanaman kakao maksimal seluas 2 ha. Jika produktivitas tanaman hanya 0,5 ton/ha/tahun, maka hasil yang bisa diperoleh dari 2 ha lahan hanya sebesar 1 ton/ha/tahun. Jika harga biji kakao kering di tingkat petani sebesar Rp. 20.000,- per kg, maka pendapatan petani kakao dengan luas lahan 2 ha hanya sebesar Rp. 20 juta per tahun atau rata-rata lebih kurang Rp. 1,7 juta per bulan. Pendapatan ini tentu masih relatif rendah dibandingkan dengan upaya yang dilakukan dan dibandingkan dengan pendapatan dari komoditi lain pada luasan lahan yang sama.

Menjadikan tanaman kakao sebagai produk unggulan Sumatera Barat harus diikuti dengan pemahaman yang komprehensif mulai dari budidaya tanaman hingga produk akhir bisa disajikan. Dengan demikian setiap tahapan resiko dapat diantisipasi dan inovasi dapat dilahirkan untuk menjadikan nilai tambahnya menjadi tinggi dan dinikmati masyarakat.

Dari beberapa laporan bahwa serangan hama penyakit telah melumpuhkan bisnis kakao di banyak tempat. Hama penyakit utama tanaman kakao adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD). Hal ini mengakibatkan menurunnya produktivitas tanaman menjadi 660 kg/ha/tahun atau sebesar 37% dari produktivitas yang pernah dicapai (1.100 kg/ha/thn). Secara nasional kejadian ini mengakibatkan potensi kehilangan hasil lebih kurang sebesar 184.500 ton/thn atau setara dengan Rp 3,69 triliun per tahun. Selain menurunkan produktivitas, serangan tersebut juga menyebabkan mutu biji kakao rakyat menjadi rendah. Dengan alasan ini selain tidak difermentasinya biji kakao yang diekspor terutama ke Amerika Serikat mengakibatkan diberlakukannya pemotongan harga sebesar US$ 301,5/ton.

Ada 2 produk utama yang dapat dihasilkan dari biji kakao kering yaitu lemak kakao dan bubuk kakao yang merupakan produk kering dari sisa biji yang telah dikeluarkan lemaknya. Produk coklat atau produk makanan dan minuman dari coklat adalah produk yang diolah dari bubuk kakao tersebut. Untuk menghasilkan produk coklat atau produk makanan dan minuman dari coklat yang berkualitas baik harus dengan menggunakan biji kakao yang telah difermentasi. Dengan demikian biji kakao yang difermentasi dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao yang tidak difermentasi.

Sebagian besar produk biji kakao kering yang dihasilkan petani kakao di Sumatera Barat adalah biji yang tidak difermentasi, sehingga di pasar ekspor biji kakao ini dihargai lebih murah atau sering dikenakan diskon harga dibandingkan dengan biji kakao yang dihasilkan dari negara lain. Dengan demikian harga biji kakao di tingkat petani tentu juga akan dipatok lebih murah.

Fermentasi biji kakao dilakukan dengan pemeraman biji di dalam suatu wadah selama 4 - 5 hari, dengan syarat selama pemeraman itu dapat tercapai suhu fermentasi lebih kurang menjadi 45 0C. Dari praktek yang dilakukan kondisi fermentasi yang dimaskud dapat tercapai bilamana biji kakao basah dimasukan ke dalam kotak dengan kapasitas lebih kurang 40 – 50 kg setiap kotak. Kapasitas persyaratan fermentasi ini yang juga di duga menjadi salah satu penyebab tidak dilakuknnya fermentasi biji kakao pada tingkat petani. Sebagian besar petani kakao di Sumatera Barat memiliki lahan budidaya kakao yang relatif kecil (rata-rata 0,5 ha per keluarga tani), sehingga jumlah buah dan biji yang dihasilkan setiap kali pemanenen sangat kecil. Dengan demikian jelas jumlah biji yang dihasilkan petani tidak akan memenuhi persyaratan jumlah untuk dapat dilakukan fermentasi pada setiap petani. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa peningkatan nilai tambah pada tingkat produk primer saja masih sulit dapat diperoleh petani kakao di Sumatera Barat.

Ada dua alasan utama yang dikemukakan petani kakao di Sumatera Barat untuk tidak melakukan fermentasi biji antara lain:

1. Kecilnya volume panen biji kakao setiap petani untuk setiap kali pemanenen, sehingga tidak mencukupi volume biji untuk persyaratan dapat dilakukannya fermentasi.

2. Hampir tidak ada perbedaan harga di tingkat pedagang pengumpul atas biji kakao yang difermentasi dengan biji yang difermentasi.

Rantai perdagangan biji kakao yang sangat panjang sering pula diperbincangkan sebagai salah satu penyebab rendahnya harga kakao di tingkat petani, sementara margin yang tinggi masih diperoleh oleh pedagang kakao. Untuk itu sudah dilakukan upaya-upaya termasuk memperpendek rantai dagang kakao ini melalui pembentukan kelompok tani dan koperasi yang diharapkan dapat melakukan akses langsung ke pabrik pemakai akhir atau ke eksportir biji kakao. Upaya lain untuk memperpendek rantai perdagangan serta sekaligus memberikan nilai tambah yang tinggi bagi petani, telah dilakukan dengan mendorong dilakukannya pengolahan biji kakao menjadi produk akhir pada tingkat petani atau kelompok tani. Program ini ditandai dengan memberikan bantuan peralatan dan mesin pengolahan biji kakao ke kelompok tani atau koperasi.

Pengolahan biji kakao menjadi produk hilir hingga produk makanan berbahan baku coklat untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi dari biji kakao pada prinsipnya tidaklah terlalu sulit. Secara sederhana tahapan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Biji kakao difermentasi lalu dikeringkan

2. Biji yang telah kering di sangrai untuk menurunkan kadar air serta memberikan aroma yang enak. Selanjutnya pisahkan kulit ari dengan inti biji kakao.

3. Inti biji selanjutnya dihancurkan menjadi pasta kakao.

4. Pasta selanjutnya di ekstrak untuk mengeluarkan lemak atau memisahkan lemak kakao dengan daging biji (ampas).

5. Lemak kakao yang dihasilkan sudah bisa dipasarkan tanpa pengolahan lebih lanjut.

6. Ampas (daging biji) yang telah dikeluarkan lemaknya selanjutnya dahaluskan untuk mendapatkan bubuk kakao. Bubuk kakao ini sudah dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan makanan ataupun minuman.

Berdasarkan pada pemahaman mudahnya tahapan proses pengolahan biji kakao sampai dihasilkannya tepung kakao yang diharapkan memberikan nilai tambah yang tinggi, telah mendorong pemerintah untuk menerapkan teknologi pengolahan kakao tersebut pada tingkat petani di daerah-daerah sentra penghasil biji kakao. Di Provinsi Sumatera Barat

tercatat lebih kurang sebanyak 12 set alat pengolahan kakao telah diserahkan kepada kelompok tani dengan tujuan agar petani dapat mengolah sendiri produksi kakaonya menjadi produk hilir yang mempunyai nilai tambah tinggi. Kenyataannya di lapangan berbagai kendala terutama kendala teknis dalam melakukan pengolahan biji kakao menjadi produk hilir

Dalam dokumen BAPPEDA Sumbar Road Map Sida (Halaman 34-47)

Dokumen terkait