• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Yang Sudah Dilakukan

Dalam dokumen BAPPEDA Sumbar Road Map Sida (Halaman 47-54)

B. Indikator Komoditi Unggulan

3) Upaya Yang Sudah Dilakukan

Banyak program peningkatan kesejahteraan petani berbasis kakao baik oleh pemerintah maupun oleh institusi lain termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang sudah dilakukan. Program-program tersebut mulai dari perbaikan sistem dan teknik budidaya kakao, pengelolaan pasca panen dengan fermentasi biji kakao hingga pengolahan biji kakao menjadi produk makanan serta pemberdayaan kelompok tani kakao.

Beberapa program sudah diluncurkan untuk mengatasi permasalahan sebagaimana yang disebutkan di atas. Program tersebut antara lain; Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT), Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE), serta penerapan teknologi pengendalian dengan metoda PSPsP (pemangkasan, sanitasi, panen sering dan pemupukan) untuk pengendalian PBK dan VSD serta penyediaan benih unggul (terakhir benih Somatic Embryogenesis / SE). Namun saja karena

pelaksanaannya masih parsial dalam skala kecil, maka hasilnya belum optimal. Untuk itu inovasi baru harus dikembangkan sehingga produktivitas tanaman kakao masyarakat bisa menjadi lebih tinggi.

Secara komprehensif pada tahun 2011 guna meningkatkan produktivitas tanaman kakao, pemerintah melakukan program yang dinamai dengan Gerakan Nasional (Gernas) kakao. Gernas ini ditandai dengan tiga kegiatan pokok yaitu peremajaan tanaman kakao, rehabilitasi dan intensifikasi. Peremajaan ditujukan untuk mengganti tanaman kakao yang sudah tua, tanaman yang rusak dan tidak produktif, serta tanaman yang terserang hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat. Rehabilitasi ditujukan untuk mengganti tanaman yang kurang produktif dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan sedang. Sementara itu intensifikasi dilakukan pada kebun kakao yang tanamannya tidak terawat dan kurang pemeliharaan. Pada tingkat daerah pemerintah setempat juga telah memprogramkan berbagai kegiatan mulai dari bantuan bibit unggul, penyuluhan, dan sekolah lapang. Dalam pengertian ini upaya pemerintah dalam peningkatan produktivitas tanaman kakao rakyat terlihat sudah sangat sungguh-sungguh.

Perbaikan kulitas biji kakao untuk menghasilkan biji kakao yang difermentasi juga sudah didorong dengan melakukan berbagai bentuk penyuluhan, pembentukan kelompok serta pemberian kotak fermentasi. Pembentukan kelompok ditujukan agar kekurangan jumlah biji pada tiap petani untuk dapat difermentasi dapat diatasi dengan cara melakukan fermentasi berkelompok sehingga jumlah biji untuk tiap kotak fermentasi yang memenuhi syarat dapat dicapai.

Pada tingkat Provinsi Sumatera Barat upaya terakhir yang sudah dilakukan dalam meningkatkan kesejahteraan petani berbasis tanaman kakao ini adalah dengan meluncurkan program yang disebut dengan Nagari Model Kakao. Program ini merupakan pembinaan terpadu bagi petani kakao agar dapat melakukan budidaya tanaman dan penanganan pasca panen biji kakao dengan cara yang benar. Dengan demikian diharapkan produktivitas buah kakao yang dihasilkan pada nagari sasaran menjadi lebih tinggi dengan dilakukannya perbaikan aspek-aspek budidaya dengan baik serta kualitas biji kakao yang dihasilkan juga cukup tinggi. Kulitas biji kering yang baik dikarenakan biji yang diproduksi diharapkan berkualitas baik karena penerapan aspek budidaya yang baik dan pada penanganan pasca panen dilakukan fermentasi biji yang dihasilkan.

Program peningkatan nilai tambah berbasis kakao yang sudah dilakukan adalah dengan memberikan bantuan peralatan dan mesin pengolahan kakao pada tingkat kelompok tani dan koperasi. Melalui peralatan dan mesin yang ada diharapkan kelompok tani dapat mengolah biji kakaonya menjadi produk hilir antara lain memproduksi lemak kakao dan bubuk kakao yang siap diolah menjadi produk makanan dan minuman. Program ini telah ditandai dengan memberikan bantuan lebih kurang sebanyak 12 set peralatan dan mesin pengolahan kakao yang sudah tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di Sumatera Barat. Untuk melangkapi program pengolahan hasil ini Menristek juga telah membentuk Agrotechnopark dengan membangun rumah produksi pengolahan kakao di Kabupaten 50 Kota. Contoh spesifikasi peralatan pengolahan kakao yang pernah diperbantukan kepada masyarakat di Sumatera Barat adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 2.14

Tabel 2.14

Spesifikasi Peralatan Pengolahan Kakao

Yang Ada Pada Beberapa Kelompok Tani Kakao di Provinsi Sumatera Barat No Nama Peralatan Spesifikasi

1 Mesin Diesel Kapasitas 20 HP

2 Kotak Fermentasi Kapasitas ±20 Kg biji/kotak. Ukuran 35cmx35cmx35cm, tebal 3 cm

3 Mesin Pegering (Dryer)

Kapasitas 1,5 ton/batch (1 batch=50 jam), sumber panas burner minyak tanah, 2 kipas aksial, penggerak mesin diesel 7 PK eks Cina. Lantai Pengering: ayakan alumunium; Rangka mesin: Baja profil kotak, dimensi 3x2x1m (PxLxT)

4 Mesin Sortasi biji kakao (grader)

Kapasitas 1.200 kg/jam, penggerak motor bakar 5,5 PK. Transmisi pulley dan sabuk karet V

5 Mesin Sangrai (Roaster) Kapasitas 20 kg/batch (1 batch = 30 -45 menit). Penggerak motor listrik ½ HP Sumber Panas burner minyak tanah

6 Mesin Pemecah biji dan pemisah kulit (desheller)

Kapasitas 80kg/jam, penggerak motor listrik ½ HP. Transmisi Pulley dan sabuk karet V

7 Mesin Pemasta kasar Kapasitas 4 kg/jam, penggerak motor listrik ½ HP Transmisi Pulley dan sabuk karet

8 Kempa lemak Manual Manual. Kapasitas 500 g/batch (1 batch = 5 menit)

9 Penghalus bubuk (refiner) Kapasitas 8 g / batch. (1 batch = 4 jam) Penggerak motor listrik 2 HP

10 Pencampur bubuk (mixer) Kapasitas 10 kg bubuk coklat/batch (1 batch = 20 menit) penggerak motor listrik 3 HP

11 Mesin Alumunium Sealer -Sumber: Identifikasi

Dari penjelasan di atas bahwa sesungguhnya berbagai program terlihat sudah sangat komprehensif dalam pengembangan kakao di Sumatera Barat. Program tersebut mulai dari perbaikan sistem budidaya, penanganan pasca panen melalui fermentasi biji hingga pengolahan biji kakao menjadi produk hilir yang siap diolah menjadi produk makanan dan minuman. Jika sekarang ternyata permasalahan kakao untuk meningkatkan kesejahteraan petaninya belum tercapai, maka masih perlu ada upaya lain yang harus dilakukan.

Gubernur Sumatera Barat pada suatu kesempatan pertemuan pada tanggal 28 Agustus 2012 mengungkapkan bahwa penanam modal asing sudah ada yang ingin membantu pengembangan kakao di Sumatera Barat. Bantuan tersebut baik dari segi peningkatan sumber daya manusia maupun dalam pengembangan produk turunan kakao. Disamping itu Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat saat ini telah menjadikan 10 kelompok tani di Sumatera Barat sebagai percontohan untuk pengembangan kakao fermentasi melalui kerja sama dengan PT ADM Cocoa perwakilan Singapore. Hal ini tentu merupakan angin segar bagi pengembangan industri kakao di Sumatera Barat.

B. Gambir

Gambir adalah ekstrak air panas dari daun dan ranting tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb.) yang kemudian diendapkan, ditiriskan, dicetak dan dikeringkan. Proses pengekstraksian dilakukan dengan pengempaan baik secara tradisional maupun menggunakan alat kempa hidrolik.

Sekitar 80% ekspor gambir dari Indonesia di pasok oleh Provinsi Sumatera Barat. Data BPS Provinsi Sumatera Barat (2009) menyebutkan luas tanaman Gambir Sumatera Barat lebih kurang 19.575 ha dengan total produksi 13.956 ton yang terpusat pada dua Kabupaten yaitu Kabupaten 50 Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan yang keseluruhannya adalah merupakan perkebunan rakyat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.15

Dengan menggunakan data produksi di atas dan harga gambir pada tingkat petani lebih kurang sebesar Rp. 25.000,- per kg, dengan demikian total uang beredar dari komoditi gambir ini yang langsung dinikmati oleh petani (pemilik dan pengolah) lebih kurang sebesar Rp. 327,9 miliar per

tahun atau rata-rata Rp. 27,3 miliar per bulan (setara dengan 14 % APBD Provinsi Sumatera Barat tahun 2010).

Tabel. 2.15

Luas dan Produksi Tanaman Gambir Provinsi Sumatera Barat No Kabupaten/Kota Luas (ha) Produksi (Ton) Produktivitas (ton/ha)

1 Kepulauan Mentawai 2 1 0,50 2 Pesisir Selatan 4.737 3.320 0,70 3 Sijunjung 84 38 0,45 4 Padang Pariaman 184 137 0,74 5 Agam 384 134 0,35 6 50 Kota 13.336 9.699 0,73 7 Pasaman 609 450 0,74 8 Pasaman Barat 140 103 0,74 9 Kota Padang 89 67 0,75

10 Kota Sawah Lunto 10 7 0,70

Jumlah Tahun 2008 19.575 13.956 0,71 2007 19.350 13.115 0,68 2006 19.121 12.973 0,68 2005 19.658 13.249 0,67 2004 19.457 12.436 0,64 2003 17.800 23.375 1,31

Sumber: Sumatera Barat Dalam Angka (BPS 2009)

Dengan menggunakan data produksi di atas dan harga gambir pada tingkat petani lebih kurang sebesar Rp. 25.000,- per kg, dengan demikian total uang beredar dari komoditi gambir ini yang langsung dinikmati oleh petani (pemilik dan pengolah) lebih kurang sebesar Rp. 327,9 miliar per tahun atau rata-rata Rp. 27,3 miliar per bulan (setara dengan 14 % APBD Provinsi Sumatera Barat tahun 2010).

Jika dipedomani penelitian Hasan (1994), dimana setiap ha kebun gambir terdapat lebih kurang 2.500 pokok tanaman dengan produktivitas 7,2 kg daun basah per batang per kali panen. Dengan demikian dengan pemanenan 2 kali setiap tahun akan dihasilkan total produksi daun basah lebih kurang sebesar 704.700 ton. Dengan rendemen getah gambir sebesar 10 %, maka total potensi produksi gambir Provinsi Sumatera Barat tahun 2008 lebih kurang sebesar 70.470 ton. Dengan harga Rp. 25.000,- per kg (pada bulan Agustus 2010 harga gambir di Kabupaten 50 Kota sampai pada level Rp. 30.000,- per kg), maka potensi ekonomi Gambir Sumatera Barat

menjadi sebesar Rp. 1.761,75 miliar per tahun atau Rp. 146,812 miliar per bulan. Potensi ini sekaligus juga menunjukan bahwa potensi pendapatan petani gambir seyogianya sebesar Rp. 45 juta per ha per tahun (jauh melebihi pendapatan dari pertanian kelapa sawit).

Indonesia memang sebagai pemasok gambir utama dunia, tapi produk yang berasal dari tanaman yang komponen kimia dan kegunaaan utamanya sama dengan gambir masih banyak yang lain. Tanaman penting penghasil produk sejenis gambir itu adalah Mimosa (Acacia spp), Quebracho(Schinopsis spp), Kastania(Castanea sativa) dan Valonea (Quercus macrolepsi). Ekstrak tanaman-tanaman tersebut sebahagian besar digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Penggunaan gambir sebagai penyamak kulit telah sangat jauh berkurang sejak awal tahun tujuh puluhan.

Komponen kimia utama gambir adalah katekin dan tanin. Katekin merupakan monomer dari tanin dimana menurut Fengel dan Wegener (1985) jika 3 sampai 8 molekul katekin membentuk polimer maka polimer yang terbentuk tergolong kepada tanin, tepatnya tanin kondensasi. Sesuai dengan struktur kimianya tersebut maka katekin dan tanin juga akan mempunyai manfaat yang berbeda pula. Katekin lebih banyak manfaatnya untuk bidang kosmetik dan farmasi sedangkan tanin utamanya digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Tanin yang diproduksi dunia 90% diantaranya digunakan sebagai penyamak kulit.

Indonesia sebagai penghasil ekstrak gambir lebih banyak mengekspor yang sudah berlangsung sejak akhir abad ke 18 sampai sekarang. Pada tahun 2006 Indonesia mengekspor gambir sejumlah hampir 8000 ton(BPS,2008) dan 84% diantaranya diekspor ke India. Sebagai Provinsi penghasil utama gambir adalah Sumatera Barat disamping Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau dan Bengkulu.

Di negara India gambir digunakan untuk penyegar mulut, campuran pada betel bite (seperti ramuan pada sirih kunyahan di Indonesia) dan bahan pewarna alami pada tekstil. Peningkatan kebutuhan gambir Indonesia oleh India bermula sejak pembatasan penebangan pohon katha di India pada tahun 1992. Pohon katha penghasil katekin sebagaimana yang juga terkandung dalam gambir. Gambir Indonesia sesampai di India diolah kembali untuk tujuan utama peningkatan kandungan katekin. Produk lain dari gambir Indonesia di India adalah Pan Masala yang merupakan penyegar mulut yang dijual dalam kemasan plastik. Pan Masala juga dibuat

dari berbagai komponen dan salah satunya adalah katekin(Linkenheil dan Steinmann, 1998)

Gambir tidaklah seharusnya hanya digunakan sebagai ramuan penyegar mulut dan pewarna saja sebagaimana penggunaan dinegara India sebagai importer gambir utama Indonesia. Gambir dapat digunakan sebagai bahan baku perekat, bahan penyamak kulit, zat pewarna dalam spektrum yang lebih luas dan pengikat emisi formaldehid(Formaldehyde Scavenger). Bakhtiar(2011) mengelompokkan kegunaan gambir menjadi 4 kelompok : 1. Bahan baku obat seperti untuk obat diare dan obat kumur

2. Bahan kosmetik seperti anti aging, anti acne dan anti ketombe

3. Bahan pada industri makanan dan minuman seperti pengawet, minuman kesehatan, teh dan permen gambir

4. Bahan industri kimia seperti pengawet kayu, lem, anti korosi, tinta, filter AC, bahan tambahan pada pengeboran minyak bumi, zat warna dan zat samak.

Usulan untuk perbaikan pengolahan gambir telah banyak disampaikan oleh kalangan akademisi maupun oleh konsultan asing yang pernah bekerja di Sumatera Barat namun tetap belum menampakkan hasil yang maksimal. Sejalan dengan perbaikan cara pengolahan diharapkan sekalian dapat dihasilkan produk gambir kering yang lebih bermutu dan dalam bentuk yang beragam.

Persoalan utama komoditi gambir adalah berfluktuasi harga jual petani. Penyebab dari hal itu adalah ketergantungan pasar ekspor. Sebenarnya gambir dapat dipasarkan dalam negeri sebagai bahan baku industri. Sesuatu yang ironis adalah pemanfaatan tannin mimosa sebagai penyamak kulit pada industri penyamakan kulit yang dikombinasikan dengan bahan penyamak khrom. Padahal mimosa, yang merupakan komoditi impor, dapat digantikan oleh gambir. Disamping itu pemanfaatan gambir dalam negeri sebagai bahan baku industri selain untuk penyamakan kulit dapat dilakukan.

Dengan adanya Sistem Inovasi Daerah maka pada masa datang akan lebih mempercepat pengembangan industri yang berbahan baku gambir disamping tetap melakukan perbaikan cara pengolahan gambir di tingkat petani gambir.

Dalam dokumen BAPPEDA Sumbar Road Map Sida (Halaman 47-54)

Dokumen terkait