• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAPPEDA Sumbar Road Map Sida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAPPEDA Sumbar Road Map Sida"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Road Map Penguatan Sistem I novasi Daerah (SI Da) yang bertujuan untuk menumbuh kembangkan suatu sistem atau jaringan yang akan meningkatkan keunggulan komperatif daerah menuju keunggulan kompetitif yang mempunyai daya saing berbasis inovasi di daerah.

Road Map Penguatan SI Da disusun berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Negara Riset dan Teknolgi dan Menteri Dalam Negeri Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Sistem I novasi Daerah. Road Map Penguatan SI Da merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Perumus yang terdiri dari Dewan Riset Daerah (DRD) serta Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Provinsi Sumatera Barat.

(3)

untuk mendukung pelaksanaan Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi I ndonesia (MP3EI ) Tahun 2011-2025 .

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang yang telah membantu dan mendukung penyusunan Road Map Penguatan SI Da disampaiakan terima kasih. Selanjutnya Dokumen ini diharapkan akan menjadi pedoman atau panduan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, serta para stakeholder dalam upaya meningkatkan daya saing daerah melalui penguatan Sistem I novasi Daerah yang berbasis komoditi unggulan daerah.

Demikian disampaikan, semoga dokumen ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Padang, Desember 2012 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Provinsi Sumatera Barat Kepala,

(4)

DAFTAR I SI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR I SI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.

Latar Belakang ... 1

1.2.

Dasar Hukum Penyusunan ... 4

1.3.

Maksud dan Tujuan ... 5

1.4.

Hubungan antar dokumen ... 5

BAB I I GAMBARAN UMUM DAERAH ... 7

2.1. Potensi Ekonomi Daerah ... 7

2.2. Komoditi Unggulan Dearah ... 11

2.3. Kemampuan Produksi ... 25

2.4. Klaster I ndustri ... 52

BAB I I I KONDI SI SI STEM I NOVASI DAERAH SAAT I NI ... 77

3.1. Kondisi Umum I ptek Daerah ... 77

3.2. Kondisi Sistim I novasi Daerah ... 79

3.3. Tantangan dan Peluang ... 82

BAB I V KONDI SI SI Da YANG AKAN DI CAPAI ……… 83

4.1. Konsep Dasar Sistim I novasi Daerah ... 83

4.2. Tujuan dan Sasaran Penguatan ... 92

BAB V STRATEGI DAN KEBI JAKAN ... 95

5.1. Strategi Penguatan SI Da ... 95

5.2. Kebijakan Penguatan SI Da ... 96

BAB VI FOKUS DAN PROGRAM ... 97

(5)

6.2. Program Prioritas Penguatan Sistim I novasi Daerah 103

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Peringkat Daya Saing Daerah Sumatera Barat di I ndone-sia Tahun 2002 ... 2 Tabel 2.1 Kontribusi dan Pertumbuhan PDRB Sumatera Barat

Menurut Sektor / Subsektor 2007-2011 ( Dalam Persen-tase ) ... 8 Tabel 2.2 Pengelompokan Sektor-sektor menurut Potensi Ekonomi

Daerah Berdasarkan Klassen Typology ... 10 Tabel 2.3 Laju Pertumbuhan Produksi Komoditi Unggulan Menurut

Jenis Di Provinsi Sumatera Barat 2006-2010 ... 15 Tabel 2.4 I ndeks Koefisien Sektor dan Subsektor Provinsi Sumatera

Barat 2006-2010 ... 17 Tabel 2.5 Jumlah Penyediaan Lapangan Kerja Di Sumatera Barat

Menurut Jenis Komoditi Unggulan 2006-2010 ( Dalam Kk Petani ) ... 21 Tabel 2.6 Kriteria Penilaian Skor dan Bobot Menurut Unsur

Peni-laian ... 23 Tabel 2.7 Analisis Gabungan Penentuan Komoditi Provinsi

Sumate-ra BaSumate-rat ... 24 Tabel 2.8 Luas dan Produksi Kakao Nasional dari Tahun 2000-2011 26 Tabel 2.9 Volume Dan Nilai Ekspor Serta Volume Dan Nilai I mpor

Kakao Nasional Dari Tahun 2000-2009 ... 27 Tabel 2.10 Data luas Tanaman Perkebunan Sumatera Barat ... 29 Tabel 2.11 Luas Tanaman perkebunan Rakyat Per Kabupaten/ Kota

(7)

Tabel 2.12 Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Tanaman Kakao Per Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Barat Pada Tahun 2010 ... 32 Tabel 2.13 Volume dan Nilai Ekspor Kakao Provinsi Sumatera Barat

2005-2009 ... 33 Tabel 2.14 Spesifikasi Peralatan Pengolahan Kakao Yang Ada Pada

Beberapa Kelompok Tani Kakao Di Provinsi Sumatera Barat ... 40 Tabel 2.15 Luas dan Produksi Tanaman Gambir Provinsi Sumatera

Barat ... 42 Tabel 2.16 Pengembangan Komoditi yang Diprioritaskan ... 45 Tabel 2.17 Kondisi Perikanan Tangkap Sumatera Barat ... 48 Tabel 2.18 Produksi I kan Laut Unggulan Bernilai Ekonomis Penting

Di Sumatera Barat (2006-2011) ... 50 Tabel 2.19 Jumlah Nelayan Berdasarkan Kategori Di Sumatera Barat

(2006 – 2010) ... 51 Tabel 2.20 Nilai Produksi Ekspor I kan Tuna di Pelabuhan Perikanan

Samudera Bungus dari Tahun 2006-2009 ... 51 Tabel 2.21 Produksi I kan Menurut Jenis Yang Didaratkan Di

Pela-buhan Perikanan Samudera Bungus 2005-2009 Yang Potensi Untuk I ndustri Pembekuan ... 51 Tabel 2.22 Perbedaan Blue Economy dan Green Economy ... 76 Tabel 3.1 Perkembangan Jumlah Judul Penelitian di Sumatera

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta I ndonesia ... 3 Gambar 2.1 Sebaran Luas Pertanaman Kakao Berdasarkan

Kabupaten/ Kota Di Sumatera Barat Pada Tahun 2010,

(diganti) ... 31 Gambar 2.2 Distribusi Jumlah Produksi Kakao Berdasarkan

Kabupaten/ Kota Di Provinsi Sumatera Barat Pada

Tahun 2010 ... 33 Gambar 2.3 Sub-Klaster Pengembangan Budidaya Tanaman Kakao 56 Gambar 2.4 Pohon I ndustri Komoditi Kakao ... 57 Gambar 2.5 Sub-Klaster Fermentasi dan pengeringan Biji Kakao .... 58 Gambar 2.6 Sub-Klaster pengolahan Biji Kakao ... 59 Gambar 2.7 Klaster I ndustri ( Pemanfaatan Gambir pada industri

Kulit) ... 67 Gambar 2.8 Klaster I ndustri ( Tinta Fokus Tinta Pemilu ) ... 68 Gambar 2.9 Klaster I ndustri ( Gambir Sebagai Bahan Baku I ndustri

Kosmetik dan Farmasi) ... 69 Gambar 2.10 Klaster I ndustri ( Kreatif Papan Partikel Berperekat

(9)
(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan perekonomian daerah mesti meningkat dan berkelanjutan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran pada masyarakat suatu daerah. Dalam peningkatan pereko-nomian daerah, pemerintahan daerah beserta organ-organnya berupaya menjalankan tugas dan fungsi dengan efektif dan efisien serta memiliki strategi dan program pembangunan yang tepat. Berdasarkan perkembang-an ekonomi daerah, kapasitas pemerintahperkembang-an daerah provinsi, kabupaten dan kota di Sumatera Barat dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah masih belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan lima tahun terakhir dari tingkat pertumbuhan ekonomi, PDRB, nilai ekspor, pendapatan per kapita dan prosentase pengangguran. Persoalan kapasitas tersebut disebabkan oleh belum lengkapnya infrastruktur dan sistem yang mendukung adanya inovasi daerah.

Daya saing daerah Sumatera Barat sebagai daerah investasi dan industri masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti di Pulau Jawa. Di kawasan Sumatera, daya saing Sumatera Barat masih di bawah Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jambi dan Sumatera Selatan. Hal ini diperlihatkan pada Tabel 1.1 yang menunjukkan perbandingan capaian Sumbar dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Banyak pakar menyatakan dan pengalaman empiris menunjuk-kan bahwa tanpa inovasi, suatu negara atau daerah tidak amenunjuk-kan memiliki daya saing tinggi. Daya saing tinggi merupakan faktor penting dalam peningkatan ekonomi.

(11)

daya saing merupakan faktor pendorong akselerasi pembangunan dan peningkatan ekonomi daerah.

Tabel 1.1

Peringkat Daya Saing Daerah Sumatera Barat di Indonesia tahun 2002

(12)

Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia telah memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dengan visi Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Hal ini menjadi arah kebijakan pemerintah dalam prioritas pembangunan nasional pada berbagai daerah di Indonesia. Dengan demikian, swasta, asing dan pemerintah dapat menanamkan investasi, mendirikan infarstruktur dan industri yang dapat menciptakan pertumbuhan sesuai fokus dan koridor pengembangan ekonomi yang telah ditetapkan.

Sayangnya, Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi di Pulau Sumatera tidak termasuk dalam koridor utama I pengembangan ekonomi Sumatera dalam MP3EI 2011-2025 karena koridor utama tersebut hanya melalui Medan, Pekan Baru, Jambi, Palembang dan Lampung (lihat Gambar 1.1). Bagi Sumatera Barat, hal ini merupakan suatu “disadvantage”. Walaupun demikian, keterlibatan daerah Sumatera Barat tetap dapat berperan dengan menjadi pendukung untuk program pembangunan dalam MP3EI tersebut karena MP3EI membutuhkan dukungan dan pasokan untuk infrastruktur yang diinvestasikan dan industri yang dijalankan.

Bambar 1.1 Peta Indonesia

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Sumatera Barat memerlukan peningkatan kapasitas pemerintahan dalam peningkatan ekonomi daerah dan peningkatan daya saing daerah serta keterlibatan sebagai pendukung dalam MP3EI 2011-2025. Dalam rangka hal tersebut di atas diperlukan penguatan sistem inovasi daerah secara terarah, komprehensif, terintegrasi,

(13)

dan berkesinambungan yang akan menjadi panduan untuk percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Sumatera Barat dan Indonesia terutama di Sumatera. Untuk itu, diperlukan adanya sistem inovasi daerah Sumatera Barat yang menjadi panduan dalam peningkatan kapasitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi, peningkatan daya saing ekonomi daerah dan keterlibatan daerah Sumatera Barat dalam MP3EI. Hal ini didukung oleh Peraturan Bersama Menristek dan Mendagri Republik Indonesia masing-masing Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah.

1.2. Dasar Hukum Penyusunan

Dasar hukum dalam penyusunan Road Map Penguatan Sistem Inovasi Daerah, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas P3 IPTEK).

2. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025;

3. Permendagri Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penelitian dan Pengembangan di lingkungan Kementerian Dalam Negeri;

4. Peraturan Bersama Menristek dan Mendagri Nomor 03 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang penguatan SIDa;

5. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2025;

6. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2015;

7. Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 77 Tahun 2010 tentang Jakstrada IPTEK Provinsi Sumatera Barat 2011-2015;

Dasar hukum di atas diharapkan dapat mendukung program-program pemerintah terkait dengan penguatan SIDa dalam hal kelembagaan, program, SDM, pendanaan, dan kemitraan. Kelembagaan SIDa harus mampu berkoordinasi dengan SKPD dan Lembaga-lembaga terkait lainnya baik di pusat maupun di daerah.

(14)

1.3. Maksud dan Tujuan

Penyusunan ini bertujuan untuk menghasilkan Road Map Penguatan Sistem Inovasi Daerah Provinsi Sumatera Barat yang menjadi pedoman untuk penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Sumatera Barat yang komprehensif dan menjadi panduan pembangunan ekonomi daerah berbasis inovasi untuk jangka menengah.

1.4. Hubungan Antar Dokumen

(15)
(16)

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH

Provinsi Sumatera Barat merupakan suatu daerah yang terletak di pantai barat pulau Sumatera berikut Kepulauan Mentawai. Topografi daerah berbukit-bukit karena dilalui oleh bukit barisan yang terhampar dari utara sampai keselatan dengan tingkat kemiringan yang cukup tinggi. Sementara itu, pada daerah ini terdapat pula hutan lindung yang cukup luas baik yang tergabung dalam Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) maupun yang terletak di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Limapuluh Kota. Akibatnya daerah yang relatif datar dan dapat digunakan sebagai lahan pertanian menjadi relatif kecil dibandingkan dengan provinsi tetangga lainnya. Kegiatan ekonomi utama penduduk adalah dalam bidang pertanian, khususnya perkebunan dan perikanan. Namun demikian, kegiatan sektor jasa, seperti transportasi, perdagangan dan jasa-jasa lainnya, ternyata juga berperan cukup penting dalam kegiatan ekonomi Provinsi Sumatera Barat.

Masyarakat yang tinggal di daerah daratan umumnya beragama Islam dan berbudaya Minangkabau, sedangkan masyarakat yang tinggal di Kepulauan Mentawai umumnya beragama Kristen dan berbudaya Mentawai. Perbedaan agama dan budaya tersebut sangat mempengaruhi kebiasaan dan tingkah laku masyarakat yang akhirnya juga mempengaruhi proses pembangunan daerah.Walaupun mempunyai kondisi sosial yang beragam, ternyata kehidupan masyarakat dapat berjalan secara damai dan rukun yang ditandai dengan tidak banyaknya terjadi konflik sosial, sehingga proses pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik dan kondusif.

2.1. Potensi Ekonomi Daerah

(17)

lagi dalam era globalisasi dewasa ini dimana tingkat persaingan menjadi semakin tajam sehingga produk yang akan dapat bertumbuh dan berkembang baik adalah produk-produk yang mempunyai daya saing tinggi.

Pembahasan tentang potensi ekonomi regional Provinsi Sumatera Barat dilakukan dengan memperhatikan Keuntungan Komperatif (Comperative Advantage) dari masing-masing kabupaten dan kota secara relatif dalam provinsi Sumatera Barat. Dengan cara demikian, potensi ekonomi suatu kabupaten dan kota yang diukur dengan nilai tambah dari masing-masing sektor dan subsektor dibandingkan potensi ekonomi rata-rata Provinsi Sumatera Barat. Ini berarti bahwa suatu sektor atau subsektor dapat dikatakan mempunyai potensi ekonomi yang cukup besar bilamana kegiatan produksinya relatif lebih mononjol peranannya diban-dingkan dengan daerah lain, baik dari segi jumlahnya maupun pertum-buhannya.

Potensi ekonomi daerah dalam hal ini dianalisis dengan memper-hatikan kapasitas produksi dari masing-masing sektor ekonomi yang terdapat di daerah. Sedangkan potensi produksi tersebut diketahui dengan memperhatikan dua unsur yaitu: laju pertumbuhan nilai tambah dan kontribusi masing-masing sektor dalam perekonomian daerah. Laju pertumbuhan yang tinggi menunjukkan bahwa sektor tersebut mampu berkembang cepat dan demikian pula sebaliknya. Sedangkan kontribusi menunjukkan peranan kegiatan tersebut dalam perekonomian daerah, dan demikian pula sebaliknya. Gabungan kedua unsur ini dapat menunjukkan potensi ekonomi suatu sektor dalam perekonomian daerah.

Tabel 2.1

Kontribusi dan Pertumbuhan PDRB Sumatera Barat Menurut Sektor/Subsektor 2007-2011 (Dalam Persentase)

No. Sektor/subsektor

a Tanam pangan & Holtikultura 11,44 4.030 4.723 4,05 b Perkebunan 5.75 2.024 2.375 4,08 c Peternakan 1,84 631 758 4,69 d Kehutanan 1,24 468 513 2,32 e Perikanan 2,53 885 1.043 4,19 2 Pertambangan dan Penggalian 3,03 1.028 1.252 5,05

a Minyak dan gas bumi

(18)

No. Sektor/subsektor

3 Industri Pengolahan 12,14 4.209 5.010 4,05 a Industri migas

a Perdagangan Besar dan Eceran 17,32 5.853 7.147 5,12

b Hotel 0,18 52 74 9,44

c Restoran 0,48 151 197 6,87

7 Pengangkutan dan Komunikasi 15,25 4.527 6.294 8,59 a a. pengangkutan 11,14 342 459 7,63 b. komunikasi 1,15 1.100 1.698 11,46

8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 5,11 1.692 2.110 4,51

a Bank 1,82 590 751 6,22

Jumlah 100,00 32.913 41.276

Rata-rata 4,41 5,82

Sumber: Sumatera Barat Dalam Angka

(19)

komunikasi, keuangan dan jasa-jasa pada dasarnya adalah sektor jasa, maka sebenarnya perekonomian Sumatera Barat dewasa ini sudah mulai didominasi oleh sektor jasa ini. Namun demikian, peranan sektor industri dan pertambangan masih relatif kecil, sehingga Provinsi Sumatera Barat belum dapat dikatakan sebagai daerah industri.

Pengelompokkan masing-masing sektor ekonomi tersebut sesuai dengan potensi pengembangannya dapat ditentukan dengan menggunakan matrik typologi Klassen. Dengan menggunakan typologi ini akan dapat diketahui sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok sektor berpotensi tinggi, kelompok sektor tertekan, kelompok sektor berkembang dan kelompok sektor-sektor yang terbelakang. Dengan demikian, dalam rangka mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi daerah, sebaiknya pengembangan kegiatan inovasi diprioritaskan pada kelompok sektor yang berpotensi tinggi. Pengelompokkan sektor-sektor sesuai potensi ekonominya dapat dipresentasikan pada Tabel 2.2 berikut ini

Tabel 2.2 Pengelompokkan Sektor-sektor Menurut Potensi Ekonomi Daerah

Berdasarkan Klassen Typology dustri Non Migas, dan Perdagangan

Kontribusi Sektor Dibawah Bersih, Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan.

(20)

Sektor dan subsektor yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah: Bangunan, Pengangkutan, Jasa Pemerintahan dan Jasa Swasta.

Kelompok II adalah sektor dan subsektor yang sangat potensial untuk dikembangkan karena mempunyai kontribusi yang besar dalam perekonomian daerah, tetapi mempunyai laju pertumbuhan yang masih rendah. Sektor-sektor tersebut adalah tanaman pangan, perkebunan, industri non migas dan perdagangan. Kelompok ini potensial untuk dikembangkan melalui sistem inovasi agar pertumbuhan dan nilai tambahnya kedepan dapat ditingkatkan sehingga dampaknya terhadap peningkatan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat diperkirakan akan cukup besar.

Kelompok III adalah sektor dan subsektor yang sedang bertumbuh cepat, tetapi peranannya dalam perekonomian daerah masih relatif kecil. Sektor dan subsektor yang termasuk dalam kelompok ini adalah: hotel, restoran, telekomunikasi, bank dan lembaga non bank. Kelompok ini juga tidak mendesak untuk dikembangkan melalui SIDa karena pertumbuhannya sudah cukup cepat walaupun peranannya dalam perekonomian daerah masih relatif kecil.

Kelompok IV adalah sektor dan subsektor yang termasuk dalam sektor yang tertinggal karena baik pertumbuhannya dan sumbangannya dalam perekonomian daerah masih kecil. Untuk saat sekarang sektor dan subsektor ini belum dapat dimasukkan ke dalam program SIDa karena baik peranan dan sumbangannya masih rekatif kecil. Mungkin dimasa mendatang bila sektor dan subsektor sudah mulai berkembang dengan baik baru akan dapat dimasukkan dalam program SIDa Provinsi Sumatera Barat.

2.2. Komoditi Unggulan

Penetapan komoditi unggulan dalam Sistem Inovasi Daerah (SIDa) diperlukan untuk dapat memberikan fokus dan prioritas yang jelas dalam pelaksanaan kegiatan dan pengembangan Sistem Inovasi Daerah. Hal ini sangat penting artinya untuk dapat memberikan arah yang jelas dalam pengembangan Sistem Inovasi Daerah sehingga tujuan dan sasaran dapat diwujudkan dengan baik, walaupun dalam kondisi sumberdana dan tenaga yang dimiliki oleh daerah relatif terbatas.

(21)

tertentu sesuai dengan pengertian tentang komoditi unggulan serta ketersediaan data yang diperlukan. Pada dasarnya komoditi unggulan adalah produksi barang dan jasa yang diperkirakan akan dapat berkembang dengan baik sesuai dengan potensi ekonomi daerah dan merupakan tulangpunggung kegiatan ekonomi masyarakat Sumatera Barat secara umum.

A. Kriteria Penetapan Komoditi Unggulan Daerah

Penetapan komoditi unggulan daerah Provinsi Sumatera Barat dalam rangka pengembangan Sistem Inovasi Daerah di dasarkan pada beberapa kriteria pokok. Kriteria tersebut meliputi aspek ekonomi, sosial dan geografi. Berikut ini diuraikan dasar pemikiran dan landasan teoritis yang dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih kriteria penentuan komoditi unggulan daerah tersebut.

1) Kelayakan Ekonomi

Secara umum, kelayakan ekonomi suatu produk akan sangat ditentukan oleh tingkat keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil produksi dan penjualannya. Sedangkan keuntungan tersebut secara definisi adalah penerimaan per unit (Average Revenue) dikurangi dengan jumlah biaya produksi per unit produksi (Average Cost). Penerimaan per unit tersebut pada dasarnya adalah sama dengan harga komoditi bersangkutan.

Besar kecilnya biaya produksi rata-rata perunit akan sangat bervariasi dan ditentukan oleh lokasi sumber bahan baku dan pasar. Karena itu, biaya produksi akan cendrung lebih rendah bilamana lokasi bahan baku dan pasar relatif lebih dekat dengan tempat kegiatan produksi. Disamping itu, jumlah produksi juga turut menentukan biaya produksi karena kegiatan usaha kecil akan mempunyai biaya perunit rata-rata yang lebih tinggi dari bilamana diproduksi dalam jumlah besar.

2) Keuntungan Komparatif Daerah

(22)

pertumbuhan ekonomi daerahnya masing-masing. Dalam situasi yang demikian, komoditi yang akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik adalah komoditi yang mempunyai daya saing cukup tinggi, baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri.

Secara umum, daya saing tersebut ditentukan oleh Keuntungan Komperatif yang dimiliki oleh produk bersangkutan. Sedangkan Keuntungan Komperatif tersebut secara umum akan diketahui dengan membandingkan perkembangan jumlah produksi produk yang sama antar daerah. Secara lebih khusus, daya saing produk pada dasarnya ditentukan oleh harga dan kualitas produk yang dapat dihasilkan. Sedangkan harga akan sangat ditentukan oleh biaya produksi dan transportasi yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha dalam menghasilkan produksi. Sedangkan kualitas produksi sangat ditentukan oleh teknologi yang digunakan dalam menghasilkan produk bersangkutan yang terlihat dari jenis peralatan produksi apakah sudah bersifat mekanisasi atau masih banyak bersifat manual.

3) Peranan Terhadap Perekonomian Rakyat

Peranan terhadap kegiatan ekonomi rakyat akan diketahui dari jumlah lapangan kerja yang dapat disediakan oleh kegiatan ekonomi bersangkutan. Bila jumlah lapangan kerja yang dapat disediakan relatif kecil, maka hal ini menunjukkan bahwa peranan kegiatan tersebut terhadap perekonomi rakyat relatif kecil. Sebaliknya bilamana jumlah lapangan kerja yang dapat disediakan relatif besar, maka hal ini menunjukkan bahwa peranan kegiatan tersebut terhadap perekonomian rakyat juga relatif cukup besar. Sedangkan penyediaan lapangan kerja akan dapat diketahui dari jumlah pekerja yang digunakan oleh kegiatan ekonomi bersangkutan.

(23)

B. Indikator Komoditi Unggulan

Kriteria penetapan komoditi unggulan tersebut di atas tentunya memerlukan data-data tertentu yang sesuai dengan kriteria tersebut. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua data yang dibutuhkan tersedia secara cukup. Akibatnya diperlukan penentuan indikator-indikator umum yang dapat mewakili kriteria tersebut. Berikut ini diberikan analisis dari beberapa indikator yang dapat digunakan sesuai dengan data yang tersedia.

1) Laju Pertumbuhan Produksi

Data tentang biaya produksi rata-rata per unit cukup sulit untuk diperoleh karena memerlukan survei lapangan yang sangat intensif. Di samping itu, besar kemungkinan para petani dan memberikan indikasi bahwa keuntungan pengusaha tidak akan bersedia memberikan informasi yang sebenarnya tentang biaya produksi mereka karena hal ini merupakan rahasia bisnis. Karena itu, untuk kemudahan, perlu digunakan suatu indikator umum yang dapat mewakili variasi dalam biaya produksi tersebut. Indikator umum tersebut adalah laju pertumbuhan produksi rata-rata setiap tahunnya. Bila laju pertumbuhan produksi cukup tinggi, maka hal ini memberikan indikasi bahwa keuntungan dari kegiatan usaha tinggi sehingga mendorong para pemilik usaha untuk meningkatkan produksinya. Demikian pula sebaliknya bilamana tingkat keuntungan yang diperoleh relatif rendah.

Indikator umum lainnya yang juga dapat menunjukkan kelayakan ekonomi suatu produk adalah adalah harga pasar produk yang bersangkutan. Bila harga pasar relatif tinggi, maka hal ini menujukkan bahwa komoditi bersangkutan mempunyai kelayakan ekonomi yang lebih tinggi karena dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Demikian pula sebaliknya bilamana harga pasar kemoditi tersebut relatif rendah, maka hal ini menunjukkan kelayakan ekonomi yang lebih rendah karena keuntungan yang akan diperoleh cendrung menjadi lebih kecil.

(24)

ternyata laju pertumbuhannya sangat rendah yaitu rata-rata hanya sekitar 2 persen saja. Sedangkan untuk komoditi hasil kelautan ternyata ikan tuna dan ikan nila merupakan dua komoditi yang mempunyai laju pertumbuhan rata-rata yang cukup tinggi. Sangat mengherankan, produksi ikan kerapu yang sangat potensial dan mempunyai harga cukup tinggi ternyata laju pertumbuhannya sangat rendah.

Tabel 2.3

Laju Pertumbuhan Produksi Komoditi Unggulan Menurut Jenis di Provinsi Sumatera Barat 2006-2010

*dihitung diluar data produksi tahun 2010 yang datanya sangat diragukan kebenarannya

Sumber: Bappeda Provinsi Sumatera Barat

Dari indikator tersebut terlihat bahwa dari segi kelayakan ekonomi yang diukur dengan rata-rata pertumbuhan produksi ternyata untuk sektor perkebunan komoditi kakao dapat dikatakan mempunyai keunggulan yang cukup tinggi. Sedangkan untuk sektor hasil kelautan terlihat pula bahwa komoditi ikan tuna dan ikan nila merupakan komoditi unggulan provinsi Sumatera Barat. Namun demikian, keunggulan ini harus pula dikonfirmasi dengan unsur pertimbangan lainnya yaitu Keuntungan Komperatif Daerah dan peran dalam ekonomi kerakyatan.

Komoditi Satuan 2007 2008 2009 2010

Rata-rata Pertumbuhan

(%) Perkebunan:

Sawit Ton 326.580 349.317 363.904 395.586 6,60 Karet Ton 89.714 103.880 133.816 134.912 7,05

Kakao Ton 18.381 29.840 40.250 47.045 36,79

Gambir Ton 13.115 13.930 13.932 13.845 2,04

Kelautan:

Tuna Ton 3.213,7 738,8 4.731,2 521,8 21,38*

Tongkol Ton 20.095,2 13.979,7 20.733,8 20.149,9 0.01

Nila Ton 18.511 21.347 30.873 42.572 32,00

Kerapu Ton 16 14,8 27,1 11,98 30,00*

Peternakan:

(25)

2) Koefisien lokasi

Seperti dinyatakan terdahulu bahwa daya saing sangat ditentukan oleh Keuntungan Komperatif Daerah (Regional Comperative Advantage) yang dimiliki oleh masing-masing komoditi unggulan. Sedangkan indikator yang lazim dipakai untuk mengetahui tingkat Keuntungan Komperatif tersebut adalah Koefisien Lokasi (Location Quotient) yang merupakan indek perbandingan peranan masing-masing komoditi secara rekatif dalam suatu daerah. Dalam hal ini, hanya komoditi dengan nilai LQ>1 yang dapat dikatakan relatif unggul dibandingkan dengan komoditi lainnya. Sedangkan data yang digunakan dalam perhitungan indek adalah jumlah produksi masing-masing komoditi menurut wilayah penghasilnya.

Karena Sistem Inovasi Daerah ini dilakukan untuk tingkat provinsi, maka perhitungan Koefisien Lokasi juga harus ditentukan untuk tingkat Provinsi Sumatera Barat. Ini berarti bahwa perhitungan Koefisien Lokasi akan diperoleh terlebih dahulu dengan jalan membagi antara jumlah produksi daerah untuk masing-masing komoditi unggulan dengan jumlah produksi unggulan yang sama pada tingkat nasional. Hasil perhitungan ini kemudian dibagi lagi dengan hasil perbandingan antara nilai PDRB Sumatera Barat dengan nilai PDB Indonesia.

Seperti terlihat pada Tabel 2.4 ternyata bahwa ternyata sektor pertanian ternyata masih merupakan salah satu potensi ekonomi wilayah yang cukup penting bagi pembangunan daerah Provinsi Sumatera Barat. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai LQ lebih besar dari satu yaitu 1,75 yang memperlihatkan bahwa sektor ini mempunyai Keuntungan Komperatif yang cukup tinggi dibandingkan dengan sektor yang sama secara rata-rata pada provinsi lainnya di Indonesia.

(26)

Potensi pengembangan sektor jasa ternyata juga cukup besar dalam perekonomian daerah Sumatera Barat dan cendrung meningkat. Sektor jasa yang dimaksudkan disini adalah dalam pengertian luas yang meliputi sektor: perdagangan, perhubungan dan komunikasi, dan jasa-jasa lainnya, termasuk juga jasa pendidikan dan kesehatan. Seperti terlihat pada Tabel 2.4 potensi pembangunan yang dimiliki oleh sektor perdagangan ternyata cukup besar yang terlihat dari nilai LQ lebih besar dari satu. Potensi pengembangan subsektor perdagangan ini terutama terletak pada kegiatan perdagangan besar dan eceran dengan nilai LQ rata-rata mencapai 1,26.

Perdagangan luar negeri Sumatera Barat masih didominasi oleh komoditi pertanian yang sebahagian besar merupakan bahan mentah dan setengah jadi atau hasil olahannya. Keadaan ini menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur di Sumatera Barat masih belum berkembang. Ekspor produk industri utama berupa Karet Olahan, Semen, CPO, Minyak Inti Sawit dan Kayu Lapis. Semen merupakan produk andalan Sumatera Barat sedangkan Batubara menunjukkan tendensi produksi yang terus menurun karena menipisnya deposit tambang luar. Struktur ekspor demikian semakin memperkuat peranan sektor pertanian sebagai basis ekonomi Sumatera Barat di mana sekitar 47,4% tenaga kerja berada di sektor pertanian. Sektor penting berikutnya adalah perdagangan, hotel dan restoran yang menampung sekitar 18% jumlah angkatan kerja.

Tabel 2.4

Indeks Koefisien Lokasi Sektor dan Subsektor Provinsi Sumatera Barat 2006-2010

No Sektor/Sub-sektor 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata

1. Pertanian 1.72 1.74 1.77 1.76 1.76 1,75 1.75

a. Tanaman Pangan 1.76 1.78 1.80 1.77 1.78 1.78 1.78 b. Perkebunan 2.57 2.69 2.80 2.85 2.83 2,74 2.75 c. Perternakan 1.11 1.09 1.10 1.11 1.13 1,11 1.11 d. Kehutanan 1.73 1.75 1.69 1.68 1.68 1,71 1.71 e. Perikanan 1.24 1.21 1.21 1.23 1.22 1,22 1.22

2. Pertambangan dan

Penggalian 0.35 0.35 0.36 0.37 0.37 0,36 0.36

a. Pertambangan tanpa gas 0.20 0.20 0.19 0.20 0.19 0,19 0.20 b. Penggalian 2.97 2.81 2.72 2.67 2.62 2.76 2.76

3. Industri Pengolahan 0.52 0.51 0.51 0.52 0.52 O,52 0.52

(27)

No Sektor/Sub-sektor 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata

4. Listrik dan Air Minum 1.76 1.80 1.74 1.62 1.51 1,69 1.68

a. Listrik 2.31 2.36 2.34 2.25 2.23 2,30 2.30 b. Air bersih 1.04 1.06 1.10 1.13 1.17 1,10 1.10

5. Bangunan 0.83 0.82 0.80 0.79 0.77 0,80 0.80

6. Perdagangan 1.08 1.08 1.06 1.06 1.08 1,07 1.07

a. Perdagangan Besar dan

Eceran 1.27 1.27 1.24 1.23 1.28 1,26 1.26

b. Hotel 0.22 0.22 0.23 0.23 0.23 0,23 0.23

c. Restoran 0.21 0.20 0.20 0.20 0.19 0,20 0.20

7. Pengangkutan dan

Komunikasi 2.06 1.98 1.90 1.76 1.62 1,86 1.87

a. Pengangkutan 2.71 2.71 2.81 2.89 2.89 2,80 2.80 b. Komunikasi 1.06 1.02 0.94 0.00 0.73 0,75 0.75

8. Keuangan, Persewaan, dan

Jasa Perusahaan 0.76 0.55 0.55 0.38 0.54 0,56 0.56

a. Bank 0.43 0.45 0.45 1.28 0.46 0,61 0.61

b. Lembaga keuangan tanpa

bank 1.63 1.65 1.61 2.27 1.54 1,74 1.74 c. Jasa Perusahaan 0.09 0.09 0.09 1.14 0.08 0,30 0.30

9. Jasa- jasa 1.79 1.76 1.75 1.75 1.74 1,76 1.76

a. Pemerintahan 2.65 2.61 2.61 2.64 2.64 2,63 2.63 b. Swasta 1.07 1.07 1.07 1.07 1.05 1,06 1.06 Sumber: Perhitungan LQ tahun 2005-2009 diambil dari RPJMD provinsi Sumatera

Barat 2010-2015 sedangkan untuk tahun 2010 dan angka rata-rata dihitung sendiri.

Sektor jasa lainnya yang juga sangat potensial untuk dikembangkan adalah sektor perhubungan dan komunikasi dengan nilai Indek Koefisien Lokasi sebesar 1.87. Ke dalam sektor perhubungan dan komunikasi ini, subsektor perhubungan, baik darat, laut dan udara, ternyata merupakan potensi utama dengan nilai LQ mencapai 2,80. Di samping itu subsektor jasa-jasa juga mempunyai potensi yang cukup memadai dengan nilai LQ sebesar 1,76. Ke dalam sektor jasa-jasa ini, subsektor jasa pemerintah merupakan potensi pembangunan berperan cukup penting dengan nilai LQ mencapai 2,63.

(28)

beberapa sumberdaya yang sangat potensial digunakan untuk pembangkit tenaga listrik seperti tenaga air dan batubara. Dewasa ini telah berjalan dua Pusat Listrik Tenaga Air, yaitu PLTA Maninjau dan PLTA Singkarak dengan kapasitas yang cukup besar. Karena daerah ini juga mempunyai tambang batubara, telah dibangun pula PLTU Ombilin dan sedang dibangun pula sekarang PLTU Bungus yang keduanya juga mempunyai kapasitas cukup besar. Tersedianya potensi pembangkit tenaga listrik yang cukup besar ini menyebabkan Indek Koefisien Lokasi sektor ini menjadi cukup tinggi yaitu 1,68. Kedalam sektor ini, subsektor listrik merupakan potensi utama dengan nilai LQ mencapai 2,30.

Sektor industri pengolahan ternyata masih belum banyak berkembang di Sumatera Barat yang terlihat dari nilai LQ yang masih kecil dari satu. Hal yang sama juga terjadi dengan sektor pertambangan yang ternyata pertumbuhannya terus menurun karena semakin menipisnya deposit tambang luar, sedangkan eksploitasi tambang dalam memerlukan biaya produksi yang jauh lebih besar sehingga eksploitasinya sampai saat ini belum dapat dilakukan. Disamping itu, sektor jasa keuangan juga ternyata belum berkembang secara optimal di Sumatera Barat yang terlihat dari nilai LQ yang juga kecil dari satu. Namun demikian, potensi pengembangan jasa keuangan non bank kelihatannya cukup tinggi dengan nilai LQ mencapai 1,74.

Potensi pembangunan wilayah Provinsi Sumatera Barat dapat dikelompokkan atas beberapa wilayah atau kawasan. Dalam hal ini pengelompokkan didasarkan pada potensi sumberdaya alam yang terkandung pada masing-masing wilayah. Analisis ini diperlukan untuk dapat merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah dan kawasan bersangkutan. Pengelompokkan kawasan tersebut meliputi: (a) Kawasan Perikanan dan Kelautan, (b) Kawasan Tanaman Pangan, (c) Kawasan Perkebunan dan (d) Kawasan Pertambangan

(29)

Kota Pariaman dan Kecamatan Sasak di Kabupaten Pasaman Barat. Kawasan Bungus sudah sejak beberapa tahun yang lalu ditetapkan sebagai pusat perikanan laut untuk kawasan Pantai Barat Pulau Sumatera ini. Hal ini dilakukan mengingat hasil penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa lautan Samudra Indonesia yang terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Barat ini ternyata mempunyai potensi ikan tuna yang besar dengan kualitas yang sangat baik.

Kawasan Tanaman Pangan yang meliputi Kabupaten-kabupaten Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Solok dan Pasaman. Daerah ini merupakan daerah subur yang sejak lama berfungsi sebagai “lumbung pangan” Sumatera Barat dengan produksi utama adalah padi, palawija dan tanaman pangan lainnya. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, daerah ini sudah sejak` lama dilengkapi dengan fasilitas irigasi yang cukup memadai. Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan, kedepan daerah ini akan terus dikembangkan sebagai penghasil utama komoditi pangan untuk daerah Sumatera Barat maupun provinsi tetangga terutama Riau.

Kawasan Perkebunan yang meliputi Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Dharmasraya, Solok Selatan dan Pasaman Barat. Produk utama daerah ini adalah karet, kelapa sawit dan teh yang merupakan komoditi ekspor utama Sumatera Barat. Untuk meningkatkan nilai tambah sudah dibangun pula industri karet remah (Crumb-rubber) terutama di kota Padang dan pabrik minyak sawit (Crude Palm Oil, CPO) terutama di daerah Pasaman Barat dan Dharmasraya. Kedepan kawasan ini akan terus dikembangkan sebagai daerah perkebunan besar dalam rangka mendukung peningkatan ekspor daerah Sumatera Barat.

(30)

3) Penyediaan Lapangan Kerja

Indikator penyediaan lapangan kerja diperlukan untuk dapat memberikan indikasi tentang besarnya peranan dari suatu komoditi terhadap perekonomian rakyat. Logikanya adalah bahwa bilamana komoditi bersangkutan dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup besar bagi masyarakat maka ini berarti bahwa peranan komoditi tersebut dalam perekonomian rakyat juga cukup besar. Akan tetapi bilamana sebaliknya terjadi yaitu bila jumlah tenaga kerja yang dapat disediakan oleh komoditi bersangkutan hanya sedikit maka ini berarti bahwa peranannya dalam perekonomian rakyat juga relatif kecil.

Data yang dapat mewakili penyediaan lapangan kerja adalah kepala keluarga (KK) yang bekerja dalam kegiatan produksi dari masing-masing komoditi. Kelemahan data ini adalah kita tidak dapat mengetahui jenis pekerjaan anggota keluarga yang sudah dewasa. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini tidak perlu dibedakan antara pekerja penuh atau pekerja paruh waktu karena informasi ini jarang tersedia. Tabel 2.5 memberikan informasi tentang penyediaan lapangan kerja untuk masing-masing komoditi unggulan untuk periode 2006-2010.

Tabel 2.5

Jumlah Penyediaan Lapangan Kerja di Sumatera Barat Menurut Jenis Komoditi Unggulan 2006-2010 (Dalam KK Petani)

Sumber: Bappeda Provinsi Sumatera Barat

Informasi yang diperoleh dari Tabel 2.5 menunjukkan bahwa untuk komoditi perkebunan, penyediaan lapangan pekerjaan yang terbesar adalah pada komoditi kakao karena kegiatan ini dilakukan oleh rumah tangga yang tersebar hampir diseluruh daerah Sumatera Barat. Penyediaan lapangan

Komoditi 2007 2008 2009 2010 Rata-rata Perkebunan:

Sawit 151.422 152.244 154.545 154.693 0,71 Karet 144.660 144.545 146.645 152.535 2,64

Kakao 41.320 49.522 58.632 60.076 11,50

Gambir 9.674 9.727 9.727 10.466 2,53

Kelautan: 33.382 29.769 34.984 34.584 0,53

Peternakan:

(31)

kerja selanjutnya yang juga cukup besar adalah dalam tanaman karet yang sudah merupakan komoditi tradisional masyarakat daerah yang kebanyakan dikelola dengan sistem perkebunan rakyat yang juga banyak menyerap tenaga kerja. Sedangkan penyediaan lapangan kerja untuk komoditi sawit diperkirakan tidaklah terlalu besar karena kegiatan ini hanya terdapat pada daerah tertentu saja dan kegiatannya dilakukan dengan sistem perkebunan besar yang tidak terlalu menggunakan banyak tenaga kerja. Penyediaan lapangan kerja untuk komoditi gambir ternyata tidak akan banyak jumlahnya karena hanya terdapat di Kabupaten Limapuluh Kota saja. Untuk komoditi perikanan dan kelautan, jumlah penyerapan tenaga kerja yang terbesar adalah pada budidaya ikan nila yang merupakan kegiatan perikanan darat. Penyediaan lapangan pekerjaan untuk budidaya ikan kerapu juga belum terlalu besar karena kegiatan ini relatif masih baru bagi masyarakar Sumatera Barat. Sedangkan penyerapan tenaga kerja untuk kegiatan penangkapan tuna adalah masih sangat kecil karena kegiatan ini memerlukan alat tangkap dan jenis kapal yang besar dan modern sehingga masyarakat Sumatera Barat sampai saat ini belum terlalu banyak terlibat didalam kegiatan ini.

4) Penentuan Komoditi Unggulan Daerah

Penentuan komoditi ungglan daerah dilakukan dengan jalan menggabungkan kesemua indikator yang digunakan sebagaimana dianalisis di atas. Akan tetapi karena masing-masing indikator menggunakan ukuran yang berbeda maka penggabungan menjadi tidak dapat dilakukan. Namun demikian penggabungan ini masih dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menggunakan Skala Lickert (1 sd 5) yang diberikan untuk masing-masing indikator tersebut. Untuk kemudahannya pembobotan juga tidak perlu dilakukan yang berarti bahwa masing-masing indikator mempunyai bobot yang sama.

(32)

Tabel 2.6

Kriteria Penilaian Skor dan Bobot Menurut Unsur Penilaian

No. Penilaian Unsur Indikator Satuan Interval Skor Bobot

A Penilaian Partial

1 Kelayakan Ekonomi

Pertumbuhan Produksi

Persen <4 1 (sangat rendah) 40 %

5-8 2 (rendah) 9-12 3 (sedang) 13-16 4 (tinggi)

>16 5 (Sangat tinggi) 2 Daya Saing Keuntungan

Komperatif Daerah

Koefisien <0,5 1 (sangat rendah) 30%

0,5-0,9 2 (rendah)

Orang <500 1 (sangat rendah) 30%

500-1.000 2 (rendah)

(33)

Sumatera Barat adalah kakao dan nila karena kedua komoditi ini mendapatkan hasil penilaian yang paling tinggi dari komoditi yang dianalisis. Sedangkan komoditi industri belum dapat diketahui tingkat keunggulannya karena data tidak tersedia.

Kelemahan penilaian yang dilakukan dalam analisis ini adalah bahwa di dalamnya masih terdapat unsur subjektifitas karena menggunakan sistem skor dan bobot yang ditentukan sendiri oleh penulis. Untuk mengatahui kelemahan ini perlu dilakukan diskusi khusus dengan para ahli perkebunan, perikanan (Focus Group Discussion / FGD) untuk menentukan nilai skor dan bobot yang sesuai dengan kondisi sebenarnya dalam masyarakat.

Kelemahan lainnya adalah bahwa dalam analisis ini belum dipertimbangkan aspek kesulitan teknis produksi dari masing-masing komoditi unggulan tersebut. Misalnya seperti komoditi unggulan kakao sebenarnya mempunyai kendala teknis yang cukup besar yaitu komoditi ini memerlukan perawatan yang cukup intensif. Bila hal ini tidak dapat dilaku-kan, maka tanaman ini akan rawan dimakan oleh hama kumbang peng-gerek yang dapat mengurangi produksi dalam jumlah besar. Kenyataan lapangan menunjukkan bahwa hal ini sudah menjadi permasalahan produksi yang cukup rumit di Sumatera Barat dewasa ini. Permasalahan ini terjadi juga karena dipicu oleh sistem produksi yang diserahkan pada rumah tangga yang umumnya tidak mempunyai tenaga kerja produktif yang cukup besar. Sebagaimana diketahui bahwa pada umumnya rumah tangga di daerah pedesaan banyak dihuni oleh penduduk usia tua atau anak anak yang tidak dapat bekerja dengan produktivitas penuh. Sementara itu Dinas Perkebunan juga mempunyai kemampuan yang sangat terbatas untuk melakukan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada masyarakat.

Tabel 2.7

Analisis Gabungan Penentuan Komoditi Provinsi Sumatera Barat

(34)

No Komoditi

Berdasarkan analisis ekonomi di atas dapat disimpulkan bahwa komoditi unggulan Provinsi Sumatera Barat adalah kakao dan hasil laut yang meliputi ikan tongkol, tuna dan kerapu. Namun demikian, kebenaran analisis ekonomi ini selanjutnya harus pula dipertimbangkan analisis kemampuan produksi untuk masing-masing komoditi. Hal ini penting artinya untuk menjaga jangan sampai terjadi komoditi tersebut layak secara ekonomi tetapi proses produksinya mengandung banyak kesulitan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan produksi tersebut. Indikasi ini dapat terjadi pada komoditi kakao dan hasil laut (tuna, tongkol dan kerapu) yang pada analisis ekonomi diatas dinyatakan unggul, tetapi ada kemungkinan pelaksanaan kegiatan produksinya dalam masyarakat tidaklah mudah karena sifat tanaman yang rawan penyakit seperti kakao atau khusus untuk tuna memerlukan kapal besar yang sulit disediakan oleh nelayan Sumatera Barat umumnya.

2.3. Kemampuan Produksi

A. Kakao

1) Luas, Produksi, Produktivitas dan Nilai Ekspor

(35)

Pertambahan luas dan produksi tanaman kakao nasional terus menunjukkan peningkatan setiap tahun, dimana pada tahun 2011 luas tanaman kakao nasional sudah mencapai seluas 1.745.789 ha atau 136 kali luas tanaman kakao pada tahun 1967 dengan produksi sebesar 903.092 ton atau 732 kali produksi kakao pada tahun 1967. Pertambahan luas dan produksi kakao nasional ini mengindikasikan bahwa permintaan akan komoditi ini juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Data luas dan produksi kakao nasional dari tahun 2000 – 2011 dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.8

Luas dan Produksi Kakao Nasional dari tahun 2000 – 2011

NO TAHUN

LUAS AREAL ( Ha ) PRODUKSI ( Ton)

PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah 1 2000 641,133 52,69 56,094 749,917 363,628 34,79 22,724 421,142

2 2001 710,044 55,291 56,114 821,449 476,924 33,905 25,975 536,804

3 2002 798,628 54,815 60,608 914,051 511,379 34,083 25,693 571,155

4 2003 861,099 49,913 53,211 964,223 634,877 32,075 31,864 698,816

5 2004 1,003,252 38,668 49,04 1,090,960 636,783 25,83 29,091 691,704

6 2005 1,081,102 38,295 47,649 1,167,046 693,701 25,494 29,633 748,828

7 2006 1,219,633 48,93 52,257 1,320,820 702,207 33,795 33,384 769,386

8 2007 1,272,781 57,343 49,155 1,379,279 671,37 34,643 33,993 740,006

9 2008 1,326,784 50,584 47,848 1,425,216 740,681 31,13 31,783 803,594

10 2009 1,491,808 49,489 45,839 1,587,136 741,981 34,604 32,998 809,583

11 2010 1,555,596 50,104 45,839 1,651,539 773,707 36,844 34,075 844,626

12 2011 1,641,130 54,443 50,216 1,745,789 828,255 38,068 36,769 903,092 Sumber: Ditjen Perkebunan (2012)

(36)

tanaman kakao dari Perkebunan Rakyat sebesar 0,50 ton per ha, produktivitas perkebunan Besar Nasional 0,70 ton per ha dan produktivitas Perkebunan Besar Swasta sebesar 0,73 ton per ha.

Produksi tanaman kakao di Indonesia sebagian besar di ekspor ke berbagai negara, namun disisi lain Indonesia juga tercatat melakukan impor kakao dari negara lain. Pada tahun 2009 volume ekspor kakao nasional tercatat lebih kurang sebesar 535.236 ton dengan nilai ekspor sebesar 1.413.535 US dolar. Sementara itu pada tahun yang sama Indonesia juga mengimpor kakao sebesar 46.356 ton dengan nilai sebesar 119.321 US dolar. Lebih jelasnya volume dan nilai ekspor serta volume dan nilai impor kakao nasional dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.9

Volume dan Nilai Ekspor serta Volume dan Nilai Impor Kakao Nasional dari tahun 2000 – 2009.

No TAHUN EKSPOR IMPOR

Volume (Ton) Nilai (US$) Volume (Ton) Nilai (US$)

1 2000 424.089 341.860 18.252 18.953

2 2001 392.072 389.262 11.841 15.699

3 2002 465.622 701.034 36.603 64.001

4 2003 355.726 621.022 39.226 76.205

5 2004 366.855 546.560 46.974 77.023

6 2005 463.632 664.338 52.353 82.326

7 2006 609.035 852.778 47.939 74.185

8 2007 503.522 924.157 43.528 82.786

9 2008 515.523 1.268.914 53.331 113.381

10 2009 535.236 1.413.535 46.356 119.321

Sumber: Ditjen Perkebunan (2012)

Tabel 2.9 di atas memperlihatkan bahwa volume dan nilai ekspor kakao nasional cendrung meningkat setiap tahun yang sama halnya dengan impor kakao dimana volume dan nilainya juga meningkat setiap tahun. Jika diperhatikan data produksi dan ekspor kakao nasional dari tahun 2000, maka terlihat bahwa lebih dari 50 % produksi kakao nasional diekspor ke berbagai negara. Data tahun 2009 memperlihatkan dari 809.583 ton produksi kakao nasional sebanyak 535.236 ton atau lebih kurang 66 % dari total produksi kakao nasional diekspor ke mancanegara.

(37)

dari negara lainnya. Disatu sisi Indonesia mengimpor biji kakao yang difermentasi dari negara lain guna memenuhi kebutuhan industri pengolahan coklat dan makanan berbahan baku coklat di dalam negeri. Kementrian Perindustrian mencatat terdapat lebih kurang sebanyak 105 perusahaan yang mengolah coklat dan makanan dari coklat di dalam negeri. Sebagian supplay bahan baku untuk memenuhi industri pengolahan coklat di dalam negeri ini dilakukan dengan mengimpor biji kakao dari beberapa negara. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan biji kakao fermentasi dari dalam negeri.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementrian Pertanian pernah mengungkapkan bahwa rata-rata produk-tivitas kakao Indonesia adalah sebesar 813 kg/ha/tahun. Disisi lain mutu biji kakao yang dihasilkan relatif masih rendah, sehingga di pasar Amerika biji kakao dari Indonesia terkena automatic detention sekitar US$ 300/ton. Bandingkan dengan produktivitas kakao di Pantai Gading yang mencapai 1.500 kg/ha/tahun dan produktivitas kakao di Ghana mencapai 2.000 kg/ha/tahun dengan kualitas yang baik, sehingga di pasar ekspor biji kakao mereka memperoleh harga premium lebih tinggi sekitar US$ 300/ton. Dengan demikian selisih harga kakao Pantai Gading dan Ghana dengan kakao Indonesia adalah sekitar US $ 600 per ton. Kalau tiap tahun kita mengekspor biji kakao sekitar 600.000 ton, maka kehilangan devisa sekitar US$ 360.000.000 atau setara dengan Rp 3,6 triliun.

Pertumbuhan yang baik dari pasar biji kakao, produk coklat serta produk olahan coklat juga menyebabkan semakin meluasnya daerah penghasil kakao di Indonesia, termasuk Provinsi Sumatera Barat. Dari survey yang dilakukan, di beberapa daerah di Provinsi Sumatera Barat tanaman kakao telah dibudidayakan semenjak tahun 1980-an. Meski demikian Provinsi Sumatera Barat baru mulai mempopulerkan pengembangan budidaya tanaman kakao semenjak tahun 2006 dengan dicanangkannya provinsi ini sebagai sentra pengembangan kakao di Wilayah Barat Indonesia. Pencanangan ini kemudian memicu pengembangan tanaman kakao pada 17 dari 19 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat.

(38)

Provinsi Sumatera Barat tahun 2010-2015, tanaman kakao merupakan tanaman perkebunan yang akan dikembangkan dalam program dan kegiatan pembangunan pertanian lima tahun yang akan datang.

Perhatian yang serius dalam pengembangan tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat, menyebabkan relatif tingginya angka pertambahan luas tanaman kakao setiap tahunnya dibandingkan dengan komoditi perkebunan lainnya. Pertumbuhan luas beberapa komoditi perkebunan di Sumatera Barat dapat di lihat pada tabel berikut.

Tabel 2.10

Data luas tanaman perkebunan Provinsi Sumatera Barat

NO KOMODITI TAHUN *) Termasuk perkebunan Besar Swasta

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, 2011.

Tabel 2.10 di atas memperlihatkan hingga tahun 2010 tanaman kakao sudah menempati urutan ke tiga dalam hal luas penanaman dibanding tanaman perkebunan lainnya di Sumatera Barat, disamping itu tanaman kakao juga memperlihatkan tingkat pertambahan luas yang relatif paling tinggi dari tanaman perkebunan lainnya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Data menunjukan bahwa tanaman kakao rata-rata tumbuh sebesar 29 % setiap tahun, disusul tanaman gambir sebesar 23 % setiap tahun. Sementara itu tanaman kelapa sawit hanya tumbuh rata-rata sebesar 9 % setiap tahun dan tanaman karet hanya tumbuh rata-rata sebesar 3 % setiap tahun.

(39)

Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Pendefinisian daerah sentra di sini adalah berdasarkan pada luas penanaman dan jumlah produksi kakao yang dihasilkan. Untuk lebih jelasnya luas tanaman kakao per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat dapat di lihat pada tabel berikut.

Tabel 2.11

Luas Tanaman Kakao Perkebunan Rakyat Per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat dari Tahun 2006 sampai dengan tahun 2010.

No Kabupaten/Kota Luas (Hektar)

2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Agam 2,790 3,152 4,302 4,477 7,561 8,231

2 Pasaman 9,362 15,039 15,639 15,831 19,417 21,886 3 50 Kota 769 1,035 2,295 2,980 5,610 5,686 4 Tanah Datar 178 312 625 1,343 2,351 3,208 5 Padang Pariaman 2,002 3,641 6,001 15,669 18,187 21,129 6 Solok 583 1,073 2,573 2,573 3,114 3,957 7 Pesisir Selatan 334 521 1,221 1,663 3,143 4,241 8 Sijunjung 439 658 937 1,097 2,251 2,902 9 Kep. Mentawai 259 598 918 1,668 1,704 1,863 10 Solok Selatan 16 158 349 631 1,016 1,431 11 Pasaman Barat 3,676 7,204 8,337 8,737 12,661 15,883 12 Dharmasraya 50 303 827 1,202 1,918 2,488

13 Kota Padang 64 152 268 610 836 1,119

14 Kota Pdg Panjang - - - 5 15 20

15 Kota Paya Kumbuh 192 192 222 287 1,084 1,472

16 Kota Solok 20 27 34 99 229 313

17 Kota Sawahlunto 375 1,190 1,820 2,412 3,124 3,951

18 Kota Bukittinggi 3 6 13 13 20 21

19 Kota Pariaman 24 99 246 167 515 1,213

J u m l a h 21,136 35,360 46,627 61,464 84,756 101,014 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, 2011

(40)

Perkebunan Rakyat di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 yaitu seluas 98.706 ha, maka capaian luas penanaman sudah mencapai angka 91 % dari target luas tanaman kakao yang diharapkan. Jika data perkebunan rakyat ini ditambah dengan tanaman kakao dari Perkebunan Besar milik Swasta, maka luasnya sudah menjadi 101.014 ha atau mencapai 93 % dari target luas tanaman kakao pada tahun 2010.

Berdasarkan sebaran luas pertanaman kakao yang ada di Provinsi Sumatera Barat, dapat kita lihat bahwa areal terluas perkebunan kakao rakyat terdapat di Kabupaten Pasaman dengan luas mencapai 22 % dari total luas tanaman kakao rakyat dan dengan produksi sebesar 31 % dari total produksi kakao rakyat yang ada di Sumatera Barat. Selanjutnya disusul oleh Kabupaten Padang Pariaman seluas 21% dari total luas perkebunan kakao rakyat dengan produksi sebesar 20% dari total produksi kakao rakyat yang ada di Sumatera Barat, dilanjutkan dengan Kabupaten Pasaman Barat dengan luas mencapai 16% dari total luas perkebunan kakao rakyat dengan produksi sebesar 14% dari total produksi karet rakyat yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Areal yang relatif luas setelah itu berturut-turut adalah Kabupaten Agam (8%) dan Lima Puluh Kota (6%). Lebih jelas sebaran luas tanaman kakao berdasarkan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada tahun 2010 dapat di lihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1.

Sebaran luas pertanaman kakao berdasarkan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada tahun 2010. (diganti)

(41)

Sumatera Barat hanya sebesar 0,49 ton/ha/th, sementara secara teoritis potensi produktivitas tanaman kakao adalah lebih kurang 2 ton/ha/tahun. Data luas tanaman, produksi dan produktivitas tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel 2.11 berikut sedangkan distribusi produksi per Kabupaten/Kota dapat dilihat pada gambar 2.2.

Pada tahun 2011 luas tanaman kakao Provinsi Sumatera Barat tercatat seluas 117.014 ha dengan tingkat produksi sebesar 56.000 ton. Jika diperhatikan data tahun 2011 luas dan produksi tanaman kakao Provinsi Sumatera Barat baru sekitar 7 % dari total luas dan produksi kakao nasional.

Data di atas menunjukan bahwa produktivitas tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat relatif rendah dari produktivitas tanaman kakao secara nasional yang sudah mencapai angka 0,52 ton/ha/tahun. Rendahnya produktivitas tanaman kakao ini, mendorong pemerintah untuk melakukan upaya agar produktivitas ini bisa mencapai angka 1,2 ton/ha/tahun. Jika angka produktivitas ini tercapai maka mulai tahun 2015 produksi biji kakao di Sumatera Barat akan mencapai angka 121 ribu ton. Jumlah ini tentu jauh meningkat dari produksi kakao yang ada saat ini yang hanya sebesar 49 ribu ton.

Tabel 2.12

Produksi, luas areal dan produktivitas Tanaman Kakao Per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat pada Tahun 2010

No Kab/Kota Produksi (ton) Luas Produktivitas

(42)

No Kab/Kota Produksi (ton) Luas Produktivitas

15 16 17

Kota Solok Kota Payakumbuh Kota Padang

103 546 408

313 1.472 1.119

0,33 0,37 0,37

Total 49.769 101.014 0,49

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat. 2011.

Gambar 2.2

Distribusi Jumlah Produksi kakao Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat pada Tahun 2010.

Sejalan dengan peningkatan produksi, ekspor kakao dari Provinsi Sumatera Barat juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Jika dilihat dari data tahun 2005 hingga tahun 2009 volume ekspor kakao dari Sumatera Barat naik rata-rata sebesar 95% per tahun dan nilai ekspor juga naik dengan rata-rata sebesar 131% per tahun. Lebih jelas volume dan nilai ekspor kakao dari Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel 2.13

Tabel 2.13

Volume dan Nilai Ekspor Kakao Provinsi Sumatera Barat 2005 – 2009

Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 Volume (000 Ton) 3.202 5.353 8.112 12.284 38.000

Nilai (000 USD) 3.386 4.401 10.717 27.030 80.959

(43)

2) Permasalahan

Salah satu sasaran pembangunan sektor pertanian adalah terwujudnya masyarakat tani yang sejahtera. Hal ini dapat dicapai bilamana hasil pertanian yang diusahakan bisa memberikan nilai profit yang tinggi bagi petani. Penciptaan nilai profit yang tinggi dapat terwujud antara lain dengan peningkatan produktivitas hasil pertanian dan peningkatan nilai tambah produk pertanian di tingkat pelaku usaha tani.

Kondisi sebagaimana yang diharapkan di atas belumlah sepenuhnya dapat dicapai pada pertanian kakao di Indonesia dan Sumatera Barat khususnya. Produktivitas tanaman kakao petani masih sangat rendah dengan rata-rata 0,49 ton/ha/tahun dari potensi sebesar 2 ton/ha/tahun. Disatu sisi hampir belum ada nilai tambah dari produk olahan biji kakao yang bisa diperoleh pada tingkat pelaku usaha tani kakao. Jangankan melakukan pengolahan biji kakao, untuk melakukan fermentasi biji kakao dengan harapan dapat dijual sedikit lebih mahal itupun belum dilakukan oleh sebagian besar petani.

Ada beberapa yang diduga sebagai penyebab rendahnya produktivitas tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat antara lain:

1. Bibit kakao yang digunakan oleh sebagian besar petani adalah merupakan bibit asalan yang dikembangan sendiri oleh petani, bukan merupakan bibit dari klon unggul.

2. Sebagian besar tanaman kakao ditanam sebagai tanaman tumpang sari dengan berbagai jenis tanaman pohon, namun tidak tertata dengan baik, sehingga tanaman kakao tidak mendapatkan pencahayaan sinar matahari yang cukup. Disisi lain ada juga petani yang mengembangkan tanaman kakao sebagai tanaman monokultur, tapi tidak disediakan tanaman pelindung yang baik, sehingga juga menyebabkan tidak berproduksinya tanaman kakao dengan baik.

3. Sebagian besar petani tidak melakukan pemupukan tanaman kakao dengan benar, sehingga tanaman kakao tidak mempunyai cukup hara untuk makanannya.

(44)

5. Masih rendahnya sistem pengendalian hama penyakit yang dilakukan oleh petani, sehingga hama dan penyakit disamping menyerang buah juga ada yang menyerang pokok tanaman sehingga menyebabkan tanaman menjadi mati. Disamping itu buah atau bakal buah tanaman kakao kemudian tidak berkembang dengan baik dan tidak menghasilkan biji atau kalaupun menghasilkan biji, kualitas biji menjadi sangat rendah.

Tanaman kakao adalah tanaman perkebunan dengan tingkat intensitas perawatan yang relatif tinggi, diantaranya adalah pelaksanaan pemangkasan. Oleh sebab itu dari hasil wawancara yang dilakukan dengan petani dimana 1 keluarga tani dengan 1 orang Bapak dibantu oleh istri dan 1 orang anak hanya akan mampu mengelola tanaman kakao maksimal seluas 2 ha. Jika produktivitas tanaman hanya 0,5 ton/ha/tahun, maka hasil yang bisa diperoleh dari 2 ha lahan hanya sebesar 1 ton/ha/tahun. Jika harga biji kakao kering di tingkat petani sebesar Rp. 20.000,- per kg, maka pendapatan petani kakao dengan luas lahan 2 ha hanya sebesar Rp. 20 juta per tahun atau rata-rata lebih kurang Rp. 1,7 juta per bulan. Pendapatan ini tentu masih relatif rendah dibandingkan dengan upaya yang dilakukan dan dibandingkan dengan pendapatan dari komoditi lain pada luasan lahan yang sama.

Menjadikan tanaman kakao sebagai produk unggulan Sumatera Barat harus diikuti dengan pemahaman yang komprehensif mulai dari budidaya tanaman hingga produk akhir bisa disajikan. Dengan demikian setiap tahapan resiko dapat diantisipasi dan inovasi dapat dilahirkan untuk menjadikan nilai tambahnya menjadi tinggi dan dinikmati masyarakat.

(45)

Ada 2 produk utama yang dapat dihasilkan dari biji kakao kering yaitu lemak kakao dan bubuk kakao yang merupakan produk kering dari sisa biji yang telah dikeluarkan lemaknya. Produk coklat atau produk makanan dan minuman dari coklat adalah produk yang diolah dari bubuk kakao tersebut. Untuk menghasilkan produk coklat atau produk makanan dan minuman dari coklat yang berkualitas baik harus dengan menggunakan biji kakao yang telah difermentasi. Dengan demikian biji kakao yang difermentasi dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao yang tidak difermentasi.

Sebagian besar produk biji kakao kering yang dihasilkan petani kakao di Sumatera Barat adalah biji yang tidak difermentasi, sehingga di pasar ekspor biji kakao ini dihargai lebih murah atau sering dikenakan diskon harga dibandingkan dengan biji kakao yang dihasilkan dari negara lain. Dengan demikian harga biji kakao di tingkat petani tentu juga akan dipatok lebih murah.

Fermentasi biji kakao dilakukan dengan pemeraman biji di dalam suatu wadah selama 4 - 5 hari, dengan syarat selama pemeraman itu dapat tercapai suhu fermentasi lebih kurang menjadi 45 0C. Dari praktek yang dilakukan kondisi fermentasi yang dimaskud dapat tercapai bilamana biji kakao basah dimasukan ke dalam kotak dengan kapasitas lebih kurang 40 – 50 kg setiap kotak. Kapasitas persyaratan fermentasi ini yang juga di duga menjadi salah satu penyebab tidak dilakuknnya fermentasi biji kakao pada tingkat petani. Sebagian besar petani kakao di Sumatera Barat memiliki lahan budidaya kakao yang relatif kecil (rata-rata 0,5 ha per keluarga tani), sehingga jumlah buah dan biji yang dihasilkan setiap kali pemanenen sangat kecil. Dengan demikian jelas jumlah biji yang dihasilkan petani tidak akan memenuhi persyaratan jumlah untuk dapat dilakukan fermentasi pada setiap petani. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa peningkatan nilai tambah pada tingkat produk primer saja masih sulit dapat diperoleh petani kakao di Sumatera Barat.

Ada dua alasan utama yang dikemukakan petani kakao di Sumatera Barat untuk tidak melakukan fermentasi biji antara lain:

1. Kecilnya volume panen biji kakao setiap petani untuk setiap kali pemanenen, sehingga tidak mencukupi volume biji untuk persyaratan dapat dilakukannya fermentasi.

(46)

Rantai perdagangan biji kakao yang sangat panjang sering pula diperbincangkan sebagai salah satu penyebab rendahnya harga kakao di tingkat petani, sementara margin yang tinggi masih diperoleh oleh pedagang kakao. Untuk itu sudah dilakukan upaya-upaya termasuk memperpendek rantai dagang kakao ini melalui pembentukan kelompok tani dan koperasi yang diharapkan dapat melakukan akses langsung ke pabrik pemakai akhir atau ke eksportir biji kakao. Upaya lain untuk memperpendek rantai perdagangan serta sekaligus memberikan nilai tambah yang tinggi bagi petani, telah dilakukan dengan mendorong dilakukannya pengolahan biji kakao menjadi produk akhir pada tingkat petani atau kelompok tani. Program ini ditandai dengan memberikan bantuan peralatan dan mesin pengolahan biji kakao ke kelompok tani atau koperasi.

Pengolahan biji kakao menjadi produk hilir hingga produk makanan berbahan baku coklat untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi dari biji kakao pada prinsipnya tidaklah terlalu sulit. Secara sederhana tahapan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Biji kakao difermentasi lalu dikeringkan

2. Biji yang telah kering di sangrai untuk menurunkan kadar air serta memberikan aroma yang enak. Selanjutnya pisahkan kulit ari dengan inti biji kakao.

3. Inti biji selanjutnya dihancurkan menjadi pasta kakao.

4. Pasta selanjutnya di ekstrak untuk mengeluarkan lemak atau memisahkan lemak kakao dengan daging biji (ampas).

5. Lemak kakao yang dihasilkan sudah bisa dipasarkan tanpa pengolahan lebih lanjut.

6. Ampas (daging biji) yang telah dikeluarkan lemaknya selanjutnya dahaluskan untuk mendapatkan bubuk kakao. Bubuk kakao ini sudah dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan makanan ataupun minuman.

(47)

tercatat lebih kurang sebanyak 12 set alat pengolahan kakao telah diserahkan kepada kelompok tani dengan tujuan agar petani dapat mengolah sendiri produksi kakaonya menjadi produk hilir yang mempunyai nilai tambah tinggi. Kenyataannya di lapangan berbagai kendala terutama kendala teknis dalam melakukan pengolahan biji kakao menjadi produk hilir di tingkat petani, telah menyebabkan tidak bisa dilakukannya pengolahan kakao secara komersil oleh petani di daerah sentra produksi kakao. Dengan demikian harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dari tanaman kakao masih belum dapat diperoleh dengan baik.

Pada tahapan panen dan pasca panen potensi kehilangan hasil dan turunnya mutu kakao juga terus terjadi akibat dari tata cara panen dan penanganan pasca panen yang kurang baik. Penelitian yang pernah dilakukan di Sumatera Barat dan penelitian yang pernah dilaporkan dari Kabupaten Langkat Sumatera Selatan berkaitan dengan prilaku petani pada pelaksanaan panen dan penanganan pasca panen hampir menunjukan perilaku yang sama. Penelitian ini melaporkan lebih kurang 85 % petani tidak memanen buah pada tingkat kematangan yang sempurna, 50 % petani tidak melakukan sortasi buah pada saat panen, dan 80 % biji kakao basah yang dihasilkan terkontaminasi oleh korosi logam dari alat pengupas. Pada aspek pasca panen, lebih kurang 85 % petani tidak melakukan fermentasi biji, serta tidak melakukan perendaman dan pencucian biji setelah di fermentasi bagi yang melakukan fermentasi.

3) Upaya Yang Sudah Dilakukan

Banyak program peningkatan kesejahteraan petani berbasis kakao baik oleh pemerintah maupun oleh institusi lain termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang sudah dilakukan. Program-program tersebut mulai dari perbaikan sistem dan teknik budidaya kakao, pengelolaan pasca panen dengan fermentasi biji kakao hingga pengolahan biji kakao menjadi produk makanan serta pemberdayaan kelompok tani kakao.

(48)

pelaksanaannya masih parsial dalam skala kecil, maka hasilnya belum optimal. Untuk itu inovasi baru harus dikembangkan sehingga produktivitas tanaman kakao masyarakat bisa menjadi lebih tinggi.

Secara komprehensif pada tahun 2011 guna meningkatkan produktivitas tanaman kakao, pemerintah melakukan program yang dinamai dengan Gerakan Nasional (Gernas) kakao. Gernas ini ditandai dengan tiga kegiatan pokok yaitu peremajaan tanaman kakao, rehabilitasi dan intensifikasi. Peremajaan ditujukan untuk mengganti tanaman kakao yang sudah tua, tanaman yang rusak dan tidak produktif, serta tanaman yang terserang hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat. Rehabilitasi ditujukan untuk mengganti tanaman yang kurang produktif dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan sedang. Sementara itu intensifikasi dilakukan pada kebun kakao yang tanamannya tidak terawat dan kurang pemeliharaan. Pada tingkat daerah pemerintah setempat juga telah memprogramkan berbagai kegiatan mulai dari bantuan bibit unggul, penyuluhan, dan sekolah lapang. Dalam pengertian ini upaya pemerintah dalam peningkatan produktivitas tanaman kakao rakyat terlihat sudah sangat sungguh-sungguh.

Perbaikan kulitas biji kakao untuk menghasilkan biji kakao yang difermentasi juga sudah didorong dengan melakukan berbagai bentuk penyuluhan, pembentukan kelompok serta pemberian kotak fermentasi. Pembentukan kelompok ditujukan agar kekurangan jumlah biji pada tiap petani untuk dapat difermentasi dapat diatasi dengan cara melakukan fermentasi berkelompok sehingga jumlah biji untuk tiap kotak fermentasi yang memenuhi syarat dapat dicapai.

Gambar

Tabel 2.1 Kontribusi dan Pertumbuhan PDRB Sumatera Barat
Tabel 2.2   Pengelompokkan Sektor-sektor Menurut Potensi Ekonomi Daerah
Tabel 2.3 Laju Pertumbuhan Produksi Komoditi Unggulan Menurut Jenis
Tabel 2.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gadai adalah “Suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seorang

Untuk dapat mengimplementasikan smoke candy sebagai produk alternatif pengganti rokok, maka diperlukan adanya peran aktif dari berbagai pihak diantaranya dari Dinas

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian tarif berdasarkan Biaya Operasional Kendaraan dengan tarif yang berlaku saat ini, untuk mengetahui kesesuaian tarif

Pada tanggal 31 Desember 2015, Perseroan memiliki liabilitas sebesar Rp1.763.954 juta, yang angka- angkanya diambil dari laporan keuangan Perseroan pada tanggal 31 Desember 2015,

Analisis data untuk pertumbuhan menggunakan t-independen test dengan hasil terdapat perbedaan rerata berat badan bayi kelompok pijat dengan tidak pijat

Tarik mobil mainan secara perlahan dengan membelok belokkan arah ke suatu titik henti/finish ( ukur waktu menggunakan stopwatch hp/jam).  Siswa diminta menuliskan hasil

Jika GLEDQGLQJNDQNRQÀLN\DQJWHUMDGLGL.HUDMDDQ Agangnionjo (Tanete) dengan kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan dalam proses integrasi internal kerajaannya,

1) Gaji adalah balas jasa dalam bentuk uang yang diterima karyawan sebagai konsekuensi dari kedudukanya sebagai seorang karyawan yang memberikan sumbangan tenaga dan