• Tidak ada hasil yang ditemukan

Luh Suwita Utami * dan Ni Putu Eka Juliawati **

Dalam dokumen Kemaritiman Nusantara (Halaman 154-157)

Pendahuluan

Jajaran puncak pegunungan yang membentang di tengah-tengah Pulau Bali dari barat hingga timur, menjadikan Bali terlihat dibagi menjadi dua kawasan besar, yaitu kawasan Bali Utara dan Bali Selatan. Kawasan Bali Utara dengan kondisi bentang alam kawasan pantai dan perbukitan yang jaraknya tidak terlalu jauh, menyebabkan hubungan antara penduduk yang bertempat tinggal di pantai dan penduduk di pegunungan dapat dengan mudah dilakukan. Kawasan pantai utara Bali, sampai saat ini telah terbukti merupakan suatu kawasan yang sangat kaya dengan peninggalan arkeologi dan situs arkeologi yang berasal dari masa prasejarah, klasik, dan Islam. Sebagian besar situs arkeologi di kawasan utara Bali berada di kawasan pantai. Pemilihan kawasan pantai mengindikasikan adanya pemukiman dengan berbagai aktivitas manusia pendukungnya yang sangat berperan dalam persentuhan budaya masa lalu.

Penelitian terhadap daerah pantai utara Bali sudah dimulai sejak tahun 1954, di mana Goris telah melakukan penelitian terhadap prasasti Bali Kuno yang ada di Buleleng dan daerah lainnya di Bali. Dari pembacaan prasasti yang dilakukan oleh Goris cukup banyak ditemukan data berkaitan dengan pelabuhan kuno yang berada di pantai utara Bali. Beberapa prasasti yang berkaitan dengan pelabuhan di pantai utara Bali adalah:

* Balai Arkeologi Bali, Jalan Raya Sesetan No 80 Denpasar, niluh_sudra@yahoo.co.id ** Balai Arkeologi Bali, Jalan Raya Sesetan No 80 Denpasar, putuekajulia@gmail.com

1. Prasasti Bebetin AI, berangka tahun 818 Śaka (896 Masehi), tidak menyebutkan nama raja. Isi prasasti antara lain menyebutkan nama Desa Banwa Bharu dan batas-batasnya. Dari deskripnya dapat diketahui bahwa desa tersebut berlokasi di tepi pantai dengan batas sebelah baratnya Sungai Batang. Kata “batang” atau “watang” dalam bahasa Bali artinya “bangkai” atau “mayat” (Mardiwarsito 1981; Suantika 1998:38). Kata “bangkai” berubah menjadi “bangka”, maka yang dimaksud dengan Sungai Batang dalam prasasti adalah Tukad Bangka yang ada di sebelah barat Desa Kubutambahan saat ini. Disebutkan pula dalam prasasti, bahwa jika ada saudagar yang meninggal, sebagian miliknya diserahkan kepada Hyaŋ Api, dan bila ada perahunya pecah, kayu-kayunya harus dijadikan pagar desa. Dengan demikian jelaslah bahwa Desa Banwa Bharu sangat mungkin sama dengan Desa Kubutambahan sekarang (Suantika 1998:39).

2. Prasasti Sembiran AI, dikeluarkan oleh Raja Ugrasena pada tahun 844 Śaka (922 Masehi). Isinya adalah tentang batas-batas Desa Julah di mana batas utaranya adalah laut. Juga menyebutkan tentang taban karaŋ, yaitu apabila ada perahu, lanciŋ, jukuŋ, talaka yang diketahui oleh masyarakat di sana, hendaknya dijadikan persembahan dan dilaporkan kepada raja. Dari prasasti ini diketahui bahwa ada lokasi pelabuhan yang cukup besar sehingga berbagai jenis perahu dapat berlabuh disana. Ada kemungkinan lokasi ini merupakan pelabuhan kerajaan, karena kejadian yang berkaitan dengan taban karaŋ harus dilaporkan kepada raja (Suantika 1998:39).

3. Prasasti Sembiran AII, tahun 897 Śaka (975 Masehi) dikeluarkan oleh Raja Śrī Janasadhu Warmadewa, menyebutkan nama-nama desa di sekitar Julah. Di samping Desa Julah ada beberapa desa lain seperti Desa Indrapura, Bwundalem (Bondalem) dan Hiliran (Tejakula) yang letaknya di sebelah timur Desa Julah. Dengan identifikasi desa-desa di sekitar Julah ini dapat diketahui posisi Julah yang dimaksud dalam prasasti.

4. Prasasti No. 409 Sembiran AIV, berangka tahun 987 Śaka (1065 Masehi) yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wuŋśu. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa jika ada saudagar dari seberang laut datang dengan perahu kecil dan besar di Manasa, penduduk desa diperkenankan untuk membantu. Dikenakan biaya merapat sebesar 1 masaka dan harganya dilebihkan bagi orang terkemuka. Tidak dikenakan biaya pengawasan dan tidak ada pemaksaan jika mereka

menunjukkan surat perintah membayar biaya pelabuhan yang ditulis oleh paduka raja (Bagus 2010:146).

5. Prasasti No. 703 Kintamani D yang berangka tahun 1122 Śaka (1200 Masehi) yang dikeluarkan oleh Raja Ekajaya Lañcana dan Arjaya Deŋ Jaya Ketana menyebutkan tentang masyarakat Cintamani yang diperbolehkan untuk melakukan perdagangan kapas ke Desa Les, Pemiŋgir, Hiliran, Buhun Dalam, Julah, Purwasiddi, Indrapura, Bulian, dan Manasa tidak akan ditegur oleh pemimpin yang menguasai perdagangan kapas, karena diperbolehkan dari dulu. Prasasti Kintamani D memberikan informasi bahwa kapas adalah komoditi yang diperdagangkan oleh masyarakat di daerah pegunungan, Kintamani. Kapas ini kemungkinan sudah diperdagangkan ke daerah lain, karena dikirim ke Julah dan Manasa yang merupakan desa di pinggir pantai yang memiliki pelabuhan atau dermaga yang besar.

Berpijak pada data tertulis prasasti Bebetin AI (818 Śaka) dapat diketahui adanya sebuah desa kuno yang dikenal dengan Banwa Bharu yang memiliki pelabuhan laut. Diperkirakan bahwa Banwa Bharu adalah Desa Kubutambahan sekarang, sehingga pemukiman dan aktivitas pernah terjadi di sekitarnya. Dalam prasasti Sembiran AI dan Sembiran AII yang berkaitan dengan Desa Julah dan desa-desa lainnya yang ada di tepi pantai. Begitu pula dalam Prasasti Sembiran A IV yang menyebutkan tentang Desa Manasa, bahwa Manasa telah dikunjungi oleh saudagar dari seberang menunjukkan dengan jelas bahwa Manasa adalah sebuah pelabuhan yang cukup ramai pada masa itu.

Prasasti Kintamani E, memberikan keterangan bahwa hubungan masyarakat pantai dengan masyarakat pegunungan tetap terjalin karena saling membutuhkan. Hal ini terlihat dari adanya saudagar dari desa-desa di tepi danau Batur berjualan ke desa-desa tepi pantai. Disebutkan pula bahwa Desa Julah pada masa lampau dikepalai oleh seorang ser pasar dan banyak saudagar (banigrama dan banigrami) yang berdomisili di Desa Julah. Hal ini dapat dijadikan acuan Julah adalah pusat perdagangan pada masa Bali Kuno. Kegiatan perdagangan yang dimaksud adalah perdagangan lokal, yaitu aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat di sekitar Julah atau pantai utara Bali. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya aktivitas perdagangan dengan kelompok masyarakat luar Julah sebagaimana disebutkan di dalam Prasasti Sembiran AI.

Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana jejak pelabuhan kuno di pantai utara Bali berdasarkan data prasasti dan ekskavasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertukaran. Dalam tingkat masyarakat yang paling sederhana pun, pertukaran sudah terjadi. Polanyi dan Holder menyatakan bahwa terdapat tiga kategori dalam pertukaran primitif yaitu pertukaran resiprokal yaitu kewajiban memberi dan menerima di antara individu yang berbeda hubungan sosialnya. Selanjutnya adalah pertukaran

redistribusi yaitu kewajiban membayarkan barang dan jasa kepada pemuka

masyarakat (misalnya raja, kepala, pendeta), dan yang terakhir adalah pertukaran pasar tradisional di mana para pelaku tidak memiliki ikatan sosial tertentu yang mewajibkan mereka untuk melakukan pertukaran dan dimungkinkan adanya tawar-menawar di dalamnya (Suarbhawa 2010:221). Dalam penelitian ini data diperoleh melalui sumber sekunder. Data dikumpulkan melalui studi pustaka berupa jurnal, laporan penelitian dan buku. Data dianalisis dengan tiga tahapan yakni reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan.

Dalam dokumen Kemaritiman Nusantara (Halaman 154-157)