Pendahuluan
Nawa Cita merupakan Program Pemerintahan Indonesia saat ini, salah satu dari sembilan program itu adalah Poros Maritim Dunia, yang dititikberatkan pada hubungan antarpelabuhan di berbagai kota dan negara, antara lain untuk kemudahan pengangkutan dan distribusi komoditas, yang dihasilkan atau dibutuhkan di suatu wilayah, baik dari dalam maupun luar Nusantara. Wilayah Nusantara, terdiri dari ribuan pulau; posisinya berada di lintasan strategis pertemuan antarsamudera, yaitu India dan Tiongkok Selatan. Kondisi lingkungan yang terdiri dari lautan ini, menyebabkan sebagian dari budaya yang berkembang di kawasan Nusantara beroritentasi pada kehidupan maritim dan sebagai bangsa bahari.
Kekayaan ragam sumber daya hayati Nusantara, menjadi daya tarik berbagai bangsa dalam melakukan perjalanan komersial, memasuki perairan Nusantara untuk mendapatkan komoditas dagang, seperti rempah-rempah (spice route) dan barang eksotik lainnya (Harkantiningsih 2013a:29-37). Bukti-bukti perjalanan ini tidak hanya ditunjukkan melalui penemuan, baik situs pelabuhan, kota, maupun pusat keagamaan di pesisir, tetapi juga situs kapal-karam (wreck sites) beserta muatannya di perairan Nusantara (Flecker 2002; Harkantiningsih 2010; 2014; Krahl dkk (ed) 2010; Mathers 1996; Wells 1995; Ridho 1998). Kondisi ini memperkuat program Nawa Cita, ternyata kejayaan poros maritim dunia sebenarnya sudah dikenal sejak
* Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten No. 4, Pasar Minggu, Jakarta 12510, [email protected]
masa lampau. Berperannya Nusantara dalam koneksitas jaringan pelayaran dan perdagangan dunia, karena rempah-rempahnya dan barang eksotik lainnya.
Para saudagar mancanegara berdatangan ke wilayah Nusantara mencari komoditi yang dicarinya, terutama rempah-rempah; dalam pelayarannya mereka juga membawa hasil komoditi negara asalnya, untuk diperjualbelikan ataupun sebagai hadiah para penguasa dagang pada masa itu. Setelahnya, mereka membawa barang-barang lainnya asli Nusantara yang diperlukan untuk dibawa kembali ke negaranya.
Paling tidak sejak awal abad Masehi, Nusantara telah menguasai tataniaga rempah; pada masa itu hasil alam ini telah menjadi barang dagangan yang berharga, karena sangat dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain di luar Nusantara. Sejarah menuliskan, tentang rempah-rempah (cengkeh) yang dibawa oleh para pelaut pemberani dari timur dengan menggunakan perahu-perahu sederhana (Tanudirjo 2013:1). Sementara itu, sumber dari Dinasti Han (abad II Sebelum Masehi) menyebutkan, jika para pejabat kerajaan hendak menghadap kaisar, mereka harus mengunyah cengkeh sebagai penyedap bau mulut (Wang 1959 dalam Tanudirjo 2013:1). Sumber-sumber sejarah ini membuktikan bahwa, cengkeh telah diperdagangkan setidaknya sejak awal abad Masehi. Perdagangan ini menjadi semakin marak ketika kerajaan besar seperti Śrīwijaya, Matarām Kuno, dan Majapahit terlibat dalam perdagangan internasional terutama dengan India dan Tiongkok (Tanudirjo 2013:2). Terlebih setelah kedatangan Bangsa Eropa ke Nusantara, tataniaga rempah semakin jaya (Harkantiningsih 2010:2-5)
Nusantara sebagai sumber rempah-rempah, telah terkait dengan jaringan pelayaran dan perdagangan ini. Munculnya pusat-pusat kemaharajaan dan keagamaan di Sumatera dan Jawa pada abad VI-VII, menandai puncak lancarnya perniagaan rempah-rempah jarak jauh, baik antara India, Timur Tengah, Tiongkok, maupun Eropa. Aktivitas ini melanjut hingga terbentuknya kerajaan Islam dan datangnya komunitas asing ke Nusantara, untuk mencari komoditi itu yang sangat diminati oleh bangsa Asia dan Eropa. Keberadaan komunitas, baik lokal maupun asing, berdampak pula pada variabilitas komoditas yang mereka bawa dari tempat asalnya, demikian pula, komoditi lokal yang dibawanya. Kapal karam dan muatannya menjadi salah satu bukti otentik untuk peristiwa pelayaran dan perdagangan ini, sehingga dapat dianggap sebagai cikal bakal poros maritim dunia.
Perairan Nusantara merupakan salah satu jalur pelayaran internasional ataupun nasional, sekaligus pusat perniagaan rempah-rempah, baik Nusantara bagian barat
maupun timur. Nusantara bagian barat: menjadi salah satu jalur pelayaran global, karena pusat perdagangan lada terutama di Banten dan Sumatera Selatan. Sementara itu, Nusantara bagian timur: menjadi salah satu jalur pelayaran global, karena pusat perdagangan pala, cengkeh, dan kayu manis, terutama Ternate dan Banda. Jaringan ini berdampak munculnya bandar-bandar besar sebagai pelabuhan utama niaga, yang saling terkoneksi satu dengan yang lain (Wibisono 1997). Dapat dikatakan, bahwa ke dua wilayah ini mewakili gambaran tentang perniagaan rempah-rempah. Para saudagar membawa berbagai barang dagangannya untuk ditukarkan dengan rempah-rempah dan barang eksotik lainnya (Volker 1954; Groeneveldt 1960).
Keberadaan kapal karam dan muatannya di perairan Nusantara, menjadikan pertanyaan: mengapa dan bagaimana banyak kapal karam yang ditemukan di perairan Nusantara? Bagaimana pola hubungan dan variabilitas muatannya? Kapan terjadi jaringan pelayaran dan perdagangan tersebut? Apa hubungannya dengan tataniaga rempah-rempah? Pertanyaan-pertanyaan itu akan dicoba diperoleh jawabannya melalui pembahasan ini. Pola persebaran kapal karam dan identifikasi muatannya, diharapkan dapat melengkapi sejarah pelayaran dan perdagangan rempah, Selain itu, hasil pembahasanan ini, dapat memperjelas dan mempermudah pengingatan
kembali (melawan lupa) pernah berperannya Nusantara dalam tataniaga rempah dan
dapat menghidupkan kembali tataniaga tersebut, sehingga melancarkan program
Poros Maritim Dunia.
Untuk memperoleh hasil yang diharapkan, maka tujuan penulisan ini ialah: 1. menggambarkan Nusantara pada fase terlibat dalam jalur pelayaran dan perdagangan global; 2. mengetahui variabilitas barang-barang komoditi yang diperdagangkan terkait dengan komoditi rempah, serta kronologi dan asalnya; dan 3. memperoleh informasi kapal karam kaitannya dengan jaringan pelayaran dan perdagangan rempah. Studi jaringan ini tidak cukup dilakukan hanya pada sebuah kapal karam, tetapi lebih cenderung melakukan perbandingan antarkapal karam yang memuat kaitannya dengan komoditas rempah. Penulisan ini merupakan bagian dari upaya menginformasikan hasil rekonstruksi aktivitas kemaritiman yang memfokuskan perhatian pada peninggalan bawah air, melalui analisis terhadap muatan kapal karam. Paling tidak pembuktian ini dapat ditelusuri melalui penelitian arkeologi.
Metode analisis kualitatif, analisis konteks, dan pola persebaran serta persamaan muatan kapal karam, dilakukan untuk menjawab permasalahan. Metode itu digunakan dalam pengolahan data, terutama keramik dan barang lokal yang
terkait dengan rempah. Juga studi pustaka yang dititikberatkan pada berita sejarah pelayaran dan acuan untuk barang-barang sejenis dengan barang komoditi yang dimuat dalam kapal karam. Data yang digunakan dalam penulisan, adalah muatan kapal karam terutama keramik Cina dan barang komoditas dari Nusantara, dalam hal ini yang dianggap terkait dengan rempah.