• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Mediasi dalam Hukum Positif

5. Macam-macam Mediasi

Tujuan al-ishlah atau mediasi atau perdamaian dalam syari‟at Islam memilki tujuan untuk mengakhiri perselisihan antara dua atau lebih pihak yang berselisih sehingga kedua belah pihak dapat menciptakan hubungan baik dalam kedamaian dan penuh persahabatan antara keduanya. Ishlah menurut ketentuan syari‟at Islam adalah bentuk kontrak yang secara legal mengikat pada tingkat individu dan komunitas. Istilah ishlah digunakan dengan dua pengertian, yakni proses keadilan restoratif (restorative justice) dan penciptaan perdamaian serta hasil atau kondisi aktual yang dilahirkan oleh proses tersebut.270

Menurut pendapat Hendi Suhendi, ishlah secara garis besardapat dibagi menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut:

268

Allan J. Stitt, Op.Cit., h. 2

269 David Spencer dan Michael Brogan, Mediation Law and Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 101-103

270 Zakiyuddin Bhaidawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 61

a. Perdamaian antara kaum Muslim dengan masyarakat non-muslim. Yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu (dewasa ini dikenal dengan istilah gencatan senjata) secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam undang-undang yang telah sepakati oleh kedua belah pihak;

b. Perdamaian antara penguasa dan pemberontak. Yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan Negara yang harus ditaati;

c. Perdamaian antara suami istri dalam sebuah keluarga. Yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan tentang pembagian nafkah, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suamiya manakala terjadi perselisihan; dan

d. Perdamaian antara pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam muamalat). Yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalat.271

Melihat fenomena diera modern sekarang ini, pada dasarnya keragaman budaya dan agama dapat menjadi sumber perpecahan yang tidak mustahil mengarah pada munculnya separatisme. Oleh karena itu, mengingat dan melihat akan adanya keragaman ini merupakan realitas sosial maka tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan mengarahkan pada kepentingan dan tujuan bersama. Kaitannya dengan hal tersebut, Said Agil Husain al-Munawar dalam karyanya yang berjudul Fikih Hubungan Antar

Agama menekankan pada toleransi dan kerukunan antar sesame sebagai

salah satu cara menjaga perdamaian dalam hubungan antar umat beragama, khususnya umat beragama di Indonesia. Sebab eksistensi manusia bukan terletak pada aku-nya tetapi pada kita-nya atau kebersamaannya. Kebersamaan ini tidak hanya tergambar dalam bentuk kolektif saja tetapi jauh dari itu.272

271 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), h. 9-12

272 Said Agil Husein al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 74

Al-Zuhaily memberikan penjelasan bahwa al-ishlah jika ditinjau dari aspek subjeknya dapat dibagi menjadi beberapa bagian,273 yaitu:

1) Perdamaian antara suami istri yang sedang mengalami persengketaan rumah tangga;

2) Perdamaian antara umat Islam dengan orang-orang kafir yang memerangi umat Islam (ahl al-harb), yaitu dengan menggunakan dan menerapkan akad perdamaian dan rasa aman.274

3) Perdamaian antara pihak yang berkuasa (pemerintah) dengan pemberontak dalam suatu negara, biasanya berakhir dengan adanya konsesi hak dan kewajiban antara kedua pihak.275

4) Perdamaian antara dua orang atau kelompok yang bersengketa dalam persoalan bukan harta, yaitu dalam tindak pidana qisas

(pembunuhan).276

5) Perdamaian antara para pihak yang terlibat dalam persengketaan harta benda.

Adapun pembagian perdamaian atau al-sulh yang berkaitan dengan harta yaitu sebagai berikut:

a. Sulh al-Iqrar (Perdamaian yang disertai Pengakuan)

Perdamaian yang disertai dengan pengakuan yaitu apabila seorang tergugat mengakui dan membenarkan akan kesalahan atau gugatan yang berasal dari penggugat. Perdamaian ini terbagi menjadi dua, yaitu perdamaian yang berkaitan dengan jenis hak (disebut juga sulhu al

273 Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Juz ke-VI, Op.Cit., h. 4332

274

Misalnya yang pernah tercatat dalam catatan sejarah pertama Islam yaitu perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan Rasulullah Saw dan pengikutnya dengan kafir Quraisy pada tahun ke-6 Hijriyah.

275 Dasar dalam perdamaian ini adalah al-Qur‟an surat al-Hujurat ayat 9, contoh perdamaian ini adalah perdamaian yang dilakukan oleh Abu Bakar setelah memerangi kelompok pemberontak yang menolak zakat. (Lihat: Sejarah Perdaban Islam, lihat juga dalam Muhammad Jamaluddin al-Qasimi (w:1914 M), Tafsir al-Qasimi (Mahasinu-l-Ta‟wil), (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1997), Jilid 8, h. 528

276

Hal ini berdasarkan atas firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 178. (Lihat lebih lengkap dalam: Abd al Qadir „Awdah, al-Tashri‟ al-Jinai al-Islami Muqaranan Bi al-Qanun

al-wad‟i, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Azli, tt.), h. 167, Lihat juga dalam Muhammad Fakhr al-Razi

Fakhr al-Din Ibn „Allamah Diya‟ al-Din „Umar, Tafsir Fakhr al-Razi, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), Jilid 3, h. 1022.

hatitah), dan perdamaian yang berkaitan pada selain jenisnya (disebut

juga sulh al mu'awadlah).277

b. Sulh al-Inkar (Perdamaian yang disertai Pengingkaran atau Penyangkalan pihak tergugat)

Perdamaian yang disertai dengan pengingkaran atau penyangkalan oleh pihak tergugat yaitu bahwa seseorang menggugat orang lain tentang sesuatu materi, utang atau manfaat atau hal-hal yang lainnya, dan tergugat menolak gugatan atau mengingkari apa yang telah digugatkan kepadanya, kemudian mereka melakukan kesepakatan untuk berdamai. Kaitannya dengan hal tersebut, ahli madzhab Maliki, Hanafi, dan Hambali menjelaskan bahwa perdamaian terkait dengan kasus seperti ini dapat dilakukan dengan syarat apa yang dituduhkan itu belum terdapat kejelasan akan kebenarannya, dan pihak tergugat diyakini bahwasanya dia tidak memiliki hak untuk itu. Perdamaian ini didasarkan pada firman Allah SWT., dalam al-Qur‟an surat al-Nisa‟ ayat 128.278

Menurut ulama mazhab yang lain yakni mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa perdamaian tidak dapat dilakukan apabila persengketaan yang gugatannya diingkari oleh tergugat, kecuali tuduhan penggugat itu benar, dan pihak tergugat telah mengakui kesalahannya serta bersedia mengembalikan hak penggugat dengan tujuan mengakhiri persengketaan tersebut. Mereka berargumen bahwa apabila kasus seperti tersebut adi atas boleh diselesaikan melalui perdamaian, maka setiap orang dapat mengklaim hak orang lain untuk menjadi miliknya. Mereka juga

277 Contohnya seseorang mengakui suatu hutang atau barang, kemudian melakukan perdamaian dengan mengambil ganti yang berbeda jenisnya, baik uang, barang, manfaat, atau jasa. Lihat lebih lengkap dalam Abi Hasan „Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Basri,

al-Hawi al-Kabir Fi Fiqh Madhab al-Imam al-Shafi‟i wa Huwa Sharh Mukhtasar al-Muzni, (Beirut:

Dar al-Kutub Al-„Ilmiyah, 1999), Jilid 6, h. 367

278

Yaitu firman Allah SWT. ( رْيَخ ُحْل صلاَو), ayat tersebut menyatakan keumuman, yaitu segala bentuk al-sulh (perdamaian) itu dibolehkan, kecuali apa yang dikhususkan oleh dalil. Hanafiyyah menambahkan bahwa perdamaian dibutuhkan untuk memutuskan sengketa dan permusuhan. Lihat lebih lengkap dalam Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Juz

berpendapat bahwa perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kepada menghalalkan yang haram atau sebaliknya mengharamkan yang halal.279 c. Sulh al-Sukut (Perdamaian yang disertai sikap diamnya tergugat)

Menurut Sayyid Sabiq, apabila pihak tergugat tidak merespon dan berbuat apa-apa atas gugatan yang ada pada dirinya, tidak mengakui gugatan, tidak menyangkalnya, dan tidak pula mengingkari gugatan tersebut,280maka termasuk dalam kriteria sulh al-sukut. Perdamaian pada demikian diperbolehkan, kecuali ulama madzhab Syafi‟i memiliki pendapat lain yaitu bahwa orang yang diam secara de jure hukumnya dianggap sama dengan orang yang ingkar, oleh karena itu, ia disikapi dengan sikap terhadap orang yang ingkar.281