• Tidak ada hasil yang ditemukan

KITABULLAH DAN

MEDIASI TERHADAP SENGKETA KELUARGA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

4. Prinsip-prinsip Mediasi

69

Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar

Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 55

70Ibid., h. 56

71 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz Ke-13, Op.Cit., h. 213

72

Ketentuan yang terdapat pada hukum Islam pada dasarnya terdiri atas norma-norma berjenjang (berlapis). Pelapisan diawal perkembangan Islam terdiri atas dua tingkat norma, yakni peraturan hukum konkret, yang dikenal dengan istilah al-ahkam al-fariyyah, dan asas-asas umum, yang dikenal dengan istilah al-ushul al-kulliyah. Asas-asas umum menurut pendapat pakar hukum Islam klasik mencakup berbagai kategori yang di dalamnya memuat nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asaasiyyah) hukum Islam. Oleh sebab itu, untuk praktis norma-norma tersebut terbagi pada tiga tingkatan, yaitu (1) peraturan-peraturan hukum konkret, (2) asas-asas umum, dan (3) nilai-nilai dasar.73

Nilai-nilai dasar yang terdapat di dalam ketentuan Islam adalah nilai dasar agama Islam itu sendiri, karena hukum Islam berlandaskan pada nilai-nilai dasar Islam. Menurut Syamsul Anwar, di dalam al-Qur‟an secara harfiah dan implisit banyak ditemukan nilai-nilai dasar Islam yang menjadi nilai-nilai dasar hukum Islam juga. Misalnya tauhid, keadilan, persamaan, kebebasan, kemaslahatan, persaudaraan, syura, amanah, fadilah, tasamuh,

ta‟awun dan sebagainya.74

Agama dan keyakinan etis menuntut bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi. Itu berarti setiap manusia tanpa memandang umur, jenis kelamin, ras, warna kulit, ke-mampuan fisik atau mental, bahasa, agama, memiliki martabat yang tidak dapat diganggu atau dicabut. Al-Qur‟an maupun As-Sunnah tidak menyediakan secara rinci berkaitan dengan persoalan penciptaan perdamain, yang ada hanyalah seperangkat etika yang dapat dijadikan landasan dan prinsip-prinsip bagi masyarakat menuju kondisi yang damai. Seperangkat yang tersebut menurut Musdah Mulia adalah prinsip keadilan (al-„adâlah), kejujuran dan tangungjawab amânah), kebebasan hurriyah), persamaan

(al-musâwah), persaudaraan (al-ukhwah), kemajemukan (al-ta‟adudiyah),

musyawarah (as-syurâ), kedamaian (as-silm), dan kontrol sosial (amar

73 Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: RM. Books, 2007), h. 37

74

ma‟ruf nahy munkar).75

Amin Abdullah berpendapat bahwa prinsip dalam hukum Islam yang mengarah pada terciptanya perdamaian pada manusia yaitu: memaafkan, menghormati sesama manusia, kreatif, adil dan kasih sayang.76 Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dijelaskan prinsip yang dimaksud, yaitu:

a. Mengedepankan sikap Memaafkan

Ketika Nabi Muhammad Saw memiliki kekuasaan politik – dalam peristiwa penaklukkan Mekkah nilai tunggal yang diaplikasikannya adalah memaafkan. Tindakan Nabi dalam menerapkan prinsip tersebut bukan semata-mata sebagai taktik politik, hal ini disebabkan karena Nabi mengikuti pola perilaku yang mapan. Pola perilaku yang menjadi tindakan Nabi yang dibentuk dengan didasarkan pada nilai inti memaafkan adalah suatu manifestasi ajaran wahyu Allah SWT.77 Tindakan tersebut didasarkan pada firman Allah SWT. yang menjelaskan bahwa sifat memaafkan pada kesalahan orang lain merupakan kewajiban bagi setiap kaum muslimin, bahkan ketika dalam keadaan marah. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. al-Syura [42] ayat 40, yaitu:





























Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,

Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik78, Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”. (QS. al-Syura: 40).

75

Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik Radikal, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 239-242, lihat juga dalam Musdah Mulia, “Hubungan Agama dan Negara dalam Rangka

Menjamin Kebebasan Beragama di Indonesia” dalam J. Mardimin (ed), Mempercakapkan Relasi Agama dan Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 136-137

76

Amin Abdullah, “Pesan Islam Untuk Perdamaian dan Anti Kekerasan”, Jurnal

Sosiologi Refkelsi, (Volume 3 Nomor 2, 2009), h. 14

77 Ibid., h. 16

78 Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat

Menurut ayat di atas, pemberian maaf (ampunan) dan perbaikan (rekonsiliasi) merupakan tindakan tepat pada situasi konflik. Lebih jauh dari pada itu, memaafkan merupakan sifat yang baik yang secara jelas dianjurkan oleh al-Qur‟an. Sebagai suatu proses antara dua orang atau kelompok yang sedang mengalami pertikaian, memaafkan menjadi suatu tindakan yang memberikan kebebasan pada pihak yang memberikan maaf dan yang dimaafkan. Maaf membantu mengubah hubungan-hubungan social pada manusia, sehingga perdamaian dan tindakan non-kekerasan menjadi mungkin terjadi dimasa depan.

b. Penghormatan atas Martabat Manusia

Sebagai sebuah konsep ajaran, Islam menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar dengan manusia lainnya. Perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya didasarkan atas kualitas keimanan dan ketakwaannya. Hal ini merupakan dasar yang sangat kuat dan tidak dapat dipungkiri telah memberikan kontribusi pada perkembangan prinsip hak asasi manusia di dalam masyarakat internasional. Salah satu aspek martabat manusia yang harus diakui dan dilindungi adalah hak untuk hidup. Berdasarkan al-Qur‟an “Dan janganlah kamu membunuh

jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengansuatu alasan yang benar”.

Inklusifitas Islam terlihat pada adanya penghargaan terhadap kelompok manusia yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Namun penghargaan terhadap perbedaan ini bukan berarti penyamaan agama Islam dengan agama lainnya.79 Sebagai dasar kebebasan beragama adalah “Tidak ada paksaan dalam beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah”.80

Nalar dasar dalam pengakuan hubungan kemanusiaan harus senantiasa didasari prinsip untuk menghormati pihak lain, apapun kondisi dan atribut yang melekat terhadapnya. Sebagaimana Allah SWT., sedari awal telah menetapkan manusia adalah makhluk yang

79 Lihat dalam Firman Allah swt., dalam al-Qur‟an surat al-Isra‟ (17) ayat 33.

80

telah dimuliakan penciptaannya. Sehingga niscaya dalam proses interaksi harus didasari nalar memuliakan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT., dalam surat al-Isra‟ [17] ayat 70, yaitu:











































































































Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam,

kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (Qs. Al-Isra‟ : 70).

c. Kreatif dan Adil dalam Penyelesaian Masalah

Jika mengacu pada peristiwa bersejarah ketika Nabi Muhammad Saw., dalam kasus memperebutkan wewenang siapa yang paling berhak meletakkan hajar aswad, menurut M. Amin Abdullah bahwa Nabi Muhammad Saw. mengedepankan nilai-nilai utama dalam menciptakan perdamaian, diantaranya sifat sabar, penghargaan terhadap kemanusiaan seluruh pihak, berbagi kebersamaan dan kreatifitas dalam menciptakan penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.81

Dalam menegaskan pentingnya keadilan dalam hukum Islam, para pemikir Islam menunjukan berapa banyak istilah keadilan (atau ketidakadilan) disebutkan dalam al-Qur‟an. Contohnya Khadduri seperti yang dikutip oleh Abu Nimer menyatakan: “Dalam al-Qur‟an ada lebih dari 200 teguran terhadap ketidakadilan yang diungkapkan dalam kata-kata seperti zhulm, itsm, dhalâl, dan lainnya serta tak kurang dari hampir 100 ungkapan yang memuat gagasan keadilan, baik secara langsung dalam kata-kata seperti „adl, qishth, mizan dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, maupun dalam belbagai ungkapan lain yang tidak langsung”.82

81 M. Amin Abdullah, op.cit., h. 15

82 Mohammed Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina Damai dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2010), h. 62-63

Al-Qur‟an berulangkali mengingatkan kaum muslim akan nilai keadilan dalam berbagai hal, yang digambarkan bukan semata sebagai suatu pilihan melainkan sebagai perintah Allah SWT. Al-Nisa [4] ayat 58, yaitu:



















































Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat83

Kedamaian merupakan hasil dari ketertiban dan keadilan. Perintah untuk berjuang demi kedamaian lewat keadilan ditujukan secara sama kepada para penguasa maupun warga Negara dan merupakan kewajiban alamiah bagi seluruh manusia. Berdasarkan ayat lainnya, maka qist (soal berurusan secara adil dengan yang lain, kesetaraan dan berlaku adil) adalah keadilan sosial dalam pengertian secara luas. Pertama, dalam hubungan manusia dengan Tuhan, dan

kedua, dalam hubungan manusia dengan masyarakat. Dari sudut

pandang ini, kaum Muslim mendapat satu kewajiban sacral untuk memperlakukan satu sama lain dengan adil.84 Seperti yang diungkapkan oleh Parven S. Ali bahwa Justice has always been included among the

qualities of head and heart which give moral luster and spiritual dignity to human affair. Jadi menurut pendapatnya tersebut bahwa keadilan

selalu disertakan antara kualitas kepala dan hati yang memberikan kilau moral dan martabat spiritual untuk urusan manusia).85

83 QS. al-Nisa [4]: 58. Lihat juga al-Maidah [5]: 8, al-Nahl [16]: 90, al--Syura [42]: 15 dan al-Hadid [57]: 25

84 Mohammed Abu Nimer, Op.Cit., h. 65

85

d. Mendamaikan Dunia dengan Kasih Sayang

Agama Islam dan syari‟at yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, oleh sebab itu Islam sangat sarat dengan etika kasih sayang. Pada hakikatnya kasih sayang yang merepresentasikan semangat kebenaran Islam, jauh lebih vital bagi ajaran Islam dari pada yang lainnya.

Ada kunci-kunci tertentu dalam al-Qur‟an yang secara luas menekankan pada tiga hal yang seringkali diulang-ulang, yakni rahmah, adil dan hikmah. Kata rahmah berasal dari kata kerja rahima yang turunan dari kata ini disebutkan sebanyak 326 kali berdasarkan pada

Mufradat al-Qur‟an karya Imam Raghib dalam Engineer dimaknai

kehalusan hati menghadapi sesorang yang pantas mendapatkan kemurahan hati dan mengajak kita untuk berbuat baik pada orang lain.86 Ajaran Islam dan misi risalahnya dapat diringkas dalam al-Qur‟an surat al-Anbiya ayat 107 yaitu: “Dan tiadalah kami mengutus kamu,

melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.87

Kaitannya dengan prinsip ini, Nurcholis Madjid sebagaimana dikuti oleh Budhy Munawar Rachman dan Muhammad Shofan mengatakan bahwa: prinsip kasih sayang ini mendominasi segala sesuatu sehingga semangat kasih sayang merupakan unsur utama moral ketuhanan yang dipesankan oleh al-Qur‟an. Penegakan kasih sayang terhadap sesama manusia yaitu dengan semangat kemanusiaan pada umumnya dikaitkan dengan pesan menegakkan kesabaran. Bagi orang yang mendapat rahmat dari Allah SWT., perbedaan tidak menjadi unsur pertentangan.88

Manifestasi rasa kasih sayang itu diwujudkan dalam beberapa sikap dan tindakan penting. Pertama, menafkahkan harta untuk orang lain yang membutuhkan, tidak hanya diwaktu lapang, bahkan diwaktu

86 Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 208

87 QS. al-Anbiya [21]: 107.

88 Budhy Munawar Rachman dan Muhammad Shofan, Argumen Islam untuk Liberalisme, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 162

sempit. Kedua, menahan amarah dan ketiga, memaafkan orang lain. Islam adalah agama yang mempunyai kelenturan yang diekspresikan melalui penghayatan terhadap jantung dari keimanan itu sendiri (ajaran tentang kasih sayang). Dari sini ajaran tentang kasih sayang menjadi sangat penting. Di tengah perbedaan apapun harus dilandasi dengan kasih sayang, sehingga perbedaan tidak menyebabkan konflik sosial. Kasih sayang harus menjadi mekanisme eksternal terutama dalam hubungan umat Islam dengan umat beragama lain.89

Nilai yang mendasari paradigma kenabian salah satunya adalah belas-kasih Nabi kepada orang lain. Secara teologis, Tuhan menunjukan bahwa tujuan pengutusan Nabi adalah “sebagai belas kasih bagi

seluruh alam”. Belas kasih universal inilah yang meresap ke dalam

eksistensi Nabi.90 Dengan menunjukan sikap yang demikian, Muhammad Saw berusaha membangun tipologi masyarakat idaman yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Namun sangat disayangkan umat Islam sendiri –terkecuali kaum sufi dan para pengikutnya– melupakan penekanan al-Qur‟an terhadap pentingnya kasih sayang. Kaum sufi amat menekankan kata kasih sayang. Doktrin fundamental mereka terkenal dengan sulhi kull yakni damai terhadap semua, yang berarti tidak ada kekerasan dan agresi.91

Beberapa nilai inti Islam seperti yang disebutkan di atas, menurut M. Amin Abdullah cukup kondusif sebagai upaya dalam menciptakan perdamaian dan menghindari akan tindakan kekerasan, baik pada lingkungan dalam (intern) umat Islam maupun lingkungan luar (ekstern) umat Islam. Amin Abdullah menegaskan, nilai-nilai dalam Islam yang perlu terus menerus diidentifikasi merupakan manifestasi yang terdapat dalam misi kenabian Nabi Muhammad Saw. Islam sebagai agama

89

Ibid., h. 164

90 Ahmad Baidowi, “Terorisme dan Perdamaian dalam Islam,” dalam Alim Roswantoro (Ed.), Antologi Isu-Isu Global dalam Kajian Agama dan Filsafat, (Yogyakarta: Idea Press, 2010), h. 88-89

91

rahmatan lil „alamin hanya dapat dipahami melalui perspektif nilai-nilai

fundamental yang terdapat dalam Islam, yakni nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan pada semua etnis, ras, bangsa dan agama tanpa syarat apapun.92

Selain itu, al-Qur‟an memuat dan memberikan berbagai prinsip resolusi konflik dan penyelesaian konflik yang dapat diterapkan oleh umat Islam dalam menciptakan kehidupan sejahtera, adil, tenang dan damai. Keterlibatan manusia terhadap konflik yang muncul sudah digariskan dan diinformasikan oleh al-Qur‟an jauh sebelum penciptaan manusia itu sendiri. Al-Qur‟an menggambarkan secara jelas akan keinginan Allah SWT., yang menjadikan manusia sebagai Khalifah Allah SWT. di muka bumi ini. Walaupun Malaikat khawatir akan keberadaan manusia di muka bumi sebagai khalifatullah fi ardh, hal ini disebabkan sifat manusia yang selalu cenderung membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Hal ini seperti yang telah dijelaskan dalam Firman Allah SWT., dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah [2] ayat 30 yaitu:

























































Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. al-Baqarah: 30).

Ayat tersebut di atas memberikan gambaran bahwa manusia memang memiliki sifat yang cenderung berkonflik dan melalukan tindakan

92

kekerasan. Hal tersebut terjadi disebabkan karena manusia juga merupakan pelaku utama yang menyebabkan munculnya permasalahan konflik antara mereka dan manusia itu sendiri yang akan mencari jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan konflik tersebut. Prinsip resolusi konflik yang diajarkan oleh al-Qur‟an diwujudkan langsung oleh Nabi Muhammad Saw., dalam berbagai bentuk negosiasi, ajudikasi, rekonsiliasi, mediasi, fasilitasi, arbitrase, dan penyelesaian berbagai konflik melalui lembaga peradilan (litigasi).

Menurut hasil penelitian Sulaiman yang digambarkan dalam penelitiannya menjelaskan bahwa para peneliti sebelumnya telah menemukan beberapa nilai dan prinsip dasar yang menjadi landasan penyelesaian sengketa yang didasarkan pada ayat al-Qur‟an dan hadis yang diklarifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu:

1. Nilai yang mendasari filosofi akan penyelesaian sengketa berupa : nilai persamaan, kemuliaan, kehormatan, persaudaraan, dan mahabbat; 2. Nilai yang harus dimiliki dan ditanamkan dalam diri para pihak yang

bersengketa antara lain: nilai toleran, menghargai hak-hak orang lain, terbuka, rasa hormat, dan kemauan memaafkan;

3. Nilai yang harus menjadi pegangan para pihak yang menyelesaikan sengketa antara lain: nilai adil, keberanian, dermawan, yakin, hikmah, empati, dan menaruh perhatian pada orang lain;

4. Nilai yang mendasari tujuan akhir akan proses penyelesaian sengketa antara lain: nilai kemuliaan, keadilan sosial, rahmah, ihsan, persaudaraan, dan martabat kemanusiaan.93

Demi mewujudkan dan menciptakan suasana yang damai, apabila dikemudian hari suatu kemaslahatan berlawanan dengan kemaslahatan lainnya, maka menurut Yusuf Qardhawi kemaslahatan yang harus diprioritaskan demi menciptakan kedamaian adalah prinsip dalam Fikih

93 Sulaiman, Peran Mediasi dalam upaya Menyelesaikan Perkara Perdata (Studi Kasus

di Mahkamah Syar‟iyah Lhokseumawe, Tesis Tidak Diterbitkan, (Medan: Program Pascasarjana

Keseimbangan (Fiqh al-Muwazanât) dan Fikih Prioritas94, yakni dengan menetapkan sejumlah kriteria sebagai pedoman dan tolak ukurnya. Misalnya mengabaikan kemaslahatan yang lebih rendah untuk kemaslahatan yang lebih besar, mengambil resiko paling ringan untuk menghindaari resiko lebih berat, menanggung kerugian lebih kecil untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Selain itu mengedepankan pula prinsip-prinsip, mengindarkan kerusakan lebih utama dari pada meraih

kemaslahatan, mengorbankan kemaslahatan simbolik demi meraih

kemaslahatan subtansial. Serta prinsip yang tidak kalah penting dari itu adalah mengutamakan manfaat yang bersifat langgeng ketimbang manfaat yang bersifat sementara, dan mengesampingkan kemaslahatan yang dikhususkan bagi sekelompok atau individu orang untuk mencapai kemaslahatan yang dapat dinikmati oleh banyak orang.95

Lebih lanjut Qardhawi memberikan penjelasan bahwa segala sesuatu perlu dipertimbangkan dalam situasi dan keadaan yang mendesak atau darurat. Mengatasi situasi tersebut dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan matang tanpa yang menguntungkan tanpa harus keluar dari dasar hukum Islam. Dalam memberikan pertimbangan terhadap berbagai kepentingan tersebut, Yusuf Qardhawi menawarkan untuk menggunakan kaidah yaitu: a. Mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas kepentingan yang

baru diduga adanya, atau masih diragukan.

b. Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang kecil. c. Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual.

d. Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan yang sedikit. e. Mendahulukan kepentingan yang berkesinambungan atas kepentingan

yang sementara dan insidental.

f. Mendahulukan kepentingan inti dan fundamental atas kepetingan yang bersifat formalitas dan tidak penting.

94 Fiqh al-Muwazanah atau fikih keseimbangan adalah sebuah cara atau metode yang digunakan dan dilaksanakan demi mengambil sebuah keputusan hukum, pada saat terjadinya sebuah pertentangan dilematis antara maslahat dan mafsadat, atau antara kebaikan dan keburukan.

95

g. Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat atas kepentingan kekinian yang lemah.96

Qardhawi menjelaskan bahwa sikap Muslim dalam menghadapi suasana konflik hendaknya mencontoh sikap dan tindakan Nabi ketika menghadapi kaum kafir dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Dalam peristiwa ini ada contoh bagaimana Rasulullah mengorbankan

kemaslahatan yang dinilai simbolik untuk meraih kemaslahatan yang lebih

subtansial, yaitu menerima penulisan Bismika ya Allâh (dengan nama-Mu ya Allah) dan bukan Bismillâhirrahmânirrahim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang), dan menerima penghapusan kalimat “rasul Allah” dengan kalimat “Muhammad ibn Abdullah.” Dengan cara ini Nabi mengajarkan pada umatnya bagaimana menyeimbangkan

kemaslahatan-kemaslahatan saat saling bertolak belakang.97 Bahkan menurut Ibnu Qayyim seperti dikutip Qardhawi mengatakan bahwa perdamaian dengan kaum musyrik walaupun dalam beberapa hal tampak merugikan kaum Muslim, jalan ini dipilih oleh Rasulullah untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar dan menolak keburukan. Dalam hal ini ada prinsip menolak kerusakan yang lebih besar dengan menerima kerusakan yang lebih kecil.98

David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth

Carlton sebagaimana dikutip oleh Syahrizal Abbas mengatakan bahwa ada lima prinsip dasar keberlangsungan proses mediasi,99 yaitu:

1) Mediasi merupakan confidentiality (kerahasiaan). Kerahasiaan dalam hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang kegiatan saat dalam pertemuan mediasi yang diselenggarakan oleh para pihak bersama dengan mediator tidak diperkenankan disebarluaskan secara publik dan pers oleh masing-masing pihak, begitu juga mediator diharuskan untuk

96

Yusuf Qardhawi, Fi Fiqhil al-Aulawiyat, Dirosah Jadiidah fi Dhou‟il Qur‟ani wa

Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h. 89-98

97 Yusuf Qardhawi, Fikih Jihad, Op.Cit., h. 78-79

98 Ibid., h. 79

99

menjaga kerahasiaan yang terjadi saat proses mediasi tersebut.100 Hal ini didasarkan pada Pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi dalam asasnya tertutup kecuali pihak menghendaki lain.101

2) Mediasi ini bersifat volunteer (sukarela). Masing-masing para pihak yang melakukan proses mediasi didasarkan atas keinginan dan kehendak mereka sendiri secara sukarela tanpa ada paksaan ataupun tekanan dari pihak manapun. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang yang akan mau bekerja sama dalam menemukan solusi atau jalan keluar atas persengketaan yang terjadi pada mereka, bila mereka datang ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri. 3) Empowerment(pemberdayaan). Prinsip ini didasarkan pada sebuah

asumsi bahwa orang yang akan melaksanakan mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk melaksanakan negosiasi akan permasalahan mereka sendiri dan dapat pada puncak kesepakatan dari yang mereka inginkan.

4) Netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya menfasilitasi akan proses berjalannya mediasi saja, dan isinya dari proses tersebut merupakan milik para pihak yang bersengketa. Mediator dalam hal ini hanya memiliki kewenangan sebagai pengontrol akan proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak diperkenankan bertindak layaknya seorang hakim yang memutuskan benar salahnya salah satu pihak, atau mendukung pendapat salah satu pihak, atau melakukan pemaksaan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak yang bersengketa.

5) Solusi yang unik (a unique solution). Bahwasanya solusi yang diperoleh dari proses mediasi tidak harus disesuaikan dengan standar legal, tetapi merupakan proses kreativitas dari seorang mediator. Oleh sebab itu, hasil mediasi dapat berupa pendapat yang lebih menekankan pada keinginan kedua belah pihak yang bersengketa.

100 Ibid., h. 29

101

Berdasarkan gambaran di atas terlihat bahwa mediasi memiliki karakteristik yang merupakan ciri pokok yang dapat dijadikan pembeda dengan proses penyelesaian sengketa yang lain. Karakteristik tersebut dirumuskan dalam setiap proses mediasi yang dijalankan yang dapat berupa metode, dimana para pihak atau perwakilannya, yang dibantu oleh pihak ketiga sebagai hakim mediator berusaha melakukan negosiasi dan