• Tidak ada hasil yang ditemukan

KITABULLAH DAN

MEDIASI TERHADAP SENGKETA KELUARGA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

5. Proses Pelaksanaan Mediasi

a. Mediasi terhadap Konflik Keluarga dalam Ketentuan al-Qur’an dan Hadis

Proses penyelesaian konflik di pengadilan menurut ketentuan yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pembuktian fakta hukum (adjudikasi), dan penyelesaian melalui perdamaian (ishlâh). Penyelesaian konflik melalui proses

adjudikasi dapat diupayakan dengan mengajukan beberapa alat bukti

oleh para pihak dalam menggugat atau mempertahankan haknya di hadapan pengadilan. Keberadaan ishlâh sebagai upaya damai dalam menyelesaikan konflik telah diterangkan dalam al-Qur‟an dan hadis Nabi.

Ishlah antara sesama Muslim yang berkonflik dan antara

pemberontak (muslim) dan pemerintah (muslim) yang adil dijelaskan dalam al-Qur‟an surat al-Hujurât [49] ayat 9-10, yaitu:





























































-



















Artinya:“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi

112

kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (9), Orang-orang beriman itu

Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah

(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (10).

Ayat tersebut di atas memberikan penjelasan bahwa setiap konflik itu harus ada orang yang mendamaikannya. Kemudian terkait dengan ishlâh antara pasangan suami dan istri yang diambang perceraian; dapat mengutus al-hakam (penengah atau juru runding) dari kedua belah pihak, hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Nisa ayat 35 yang telah disebutkan di atas.

Kesepakatan damai kedua belah pihak tidak hanya dapat dilaksanakan di pengadilan, akan tetapi dapat dilaksanakan dan digunakan pada saat di luar pengadilan sebagai bentuk pilihan dalam penyelesaian konflik. Secara teknis dalam kasus hukum, tidak semua perkara yang telah terdaftar di pengadilan dapat diselesaikan dengan mengambil jalur ishlâh. Menurut para ulama ahli fikih, kata ishlâh dimaknai sebagai perdamaian, yaitu bahwa sebuah perjanjian yang disepakati dan ditetapkan menghilangkan konflik di antara sesama manusia yang mengalami pertikaian, baik pertikaian antara individu maupun kelompok. Sulaiman Rasyid mengatakan bahwa ishlâh adalah akad perjanjian yang menghilangkan dendam, permusuhan dan perbantahan.113

Ishlâh merupakan akad untuk menyelesaikan suatu pertengkaran

atau perselisihan atau persengketaan menjadi perdamaian.114 Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan ishlâh merupakan akad yang disepakati oleh dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat hilang perselisihan.115

113 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Aththahiriyah, 2002), h. 304

114 Hasballah dan Zamakhsyari, Tafsir Tematik V, (Medan: Pustaka Bangsa, 2008), h. 147

115

Konflik atau sengketa yang dapat ditempuh penyelesaiannya melalui jalur ishlâh adalah perkara yang di dalamnya memuat pengambilan hak manusia yang berkaitan dengan hukum privat, dan bukan perkara yang berhubungan hak Allah SWT. yang terkait dengan hukum publik atau perkara yang memiliki unsur pidana seperti qadhaf, pencurian, zina dan lain sebagainya. Ishlâh merupakan kewajiban umat manusia baik secara personal maupun sosial. Penekanan ishlah ini lebih fokus pada hubungan antara umat manusia dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT.116

Dalam ishlâh keberadaan pihak lain sebagai penengah sangat penting, hal ini sebagai jembatan para pihak yang mengalami persengketaan. Pihak lain (pihak ketiga) memiliki peran untuk memfasilitasi, menegosiasi, memediasi, dan arbitrase di antara pihak-pihak yang sedang bersengketa. Pola ishlâh ini dapat dikembangkan dalam alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti mediasi (wasatha), arbitrase (tahkim), dan lain-lain. Pola ini sangat fleksibel dan memberikan keleluasan pada pihak-pihak untuk menemukan dan merumuskan opsi seta alternatif penyelesaian sengketa yang terjadi pada kedua belah pihak.

Menurut Ahmad Rofiq117, dalam sidang perceraian di Pengadilan Agama, usaha mendamaikan dapat dilakukan sebelum sidang perkara dimulai dan setiap kali persidangan tidak menutup kemungkinan untuk mendamaikan para pihak karena biasanya persidangan perkara tidak bisa selesai dalam sekali sidang. Hal ini sesuai dengan Pasal 143 Kompilasi Hukum Islam.

Pelaksanaan mediasi tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan mediator. Keberhasilan atau kegagalan proses mediasi tergantung dengan faktor-faktor pendukung dan penghambat selama

116 Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: Citapustaka Media, 2013), h. 54

117 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. Ke-4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 299

proses mediasi berlangsung. Berikut akan digambarkan faktor penghambat keberhasilan mediasi yaitu sebagai berikut:

1) Keinginan kuat yang dimiliki para pihak untuk melaksanakan perceraian pada saat pelaksanaan mediasi, para pihak dalam hal ini beranggapan bahwa Pengadilan Agama merupakan tempat untuk melaksanakan bercerai dan merupakan upaya terakhir, bukan tempat yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencari solusi atau nasehat kepada orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman pada bidang perkawinan. Kedatangan para pihak ke pengadilan Agama pada umumnya terjadi disebabkan karena upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak keluarga mengalami kegagalan, karena di Indonesia sendiri masih berlaku dan masyarakat masih berpegang teguh pada adat kebiasaan yang terjadi pada setiap suku. Berbeda dengan negara yang mempergunakan pedoman hukum negara. 2) Sudah mengalami konflik yang berkepanjangan dan sangat rumit

untuk dapat diselesaikan. Pada kasus tersebut, konflik yang terjadi antara para pihak sudah berjalan cukup lama sehingga menjadi permasalahan yang dihadapi sangat rumit. Akibatnya pada saat mediasi berlangsung, para pihak tidak dapat menghindari emosi yang ada, sehingga para pihak tidak dapat menerima pendapat dan masukandari mediator dan merasa apa yang diungkapkannya adalah argument yang paling benar. Bahkan ada saat dimana salah satu pihak sudah tidak bisa lagi memaafkan pihak yang lainnya.

3) Kekecewaan yang mendalam terhadap kondisi sering kali menjadi faktor yang menghambat sang mediator untuk melakukan upaya perdamaian, kekecewaan salah satu pihak yang sangan mendalam menyebabkan salah satu pihak tidak ingin melanjutkan ikatan perkawinan yang telah lama dibinanya, sehingga tidak ada pilihan lagi kecuali berpisah atau mengakhiri perkawinannya.

4) Kemampuan mediator. Mediator dalam hal ini harus memiliki kemampuan menganalisis konflik dan memiliki komunikasi yang

baik sehingga dapat mengupayakan adanya titik temu dari permasalahan yang dihadapi oleh para pihak. Oleh sebab itu, kemampuan seorang mediator memiliki pengaruh yang cukup besar akan keberhasilan proses mediasi yang ditanganinya. Diperlukan pula kejelian dan ketelitian mediator dalam mengungkapkan penyebab masalah diantara para pihak dan kebijaksanaan dari mediator, dalam menyikapi masalah sehingga para pihak berhasil menyelesaikan permasalahan mereka secara damai.

5) Kerohanian dan moral. Kerohanian yang dimaksud adalah kurangnya dasar pengetahuan tentang pengetahuan agama. Para pihak beranggapan bahwa perceraian dibolehkan walaupun sangat dibenci Allah SWT., dan prilaku para pihak yang buruk terhadap pasangan menjadikan salah satu pemicu pihak lain untuk tidak mau kembali bersama dan memiliki anggapan bahwa bersama dalam perkawinan hanya akan memperburuk kehidupannya.

6) Faktor psikologis dan sosiologis. Faktor sosiologis terlihat dari banyaknya wanita yang memiliki pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik dari laki-laki, sehingga kecendrungan berpisah dengan suami yang memiliki penghasilan lebih rendah sangat kuat karena tidak ada kekhawatiran kekurangan nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan anak- anaknya. Sedangkan faktor psikologis seperti ketidaknyamanan atau adanya penderitaan secara psikis yang sudah berlangsung cukup lama menjadi salah satu faktor penghambat. Semakin besar tekanan yang ada dalam diri seseorang maka semakin kuat juga keinginannya untuk berpisah.

7) Pihak ketiga. Saat pelaksanaan proses mediasi, mediator akan berupaya dan berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, akan tetapi dalam hal ini menjadi sulit jika sudah ada pihak lain yang ikut campur tangan dalam masalah tersebut. Pihak ketiga pada umumnya berasal dari keluarga ataupun pihak luar yang tidak mendukung agar

para pihak kembali rujuk. Campur tangan pihak ketiga ini bias berasal dari masing-masing pihak.118

Pada dasarnya, perkara cerai gugat ini tidak sulit untuk dilakukannya upaya damai, karena sebenarnya seorang istri akan luluh jika kesalahan dan persoalan dari pihak si suami bisa diperbaiki dan dirubah yang pada akhirnya sang istri akan mempertimbangkan arahan dan nasehat dari mediator untuk memikirkan kembali keutuhan rumah tangga mereka. Menurut hasil penelitian Nurhasanah bahwa usaha mediator dalam mendamaikan para pihak memang sudah cukup optimal, namun terdapat kendala yang dialami mediator dalam memediasi para pihak untuk mengupayakan upaya perdamaian. Di antara faktor yang menginginkan berpisah adalah pihak istri, dan ada beberapa faktor yang melatarbelakangi istri bersikeras ingin bercerai yaitu tidak ada tanggung jawab; gangguan pihak ketiga; tidak ada keharmonisan; kekejaman jasmani; kekejaman mental; krisis akhlak; poligami tidak sehat; cemburu; ekonomi; cacat biologis; dan lain sebagainya.119

b. Mediasi terhadap Konplik Keluarga dalam Pendekatan Teori Maslahah, ‘Urf dan Ishlâh