• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah penulis melakukan peninjauan dan menelusuri beberapa perpustakaan, yaitu perpustakaan utama Program Pascasarjana dan perpus Starata satu UIN Raden Intan Lampung, penulis tidak menemukan judul penelitian terkait dengan judul penelitian yang sedang penulis laksanakan, akan tetapi dari beberapa sumber perpustakaan online, penulis menemukan beberapa penelitian, baik skripsi, tesis, maupun disertasi yang terkait dengan mediasi dan beberapa sumber buku. Dan dari beberapa penelitian yang ada penulis mendapat inspirasi dari berbagai sumber yang telah membahas penelitian yang memiliki kajian tentang mediasi. Diantara penelitian yang penulis jumpai, berikut penulis uraian di bawah ini:

1. Masykur Hidayat, (2006) : Keberadaan Lembaga Perdamaian (Dading)

Setelah Berlakunya PERMA RI. Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Tesis. (Tidak diterbitkan)

Dalam penelitiannya, Masykur Hidayat mengemukakan bahwa hadirnya mediasi sebagai salah satu proses yang wajib dilaksanakan sebagaimana diatur dalam PERMA RI. Nomor 2 Tahun 2003 akan sangat membantu mengurangi formalitas perdamaian dan dapat meningkatkan penyelesaian sengketa secara damai. Hasil penelitian Masykur tersebut baru sebatas mengkaji mediasi di Peradilan Umum.

2. I Made Sukadana (2006) : Mediasi dalam Sistem Peradilan Indonesia

untuk Mewujudkan Proses Peradilan Yang Cepat dan Biaya Ringan.

(Desertasi). (Mahasiswa Program doktor Universitas Brawijaya Malang). Dalam penelitian disertasinya, menyimpulkan bahwa mediasi dapat

membantu menekan proses peradilan yang lambat menjadi cepat, dan biaya yang murah.

3. Yayah Yarotul Salamah (2009): Mediasi dalam Proses Beracara di

Pengadilan: Studi Mengenai Mediasi di Pengadilan Negeri Proyek Percontohan Mahkamah Agung RI. (Disertasi).

Dalam kesimpulan disertasinya menyatakan bahwa pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di pengadilan tidak sulit untuk dilaksanakan karena di samping hukum acara perdata Indonesia berdasarkan pasal 130 HIR dan pasal 154 R.Bg telah memberikan celah bagi terintegrasinya mediasi dalam proses beracara di pengadilan.

Selain itu dikemukakan bahwa ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan negeri proyek percontohan Mahkamah Agung dapat berhasil, pertama:para pihak yang bersengketa beritikad baik, kedua:hakim mediator berusaha dengan sungguh-sungguh mendorong para pihak mencapai kesepakatan dan

ketiga:jenis sengketanya mudah diselesaikan.

Menurut hasil kajiannya, ada 25 jenis sengketa hutang piutang dan sedikitnya ada 41 jenis sengketa wanprestasi dari 184 sengketa yang berhasil diselesaikan melalui proses mediasi di pengadilan negeri proyek percontohan. Selanjutnya, kegagalan mediasi di pengadilan negeri percontohan disebabkan oleh faktor para pihak yang tidak memiliki itikad baik dan lemahnya profesionalisme hakim mediator.

4. Rachmadi Usman, di dalam bukunya “Mediasi di Pengadilan dalam Teori

dan Praktik” mengutarakan tentang prosedur mediasi di Pegadilan,

sebagaimana diatur didalam PERMA RI. Nomor 1 Tahun 2008. Kemudian diutarakan juga tentang konsep dan rasionalitas aturan dan norma hukum dalam pengaturan mediasi di Pengadilan. Selanjutnya beliau mengetengahkan suatu persoalan besar yang sedang dihadapi bangsa kita adalah delema yang terjadi dibidang penegakan hukum. Disatu sisi

kuantitas dan kualitas sengketa yang terjadi dalam masyarakat cenderung mengalami peningkatan dari waktu kewaktu. Sedang disisi lain, Pengadilan Negara (PN) yang memang kewenangan mengadili menurut undang-undang mempunyai kewenangan yang relatif terbatas.

Terlebih lagi akhir-akhir ini Pengadilan Negara sedang dilanda krisis kepercayaan. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut, karena cukup potensial memicu terjadinya tindakan main hakim sendiri

(eigenrichting) atau peradilan masa, yang dapat menimbulkan kekacauan (caos) dalam masyarakat. Solusinya pengembangan penyelesaian

sengketa, alternatif yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.34

Penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution) adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat lebih diutamakan.35Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan pasal 3 ayat (3), Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman, Lembaga Arbitrase dan ADR (alternative

dispute resolution), bahwa “Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan atas

dasar perdamaian atau melalui Arbritase tetap diperbolehkan, akan tetap putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah dieksekusi dari Pengadilan” diakui sebagai pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan.36

Pada Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun1970 menyatakan bahwa: “Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”.37

Pemberdayaan mediasi di pengadilan juga tidak terlepas dari landasan filosofis yang bersumber pada Dasar Negara kita “Pancasila”, dimana pada

34 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik, Cet. Ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 2

35 Runtung, Pidato Pengukhan Guru Besar dalam Bidang Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara, 1 April 2008, “Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif

Penyelesaian sengketa di Indonesia”, h. 2

36 Rachmadi Usman, Op.Cit., h. 2

37 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

sila keempat dijelaskan: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”.

Hal ini menghendaki bahwa upaya penyelesaian sengketa/ konflik, dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi oleh semangat kekeluargaan, berarti bahwa setiap sengketa/konflik/perkara, hendaknya diselesaikan melalui proses perundingan atau perdamaian diantara para pihak yang bersengketa untuk memperoleh kesepakatan bersama.

Semula mediasi di Pengadilan cenderung bersifat fakultatif/ sukarela

(voluntary), tetapi kini mengarah kepada sifat imperatif/ memaksa (compulsory). Dapat dikatakan bahwa mediasi di pengadilan ini merupakan

hasil pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan perdamaian, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 130 HIR/154 RBg. yang mengharuskan hakim dalam menyidangkan suatu perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian diantara para pihak yang berperkara. Namun ternyata Mahkamah Agung mengsinyalir bahwa, hakim menerapkan ketentuan ini hanya sebatas formalitas menganjurkan perdamaian dihadapan para pihak yang bersengketa.38

Kenyataannya bahwa praktik yang dihadapi, jarang dijumpai putusan yang dihasilkan berbentuk perdamaian. Bahkan produk yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya, hampir seratus persen berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah

(winning or losing). Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep

sama-sama menang (win-win solution).

Berdasarkan fakta ini, kesungguhan, kemampuan dan didikasi hakim untuk mendamaikan, boleh dikatakan sangat mandul. Akibatnya keberadaan Pasal 130 HIR/ Pasal 154 RBg. dalam hukum acara, tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.39

38 Rachmadi Usman, Op.Cit., h. 27

39 M.Yahya Harahab, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,