• Tidak ada hasil yang ditemukan

KITABULLAH DAN

MEDIASI TERHADAP SENGKETA KELUARGA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

3. Rukun dan Syarat Mediasi

ُحْلُّصلا َلاَق َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا َلوُسَر َّنَأ

َّلَِإ ْمِهِطوُرُش ىَلَع َنوُمِلْسُمْلاَو اًماَرَح َّلَحَأ ْوَأ ًلَ َلََح َمَّرَح اًحْلُص َّلَِإ َنيِمِلْسُمْلا َنْيَ ب ٌزِئاَج

ْرَش

َمَّرَح اًط

اًماَرَح َّلَحَأ ْوَأ ًلَ َلََح

.

Artinya: “Sunan Tirmidzi 1272: Telah menceritakan kepada kami Al Hasan

bin Ali Al Khallal, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al 'Aqadi, telah menceritakan kepada kami Katsir bin Abdullah bin Amru bin 'Auf Al Muzani dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram".54

3. Rukun dan Syarat Mediasi

Al-Islâh atau al-sulhu yang berasal dari kata shaluha berarti

perdamaian. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa memutuskan pertikaian atau persengketaan. Sedangkan secara syara‟, al-sulhu adalah akad yang bertujuan untuk mengakhiri persengketaan yang terjadi antara dua belah pihak yang berselisih.55 Adapun mushalih berarti juru damai atau pendamai.56

Pelaksanaan dan mekanisme perdamaian yang ditempuh oleh para pihak harus mengandung kesepakatan untuk saling melepaskan apa yang menjadi tuntutan para pihak, hal ini bertujuan agar persengketaan yang

54

Seperti yang dikutib oleh Wahbah Az-Zuhaily bahwa menurut at-Tirmizi hadis ini derajatnya adalah shahih. Lihat dalam Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Juz

ke-V, Op.Cit., h. 294, lihat juga dalam hadis Riwayat Ibnu Hibban di Muhammad bin Hibban bin

Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Shahih Ibnu Hiban bi Tartibi Ibnu Bilban, Juz 11, (Beirut: Muassasah al-Risalah: 1993), cet. Ke-II, h. 488, Hadis Nomor 5091

55 Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, (Syiria: Dar al-Fikr, 1995), Juz V, Cet. Ke-6, h. 293

56 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 2006), h. 1186

terjadi pada para pihak dapat diselesaikan secara baik dan dapat mengembalikan keharmonisan diantara kedua pihak yang berperkara.57

Terkait dengan hal tersebut, al-Qasani menjelaskan bahwa perselisihan dalam keluarga tidak akan terjadi kecuali karena manusia tersebut mementingkan perkara urusan duniawi, hanya mengikuti apa yang dinginkan atau hawa nafsu, dan cenderung mengutamakan kepentingan pribadi, al-sulh akan menjadi solusi sebagai upaya tonggak keadilan yang akan membawa kepada manusia untuk rasa saling menyayangi.58 Pihak yang bersengketa disebut musalih, adapun masalah yang diperselisihkan disebut dengan istilah musalah „anh, pengganti suatu yang disengketakan disebut dengan istilah musalah „alaih.59

Wahbah al-Zuhaily dalam karyanya al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, menjelaskan bahwa al-sulh itu diperbolehkan pada setiap perkara yang belum memiliki kejelasan kebenarannya pada kedua belah pihak. Sedangkan „Audah menjelaskan bahwa al-sulh hanya diperbolehkan pada perkara yang menyangkut permasalahan yang melanggar hak-hak adami, bukan terkait dengan hak-hak Allah SWT., sehingga perdamaian dapat menjadi penyebab gugurnya sanksi atau hukuman qisas dengan ketentuan harus mendapatkan maaf dari korban kejahatan tersebut. Adapun pemilihan dan penunjukkan seorang penengah untuk melaksanakan pendamaian para pihak yang berpekerkara bersifat kerelaan dan tidak memaksa.60 Sedangkan dasar hukum dibolehkannya melaksanakan praktik al-sulh pada suatu kasus tanpa melalui jalur hukum di pengadilan didasarkan pada al-Qur‟an61, Hadis62, dan Ijma‟63

.

57 Abu Ja‟far Bin Jarir Al-Tabari (W: 310), Tafsir Al-Tabari (Jami„ al Bayan Fi Ta‟wili

al-Qur‟an), Juz 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1999), h. 276

58 Muhammad Jamaluddin Al Qasimi (w:1914 M), Tafsir Al-Qasimi (Mahasin al-Ta‟wil), Jilid 8, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyah, 1997), h. 527

59 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III (Beirut: Dâr Al Fikr, tt.), h. 210

60 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Juz ke-VI, op.cit., h. 4331

61 Firman Allah SWT., terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Hujurat Ayat 9 dan surat an-Nisa ayat 128. Lihat: Muhammad bin Yusuf Ali bin Abi Hayyan Al-Andalusi (w: 745 H), Tafsir

Perdamaian memiliki beberapa rukun, yaitu adanya orang atau pihak yang berakad untuk melakukan perdamaian disebut mushalih, adanya obyek yang disengketakan disebut mushalih „anhu. Adanya tindakan yang dilakukan salah satu pihak untuk memutuskan perselisihan dengan jalan damai yang disebut dengan masalih „alaihi atau badalush sulh, dan adanya ijab dan qabul64 dari kedua pihak yang melakukan perdamaian.

Pendapat lain mengatakan bahwa rukun perdamaian yaitu ijab dan qabul dengan mengucapkan lafad yang memiliki makna perdamaian pada kedua belah pihak. Al-Qur‟an mengantisipasi akan adanya kemungkinan terjadinya perselisihan dan perang pada dua kelompok mukmin. Allah SWT., memerintahkan kepada kaum mukminin untuk menjadi penengah dan menciptakan perdamain apabila terdapat kelompok yang berselisih atau berperang. Jika salah satunya bertindak melampaui batas yang telah ditentukan dan tidak mempunyai keinginan untuk kembali kepada kebenaran yang telah digariskan oleh Islam, maka kaum mukminin

al-Bahr al-Muhit, Juz 8 (Beirut: Dar al -Kutub al-„Ilmiyah, 2001), h. 111, „Abdullah bin

Muhammad bin „Abd al-Rahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubab al-Tafsir Min Ibni Katsir, Jilid 2, (Kairo: Mu‟assasah Dar al-Hilal, 1994), h. 302

62 Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim, dan Ibnu Hibban, dari Amr bin Auf, yang menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda: Perjanjian damai

antara orang-orang Muslim itu dibolehkan, kecuali perjanjian damai yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Lihat: Imam Abi Bakar Ahmad ibn Husaini bin „Ali

Baihaqi (485 H), Sunan Al-Kubra, Juz 6, Hadis Nomor 11351, 11352, 11353, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiah, 2003), h. 107

63 Ulama sepakat tentang disyari‟atkannya, karena al-sulh termasuk salah satu akad yang memiliki manfaat sangat besar, tujuannya untuk menghentikan atau memutus perselisihan/ pertengkaran, lihat dalam Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Juz ke-VI, op.cit., h. 4332

64 Ijab (suatu penawaran) adalah kondisi yang diperlukan dari sebuah kontrak (akad) yang sah. Ia didefinisikan sebagai pernyataan atau penawaran yang tegas yang dibuat terlebih dahulu dengan tujuan menciptakan kewajiban, sementara pernyataan yang menyusul kemudian disebut dengan qabul (penerimaan). Ijab dan qabul dari pihak untuk melakukan hal yang positif. Hukum Islam tidak menyatakan apakah kesediaan suatu pihak untuk tidak melakukan suatu hal juga termasuk dalam ijab atau tidak. Tetapi ijab dan qabul dapat disampaikan dalam beragam cara, yaitu melalui kata-kata, isyarat, indikasi, atau tingkah laku. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli hukum berkenaan dengan kesimpulan mengenai akad melalui kata-kata. Mereka belum menetapkan kata-kata yang pasti dalam pembentukan akad tertentu. Apapun yang dapat menyampaikan pengertiannya dengan jelas dianggap memadai untuk pembentukan akad. Lihat lebih lanjut dalam Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, Penerjemah Aditya Wisnu Pribadi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 166

hendaknya memerangi kelompok yang telah berlaku zalim tersebut hingga mereka akan kembali pada “perkara Allah”.65

Syarat-syarat perdamaian yakni, pertama, pihak yang bersengketa yaitu pihak yang mengajak melaksanakan perdamaian merupakan orang beragama Islam, berakal, dan cakap hukum. Kedua, syarat yang berada pada musalah „alaih (pengganti sesuatu yang menjadi persengketaan). Syaratnya harus berupa harta, memiliki nilai, hak milik pihak yang menuntut atau dituntut, halal bagi pihak yang berperkara, harus jelas dan pasti.66Ketiga permasalahan yang diperselisihkan (al-musalah „anh) harus

berupa hak adami, bukan hak Allah SWT., walaupun tidak bernilai seperti sanksi qisas, akan tetapi jika merupakan hak Allah SWT., maka tidak boleh mengadakan perdamaian, demikian juga terkait dengan permasalahan

qadzaf karena hukuman bagi pelanggarannya bertujuan memberikan efek

jera sehingga masyarakat yang mengetahui tidak berusaha menghancurkan kehormatan sesame manusia.67 Syarat selanjutnya musalah „anh harus berupa hak musalih, dan harus berupa hak tetap dan positif untuk

al-musalih dalam objek al-sulh. Syarat terakhir yaitu berkaitan dengan

ungkapan ijab dan qabul, yaitu bahwa kabul yang diucapkan memiliki keselarasan dengan ijab. Apabila keduanya memiliki perbedaan, maka perdamaian yang dilaksanakan tidak sah,68 atau dapat dikatakan batal demi hukum.

Menurut pendapat yang sama juga dijelaskan oleh Ash Shiddiqy bahwa syarat-syarat mashalih bih atau barang-barang yang menjadi persengketaan adalah berbentuk harta yang dapat dinilai, dapat diserah terimakan dan bermanfaat, dan barang haruslah diketahui secara jelas agar memperkecil kemungkinan timbulnya perselisihan kembali. Selain itu

65 Maksud dari perkara Allah swt., adalah menghentikan permusuhan antara kaum mukminin dan menerima hukum Allah SWT. dalam menyelesaikan apa yang diperselisihkan. Lihat dalam Abu Ja‟far Bin Jarir al-Tabari (W: 310), Tafsir Al-Tabari (Jami„ al Bayan Fi Ta‟wili

al-Qur‟an), Juz 11, op.cit., h. 388-389

66 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Juz ke-VI, Op.Cit., h. 4343

67 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III, Op.Cit., h. 211

68

barang yang disengketakan tidak terdapat hak orang lain di dalamnya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa tidak sah untuk bentuk kesepakatan, jika terdapat hak orang lain dalam benda/ harta yang disengketakan.69

Mushalih „anhu tidak sah jika terkait dengan hak Allah swt., seperti

perbuatan zina, mencuri atau minum khamar kemudian berdamai dengan orang yang menangkapnya atau berdamai dengan memberikan sejumlah uang kepada hakim agar melepasnya, dan lain-lain. Karena syarat utama perdamaian adalah bukan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.70 Syarat ini di dukung dengan Sabda Rasulullah Saw seperti yang telah digambarkan di atas.

Sedangkan Sayyid Sabiq71 dan Wahbah al-Zuhaily72 mengkategorikan tiga jenis perdamaian, yaitu:

a. Perdamaian ikrar, yakni perdamaian yang terjadi jika pihak tergugat membenarkan gugatan penggugat dan kemudian mereka berdamai; b. Perdamaian ingkar, yakni gugatan yang diajukan penggugat ke

pengadilan dengan alasan tergugat telah ingkar terhadap suatu perjanjian yang dlu telah mereka sepakati. Apabila mereka berdamai maka disebut perdamaian ingkar.

c. Perdamaian sukut, yaitu jika aseorang menggugat orang lain tentang suatu hal, kemudian ia hanya berdiam diri tanpa membenarkan maupun menyangkal. Apabila kedua belah pihak berdamai maka telah terjadi perdamaian sukut.