• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS KATA KETELADANAN DALAM TAFSIR AL-

B. Sikap Teladan Nabi Ibrāhīm

4. Berdoa

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah) Ku dan beriman kepadaKu, agar mereka memperoleh kebenaran.”(Qs. al-Baqarah/ 2: 186)25

Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(Qs. al-A„rāf/ 7:55)26

Doa dalam istilah agama adalah permohonan hamba kepada Tuhan agar memperoleh anugerah pemeliharaan dan pertolongan, baik buat si pemohon maupun pihak lain. Permohonan tersebut harus lahir dari lubuk hati yang terdalam disertai dengan ketundukan dan pengagungan kepada-Nya.

Pada al-Qur‟an terdapat sebuah perintah melakukan shalat dan doa disertai dengan ketabahan sebagai sarana untuk meraih suatu kebutuhan. Hal ini dapat dipahami setiap doa tanpa ketabahan dalam usaha, belum menjadikan suatu jaminan terpenuhi harapannya. Karena Janji Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yang menyatakan bahwasannya “Aku perkenankan doa yang akan dimohon maka bermohonlah kepadaku”.

Dalam hal ini doa adalah sebuah pengakuan akan lemahnya diri ini di hadapan kuasa Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Sedangkan manusia hanya memiliki usaha. Tetapi segala usaha yang kita kerjakan semua itu berada pada hak kuasa Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yang Maha Kuasa. Karena usaha

25 Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 41.

26 Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 224.

itu wajib untuk dilakukan, tapi hasilnya itu ketentuan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Sebab usaha kita harus di iringi dengan doa walaupun sekeras apa usaha kita kalau Allah Subḥānahu wa ta‟ālā tidak mengizinkan apa yang inginkan tidak akan terwujud.27

Adapun penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa doa itu sebuah pengakuan seorang hamba kepada Tuhanya, karena hamba tersebut makhluk yang lemah tidak berdaya dan selalu membutuhkan akan pertolongan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā.

Pada ayat 4 surah Mumtaḥanah maksudnya ialah wahai orang-orang beriman, sudah ada suri teladan buat kalian pada Ibrāhīm Alaīhi al-salām kekasih al-Rahman. Suatu kehidupan nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām bisa kalian jadikan contoh, begitu pula orang-orang beriman yang ada bersamanya kalangan nabi dan Allah.28 Sudah ada bagimu teladan yang baik (untuk diikuti) pada Ibrāhīm Alaīhi al-salām. dan orang yang bersama dia yaitu Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām sangat lemah lembut hati yang patuh kepada ayah dan masyarakatnya. Beliau mengingatkan kepada mereka dari penyembahan berhala dan perbuatan dosa. Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām berdoa untuk ayahnya, tapi tatkala ayahnya dan kaumnya itu menjadikan musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām melepaskan diri dari mereka dan meninggalkan kampung halamanya serta meninggalkan ayahnya, kaum, negerinya.29 Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām dan orang-orang yang telah menyertakan beliau dalam keadaan beriman,

27 Abu Ezza, Setiap doa Pasti Allah kabulkan: Doa dahsyat menjadikan orang hebat, cet I (Jakarta: Qultum Media), 56.

28 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Ṭabari,, Tafsir al-Thabari, Tejr. Fahturrozi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009). 934.

29 Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali teks, terjemah dan Tafsir al Qur‟an 30 Juz, Cet 3 (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), 1455.

yang telah mempersiapkan diri dengan tidak ragu-ragu menuruti langkah beliau.30

Dalam ayat ke 4 pada surah al-Mumtaḥanah ini ditunjukan kepada keteladanan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām untuk dijadikan contoh, dalam perjuangan beliau untuk menegakan agama Allah Subḥānahu wa ta‟ālā tidak pula kurang hambatan, rintangan dan halaman yang beliau temui dengan kaumnya, namun segala gangguan itu tidaklah membuat beliau bekisar dan beranjak dari pendirian yang kuat.

Adapun sebagian dari orang-orang mukmin mendoakan dan memohonkan ampunan untuk bapaknya mereka lalu mengatakan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām memohonkan ampun untuk bapaknya. Allah Subḥānahu wa ta‟ālā berfirman: ampunan ( kepada Allah) bagi orang-orang musyrikin, sekalipun orang-orang itu kaum kerabatnya, setelah jelas, bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik

itu penghuni neraka jahanam. Adapun permohonan ampunan Ibrāhīm Alaīhi

al-salām (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak hanya lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapanya, maka Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām berlepas diri darinya. Sungguh Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām itu seorang yang lemah lembut hatinya lagi penyantun”. (Qs. al-Taubah/ 9:

113-114)31

Jadi ayat di atas tadi menjelaskan janganlah kamu berbasa-basi dengan mereka dan jangan pula kamu tampakkan kepada mere rasa kasih, serta

30 Hamka, Tafsir Al-Azhar, cet. 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), 97.

31 Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 296.

jangan kamu memohonkan ampunan untuk mereka sebagaimana dilakukan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām terhadap ayahnya, karena Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām itu memohonkan ampunan untuk ayahnya sebelum dia mengetahui bahwa ayahnya adalah musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Tetapi setelah ayahnya meninggal dalam keadaan kafir, maka jelaslah bagi Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām keadaan itu. lalu dia pun meninggalkan permohonan ampunan untuk ayahnya. Sedangkan bagimu permusuhan ayahmu telah jelas, karena mereka kafir kepada rasul dan mengusir kamu dari kampung halaman. Oleh karena itu tidaklah patut bagimu memohonkan ampun untuk mereka.32

Kecuali perkataan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām terhadap ayahnya, maksudnya agar tidak usah meniru dan meneladani apa yang diucapkan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām kepada ayahnya: Sungguh aku benar-benar hendak memohonkan ampunan untuk ayah tetapi aku tidak berkuasa apa-apa untuk ayah dari Allah Subḥānahu wa ta‟ālā sedikit juga pun. Karena sikap Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām memohonkan ampun untuk ayahnya tercinta, tetapi

“musuh Allah” itu, hendaklah dikecualikan, janganlah diikuti tetapi beliau berlepas diri dari ayahnya setelah nyata bahwa dia musuh Allah. Sebab itu dapatlah dipahami dari ayat ini bahwa tidak boleh berdo‟a kepada orang kafir diberi ampunan terutama yang sudah meninggal, melainkan serahkan sajalah hal-ihwalnya itu kepada kebijaksanaan tuntunan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Maksud yang utama dengan sikap ini adalah untuk memperteguh keyakinan dan „aqidah, jangan sampai kacau balau.

Maksudnya ayat ke-6 dalam surah al-Mumtaḥanah Ayat ini mengulangi perintah menjadikan Ibrāhīm as dan orang-orang yang beriman besertanya sebagai suri teladan yang baik dengan maksud agar perintah itu

32 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maragi, Juz 28 (Mesir: Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, 1946), 107-108.

wajib diperhatikan orang-orang yang beriman. Sikap Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām terhadap orang-orang kafir itu adalah sikap yang benar.33 Sungguh pada mereka, yakni pada sikap mereka dalam berdoa dan bertawakal kepada Allah Subḥānahu wa ta‟ālā, dan menjauhkan diri dari perbuatan kejahatan.34 Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrāhīm Alaīhi al-salām dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu. Maksudnya, pada Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām dan orang-orang yang bersamanya, yaitu para nabi dan para wali, yakni dalam hal membebaskan diri dari orang-orang kafir.35 Hal tersebut sudah ada teladan yang baik bagimu dan barangsiapa yang mengharapkan dari Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dan hari kemudian, tetapi barang siapa berpaling, sungguh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā Maha kaya, Maha Terpuji. Yaitu: Jika ada orang yang menolak peringatan dan undang-undang Allah, dia akan rugi sendiri. Bukan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yang memerlukan penyembahannya atau puji-pujiannya. Allah Subḥānahu wa ta‟ālā bebas dari segala kekurangan dan sifat-sifat-Nya memang sudah terpuji.36 Dan barang siapa yang berpaling, maka sesungguhnya Subḥānahu wa ta‟ālā Dialah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Maksudnya adalah siapa yang berpaling tidak mau melaksanakan perintah Allah Subḥānahu wa ta‟ālā melalui kalian dan orang lain. Dia tidak patuh karena kesombongan.37 Sesungguhnya adalah bagi kamu pangkalan ayat 6 surah al-Mumtaḥanah Yaitu bagi kamu orang yang beriman dan mengikuti langkah tujuan suri teladan dari Nabi Muhammad Subḥānahu wa ta‟ālā. “Pada mereka itu suri teladan yaitu pada Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām dan orang-orang yang beriman bersamanya itu,

33 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta:

Menara Kudus, 1990), 105.

34 Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali Teks, 1456.

35 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,18, Terj. Dudi Rosyadi, cet. 1 (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2009), 357.

36 Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali Teks, 1456.

37 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, jami‟ al-bayan al-ta„wil al-Qur‟an, Terj. Abdul Somad (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 940-941.

bagi barangsiapa yang mengharapkan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dan hari kemudian. Orang-orang yang beriman pastilah mempunyai harapan, harapan utama ialah Rahmat dan Ridha Allah, keselamatan di dunia dan di akhirat.

Puncak cita ialah bertemu dengan Tuhan. Orang yang tidak ada iman, tidaklah mempunyai harapan akan hari esok, atau hari akhirat. Hal ini mengutip apa yang dikatakan Zakariya, kata uswah yang maksudnya itu bisa dikatakan dengan mengikuti. Jadi kata mengikuti dapat disimpulkan bahwa sikap teladan yang baik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm. mempunyai kaitannya dengan Nabi Ibrāhīm „alīh al-salām mengenai dalam hal ajaran menyebarkan kebaikan sepertinya halnya itu berdakwah di jalan Agama Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yaitu agama Islam yang disampaikan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām menjadikannya contoh kepada umatnya agar selalu beriman kepada Allah Subḥānahu wa ta‟ālā.

83 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di dalam kitab tafsir al-Azhar karya buya Hamka penulis menemukan, terdapat 3 ayat al-Qur‟an mengenai keteladanan yakni: surah al-‟Aḥzāb ayat 21 dan surah al- mumtaḥanah ayat 4 dan 6.

Contohnya ketika perangan Khandak Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm tetap teguh dalam pendirian pada situasi tersebut kaum muslimin yang jumlahnya tidak banyak lalu kaum kafir yang jumlahnya melebihi banyak dari kaum muslim. Ketika itu Nabi serta para sahabat dan kaum muslimin melihat jumlah musuh lebih banyak hati para kaum Muslimin mulai terombang ambing. pada situasi tersebut ada sebagian yang bertahan dan sebagian melarikan diri dari peperangan yang jumlahnya lebih banyak. Tapi hasilnya beda dengan sikap teladan Nabi yang selalu teguh dalam pendiriannya menghadapi musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā.

Contoh kedua sikap keteladanan nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām dalam menghadapi musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā terhadap Ayahnya, Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām tetap selalu sabar untuk mendoakan ayah yang masih tidak mau mengikuti ajaran agama Allah yaitu Islam. Dalam setiap upaya usaha yang dilakukan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām berserah diri memohon ampun kepada Allah agar ayahnya tersebut dapat memeluk agama Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yaitu Islam, tetap saja ayah Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām tidak mendapatkan hidayah sampai akhir hayatnya mati dalam keadaan kafir.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Keimanan dan ketakwaan harus ditingkatkan sebab dengan itulah hal paling pokok agar mencerminkan seorang muslim yang telah dicontohkan sikap teladan Nabi dan Rasul ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm itulah yang diajarkan dalam al-Qur‟an dan hadits.

2. Sikap tegas dalam keluarga itu orang tua yang membimbing anak-anak untuk menjadi baik identiknya dalam masalah ibadah khususnya Shalat yang lima waktu, mengaji dalam bentuk cara membaca al-Qur‟an. Karena orang tua sebagai guru pembina sekaligus pengawas yang pertama kali mengajarkan ketika masih kecil hingga kelak dewasa nanti.

Keteladanan sesuatu yang perlu dipelajari atau dipahami agar apa yang dikerjakan dalam hal sehari - hari tidak salah (sesat) sesuai ketentuan dalam al-Qur‟an dan Hadits . Contohnya seperti Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm meneladani kepada peristiwa kejadian pada zamannya Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām dalam hal berkurban, berhaji, Umrah karena perbuatan tersebut masih dilakukan oleh kaum muslim saat ini.

85

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Malik Karim. Di Bawah Lindungan Ka‟bah. Jakarta: PT.

Bulan Bintang, 2001.

Ali, Fachri. “Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan Riwayat dan Perjuangannya”. Prisma, vol 12, no 2, (Februari 1983):

375-408.

Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Tafsir al-Azhar, jilid 9. Singapura:

Pustaka Nasional PTE ELTD, 1999.

Bakry, Oemar, Tafsir Rahmat, cet. III. Jakarta: Mutiara, 1984.

--- Tafsir Rahmat, cet. III. Jakarta: Mutiara, 1986.

Chamami, Rikza. Dalam Studi Islam Kontemporer Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.

Damami, Mohammad. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.

Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. IV Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Dzakiey, Hamdani Adz-Bakran. Prophetic Intelligence, Kecerdasan Kenabian. Yogyakarta: Islamika, 2006.

Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter, cet. 1. Bandung: Alfabeta, 2012.

Hamka. Lembaga Budi. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

---. Tafsir al-Azhar, juz 1, 3, 5, 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000.

---. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 2005.

---. Kenang-kenangan Hidup, jilid 1 Jakarta: Bulan Bintang, 1951.

---. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996.

Hamka, Rusydi. Pribadi dan Martabat Buya Hamka. Jakarta Selatan:

Pustaka Mizan Publikasi, 1981.

Haris, Abd. Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional religius, cet. 1 Yogyakarta: Pustaka Lkis Printing Cermelang, 2010.

Hatta, Ahmad, Tafsir Qur‟an Perkata, cet. 3. terj. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011.

Jamal, Imām Sulaimān bin Umār Ajāyay asy-Syāfi‟ī Asy-Syahīr bil, Futhūḥat „Ilhᾱyyah bi Taudiḥ Tafsīr Al- Jalᾱlaīn daqᾱ„iq al-Khafīyah, vol. 1. Jilid. 8. Beirut: al- Kutub al-Islamiyah, 1996.

Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban, cet. 1. Jakarta: Paramadina, 1995.

Mahrus, Syamsul Kurniawan dan Erwin. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam cet. 1 Jogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2011.

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟I. Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia cet. 1 Bandung: Mizan, 1993.

Mohammad, Damami. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.

Mukhlis. Inklusime Tafsir al-Azhar, cet. 1. Mataram: IAIN Mataram Press, 2004.

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian, Bogor: PT. Ghalia Indonesia, 2003.

Nizar, Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, cet. 1. Jakarta:

Kalam Mulia, 2008.

Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan Islam, cet. 1. Jakarta: Kencana, 2008.

Qasimī, Muḥammad Jamᾱluddīn, al-Tafsīr al-Qᾱsimī al-Musammᾱ Mahᾱsin al-Ta‟wīl, cet. 2. juz: 1-2 Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

Rahardjo Dawam, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, cet. 1.

Bandung: Mizan, 1993.

Rifai, Muhammad Nasib Ar-, Taisir al-aliyyul Qadir li Ikhtisar Taisir Ibnu Katsir, Terjemahan Drs Syihabuddin, MA, Kemudahan dari Allah ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, Jakarta: Gema Insani Press, 1989 Razi, As-Syaikh al-Imam Muhammad bin Abi Bakr Ibn Abdul Qadir al-,

Mukhtar as-Shihah, Lebanon: Maktabah, 1980

Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Shihab M. Quraish. Sejarah dan Ulum al-Qur‟an,Vol 1, 5, 10, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2001.

---. Tafsir Al-Misbah:Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta:

Lentera Hati, 2009.

---. Membumikan Al-Qur‟an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat Bandung: Mizan, 2013.

---. Secerah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur‟an. Bandung Mizan, 2000.

Shobahussurur. Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Cet 1 Jakarta: YPI Al-Azhar, 2008.

Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam Jakarta: Amzah, 2009.

Tamara, Nasir. Hamka di Mata Hati Umat Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Al-Ṭabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Jami‟ul al-Bayan „An Ta‟wil ayi al-Qur‟an, juz. 19. terj. Ahsan askan. Jakarta: Pustaka Azzam 2007.

Untung, M. S. Muhammad Sang Pendidik, cet.1 Semarang: Pustaka Rizki, 2005.

Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. 1 Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1990.

---. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, cet. 1 Jakarta: Penamadani, 2003.

---. Ensiklopedi Muhammadiyah, cet. 1 Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Dokumen terkait