• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERDAMAIAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Kepastian dan Keadilan Hukum

2. Makna Keadilan

Berdasarkan pemikiran para filosof Barat tentang tujuan hukum, maka keadilan dipandang sebagai tujuan yang sangat prinsip di antara tujuan-tujuan lainnya. Karena itu, hukum idealnya identik dengan keadilan walau pada kenyataannya seringkali tidak demikian. Karena itu, keadilan hanya bisa dipahami secara nyata jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak direali-sasikan oleh hukum. Upaya ini merupakan proses yang dinamis dan memakan banyak waktu walau tak lepas dari adanya dominasi kekuatan-kekuatan politis dalam pengaktualisasiannya.208

Pembicaraan tentang keadilan tidak hanya terjadi di kalangan pakar hukum Barat, tetapi juga dalam tradisi Islam, khususnya di antara para pakar hukum Islam. bagi sementara para ahli hukum, keadilan hukum sering diidentikan dengan maslahat terutama ketika memasuki kajian tujuan hukum Islam yang dinamakan dengan maqashid al-syari‘ah atau maqashid al-tasyri.209 Bahkan dalam Islam, diskursus keadilan termasuk bagian dari masalah teologi, yang mempertanyakan posisi keadilan Ilahi dan tanggungjawab manusia sehingga muncul dua aliran besar yang memberikan jawabannya, yaitu Mu‟tazillah dan Asy‟ariyyah. Karena itu, bangunan ilmu ushul al-fiqh tidak lepas dari ilmu teologi (ilmu al-kalam), ilmu bahasa Arab sebagai bahasa sumber hukum dan ilmu syari‟ah sendiri.210

Keadilan secara etimologis mememiliki ragam makna, antara lain equality of treatment, impartiality, equity, fairness. Karena itu, keadilan dapat diketahui dari karakteristiknya sebagai tindakan atau sikap yang tidak memihak (impartial),

208 Dalam tradisi hukum Barat, term keadilan sering diungkapkan dengan istilah justice misalnya dalam karya W.N Seymour, yang berjudul Why Justice Fails (mengapa keadilan gagal). atau dalam karya Majid Khadduri yang berjudul, The Islamic Conception of Justice (Konsep Keadilan menurut Islam).

209 Masalah kemaslahatan dan keadilan menjadi masalah inti dalam kajian filsafat hukum Islam, karena secara doctrinal masalah ini berpijak pada beberapa potulat dari nash, antara lain, QS.

4:58, 135, QS. 5:8, QS. 6:90, dan QS. 42:15.

210 Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Maktabah al-islami, t.th), juz 1, h.7.

sama hak (equal), bersifat hukum (legal), sah hukum (lawful), layak ( fair), wajar secara moral (equitable), dan benar secara moral (righteous).

Semua literatur tentang keadilan secara umum menunjukkan bahwa keadilan pada prinsipnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya, harkat dan martabatnya, sama derajat, sama hak dan kewajban, tanpa membedakan suku, keturunan dan agamanya. Namun demikian, batasan atau rumusan tentang keadilan sebagaimana yang dikemukakan para ahli menunjukkan seauatu yang bersifat abstrak, di samping adanya titik persamaan dan perbedaannya. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah, sebab masing-masing para ahli berpijak pada landasan dan orientasi yang berbeda. Pandangan para filosof tentang keadilan akan berbeda dengan para ahli lainnya, semisalnya, para teolog, politis, yuridis, etis dan para sosiolog. Karena itu, landasan pemikiran yang berbeda akan melahirkan produk yang berbeda pula. Dari sinilah, lahir istilah atau konsep keadilan filosofis, keadilan teologis, keadilan, legalis, keadilan etis, keadilan,dan ahli lainnya.

Mengingat cukup luasnya kajian tentang keadilan, dalam desertasi ini peneliti hanya akan menguraikan keadilan filosofis dan keadilan Ilahi. Hal ini berpijak pada asumsi dasar, bahwa keadilan filosofis adalah keadilan yang bersumber dari kekuatan akal semata, sementara keadilan Ilahi adalah keadilan yang besumber dari firman Tuhan.

a. Keadilan menurut filsafat.

Teori-teori hukum alam semenjak Socrates sampai Francois Geny, tetap mempertahankan eksistensi keadilan sebagai mahkota hukum, sebab teori hukum alam mengutamakan “ the search for justice ―. Realita menunjukkan terdapatnya sejumlah teori tentang keadilan dan masyarakat yang adil. Pada umumnya, teori-teori tersebut berkenaan erat dengan masalah hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran, misalnya teori keadilan Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, sampai kepada teori keadilan social John Rawl dalam bukunya “ a theory of justice ―.

Dalam pandangan para filosof, misalnya Plato membagi keadilan menjadi keadilan individual dan keadilan bernegara. Baginya, keadilan individual adalah kemampuan seseorang menguasai diri dengan cara menggunakan rasio.211

Sementara teori keadilan menurut dapat diketahui dalam beberapa karya-nya yang berjudul, Nichomashean ethics dan rethoric. Dalam buku Nichomashean ethics, Aristoteles menjelaskan bahwa hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.212 Yang terpenting dari pendapatnya adalah bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian persamaan walau ia sendiri mem-berikan catatan adanya perbedaan antara kesamaan numeric yang memper-samakan setiap manusia pada satu unit (pandangan inilah yang melahirkan adanya persamaan di muka hukum) dengan kesamaan proporsional yang mempersamakan setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan

211 Jan Hendrik Raper, Filsafat Publik Plato (Jakarta: Rajawali Press, 1991),cet.ke-1, h. 81.

212 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Perspektif Historis (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004,), h.24.

kemampuannya, prestasinya dan sebagainya. Selanjutnya, iapun membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributive dan keadilan korektif. Jenis keadilan pertama berlaku dalam hukum public dan jenis kedua berlaku dalam hukum perdata dan pidana. Kedua jenis keadilan ini sama-sama rentan terhadap problem kesamaan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Sementara dalam wilayah keadilan distributive hal terpenting adalah bahwa jasa yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata pula. Sedangkan pada wilayah keadilan korektif, yang menjadi persoalan adalah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, umpamanya, pelanggaran kesepakatan dikoreksi dan dihilangkan. Dengan demikian, keadilan distributive berfokus pada distribusi, honor, kekayaan dan barang-barang lain yang sama-sama bisa dipergunakan dalam masyarakat.

Dengan mengasampingkan bukti-bukti matematis, namlak jelas apa yang ada dibenak Aristoteles adalah distribusi ekkayaan dan barang berharga lain menurut nilai yang berlaku di kalangan warga. Alhasil, distribusi yang adil merupakan distribusi yang seauai dengan nilai kebaikannya berupa nilai bagi masyarakat.213 Di sisi lain, keadilan keroketif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah.

Apabila suatu kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Dan apabila suatu kesalahan telah dilakukan , maka sanksi hukum yang sepatutnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan tergang-gunya kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Dengan demikian, keadilan korektif membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari sini diketahui bahwa keadilan distributive erat kaitannya dengan bidangnya pemerintah, sedangkan keadilan korektif erat kaitannya dengan wilayah peradilan.

Di lain pihak, Thomas Aquinas (filosuf hukum alam) membedakan keadilan dalam dua macam, yaitu (1) keadilan umum (justitia generalis) atau keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum, dan (2) keadilan khusus yang didasarkan atas kesamaan atau proporsionalitas. Sementara itu, John Rawls merumuskan dua prinsip keadilan distributive sebagai berikut: Pertama, the greatest equel principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Hal ini sebagai sesuatu yang paling mendasar yang mesti dimiliki oleh setiap orang. Yakni dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud. Dengan demikian, prinsip the greatest equel principle, pada dasarnya adalah prinsip persamaan hak yang tentunya sebanding dengan beban kewajiban yang dimiliki oleh setiap orang.

Kedua, ketidaksamaan social dan ekonomi harus diatur dengan baik sehingga perlu berpijak pada dua prinsip, yaitu; the different principle dan the principle of fair equality of opportunity. Keduanya prinsip ini diharapkan memberi keuntungan terbesar bagi mereka yang kurang beruntung, serta memberi penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan yarus terbuka bagi semua orang (prinsip perbedaan obyektif). Kedua prinsip tersebut, akan menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran antara hak dengan

213 Ibid, h. 25.

kewajiban para pihak sehingga dengan wajar dapat diterima adanya perbedaan selama mengikuti syarat good faith and fairness.

Berkenaan dengan pendapat John Rawls tersebut, maka dalam perspektif Islam dapat dikatakan substansinya sama sebagai upaya menegakkan keadilan umum (social) bagi semua kalangan tanpa melihat strata, namun tidak serupa karena pandangan keadilan menurut Islam dibangun oleh semangat Ilahi, bahwa manusia itu harus memperjuangkan dan menegakkan keadilan secara optimal dan maksimal dalam sistuasi dan kondisi apapun. Dalam Islam, keadilan selalu berhadapan dengan ketidakadilan (dzulm) yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam tatanan social. Oleh karena itu, maslahat sebagai bentuk nyata dari makna keadilan, menurut Masdar F. Masudi, dapat dikatakan identik dengan teori keadilan social dalam istilah filsafat hukum.214

b. Keadilan dalam tradisi Islam.

Sementara itu, dalam tradisi Islam, keadilan berasal dari kata „al-adl dan mempunyai sinonim dengan kata qisht, qasd, istiqamah, qasath, nashib, hishsha, mizan dan lainnya. Sementara itu, antonim dari kata adl adalah kata jawr yang sinonim dengan kata zulm (perbuatan salah), thughyan (tirani), mayl (kecenderungan), inhiraf (penyimpangan) dan lainnya.

Secara harfiah, kata al-adl adalah kata kerja abstrak yang berasal dari kata kerja,‟adala, yang berarti; pertama, meluruskan atau duduk lurus atau mengubah;

kedua, melarikan diri, berangkat atau mengelak dari suatu jalan yang keliru menuju jalan lain yang benar; ketiga, sama atau sepadan atau menyamakan;

keempat menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam suatu keadaan yang seimbang (state of equablirium).215 Pada gulirannya, kata al-‗adl atau al-‗idl dapat pula berarti contoh atau yang semisal (QS. 5:95), suatu ungkapan harfiah yang secara tidak langsung berkaitan dengan keadilan.216

Dari pendekatan leksikal tersebut, selanjutnya lahir berbagai konsep pandangan atau konsep bahkan teori keadilan yang dinamakan sebagai keadilan Ilahi dan kebajikan Ilahi. Pesan-pesan tersebut pada gilirannya menjadi basis pemahaman bagi para pakar hukum (fuqaha dan ushuliyyin) untuk meng-gunakan nalar derivatif yang dinamakan dengan ijtihad. Karena itu, mereka pada prinsipnya mengakui adanya keadilan Ilahi namun mereka tidak sepakat tentang bagaimana keadilan Ilahi itu dapat direalisasikan di muka bumi, serta bagaimana pula membuat rumusan ragam dokrin keadilan yang dapat merefleksikan segala kepentingan, tradisi local serta aspirasi para pemimpinnya yang tak lepas dari pengaruh kekuasaan. Akibatnya, legitimasi keadilan tak jarang dipergunakan secara bergantian hanya sebatas untuk kepentingan kelompok tertentu sehingga bertentangan dengan tuntutan hakikat keadilan Ilahi yang universal tersebut.

214 Masdar F. Mas‟udi, “ Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟ah “, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 3, vol. VI. Tahun 1995, h. 97.

215 Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, XIII, h. 457-458, al-Fairuzabadi, al-Qamus al-Muhith, juz 1, h.

431, juz 2, h. 415-416, juz 4, h. 6, Zabidi, Taj Arus, juz 8, h. 9-10, Maqarri, Kitab Misbah al-Munir, juz 2, h. 541-542 dan 689-690.

216 Abd al-Rauf al-Mishri, Mujam al-Qur‘an (Kairo: 1948), juz 1, h. 137-138, dan juz 2, h. 34.

Karena itu, pemahaman terhadap standar keadilan Ilahi dan kebajikan Ilahi perlu formulasikan dengan melihat segala aspeknya.

Secara konseptual, Ibnu Manzur seoraang leksikograf menyatakan bahwa sesuatu yang terbina mantap dalam pikiran seperti orang yang berterus terang itu identik dengan makna keadilan.217 Sedangkan sesuatu yang tidak jujur atau tidak beres dianggap sebagi jawr atau ketidakjujuran. Makna kedua harfiah kedua dari kata kerja „meluruskan” dan “berangkat“ dinyatakan dalam pengertian konsep-tual terus terang dan tegak lurus. Karena itu, tidak ada gunanya kata adl dan al-jawr digunakan untuk makna benar dan salah, karena istilah-istilah ini seringkali digunakan dalam pengertian yang sangat luas termasuk nilai-nilai moral dan religius. Ide tentang adl sebagai kebenaran adalah sepada dengan ide tentang kejujuran dan kepatutan yang mungkin lebih tepat digunakan dalam istilah istiqamah atau terus terang.218

Gagsan keadilan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya telah dimulai dari kursus tentang keadilan Tuhan (Ilahi) kaitannya dengan eksistensi rasio manusia sendiri, yakni apakah rasio manusia dapat mengetahui nilai baik dan buruk untuk menegakkan keadilan di muka bumi tanpa tergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui nilai-nilai tersebut melalui wahyu Allah. Pada topic inilah perbedaan teologis muncul di kalangan ulama Islam. Pada dasarnya perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsep yang kontradiktif tentang tanggung jawab manusia dalam menegakkan keadilan Ilahi. Perbedaan ini pada gilirannya melahirkan dua madzhab pemikiran teologis dialektis yaitu Mu‟tazilah dan Asy‟ariyyah.

Madzhab Mu‟tazilah berangkat dari tesis bahwa manusia sebagai makhluk bebas bertanggung jawab di hadapan Allah yang Maha Adil. Selanjutnya menurut mereka, nilai baik dan buruk merupakan kategoriasi rasional yang dapat diketahui melalui nalar, tak tergantung pada wahyu, sebab Allah telah mencipta-kan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Hal ini merupakan konsekuensi logis pada tesis pokok bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan obyektif tentang baik dan buruk tersebut, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum menyatakannya atau tidak. Dengan kata lain, madzhab Mu‟tazilah menyatakan bahwa kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual.

Dengan demikian, menegakkannya berbentuk obyektivisme rasionalis.219

Lebih jaunya pendirian Mu‟tazilah seperti ini mendapat tantangan (anti tesis) dari kalangan Asy‟ariyyah. Aliran kedua ini berpijak pada tesis bahwa baik dan buruk adalah ditentukan oleh Allah. Karena itu, tanggungjawab manusia bukan merupakan hasil pemilihan bebas sebagaimana klaim Mu‟tazilah. Namun hanya Allah semata-mata yang menciptakan segala tindangan secara langsung.

217 Ibnu Mazur, op.cit.

218 Ide atau gagasan tentang benar dan salah dimasukkan dalam konsepsi keadilan klasik kuno yang kemudian dalam Islam mengadopsinya sebagai bagian tradisi-tradisi moral dan religius (Ibnu Manzur, op.cit., XV, h. 266-272).

219 Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori Politik islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 154-155.

Memang terdapat pula beberapa tindakan sukarela yang digantikan oleh kehendak Tuhan sehingga seseorang bertanggungjawab. Karena itu, tanggung-jawab manusia adalah kehendak Ilahi yang diketahui melalui bimbingan wahyu.

Jika tidak demikian, maka nilai-nilai tersebut tidak akan memiliki dasar selain kehendak Allah yang mengetahuinya.220 Tesis atau konsep Asyri‟ah tentang pengetahuan etika ini dikenal debagai subyektivisme teistis, yang mengandung arti bahwa semua nilai etika tergantung pada ketetapan-ketetapan kehendask Allah yang diungkap dalam bentuk wahyu yang abadi.

Kedua aliran teologis tersebut sebenarnya berangkat dari penafsiran beberapa ayat al-Qur‟an yang melahirkan pandangan kompleks mengenai peranan tanggungjawab manusia dalam mewujudkan kehendak Ilahi di bumi.

Sebab pada satu sisi, al-Qur‟an berisi ayat-ayat yang mendukung pandangan Mu‟tazilah tentang tanggungjawab manusia, dan pada sisi lainnya berisi ayat-ayat yang memperkuat pandangan Asy‟ariyyah tentang kemahakuasaan Allah yang tak memberi manusia peranan dalam menjawab bimbingan Ilahi. Berdasarkan dua pandangan ini, peneliti sependapat dengan Ahmad Zenal Fanani yang menga-takan bahwa konsep bimbingan natural atau universal mempunyai implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan eksistensi kapasitas kemauan dalam jiwa manusia, dan membuktikan tanggungjawab manusia dalam mengem-bangkan pengertian moral dan spiritual serta motivasi yang akan membawa penegakkan keadilan di muka bumi.221 Lebih jauhnya Al-Qur‟an menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa dan sama-sama bertanggungjawab dalam menegakkan keadilan.222 Dengan demikian, Al-Qur‟an ingin menciptakan manusia-manusia ideal, yang mencerminkan gabungan kebajikan moral dan kepasrahan religius sebagaimana yang ditegaskan dalam suarat al-Baqoroh syat 112 berikut: “ (tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati ―.

Pesan universal Al-Qur‟an tentang keadilan teistis dan obyektif dapat pula dikatakan sebagai keadilan natural sebagaimana yang disampaikan oleh Aristoteles walau terdapat titik perbedaannya di mana para ulama Islam lebih focus pada upayanya dalam mengkaitkan konsep keadilan dengan kehendak Tuhan serta menghubungkannya dengan nasib manusia. Merekapun mengambil kesimpulan bahwa keadilan Ilahi (teistis) merupakan tujuan akhir dari wahyu Tuhan yang diwujudkan dalam hukum-hukum-Nya yang suci (syari‟ah).

Berdasarkan nilai universal tentang persamaan tersebut, maka gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan mapannya tatanan social, karena secara logis dapat membangkitkan keadilan obyektif universal yang telah mendarah daging dalam jiwa manusia. dalam surat al-Maidah ayat 48, Al-Qur‟an mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan yang disamakan dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan moral) yang mengatasi masyarakat agama yang

220 Ibid, h. 156.

221 QS. 91:7.

222 QS. 2:213.

berbeda dan mengingatkan manusia untuk selalu tampil dengan perbuatannya yang terbaik.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti dapat memahami keadilan pada empat makna, yaitu keadilan adalah kesimbangan, persamaan atau non diskri-minasi, pemberian hak kepada yang berhak, dan pelimpahan wujud menurut tingkat dan kelayakan.

1) Keadilan sebagai keseimbangan.

Adil adalah keadaan yang seimbang dalam suatu sistem. Keseimbangan suatu sistem akan ditandai dengan adanya keterkaitan yang harmonis antar bagian-bagian yang terdapat di dalamnya menurut syarat-syarat tertentu yang sinergis dan simultan. Dengan terhimpunnya semua syarat, maka suatu himpunan atau sistem bisa bertahan, memberikan pengaruh yang diharapkan darinya, serta memenuhi tugas yang telah diletakkan untuknya. Misanya, kese-imbangan dalam sistem hukum, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan.

Semua aktivitas ini harus didistribusikan di antara anggota masyarakat sehingga tercipta keseimbangan atau terwujudnya al-mizan dalam bahasa Al-Qur‟an (QS.

55:7).

Keadilan bermakna keseimbangan ini disampaikan oleh M. Quraish Shihab,223 yakni bahwa keadilan Ilahi adalah memelihara kewajaran atas ber-lanjutnya eksistensi, yakni tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Hal ini menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan manusia dan menyempurnakannya cenderung kepada keadilan atau keseimbangan (QS.82:7). Karean prinsip keadilan sebagai ekseimbangan, maka Allah menempatkan semua makhluk-Nya pada tempat dan kadar yang cukup sesuai peranan dan fungsi yang dituntut darinya. Karena itu, manusia dituntuk untuk meneladani sifat adil Allah dan menegakkannya di tengah-tengah kehidupan, bahkan terhadap musuh sekalipun (QS. 4:135, dan 5:8).

Lebih jauhnya, ia menegaskan adanya keterkaitan antara sifat al-hakam Allah dengan sifat al-adil-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa segala hukum Allah yang ditetapkan berlaku kepada semua pihak tanpa perbedaan. Misalnya, hukum-hukum alam dan kemasyarakatan yang ditetapkan Allah berlaku bagi siapa saja, baik muslim maupun non muslim. Begitu pula, rezeki yang dihampar-kan-Nya tersedia dan dapat diperoleh mereka selama mengikuti hukum-hukum perolehannya, apapun jenis, ras dan agama seseorang. Air itu akan selalu mengalir ke tempat yang rendah, membeku atau mendidih bila memenuhi syarat yang ditetapkan-Nya dan hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Terkait dengan pandangan ini, dalam sebuah hadits Nabi saw bersabda: “ Dengan keadilan, tegaklah langit dan bumi “. Karena itu, lawan keadilan dalam pengertian ini adalah ketidakseimbangan, bukan kezaliman. Tidak sedikit para pakar hukum berusaha menjawab semua kemusykilan dalam memahami makna keadilan Ilahi

223 M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 1998), cet. Ke-1, h. 151-152.

menurut perspektif kesimbangan dan ketidakseimbangan alam, sebagai ganti dari perspektif keadilan dan kezaliman.

Menurut Muhammad Taufik,224 pengertian keadilan dalam pengertian keseimbangan, sebagai lawan ketidakseimbangan, akan muncul ketika kita melihat sistem alam sebagai keseluruhan. Sedangkan pengertian keadilan sebagai lawan kezaliman akan lahir ketika kita melihat sesuatu bukan sebagai suatu sistem, yakni tiap-tiap individu dilihat secara parsial. Dengan demikian, penger-tian keadilan dalam makna keseimbangan berarti menempatkan kepentingan umum sebagai titik persoalan, sementara pandangan keadilan kedua (sebagai lawan kezaliman) berarti menjadikan hak individu sebagai pokok persoalan.

Karena itu, keadilan dalam pengertian kesimbangan telah menjadi bagian dari sifat Tuhan dalam mengatur alam dan segala isinya.

2) Keadilan sebagai persamaan.

Nilai persamaan merupakan makna kedua dari arti keadilan, dan sejakigus menafikan makna deskriminasi dalam bentuk apapun. Seseorang dapat dikatakan adil bilamana ia memandang semua individu secara sama, setara, tanpa melakukan perbedaan dan pengutamaan. Dalam konteks ini, keadilan sama dengan persamaan. Karena itu, jika tindakan memberi secara merata dipandang sebagai adil, maka tidak memberi kepada semua secara sama rata juga mensti dipandang sebagai adil. Lebih jauhnya, sangat logis pula bila yang dimaksud dengan keadilan adalah terpeliharanya persamaan pada saat kelayakan memang sama, sebab keadilan secara substansial meniscayakan dan mengimplikasikan persamaan seperti itu.

Dalam hukum Islam, keadilan dalam arti persamaan wajib ditegakkan dalam menjalankan hukum yang diamanatkan kepada hamba-Nya, lebih-lebih bagi para penegakkan hukum (QS. 4:58). Untuk ini, ketetapan hukum qishas dapat dianggap sebagai cerminan dari makna keadilan hukum, karena hakikat hukum qishas adalah sanksi yang sepadan bagi si pelaku pembunuhan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat surat al-Baqoroh berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang-siapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang-siapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara