• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERDAMAIAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Kepastian dan Keadilan Hukum

1. Makna Kepastian Hukum

Dalam tradisi hukum umum (Barat), tujuan hukum dibagi ke dalam dua periode, yaitu; klasik dan modern. Dalam perspektif klasik (konvensional), tujuan hukum dibedakan ke dalam tiga aspek, yaitu kepastian hukum (yuridis-dogmatis), keadilan hukum (etis) dan kemanfaatan hukum (utilistis). Sementara dalam perspektif hukum modern, tujuan hukum dibedakan ke dalam dua macam, yaitu;

tujuan prioritas baku, dan tujuan prioritas kasuistis.202 Oleh sebab itu, ajaran kepastian hukum merupakan salah satu bagian dari tiga cita-cita atau tujuan hukum lainnya, yakni keadilan dan kemanfaatan hukum. Aneka tujuan hukum ini berpijak pada landasan aliran pemikiran hukum sendiri, yaitu aliran normative yang mendambakan kepastian, aliran etis yang menekankan keadilan serta aliran pragmatis yang menuntut kemanfaatan hukum.203

Dengan demikian, kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Apabila dilihat secara historis, persoalan kepastian hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu demi terciptanya keteraturan. Keter-aturan menyebabkan orang dapat hidup secara pasti sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk

202 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk, 2002), cet.

Ke-2, h. 72-84.

203 Semenjak awal perkembangan teori dan filsafat hukum terutama sejak adanya ajaran cita-cita hukum (idée des recht) yang dikembangkan oleh Radbruch, maka cita-cita atau tujuan hukum ada tiga macam secara proporsional, yaitu kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum.

memahami kepastian hukum secara jelas, terdapat beberapa pengertian dari para ahli sebagai berikut:

a. Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo,204 mengemuka-kan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan arti kepastian hukum, yaitu : (1) Pertama, bahwa hukum itu positif berupa perundang-undangan, (2) Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau kenyataan (empiris), (3) Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan secara jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan, dan (4) Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.

Dari uraian tersebut, peneliti memahami bahwa pandangan Gustav tentang kepastian hukum mengandung tiga sudut pandang. Pertama, hukum harus memiliki legal formal yang ditetapkan oleh suatu lembaga formal sehingga hukum menjadi kitab undang-undangan. Kedua, materi hukum harus berangkat dari fakta atau realita yang dirumuskan dalam kalimat hukum yang mengandung nilai universal dan tak mudah berubah sepanjang zaman. Ketiga, pada giliran berikutnya kepastian hukum selalu harus ditaati demi ketertiban dalam mengatur kepentingan masyarakat meskipun pada kenyataannya yang positif itu belum menunjukkan rasa keadilan yang seharusnya.

b. Van Apeldroon,205 mengatakan bahwa kepastian hukum adalah adanya kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga masyarakat termasuk konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum dapat pula sebagai suatu hal yang dapat ditentukan dari hukum dalam hal-hal yang konkret. Dengan demikian, kepastian hukum pada dasarnya sebagai pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dapat dilaksanakan selama ditaati.

Berdasarkan pandangan ini, Sudikno Mertokusumo menyimpulkan bahwa kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, yang berhak menurut hukum memperoleh haknya, dan putusan dapat dilaksanakan.

Lebih jauhnya, kepastian hukum merupakan perlindungan (yustisiabel) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan mendapat sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.206

c. Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta mengatakan bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu memerlukan syarat-syarat berikut:

(1) tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara; (2) instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya, (3)

204 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2009), h. 92.

205 Van Apeldoon, Pengantar Ilmu Hukum , terjemahan dari Inleiding Tot De Studie Van Hei Nederindse Recht oleh Octarid sadino (Jakarta: Pradnya paramitra, 1990), cet‟ ke-8, h. 24-25.

206 Sudikno Mertokusumo, op.cit. h.160.

mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut, (4) hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menye-lesaikan sengketa hukum; dan (5) keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Dalam pandangan peneliti, kelima syarat tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir sebagai cerminan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti ini adalah kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu hukum yang menunjukkan keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.

d. Nurhasan Ismail,207 berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri, yaitu :

Pertama, kejelasan konsep yang digunakan. Yakni berisi norma hukum tentang perilaku tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula.

Kedua, kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena me-nyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan per-undang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk memben-tuk suatu peraturan perundang-undangan tertentu.

Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan.

Artinya ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-undang-an yperundang-undang-ang terkait dengperundang-undang-an satu subyek tertentu tidak saling bertentperundang-undang-angperundang-undang-an antara satu dengan yang lain. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Sementara itu, kepastian hukum berpijak kepada beberapa asas, yaitu: (a) asas legalitas, konstitusionalitas, dan supermasi hukum, (b) asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan, (c) asas non-retroaktif perundang-undangan, yakni sebelum mengikat, undang-undang harus diumumkan secara layak, (d) asas non-liquet, yakni hakim tidak boleh menolak perkara yang dihadap-kan kepadanya dengan alasan undang-undang tidak jelas atau tidak ada, (e) asas

207 Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Desertasi Fakultas Hukum UGM, (Yogyakarta: UGM, 2006), h.39-41.

peradilan bebas; obyektif-imparsial dan adil-manusiawi, dan (f) asas hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang dasar.

Dari uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multi-tafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan memungkinkan dapat dilaksanakan.

Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.