• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI PERUBAHAN HUKUM ISLAM

A. Perubahan Hukum Islam

N.J Coulson menulis sebagaimana dikutip Wael B Hallaq mengatakan bahwa elaborasi hokum Islam merupakan hasil dari upaya-upaya spekulatif oleh sarjana-sarjana terkemuka untuk mendifinisikan huklum Allah. Dlam hokum Islam itu sendiri mengisolasi dari kebutuhan-kebutuhan praktis dan lingkungan-lingkungan yang menghasilkan sebuah system aturan konprehensif, secara umum dalam oposisi terhadap keberadaan praktik hokum, yang mengekspresikan ideal keagamaan. Akan tetapi konstatasi Coulson tidak bisa dipertahankan terlebih dengan adanya penelitian mutakhir dari Joseph Schacht yang menemukan bahwa ada interkoneksi dari praktek-praktek social dan administrasi, kondisi ini muncul sekitar abad ke II-IV H. Dengan hukum yang muncul dari praktek-praktek tersebut. Akan tetapi Schacht sendiri mengatakan bahwa hukum Islam pasca formatif mengalami kebekuan. Menurutnya perubahan-perubahan yang terjadi lebih berkaitan dengan tiori hukum suprastrutur sistemik daripada hukum positif.93

Dapat dibenarkan kalau hukum Islam sebagai devine law, memiliki keteri-katan interktif dengan teks-teks dari Al-Qur‟an dan Sunnah, keteriketeri-katan ini didasarkan pada pra asumsi umat Islam bahwa sesungguhnya seluruh aturan dalam al-Qur‟an dan Hadits merupakan aturan Allah yang secara inheren didalamnya telah mengandung nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan sebagai tujuan utama dari kukum Islam. Karena jika dicermati literature-literatur hukum yang ditulis didalamnya terdapat alasan-alasan dari penalaran hokum seringkali dirujukkan pada dalil normatif atau pada otoritas-otoritas berwenang dari para sahabat.

92. Mustafa Muhammad al-Zaqra, Hukum Islam dan perubahan social (study komparatif Delapan Madzhab),Terj. Ade Dedi Rohayana, Reika Cipta, Jakarta Tahun 2000, hal.45.

93 .W. Friedmann., Tiori dan Filsafat Hukum, Susunan I-II Terj. Muhamad Arifin, Raja Grafindo Persada Jakarta, hal.139.

Akan tetapi para ahli hukum sepakat bahwa banyak kasus yang tidak ditangani secara langsung oleh al-qur‟an dan Hadits sehingga penangannanya mesti didasarkan pada penalaran ijtihadi dengan seperangkat metodologis seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan dan lainnya, yang diakui dapat menjaga objektifisas interpretasi dan hal ini tidak bisa diingkari dalam upaya pemahaman dan penerapan hukum Islam tidak mungkin melepaskan diri dari interpretasi manusia, karena itu pengalaman syari‟ah pada dasrnya melalui fikh bukan melalui syari‟ah94, yang karena itu materi-materi hukum sarat dengan nilai-nilai sosiologis.

Nilai-nilai sosiologis yang ada dalam pembentukan hukum Islam merupa-kan perhatian yang menarik dalam rangka memotivasi pembentumerupa-kan hukum sebagai tujuan terakhir dari padanya yang disebut sebagai hikmah hukum, akan tetapi pembentukan dan perubahan kepada hal yang pasti dan jelas karena itu perubahan hukum tidak saja didasarkan pada hikmah melainkan ada hal yang lebih pasti dan jelas yaitu „Illat hukum, sesuatu yang nyata dan pasti yang dijadikan dasar hukum, dan yang dijadikan dalam hubungan ada dan tidak adanya hokum sekalipun tertinggal hikmahnya begitupun sebaliknya hilang suatu hukum ketika tidak ada „illat, meskipun mungkin hukmahnya masih ada.

Hal ini menunjukkan bagwa „illat atau rsio logis menjadi mutlah keberadaannnya dalam prubahan hokum Islam hal ini sesuai dengan kaedah hokum tentang perubahan hukun:―Al-Hukmu yaduru ma‟a „illatihi wujuudan wa „adaman”.

Ibn Qoyyim mengatakan bahwa perubahan hukum dikarenakan adanya perubahan waktu, tempat dan suasana; ―Taghayyuru Fatwa bi taghayyuri al-Azmaan wa al-amkinati wa al-Akhwaah wa al-„Awaidi‖95. Maksud dari kaedah ini adalah bahwa kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh pada fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti, walaupun demikian tidak berarti bahwa hukum akan berubah begitu saja tanpa memperhatikan pada norma yang terdapat dalam sumber hukum utama yaitu al-Qur‟an dan Hadits.Pendapat Ibn Qoyyim tersebut sejalan dengan penelitian ahli hukum barat tentang fatwa-fatwa yang terserap dalam karya-karya fikih yang disimpulkan sebagai berikut;

a. Kebanyakan fatwa bukan hasil dari spekulasi yuristik, tioritikmaupun hipotikal melainkan muncul dari realitas yang dihadapi oleh masyarakat muslim.

b. b.Fatwa-fatwa ( primer dan sekunder) disesuaikan dengan doktrin-doktrin yang telah mapan dalam madzhab yang secara continue dimasukkan kedalam karya-karya furu‟ (fikih) dengan melalui proses pengadilan, abstraksi dan penyelesaian.

c. Fatwa-Fatwa yang dimasukkan kedalam karya-karya furu‟ merefleksikan pertumbuhan dan perubahan dalam doktrin madzhab, yang

94 Nasr Hamid Abu Zaid dengan tegas membedakan antara Islam dien dan sebagai pemikiran atas dien menurutnya pemikiran atas dien merupakan atas pemikiran ebolarasi ilmiyah dengan perangkat-perangkat metodis melalui pengerahan intelek. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khithabi al-Diniy, Sina, Kairo t.th.

95 . Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I‘lam al-Muwaqi‘in , Dar al-Fikr, Baerut, Juz III, t.th. hal 14.

kan perubahan social dimana hokum dituntut harus memberikan jawaban, dalam istilah lain fatwa yang merefleksikan penafsiran atas tatanan social, merupakan satu instrument dalam mengikuti proses yang terjadi dengan mengacu pada doktrin hokum baku yang diekspresikan dalam furu‟.

d. d.Walaupun fatwa diasimilasikan dengan karya-karya terdahulu, akan tetapi para komentar memberikan kekhasan sebagai halpenting bagi kajian perkembangan hokum dan system hokum Islam sebagai kekhasan hukum lainnya.

e. e.Intrumentalisasi fatwa telah menuntut para mufti suatu tugas berat, bukan hanya menentukan hukum Allah melainkan bila memverifikasi bahwa hukum baru yang diformulasikan dalam bentuk fatwa sesungguh-nya konsisten dengan doktrin-doktrin baku dalam madzhabsesungguh-nya.96

Dinamika masyarakat menuntut adanya perubahan sosial dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya sistim nilai dan hukum, Marx Weber, Emile Durkheim, menyatakan bahwa, hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat, senada yang dikemukakan Arnold M Rose yang mengemukakan tentang tiori umum tentang perubahan sosial hubu-ngannya dengan perubahan hukum, pendapatnya bahwa perunbahan hukum dipengaruhi oleh tiga faktor, pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan dibidang teknologi, kedua adanya kontak atau konflik antar kehidupan dalam masyarakat, dan ketiga, adanya gerakan sosial (social movement).

Dari pendapat diatas jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari factor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial.97 Pengaruh dari unsur perubahan tersebut dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistim pemikiran Islam termasuk didalamnya pembaharuan hukum Islam walau sebatas pada aspek lokalitas dan temporalitas tanpa mengabaikan nilai-nilai universalitas ajaran-ajaran Islam.

Proses dari sebuah perubahan hukum diawali dari keteraturan lahiriyah tertentu sebagai ciri manusia yang paling pokok hubungannya dengan antar masyarakat, dari hubungan antar manusia tersebut maka muncul norma yang harus ditaatin, nilai merupakan gambaran apa yang diinginkan, yang pantas yang berharga yang mempengaruhi prilaku social tertentu. Nilai tertentu mempenga-ruhi prilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Pada awalnya untuk mempertahankan suatu nilai tanpa disadari muncul norma kebiasaan (folkway) yang tidak memiliki daya ikat yang mengharuskan seseorang berprilaku, dari norma kebiasaan berkembang menjadi norma adapt istiadat (mores), dan pada akhirnya adapt istiadat berkembang menjadi norma hokum yang mempunyai daya ikat dengan sanksi-sanksi hukum yang diterapkannya.98

96. Muslehudin, Filsafat Hukum Islam dan pemikiran oreantalis, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991, hal.136.

97 .Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1994, hal.96.

98 Juhaya S Praja.Tiori-Tiori Hukum, Suatu Telaah Perbandingan dengan Pendekatan Filsafat, Pasca Sarjana UIN Bandung, Tahun 2009, hal. 64.

Menurut Weber norma hukum dapat terbentuk dengan cara, bertahap atau dari kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat sendiri, dan mereka menentukan aturan-aturan secara bertahap. Dan pembentukan hukum secara sengaja, dimana anggota masyarakat mengikuti apa saja apa yang dikatakan oleh penguasa atau pemimpin mereka. Dalam hal ini Menurut Weber pembentukan hokum dapat terjadi oleh adanya oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan kekasaan politik serta hasil dari para ahli hukum. 99

Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsiv dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat ijtihad dikalangan umat Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan. Ibnu Rusy mengatakan bahwa: “ Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash terbatas, oleh karena itu mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa mengatasi sesuatu yang tidak terbatas jumlahnya.” 100

Mengingat hukum Islam merupakan bagian dari ajaran Islam oleh karena itu aspek yang mengalami perubahan adalah bukan pada Agama dalam penger-tian Wahyu Allah, tetapi pemikiran manusia tentang ajaran yang berhubungan dengan penerapan didalam dan ditengah-tengah masyarakat mungkin berubah, berdasarkan hal tersebut maka perubahan yang dimaksud adalah perubahan secara tekstual tetapi perubahan secara kontektual, untuk al ini maka perlu tiori-tiori yang dikembangkan sebagai langkah-langkah dalam melakukan perubahan hukum Islam.

Ijtihad merupakan usaha yang sungguh-sungguh yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutus-kan suatu perkara, namun pada perkembangan selanjutnya ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam atau dikenal dengan seorang fakih untuk memperoleh hukum tingkat dhanni. Ijtihad bukanlah suatu kesatuan yang utuh tidak dapat dibagi-bagi tanpa menguasai berbagai masalah dan ijtihad harus dilakukan untuk menghindari kejumudan hukum Islam. Dalam tradisi hukum Islam metoda ijtihad dikembangkan dalam bentuk ijma‟, qiyas101, istihsan, mashlahat al-mursalah, syadzu al dzari‟ah, istishab dan „urf.

Bertitik tolak dari ijtihad di atas ada dua corak penalaran yang perlu dikemukakan dalam upaya untuk menggali maqashid al-Syari‟ah, dua corak penalaran dalam berijtihad tersebut adalah penalaran ta‟lili, dan penalaran istilahi. Penalaran ta‟lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan „illat-„illat hukum yang terdapat dalam suatu nash, dan asumsi dasar dalam dari penalaran ini bahwa nash-nash dalam masalah hukumsebagian diiringi dengan penyebutan „illatnya. Dalam ushul fikih corak ta‟lili ini mewujud

99 Ibid, hal. 65.

100 Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa nihayat al-Muqtashid, Daar al-kutub al-Arabiah, Mesir, t nth hal. 2

101 Susunan struktur tersebut diakyui paertama kali dilakukan oleh Imam Syafi‟I, Lihat Muhamad Idris al-Syafi‟I, al-Risalah li al-Imam alMuthalibi, tahqiq oleh Muhamad Sayyid Kaelani, Dar al-Fkr Kairo Tahun 1969, hal. 25.

dalam bentuk qiyas dan istihsan. Adapun penalaran istilahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemashlahatan yang disimpulkan dari nash.