• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA KESELAMATAN MENURUT KITAB SUCII.

DALAM PERSPEKTIF KATOLIK Ignatia Esti Sumarah

MAKNA KESELAMATAN MENURUT KITAB SUCII.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kata keselamatan dikenal dengan istilah syalom yang berarti suatu keadaan yang bulat, utuh, penuh dalam segala dimensinya. Manusia dapat mengalami syalom semacam itu apabila mempunyai relasi yang baik dengan Allah. Allah yang diimani umat Israel adalah Allah sebagai Pencipta Dunia (Yes. 40:28) senantiasa hadir dalam sejarah bangsa itu (Yes. 40:15) untuk melindungi mereka (Yes. 40:25-31) dari segala ancaman. Pewahyuan Allah di Gunung Horeb kepada nabi Musa untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir (Kel. 3:7-10) menampilkan jati diri Allah yang anti penderitaan atau kejahatan, serta pro kehidupan dan kebebasan manusia.

Kitab Suci Perjanjian Lama menampilkan Allah sebagai pelindung atau penyelamat dengan dua ciri khas. Pertama, Ia selalu mencintai dan membela manusia, khususnya kaum papa seperti janda dan anak yatim piatu, seperti diungkapkan oleh Nabi Yesaya: “...bersihkanlah dirimu... Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakan keadilan, kendalikan orang kejam, belalah hak anak- anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda” (Yes. 1:16). Kedua, Ia selalu membimbing manusia untuk menciptakan syalom, harmoni, kedamaian dan kesejahteraan di tengah masyarakat; bukannya menyebarluaskan kebencian, rasa iri hati, dan kedengkian, yang dapat menumbuhkan hasrat menghancurkan sesama: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya” (Kej. 4:6-7).

Kitab Suci Perjanjian Baru memberikan kesaksian tentang seluruh kehidupan Yesus yang diperuntukkan bagi terwujudnya Kerajaan Allah. Hal ini tampak jelas, antara lain, dalam pernyataan Yesus ketika Ia pertama kali tampil di muka umum: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil! (Mrk. 1:15).

Injil Lukas memberikan kesaksian serupa sekaligus memberikan “isi” dari Kerajaan Allah tersebut:

Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4:18-19).

Kerajaan Allah memang tidak mudah untuk dijelaskan. Kerajaan Allah merupakan sebuah pengalaman hidup nyata yang dikerjakan oleh Allah dalam hidup kita melalui Yesus: “Maka tersiarlah berita tentang Dia di seluruh Siria dan dibawalah kepada-Nya semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita pelbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka” (Mat. 4:24).

Kadangkala Kerajaan Allah juga dilukiskan sebagai sebuah situasi hidup bersama (dalam masyarakat) yang bebas, adil, damai dan sejahtera karena manusia tidak lagi saling melukai atau menghancurkan, menindas atau mengeksploitasi satu sama lain, sebagaimana dilukiskan dalam Kitab Nabi Yesaya:

Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya. (Yes. 11:6-9).

Kerajaan Allah juga terwujud ketika orang berhenti saling membunuh, menghancurkan semua hal yang memungkinkan terjadinya peperangan, dan mulai mengupayakan meningkatnya

mutu kehidupan. Hal ini dengan sangat indah dilukiskan dalam Kitab Nabi Mikha:

…mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak, dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa (lain), dan mereka tidak akan lagi belajar perang. Tetapi mereka masing-masing akan duduk di bawah pohon anggurnya dan di bawah pohon aranya dengan tidak ada yang mengejutkan, sebab mulut Tuhan semesta alam yang mengatakannya (Mi. 4:3-4).

Secara singkat, Kerajaan Allah juga mencakup kesejahteraan dalam arti yang sangat komprehensif; maksudnya, bebas dari penindasan, kecemasan dan ketakutan, serta adanya kesehatan, kemakmuran dan rasa aman. Kerajaan Allah berarti impian Allah bagi sebuah dunia di mana kesejahteraan dalam arti tersebut dialami oleh setiap orang sekarang ini, di sini (Fuellenbach, 2000:22).

Seluruh peristiwa kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus juga menunjukkan pribadi Allah yang ingin menyelamatkan manusia. Melalui peristiwa Yesus Kristus, umat Katolik mengimani eksitensi Allah yang telah hadir di tengah dunia untuk menyatakan diri sebagai kekuatan yang anti kejahatan, anti penderitaan, anti segala sesuatu yang menyebabkan manusia merintih dan menjerit; sekaligus sebagai afi rmasi yang sanggup mendorong manusia untuk

memberantas segala hal itu (Chopp, 1992:71).

Mengimani Yesus berarti mengimani pribadi yang bebas dan membebaskan (liberator) karena Ia sangat anti kejahatan dan penderitaan. Semuanya itu terungkap dalam sikap dan tindakan-Nya yang mengutamakan hal-hal sebagai berikut (Agus Rachmat, 1993: 40-45):

Kebebasan dari keterikatan pada tradisi yang suci: Yesus tetap a.

melakukan mukjizat penyembuhan walaupun pada hari Sabat (Mrk. 3:1-6).

Kebebasan dari rasa takut serta sikap menjilat terhadap para b.

penguasa: Yesus berani menyebut pemuka jemaat sebagai angkatan keturunan ular beludak (Mat 23:33) karena tak tahan menyaksikan kemunafi kan mereka. Dan ketika Ia dihadapkan

untuk membebaskan Yesus dari peristiwa penyaliban, Yesus memilih untuk tidak menjilat dengan berkata: “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku...” (Yoh. 19:10-11). Kebebasan Yesus menembus tembok sosial dan religius: Ia c.

memiliki komitmen untuk mencari “domba yang tersesat” lewat kesediaan-Nya berelasi dengan pemungut cukai atau para pendosa yang cenderung dimarginalisasikan (Mrk. 2:13-17). Kebebasan Yesus bertujuan melayani dan mengupayakan d.

kesejahteraan material-ekonomis sesama manusia: saat membagi-bagikan roti kepada orang banyak yang lapar, Ia berkata: “Hati-Ku tergerak oleh belaskasihan kepada orang banyak ini ... mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar...” (Mat. 15:32). Kebebasan Yesus dari kecenderungan egoistik: Ia memberikan e.

perintah untuk saling melayani, mengasihi, dan mengorbankan diri (Yoh. 15:9-17).

Kebebasan Yesus dalam mewartakan Allah: Allah yang f.

diwartakan Yesus adalah Bapa yang Maha Baik karena berkenan mencurahkan sinar matahari kepada orang baik maupun jahat (Mat 5:45), bersedia menerima kembali kepulangan anaknya yang sudah hilang dalam dosa dan kemiskinan (Luk. 15:11- 32). Isi dan akar kebebasan Yesus adalah kebebasan untuk berbuat baik. Tak mengherankan apabila Ia dikenal sebagai Rabbi yang “selalu berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai iblis (=kekuatan jahat), sebab Allah senantiasa menyertai Dia” (Kis. 10:38). Kebebasan Yesus dari rasa dendam dan permusuhan: Ia g.

memberikan perintah untuk mengasihi musuh (Mat. 5:44) dengan memberikan contoh pengampunan kepada para pembunuhnya dari atas salib (Luk. 23:34).

Dari uraian di atas nampak jelas jika Yesus adalah pribadi bebas yang melakukan kebebasan bukan semata-mata untuk menolak atau memberontak, melainkan untuk memperjuangkan dan merealisasikan

kehendak Allah, mewujudkan Kerajaan-Nya. Kehendak Allah diyakini Yesus sebagai kekuatan yang menghendaki kehidupan, kebaikan dan keselamatan; bukannya kesengsaraan dan kematian manusia (bdk. Yoh. 10:10b). Semuanya itu mengkristal dalam Sabda Yesus: “Aku datang untuk menyelamatkan dunia (=masyarakat manusia), bukan untuk membinasakannya” (Yoh. 12:47). Kebebasan Yesus itu timbul dari ketaatan atau komitmen-Nya kepada kehendak Allah untuk menyelamatkan dan membebaskan manusia. Dengan demikian, seluruh hidup dan tindakan Yesus mempunyai satu tujuan: menawarkan keselamatan kepada manusia. Penderitaan sesama manusialah yang menjadi text-book Yesus untuk mendengarkan panggilan/kehendak Allah (Mertens, 1989:14). Orientasi Yesus terhadap kehendak Allah tidaklah terungkap dalam bentuk legalisme (ketaatan pada hukum), melainkan pada tindakan konkret untuk membebaskan manusia yang menderita serta berdosa kendati harus diwujudkan lewat kesediaan-Nya mengorbankan nyawa: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik rela memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh. 10:11).

RAHMAT KESELAMATAN