• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Politik, Hukum dan Makroekonomi

5.1.3 Makroekonomi

Pertumbuhan ekonomi Kota Palangka Raya dan kabupaten lainnya di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami peningkatan sejak krisis moneter tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi terutama terjadi di daerah-daerah yang memiliki sumberdaya alam yang cukup banyak, yaitu Kotawaringin Timur,

Kotawaringin Barat dan Kapuas. Pertumbuhan ekonomi Palangka Raya meskipun meningkat, akan tetapi masih berada di bawah ketiga kabupaten tersebut. Kontibutor utama Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tetap ditopang oleh sektor Perdagangan, Restoran dan Hotel; Pengangkutan dan Komunikasi; dan Jasa-jasa. Pada tahun 2007, ketiga sektor tersebut memberikan kontribusi bagi PDRB masing-masing sebesar 17,40%, 18,97% dan 34,91% sehingga kontribusi agregat ketiganya mencapai 71,28%. Distribusi PDRB Kota Palangka Raya berdasarkan lapangan usaha disajikan pada Lampiran 4.

Pergerakan inflasi daerah-daerah di Kalimantan Tengah yang diukur di Kota Palangka Raya dan Sampit relatif tidak jauh berbeda. Jika dibandingkan dengan ibukota Provinsi tetangga lainnya, gejolak inflasi di Palangka Raya selama 7 tahun terakhir lebih fluktuatif (Tabel 7). Hal ini disebabkan tingkat inflasi di Indonesia umumnya didorong oleh peningkatan harga kebutuhan pangan (BI 2008), sementara kebutuhan bahan pangan kota Palangka Raya sebagian besar didatangkan dari pulau Jawa. Keterbatasan infrastruktur transportasi laut mengharuskan bahan pangan tersebut dikirim melalui pelabuhan Sampit atau Banjarmasin dan selanjutnya dikirim melalui darat menuju Palangka Raya. Tabel 7 Tingkat Inflasi di Kota Palangka Raya, Sampit, Banjarmasin, Pontianak,

Samarinda dan Nasional Tahun 2001-2006

Tahun P. Raya Sampit Banjarmasin Pontianak Samarinda Nasional

2001 2002 2003 2004 2005 2006 13,35 9,18 5,68 7,25 12,12 7,72 14,69 7,59 3,06 6,97 11,90 7,75 - 9,18 6,77 7,54 12,94 - - 8,61 5,48 6,05 14,43 6,32 10,21 10,26 7,99 5,64 16,64 6,50 12,55 10,03 5,06 6,41 17,11 6,60 Sumber: BPS (2007).

Di sisi lain, realiasasi penanaman modal (investasi) baik asing maupun dalam negeri di Kota Palangka Raya masih jauh dari target yang direncanakan. Realisasi Penanaman Modal Asing selama periode 2005-2007 rata-rata hanya 2,33% dari target dengan nilai investasi total sebesar USD 7,368 juta untuk 34 proyek atau senilai USD 217.000/proyek. Realisasi investasi dalam negeri tidak terlalu jauh berbeda. Meskipun terjadi peningkatan persentase realisasi yang sangat signifikan selama 3 tahun terakhir, namun hal itu dipengaruhi oleh

penurunan target yang ditetapkan. Nilai investasi pada periode 2005-2007 adalah sebesar Rp. 620.821,4 juta untuk 23 proyek atau senilai Rp. 26.992,2 juta/proyek. Rencana dan realisasi PMDN dan PMA di kota Palangka Raya pada peiode 2005- 2007 disajikan pada Lampiran 5.

Di Zona Kalimantan, daya saing Provinsi Kalimantan Tengah lebih rendah dibandingkan provinsi lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), skor faktor-faktor pendukung daya saing yang dimiliki provinsi Kalimantan Tengah selalu lebih rendah dari rata-rata skor Zona Kalimantan kecuali untuk faktor tenaga kerja (Tabel 11). Faktor-faktor kelembagaan; keamanan, sosial, budaya dan politik; dan infrastruktur fisik yang dimiliki Provinsi Kalimantan Tengah kurang memberi dukungan bagi berkembangnya iklim investasi.

Tabel 8 Peringkat daya saing investasi antar provinsi di zona Kalimantan.

Kelembagaan Kam, Sos, Bud, Pol Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur Fisik Provinsi Jumlah

Sampel Skor Pred. Skor Pred. Skor Pred. Skor Pred. Skor Pred.

Kalbar 6 5,30 D 6,21 D 6,52 B 5,48 B 5,49 D Kalsel 7 6,16 A 6,55 C 6,42 C 5,00 C 6,31 B Kaltim 10 5,45 C 7,10 B 7,59 A 5,51 B 6,20 C Kalteng 4 4,67 D 5,58 D 6,86 B 5,49 B 5,37 D Rerata Kalimantan 5,49 C 6,58 C 6,94 B 5,37 B 5,95 C Sumber: KPPOD (2003).

Dibandingkan dengan ibukota provinsi lainnya di zona Kalimantan, daya saing investasi Kota Palangka Raya adalah yang terendah. Kondisi ini karena beberapa keterbatasan kota Palangka Raya sebagai daerah tujuan investasi. Pertama, karakteristik penduduk. Sebagian besar penduduk Palangka Raya bekerja di sektor jasa dan perdagangan. Penduduk dengan profesi seperti ini cenderung tidak konsumtif dan lebih memilih menahan aset tunai mereka pada lembaga-lembaga keuangan sebagai cadangan investasi masa depan. Kedua, terbatasnya infrastruktur menyebabkan kegiatan distribusi barang memakan waktu yang lama, biaya tinggi, dan sangat tergantung dengan kondisi cuaca. Kondisi ini menyebabkan para investor yang mengalihkan investasi di kabupaten yang lebih potensial seperti Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Kapuas, atau ke provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki jarak lebih dekat dengan beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah. Selain itu, data dari BI menunjukkan perkembangan jumlah kredit yang disalurkan oleh Bank Umum di Kalimatan

Tengah jauh lebih kecil dibandingkan dengan provinsi tetangganya, baik menurut nilai kredit maupun pertumbuhannya selama periode 2002-2006 (Lampiran 6). Ini berarti investasi yang ditanamkan di Kalimantan Tengah juga lebih kecil dibandingkan dengan provinsi tetangganya.

Berdasarkan keadaan politik, hukum dan makroekonomi di atas, program pembangunan klaster industri furniture di Palangka Raya tampaknya masih sulit menarik minat investor dan industri terkait untuk bergabung ke dalam klaster. Hal ini disebabkan:

1. Kebijakan politik yang ada masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi dengan baik di tingkat pemerintah daerah. Upaya yang dilakukan Pemko Palangka Raya lebih difokuskan pada pembangunan bangunan fisik dan infrastruktur, sementara faktor stabilitas makroekonomi yang menjadi pertimbangan investasi pelaku usaha belum mendapatkan cukup perhatian. Pemko Palangka Raya juga kurang berupaya menggalang dukungan dari Pemprov Kalteng dan Pemkab sekitarnya, terutama terkait jaminan pasokan bahan baku legal

2. Belum adanya kepastian hukum mengenai kelanjutan program ini. Lokasi pusat klaster yang berada di tengah kota dan ketidakjelasan status lahannya memberikan isyarat bahwa suatu saat pusat klaster ini akan dipindahkan ke tempat lainnya. Pemindahan tersebut tentu akan memberatkan APBD Palangka Raya dan memerlukan waktu dan proses politik yang tidak sebentar 3. Kondisi makroekonomi belum cukup menarik bagi investasi di bidang

industri. Meskipun posisi Kota Palangka Raya diapit dan relatif lebih dekat dengan kabupaten lainnya, namun keterbatasan infrastruktur menjadi kendala kelancaran distribusi barang dan jasa. Kondisi ini menyebabkan investor lebih tertarik menanamkan modal di daerah lainnya

4. Minimnya perhatian Pemko dalam melibatkan industri/unit usaha yang terkait dengan industri furniture. Koordinasi yang dilakukan Pemko masih terbatas pada internal pemerintah dan IKM-IKM furniture. Meskipun telah dicanangkan sebagai produk unggulan daerah dan termasuk dalam lokus pengembangan nasional, namun usaha mempromosikan industri furniture kepada pemangku kepentingan lainnya masih belum berjalan optimal.

Dokumen terkait