• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pembangunan klaster industri furniture di kota Palangka Raya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pembangunan klaster industri furniture di kota Palangka Raya"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PEMBANGUNAN KLASTER INDUSTRI

FURNITURE DI KOTA PALANGKA RAYA

AGUNG WIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan, bahwa tesis Analisis Pembangunan Klaster Industri Furniture di Kota Palangka Raya merupakan karya saya dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2008

Agung Wibowo

(3)

ABSTRACT

AGUNG WIBOWO. Analysis of Furniture Industrial Clustering in Palangka Raya. Under direction of Bintang C.H. Simangunsong, E.G Togu Manurung.

City Government of Palangka Raya has tried to develop furniture industrial cluster as a response to national industrial development program made by central government. The aim of this research was to assess the policy by using industrial clustering competitiveness theory. This research shows: (1) Actually, City Government of Palangka Raya developed centre for furniture small and medium-scale industries, not furniture industrial cluster, (2) In other hand, this agglomeration to become new market for illegal wood trading, (3) Factors supporting furniture cluster development were: interventions and helps from government, availability of raw material and building technique scholl. Meanwhile, pursuing factors were: bad coordination among government institutions, uncertainty law of industrial cluster area, access resistance to capital, circulation of illegal wood, the low of local market demand, lack of supporting and relating industries, the low of enterpreneurship, and the lack of local competitiveness determinant key factors, (3) Location Quotient value in the period 2000-2006 indicated that wood and other forest product industries were the most prospective industries to be developed. But, politic, law and macroeconomic conditions of the city were not attractive for the investors.

(4)

RINGKASAN

AGUNG WIBOWO. Analisis Pembangunan Klaster Industri Furniture di

Palangka Raya. Dibimbing oleh BINTANG C.H. SIMANGUNSONG dan E.G TOGU MANURUNG.

Pendekatan klaster industri sebagai strategi pengembangan industri telah diadopsi secara nasional dan semakin diperkuat selama beberapa tahun terakhir. Program Pembangunan Nasional tahun 2003 mengamanatkan pendekatan klaster dalam pengembangan industri kecil dan menengah. Peraturan Presiden Nomor 07 tahun 2005 menyebutkan bahwa pengembangan industri nasional difokuskan pada penguatan dan penumbuhan sepuluh klaster industri prioritas. Di dalam Peraturan Presiden Nomor 28 tentang Kebijakan Industri Nasional yang dikeluarkan tanggal 7 Mei 2008 disebutkan bahwa pemerintah menyusun dan menetapkan Peta Panduan pengembangan klaster industri prioritas.

Pada tahun 2002 Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya menginisiasi terbentuknya klaster industri furniture dan komponen bahan bangunan. Landasan gagasan ini adalah kenyataan bahwa penyebaran industri furniture di Kota Palangka Raya tidak beraturan sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif berupa polusi udara dan suara, bahaya kebakaran serta mengganggu keindahan kota. Di lain pihak, daya saing produk industri kecil dan menengah (IKM) furniture dikhawatirkan semakin menurun mengingat persaingan dengan produk-produk dari luar daerah yang semakin banyak masuk.

Program Pemko Palangka Raya ini menarik untuk diteliti karena secara teoritis keberhasilan suatu klaster banyak ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan para pelaku usaha (industry driven), bukan hanya atas inisiatif pemerintah. Para pelaku usaha tersebut antara lain adalah pemasok bahan baku dan input-input lainnya, pemasok mesin dan peralatan dan jaringan pemasaran, serta lembaga terkait seperti universitas, bank dan pemerintah. Terlebih lagi program ini telah dijadikan bagian dari strategi pengembangan industri furniture nasional dan dicantumkan dalam Peraturan Presiden No 28 tahun 2008. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan menilai kebijakan pembangunan klaster industri furniture di Palangka Raya.

Analisa dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan teori daya saing yang digunakan oleh Porter dan Martin (2000). Teori ini menyatakan bahwa peningkatan kemakmuran negara tergantung atau sangat dipengaruhi oleh produktivitas yang dihasilkan oleh manusia, modal dan sumberdaya alam. Produktivitas ini dimanifestasikan dalam cara perusahaan-perusahaan bersaing. Menurut Porter, produktivitas merupakan hasil fungsi yang saling mempengaruhi antara tiga elemen: politik, hukum dan makroekonomi; kualitas mikroekonomi lingkungan usaha; dan strategi dan karakteristik perusahaan. Faktor-faktor tersebut secara bersama-sama mempengaruhi kemampuan suatu negara untuk menghasilkan perusahaan yang dapat bersaing di tingkat internasional dan mendukung peningkatan kemakmuran negara.

(5)

Klaster Industri Furniture. Program-program yang dilaksanakan oleh Pemko Palangka Raya dan pemerintah pusat belum mengarah kepada usaha untuk membentuk klaster industri.

Faktor-faktor yang mendukung pengembangan klaster adalah: (1) Dorongan dan bantuan yang besar dari Pemerintah Kota Palangka Raya, Pemprov Kalimantan Tengah dan Departemen Perindustrian serta Departemen Koperasi dan UKM, (2) Ketersediaan bahan baku kayu dan rotan yang cukup banyak dan (3) Terdapatnya SMK Teknik Pertukangan. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat adalah: (1) Lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah, (2) Ketidakpastian status lahan sentra industri, (3) Hambatan akses kepada modal usaha, (4) Maraknya peredaran kayu illegal, (5) Lemahnya daya serap pasar lokal, (6) Minimnya keberadaan industri pemasok dan pendukung, (7) Rendahnya semangat kewirausahaan IKM furniture dan (8) Lemahnya faktor kunci penentu daya saing daerah seperti keterbatasan infrastruktur (jalan, listrik, transportasi) dan lambannya perkembangan ekonomi daerah.

Berdasarkan perhitungan nilai LQ (Location Quotient), industri perkayaun dan hasil hutan adalah industri yang paling prospektif dikembangkan di Kalimantan Tengah (nilai LQ berkisar 9-11). Namun, kondisi faktual politik, hukum dan makroekonomi daerah masih belum mampu menarik investasi di sektor industri yang berbasis teknologi. Arah kebijakan yang harus ditempuh pemerintah adalah memperbaiki kondisi tersebut dan memperbaiki sektor hulu dari industri perkayuan.

Penelitian ini menyarankan untuk meninjau ulang dan mengevaluasi kebijakan pembangunan klaster industri furniture yang diprakarsai oleh Pemko Palangka Raya. Beberapa pilihan kebijakan dapat dilakukan terkait pengembangan industri funiture. Pertama, membangun sentra industri furniture. Pilihan ini telah dimulai dan menghasilkan beberapa kesepakatan hukum dengan pemerintah pusat. Hambatan yang dihadapi pilihan ini adalah ketidakpastian status lahan yang saat ini dijadikan areal sentra. Untuk itu Pemko Palangka Raya perlu memindahkan sentra yang ada sekarang ke tempat yang memiliki kepastian hukum. Kedua, melanjutkan program pembanguan klaster industri furniture. Hambatan yang dihadapi pilihan ini adalah terbatasnya industri pemasok, industri terkait, industri penunjang dan kelembagaan lainnya menyebabkan tingginya biaya produksi furniture. Ketiga, membiarkan industri furniture berkembang secara alamiah. Kosekuensi pilihan ini adalah lambannya perkembangan industri furniture. Jika pilihan ini yang diambil, maka pemerintah harus memperbaiki kondisi politik, hukum, makroekonomi dan mikroekonomi daerah agar sektor industri perkayuan dapat berkembang.

Banyaknya kayu illegal yang beredar di Kota Palangka Raya juga memerlukan penataan dan penertiban dari instansi pemerintah yang terkait, baik di tingkat kota maupun provinsi. Penataan dan penertiban ini diperlukan untuk mengetahui potensi sebenarnya dari kayu-kayu yang dapat diproduksi secara legal. Berdasarkan informasi tersebut kemudian disusun strategi pemanfaatan potensinya.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi

(7)

ANALISIS PEMBANGUNAN KLASTER INDUSTRI

FURNITURE DI KOTA PALANGKA RAYA

AGUNG WIBOWO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Analisis Pembangunan Klaster Industri Furniture di Kota Palangka Raya

Nama : Agung Wibowo NRP : E051060141

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS, Ph.D Ir. E.G. Togu Manurung, MS, Ph.D

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS

A.n. Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program Magister

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul Analisis Pembangunan Klaster Industri Furniture di Kota Palangka Raya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS, Ph.D dan Bapak Ir. E.G. Togu Manurung, MS, Ph.D selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Bambang Widyantoro selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan banyak masukan. Di samping itu, penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Bapak Drs. Djuan dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kota Palangka Raya dan Ibu Ir. Antonia Kupa dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palangka Raya yang telah membantu dalam pengumpulan data. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada ibu, istri, anak dan seluruh keluarga, atas segala bantuan dan doanya.

Semoga tesis ini bermanfaat.

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sampit pada tanggal 1 Juli 1979 dari pasangan (Alm.) Imam Sunaryo dan Darsiti. Penulis adalah anak bungsu dari 5 bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMUN 1 Sampit dan melanjutkan studi ke Jurusan Teknologi Hasil Hutan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru melalui jalur PMDK. Penulis meraih gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) pada tahun 2003.

Atas bantuan beasiswa BPPS dari Dirjen Dikti, pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh studi, penulis telah mengkaji bidang-bidang ilmu yang terkait dengan ekonomi dan industri hasil hutan.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I PENDAHULUAN ... ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat Penelitian... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 5

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Definisi dan Klasifikasi Industri ... 7

2.2 Industri Furniture... 8

2.3 Konsep Klaster Industri dan Peningkatan Daya Saing... 11

2.4 Adopsi Klaster Industri di Indonesia... 13

2.5 Perbandingan Sentra Industri dengan Klaster Industri ... 16

2.6 Klaster Industri Furniture ... 17

2.7 Analisa Klaster Industri ... 19

III METODOLOGI ... 21

3.1 Lokasi dan Waktu ... 21

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 21

3.3 Analisa Data ... 27

3.3.1 Politik, Hukum dan MAkroekonomi... 27

3.3.2 Makroekonomi Lingkungan Usaha... 28

3.3.3 Karakteristik dan Pengalaman Perusahaan ... 29

IV GAMBARAN UMUM ... 31

4.1 Keadaan Wilayah ... 31

4.2 Infrastruktur, Sarana dan Prasarana Publik... 33

4.2.1 Transportasi Darat ... 33

4.2.2 Transportasi Sungai... 34

4.2.3 Transportasi Udara ... 35

4.2.4 Pos dan Telekomunikasi ... 35

4.2.5 Listrik ... 36

4.3 Produk Unggulan Daerah... 36

V HASIL DAN PEMBAHASAN... 39

5.1 Politik, Hukum dan Makroekonomi... 39

(12)

5.1.2 Hukum ... 41

5.1.3 Makroekonomi ... 42

5.2. Mikroekonomi Lingkungan Usaha ... 46

5.2.1 Input Kondisi ... 46

5.2.1.1 Bahan Baku ... 46

5.2.1.2 Kondisi Sumberdaya Manusia ... 49

5.2.1.3 Permodalan... 50

5.2.1.4 Mesin dan Peralatan Produksi... 51

5.2.1.5 Fasilitas Penelitian dan Pengembangan ... 51

5.2.2 Strategi dan Persaingan Antar Perusahaan... 52

5.2.3 Industri Pendukung ... 54

5.2.4 Kondisi Permintaan... 55

5.2.4.1 Karakteristik Permintaan... 55

5.2.4.2 Pengembangan Produk dan Segmen Pasar Baru... 56

5.3 Karakteristik dan Pengalaman Perusahaan ... 58

5.4 Hasil Penilaian ... 60

5.5 Arah Kebijakan Pengembangan... 63

VI KESIMPULAN DAN SARAN... 70

6.1 Kesimpulan ... 70

6.2 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan kapasitas produksi dan nilai ekspor produk

industri kehutanan ... 11

2 Perbandingan sentra industri dengan klaster industri ... 17

3 Elemen data tentang politik, hukum dan makroekonomi... 22

4 Elemen data tentangmikroekonomi lingkungan usaha ... 23

5 Elemen data tentang strategi dan pengalaman perusahaan ... 26

6 Lapangan pekerjaan penduduk umur 10 tahun ke atas ... 32

7 Tingkat Inflasi di Kota Palangka Raya, Sampit, Banjarmasin, Pontianak, Samarinda dan Nasional tahun 2001-2006... 43

8 Peringkat daya saing investasi antar provinsi di zona Kalimantan ... 44

9 Hasil operasi dan lelang kayu di Kota Palangka Raya tahun 2005 dan 2006 ... 47

10 Perbandingan harga beberapa jenis kayu legal dan illegal di galangan kayu di Kota Palangka Raya ... 48

11 Nilai LQ industri pengolahan di Kalimantan Tengah tahun 2000-2006... 64

12 Permasalahan, Sasaran dan Strategi pengembangan klaster industri furniture ... 65

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian... 6

2 Impor produk kayu tropis oleh konsumen ITTO ... 9

3 Jumlah tenaga kerja industri sektor kehutanan ... 10

4 Dampak multiplier ekonomi domestik beberapa industri di sektor kehutanan, pertanian dan industri pengolahan ... 10

5 Bagan klaster industri furniture kayu... 18

6 Paradigma daya saing Porter... 27

7 Diamond Porter... 29

8 Aliran peredaran kayu di Kota Palangka Raya ... 46

9 Relasi antar industri di klaster furniture Palangka Raya... 54

10 Relasi antar industri pada klaster furniture di Jawa Timur dan Jawa Tengah... 55

11 Diamond klaster furniture Palangka Raya ... 57

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Daftar responden yang diwawancarai ... 79

2 Panjang jalan berdasarkan jenis permukaan, kondisi dan kelas jalan di Kota Palangka Raya Tahun 2002-2006 (km) ... 80

3 Proses politik pembangunan klaster industri Palangka Raya... 81

4 Distribusi persentase PDRB Kota Palangka Raya menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000 (%)... 84

5 Rencana dan realisasi proyek Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) di Kota Palangka Raya tahun 2005-2007 ... 85

6 Posisi kredit bank umum menurut lokasi proyek di Zona Kalimantan ... 86

7 Produksi dan estimasi kebutuhan kayu di sentra furniture Palangka Raya Periode Januari 2008... 87

8 Rencana pemenuhan bahan baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) Kota Palangka Raya tahun 2008 ... 88

9 Estimasi perhitungan kayu illegal yang beredar di Palangka Raya tahun 2008... 90

10 Mesin/peralatan UPT Kayu bantuan Departemen Perindustrian . ... 91

11 Realisasi produksi sentra furniture Palangka Raya periode Januari-Maret 2008. ... 93

12 Produksi Kayu Bulat Per Provinsi Tahun 1997/1998-2006... 94

13 IPHHK Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan jenis industri . ... 95

14 Produksi kayu di zona Kalimantan tahun 2001-2006. ... 96

15 LQ Lapangan usaha kabupaten/kota di Kalimantan Tengah tahun 2006... 97

(16)
(17)

1.1 Latar Belakang

Pendekatan klaster industri sebagai strategi pengembangan industri telah

diadopsi secara nasional dan semakin diperkuat selama beberapa tahun terakhir.

Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2003 dan Panduan

Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Tahun 2007 mengamanatkan pendekatan

klaster dalam pengembangan industri kecil dan menengah. Peraturan Presiden

Nomor 07 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

2005-2009 yang memuat Kebijakan Pengembangan Industri Nasional (KPIN)

menyebutkan bahwa pengembangan industri nasional difokuskan pada penguatan

dan penumbuhan sepuluh klaster industri prioritas. Kebijakan pemerintah paling

mutakhir yang berkaitan dengan klaster industri adalah Peraturan Presiden Nomor

28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional Tanggal 7 Mei 2008. Di

dalamnya disebutkan bahwa pemerintah menyusun dan menetapkan peta panduan

(Road Map) pengembangan klaster industri prioritas.

Kuatnya dorongan dari pemerintah pusat telah memotivasi pemerintah

daerah untuk mengidentifikasi dan mengembangkan klaster industri di daerahnya

masing-masing. Pada tahun 2001, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah

(Pemprov Kalteng) telah mendiagnosis 3 komoditi yang layak dikembangkan

dengan pendekatan klaster industri, yaitu industri kayu, industri rotan dan

anyaman rotan serta penumbuhan wira usaha baru.

Di tingkat kota, pada tahun 2002 Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya

menginisiasi terbentuknya klaster industri furniture dan komponen bahan

bangunan. Landasan gagasan ini adalah banyaknya industri furniture yang

tersebar di seluruh kota Palangka Raya. Pendataan yang dilakukan oleh Dinas

Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Palangka Raya pada tahun 2002

menunjukkan terdapat 124 unit usaha furniture yang tersebar di 33 jalan utama di

Kota Palangka Raya. Penyebaran industri tersebut tidak beraturan sehingga

dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif berupa polusi udara dan suara,

bahaya kebakaran serta mengganggu keindahan kota. Di lain pihak, daya saing

(18)

menurun mengingat persaingan dengan produk-produk dari luar daerah yang

semakin banyak masuk.

Upaya mengatasi permasalahan di atas sekaligus meningkatkan daya saing

furniture ditempuh dengan membangun klaster industri furniture. Langkah awal

yang dilakukan dalam membangun klaster tersebut adalah merelokasi IKM

furniture pada suatu tempat yang disebut Sentra Industri Furniture dan Komponen

Bahan Bangunan. Maksud relokasi tersebut adalah menyediakan lokasi kegiatan

IKM yang strategis, terpadu dan menguntungkan bagi pelaku industri furniture

dan komponen bahan bangunan sebagai salah satu produk unggulan daerah Kota

Palangka Raya. Tujuan pembangunan sentra ini adalah: (1) meningkatkan daya

saing produk dengan menciptakan keuntungan aglomerasi dalam produksi

furniture dan komponen bahan bangunan, (2) memudahkan pembinaan dan

pengendalian pencemaran lingkungan yang diakibatkan aktifitas industri furniture

dan komponen bahan bangunan dan (3) meningkatkan keuntungan pengrajin/

pelaku industri furniture dan bahan bangunan di Kota Palangka Raya.

Sentra tersebut ditunjang dengan pembangunan sarana produksi lainnya

seperti pengering kayu (kiln drier), bengkel kerja untuk setiap unit usaha, koperasi, show room dan business development service (BDS). Pembangunan

berbagai fasilitas itu diharapkan mampu menarik minat para pengusaha furniture

untuk bergabung di klaster industri. Insentif lain yang ditawarkan pemerintah

kepada para pengusaha furniture yang mau bergabung di klaster industri adalah

pembebasan sewa lokasi selama 6 bulan, pembebasan pajak (tax holiday) selama 2 tahun untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak/retribusi lainnya, kredit

tanpa bunga berjangka waktu 4 tahun yang disalurkan melalui Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) khusus, pembangunan sarana/prasarana seperti jalan, drainase,

instalasi pengolah limbah, fasilitas pemadam kebakaran dan lembaga pelatihan.

Dalam perkembangannya, Departemen Perindustrian manjadikan klaster industri

furniture Palangka Raya ini sebagai salah satu lokus dalam pengembangan

industri furniture nasional (MoI 2008).

Secara teoritis keberhasilan suatu klaster industri banyak dipengaruhi oleh

kualitas interaksi seluruh aktor dalam klaster, bukan hanya atas inisiatif

(19)

adalah pemasok bahan baku dan input-input lainnya, pemasok mesin dan

peralatannya, dan relasi mereka dengan pengusaha-pengusaha besar, disamping

hadirnya lembaga penunjang seperti lembaga penelitian, universitas dan

perbankan (Tambunan 2001). Dengan banyaknya aktor yang terlibat dalam suatu

klaster maka keberhasilan klaster mencapai spin-off (kondisi terbaik) tidak ditentukan oleh salah satu pihak saja. Oleh karena itu pemerintah tidak dianjurkan

untuk menciptakan atau mengelola klaster (Bappenas 2004a). Pemerintah

diharapkan menciptakan iklim bisnis yang kondusif yaitu berupa iklim ekonomi

makro, infrastruktur, iklim perpajakan, sikap bank dan lembaga keuanganan

lainnya dan kebijakan yang berpengaruh positif bagi tumbuh kembangnya klaster

industri (Lines dan Monypenny 2006). Perhatian yang minim terhadap berbagai

kondisi pendukung tumbuh kembangnya klaster akan mengakibatkan

terhambatnya akselerasi pertumbuhan klaster. Sebagai landasan penyusunan

kebijakan tersebut diperlukan informasi yang akurat tentang kapasitas pelaku

usaha, kondisi iklim usaha, kondisi permintaan serta hubungan dan dukungan

antar industri. Informasi itu diperlukan untuk mengembangkan faktor-faktor yang

memperkuat, menghindari faktor-faktor yang menghambat dan memperbaiki

faktor-faktor pendukung tumbuhnya klaster industri.

1.2 Perumusan Masalah

Di Indonesia, pengalaman pengembangan klaster industri menunjukkan hasil

yang kurang memuaskan. Pada tahun 1995 tercatat 9.022 klaster industri yang

mendapat bantuan dari pemerintah (Tambunan 2005) dan pada tahun 2002

jumlahnya meningkat menjadi 9.127 klaster industri (Tambunan 2007). Namun,

banyak diantaranya yang tidak mengalami perkembangan kinerja sebagaimana

yang diharapkan. Menurut Tambunan (2007), klaster di Indonesia didominasi oleh

artisinal cluster, yaitu klaster yang terdiri dari Industri Kecil dan Menengah (IKM)dengan karakteristik upah dan produktivitas yang rendah, dan tenaga kerja

dari keluarga sendiri. Menurut Marijan (2006), 90% klaster di Indonesia

terkategori dormant cluster atau klaster yang tidak berkembang. Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan program tersebut adalah: kurangnya motivasi untuk

berkembang dari pemilik usaha (minimnya semangat kewirausahaan), program

(20)

yang tumpang tindih dan terbatasnya dukungan pemerintah daerah karena

sebagian besar program tersebut merupakan proyek pemerintah pusat (Tambunan

2005).

Pada tahun 2002 Pemko Palangka Raya membangun klaster industri

furniture. Upaya membangun klaster tersebut diwujudkan dengan membangun

sentra industri furniture yang diproyeksikan menjadi pusat klaster. Pemko

Palangka Raya juga memberikan berbagai insentif sehingga diharapkan IKM

furniture mau pindah ke dalam sentra.

Program Pemko Palangka Raya ini menarik untuk diteliti lebih lanjut karena

secara teoritis keberhasilan suatu klaster banyak ditentukan oleh aktivitas yang

dilakukan para pelaku usaha (industry driven). Terlebih lagi program ini telah dijadikan bagian dari strategi pengembangan industri furniture nasional dan

dicantumkan dalam Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2008.

Berdasarkan hal tersebut, beberapa pertanyaan yang akan dijawab dari

penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah potensi pengembangan klaster industri furniture, program yang

telah dilakukan beserta permasalahannya?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pengembangan klaster industri

furniture?

3. Apakah strategi yang tepat untuk mengembangkan industri perkayuan di Kota

Palangka Raya?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memberikan penilaian terhadap kebijakan

pembangunan klaster industri furniture di Palangka Raya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para

pemangku kepentingan yang terlibat secara langsung dalam pengembangan

industri furniture. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan

(21)

1. Bagi Pemerintah Kota Palangka Raya; yaitu memberi masukan tentang

kebijakan dalam mengembangkan industri perkayuan

2. Bagi unit-unit usaha furniture di dalam klaster industri; agar mengetahui

bentuk interaksi dengan institusi lainnya yang saat ini sedang berlangsung dan

cara meningkatkan kualitas interaksi itu dalam upaya meningkatkan

produktivitasnya

3. Bagi lembaga-lembaga penelitian, keuangan dan lainnya; agar mengetahui

posisinya sebagai institusi yang berperan dalam pengembangan klaster

industri furniture berserta kontribusi yang dapat disumbangkan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Menurut Porter dan Martin (2000), berkembangnya suatu klaster industri

sangat ditentukan oleh keadaan politik, hukum dan makroekonomi yang

mempengaruhinya. Aspek politik mencakup arah kebijakan industri yang dibuat

oleh pemerintah beserta langkah-langkah strategisnya. Aspek hukum mencakup

produk-produk peraturan yang dikeluarkan pemerintah dan implikasinya. Aspek

makroekonomi mencakup kebijakan-kebijakan makro yang dibuat pemerintah

sehingga mempengaruhi pilihan tindakan yang diambil oleh pelaku usaha. Aspek

makroekonomi misalnya adalah tingkat suku bunga, tingkat inflasi arus investasi

dan ketersediaan akses finansial. Ketiga aspek tersebut selalu diperhatikan oleh

para investor yang akan menanamkan investasi di suatu daerah.

Mikroekonomi lingkungan usaha yang mempengaruhi kinerja suatu industri

terdiri dari input kondisi, keberadaan industri terkait dan pendukung, kondisi

permintaan lokal dan strategi perusahaan. Keempat faktor tersebut akan

menentukan keberhasilan industri-industri terkait dalam membuat produk yang

kompetitif. Jika seluruh faktor tersebut dalam keadaan yang baik, maka industri

tersebut akan mampu bersaing di pasar yang lebih luas. Karakteristik dan

pengalaman perusahaan yang menjadi bagian dari suatu klaster industri turut

menentukan kinerja klaster secara keseluruhan. Karakteristik dan pengalaman

perusahaan ini mencakup motivasi usaha, manajemen perusahaan, kemampuan

(22)

Interaksi ketiga hal di atas akan menentukan keberhasilan suatu klaster

industri. Oleh karena itu, temuan-temuan mengenai ketiga hal tersebut akan

digunakan sebagai bahan penilaian tentang kebijakan pembangunan klaster

industri furniture yang dilakukan oleh Pemko Palangka Raya. Berdasarkan ketiga

hal tersebut juga dapat dihasilkan suatu rekomendasi tentang arah pengembangan

industri perkayuan yang tepat. Kerangka pemikiran penelitian ini sebagaimana

uraian di atas disajikan pada Gambar 1.

Arah strategi pengembangan industri perkayuan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Kebijakan pengembangan industri furniture

Strategi klaster industri

Analisa Politik, Hukum dan Makroekonomi

• Indikator makroekonomi: inflasi, PDRB, suku bunga, investasi, pertumbuhan ekonomi

• Kebijakan/peraturan terkait

• Pajak, pungutan, anti-trust policy, dll • Strategi, struktur dan

(23)

II TINJAUAN

PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Industri

Menurut Dumairy (1996), ada dua macam pengertian industri. Pertama,

industri dapat berarti himpunan perusahaan-perusahaan sejenis. Persamaan jenis

itu dapat berupa jenis produk akhir, jenis bahan baku, atau jenis prosesnya.

Dalam konteks ini industri furniture berarti himpunan perusahaan-perusahaan

penghasil produk furniture; industri perkayuan (wood based industry) bermakna kumpulan perusahaan atau pabrik yang memproduksi barang yang bahan bakunya

berasal dari kayu. Kedua, industri bermakna suatu sektor ekonomi yang di

dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi

barang jadi atau barang setengah jadi. Sektor industri adalah sektor industri

pengolahan (manufacturing), yakni salah satu sektor produksi atau lapangan usaha dalam penghitungan pendapatan nasional menurut pendekatan produksi. Kegiatan

pengolahan itu dapat bersifat masinal, elektrikal dan manual.

Industri dapat digolongkan berdasarkan beberapa sudut tinjauan atau

pendekatan. Di Indonesia, industri digolongkan berdasarkan jenis komoditi,

besarnya modal usaha dan jumlah tenaga kerja. Departemen Perindustrian dan

Perdagangan (2002) mengklasifikasikan industri berdasarkan besar kecilnya

modal unit usaha yang bersangkutan, yaitu:

1. Industri Kecil adalah industri yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak

Rp 200 juta dan mempunyai nilai penjualan kurang dari Rp 1 milyar per tahun

2. Industri Menengah adalah industri yang mempunyai nilai penjualan per tahun

lebih besar dari Rp 1 milyar namun kurang dari Rp 50 milyar

3. Industri Besar adalah industri yang mempunyai nilai penjualan per tahun lebih

besar dari Rp 50 milyar.

BPS (1998) mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja,

yaitu:

1. Industri Rumah Tangga dengan pekerja 1-4 orang

2. Industri Kecil dengan pekerja 5-19 orang

3. Industri Menengah dengan pekerja 20-99 orang

(24)

Di sisi lain, untuk mengakomodasi kalangan usaha menengah (UM),

pemerintah telah mengeluarkan Inpres Nomor 10/1999. Menurut Inpres tersebut

UM adalah entitas usaha dengan asset bersih Rp 200 juta-Rp 10 miliar termasuk

tanah dan bangunan. Usaha kecil dan mikro (UKm) dan usaha menengah (UM)

sering dikelompokkan menjadi satu sebagai usaha kecil dan menengah (UKM).1

Penggolongan yang paling universal adalah berdasarkan baku internasional

klasifikasi industri atau International Standard of Industrial Classification/ISIC (Dumairy 1996). Penggolongan menurut ISIC didasarkan atas pengelompokan

komoditi. Penggolongan ini lebih rinci hingga sampai komoditi sembilan digit.

Di bawah ini adalah contoh penggolongan industri furniture hingga lima digit. • ISIC 36 : Furniture dan industri lainnya

• ISIC 361 : Industri Furniture

• ISIC 36101 : Industri furniture dari kayu

• ISIC 36102 : Industri furniture dari rotan dan atau bambu • ISIC 36103 : Industri furniture dari plastik

• ISIC 36104 : Industri furniture dari logam • ISIC 36109 : Industri furniture lainnya

2.2 Industri Furniture

Furniture adalah bisnis yang besar. Antara tahun 1995 hingga 2000

perdagangan furniture di seluruh dunia tumbuh sebesar 36%, lebih besar daripada

pertumbuhan seluruh barang yang diperdagangkan di seluruh dunia (26,5%),

pakaian (32%) dan sandal (20%). Pada tahun 2000 nilai itu adalah yang tertinggi

untuk perdagangan sektor barang-barang berteknologi rendah dengan total nilai

mencapai US$ 57,4 miliar, melebihi pakaian (US$ 51 miliar) dan sandal (US$

36,5 miliar). Di negara-negara Uni Eropa ekstra-intra ekspor furniture tumbuh

mencapai 20% dari tahun 1995 hingga 2000, lebih besar bila dibandingkan total

impor-ekspor Uni Eropa untuk barang lainnya yang mencapai 17% (Kaplinsky

et al. 2003).

1 Untuk kepentingan pengembangan industri, UKM yang bergerak di sektor pengolahan

(25)

Industri furniture Indonesia saat ini menghadapi kendala berupa kurangnya

bahan baku kayu, negative brand image akibat maraknya pembalakan liar, rendahnya kualitas produk dibandingkan produk dari negara lainnya, lebih

mahalnya harga produk Indonesia dibandingkan produk dari pesaing (seperti

China) dan lebih disukainya produk-produk bersertifikat (Manurung et al. 2007). Semua permasalahan itu tidak akan dapat diselesaikan oleh para

pengusaha/pengrajin furniture semata karena furniture merupakan bagian dari

rantai nilai produk furniture yang terkait dengan pihak lainnya (Purnomo 2006).

Menurut Effendi et al. (2006) permasalahan industri furniture di Jawa Tengah yang merupakan sentra furniture terbesar di Indonesia adalah rendahnya kualitas

sumberdaya manusia (SDM), kondisi sosial budaya dan interaksi sosial, jaminan

kepastian hukum dan permodalan.

Kecenderungan pasar produk perkayuan di masa depan akan beralih pada

produk kayu sekunder. Berdasarkan data International Tropical Timber

Organization (ITTO), pada tahun 2005 untuk pertama kalinya nilai produk kayu

sekunder yang diimpor dari negara ITTO melebihi nilai impor produk kayu primer

(Gambar 2). Kecenderungan ini diperkirakan semakin meningkat, sedangkan

perkembangan pasar produk kayu primer diperkirakan tidak akan berubah secara

signifikan. Kontribusi furniture dan bagiannya terhadap total nilai produk kayu

sekunder yang diimpor dari negara ITTO tersebut adalah sebesar 60%.

Sumber: ITTO (2007)

(26)

Usaha mendorong berkembangnya industri furniture, selain memberikan

pemasukan yang besar pada devisa negara juga memberikan kesempatan kerja

lebih luas kepada masyarakat. Saat ini industri furniture merupakan industri yang

menyerap tenaga kerja paling banyak jika dibandingkan dengan industri lainnya

(Gambar 3). Dampak sosial yang diakibatkan oleh melemahnya kinerja industri

ini akan berdampak pula terhadap perekonomian daerah.

Sumber: BPS (2000) dalam World Bank (2006)

Gambar 3 Jumlah tenaga kerja industri sektor kehutanan.

Alasan lain mengenai perlunya mengembangkan industri furniture adalah

karena industri ini memberikan dampak multiplier yang besar jika dibandingkan

dengan industri kehutanan lainnya. Perbandingan dampak multiplier beberapa

jenis industri kehutanan dan pertanian terhadap ekonomi domestik disajikan pada

Gambar 4.

Sumber: BPS (2000) dalam World Bank (2006)

(27)

Bila dibandingkan dengan industri kehutanan lainnya, industri furniture

memiliki keunggulan berupa tingginya nilai ekspor namun rendah penggunaan

bahan baku. Hal ini menunjukkan tingginya nilai tambah industri furniture.

Perbandingan nilai ekspor beberapa industri kehutanan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan nilai ekspor produk industri kehutanan

Nilai Ekspor Produk Kehutanan (US$ juta) Tahun

Sumber: BI, APKINDO, ISWA, APKI & ASMINDO. Data diolah oleh ASMINDO (2007)

Berdasarkan data-data di atas pengembangan industri furniture merupakan

suatu yang urgen untuk dilakukan. Industri furniture perlu dijadikan sebagai

contoh industri masa depan yang memerlukan sedikit bahan baku, memiliki nilai

tambah yang tinggi, menyerap tenaga kerja yang banyak dan memberi dampak

ekonomi yang tinggi terhadap perkembangan daerah. Penelitian-penelitian yang

membantu proses revitalisasi industri furniture perlu didukung semua pemangku

kepentingan.

2.3 Konsep Klaster Industri dan Peningkatan Daya Saing

Klaster industri didefinisikan cukup beragam. Definisi klaster industri di sini

adalah ”konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan di dalam industri terkait

yang melakukan bisnis satu dengan lainnya dan memiliki kebutuhan yang sama

terhadap keahlian tenaga kerja, teknologi dan infrastruktur (Waits 2000). Dalam

klaster industri terdapat industri inti, industri terkait dan industri pendukung.

Istilah “industri inti, pendukung dan terkait” memiliki peran yang sama

(28)

klaster industri menempatkan pelaku secara inklusif beragam skala usaha(kecil,

menengah dan besar) dan berperan pada posisi masing-masing yang paling tepat.

Setiap daerah/negara dapat memiliki karakteristik klaster yang

berbeda-beda, tergantung jenis industri inti, industri pendukung, industri terkait, jumlah

perusahaan dalam klaster tersebut, jaringan dengan pasar, institusi pendukung dan

kuatnya hubungan diantara mereka. Menurut Rosenfeld (2002), secara umum

setiap klaster memiliki ciri-ciri yang sama. Pertama, klaster berdasarkan

hubungan yang sistemik di antara perusahaan. Hubungan itu dapat dibangun

berdasarkan keperluan produk pelengkap atau umum, proses produksi, teknologi

inti, kebutuhan sumberdaya alam, permintaan tenaga kerja dan jaringan distribusi.

Kedua, klaster diikat secara geografis, tergantung besarnya jarak dan waku yang

diperlukan untuk menuju tempat itu dan pertimbangan yang rasional dari para

pekerja dan pemilik perusahaan untuk terus-menerus bertemu dan membangun

jaringan kerja. Daya jangkau terhadap jarak dipengaruhi oleh sistem transportasi,

kondisi jalan, budaya dan kebutuhan masyarakat. Ketiga, klaster memiliki siklus

hidup dari fase embrio, fase pertumbuhan, fase dewasa/kematangan dan fase

penurunan. Klaster tidak dibatasi oleh keanggotaan asosiasi. Ketika asosiasi

memberikan banyak keuntungan para free rider (penunggang gratis) juga mendapatkan keuntungannya karena sifat non-eksklusi dari keanggotan asosiasi

itu. Keempat, klaster menghasilkan eksternalitas berupa hard externality, yaitu biaya suplai bahan baku yang murah, jenis produk yang lebih banyak, tenaga kerja

terampil, rekanan kerja potensial dan soft externality berupa pengetahuan teknologi tersembunyi, pasar, kesempatan memperoleh jaringan kerja dan daya

tarik. Kelima, klaster ditentukan oleh kualitas hubungan. Hubungan itu dibangun

berdasarkan misi klaster itu, prioritas yang hendak dicapai, penggunaan

sumberdaya alam dan bentuk hubungannya.

Interaksi para pelaku usaha dalam klaster akan menimbulkan manfaat

berupa terciptanya spesialisasi produk di suatu kawasan, terbentuk dan

berkembangnya kerjasama dan jaringan kerjasama yang kuat antar IKM dan

pelaku ekonomi lokal dalam wilayah untuk belajar bersama, mempercepat

produksi lokal dan peningkatan kemampuan inovasi. Kualitas interaksi yang baik

(29)

masalah-masalah IKM, kemudahan memperoleh input, kecepatan berinovasi, kemudahan menarik penjual dan pembeli dalam rangka memenangkan pasar dan kemudahan

penyertaan ke berbagai pameran dagang dalam rangka pencarian pasar di luar

negeri (Bappenas 2005). Seluruh interaksi inilah yang selanjutnya menghasilkan

produk yang berdaya saing tinggi.

2.4 Adopsi dan Implementasi Klaster Industri di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah mengadopsi strategi klaster untuk

mengembangkan industri kecil sejak awal tahun 1970-an, terutama dalam

pembangunan teknologi. Beberapa program pemerintah telah diluncurkan

misalnya Lingkungan Industri Kecil dan pusat-pusat industri kecil lainnya. Usaha

ini telah menumbuhkan industri pengolahan baru di daerah pedesaan. Akan tetapi

pertumbuhannya agak lambat dan beberapa diantaranya masih dalam fase embrio

atau pada tingkat yang rendah. Klaster IKM yang berkembang umumnya karena

adanya inovasi kreatif di antara mereka dan didukung oleh lokasi industri yang

disediakan pemerintah dan didukung pihak swasta (Soetrisno 2005). Beberapa

institusi yang terlibat dan menjadi pemrakarsa kunci adalah Badan Perencana

Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementrian Usaha Kecil dan Menengah

(KUKM), Departemen Perindustrian, Kementrian Riset dan Teknologi dan Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Pendekatan klaster industri dinilai sangat berguna bagi pelaku ekonomi

mayoritas di banyak negara, yaitu usaha kecil dan menengah (UKM). Hal ini

karena pendekatan klaster industri sangat membantu bagi terjalinnya kemitraan

yang saling menguntungkan dan pengembangan jaringan bisnis yang luas. Ada

lima manfaat yang sering dipandang sebagai dampak positif klaster industri bagi

perkembangan/perkuatan daya saing UKM (Bappenas 2004b). Pertama,

membuka peluang sebagai suatu alatyang baik untuk mengatasi hambatan akibat

ukuran (skala bisnis) UKM. Kedua, melalui kerjasama horizontal secara kolektif

perusahaan-perusahaan dapat mencapai skala ekonomis melampaui jangkauan

perusahaan kecil individual dan dapat memperoleh pembelian input dalam skala yang ekonomis, mencapai skala optimal dalam penggunaan peralatan, dan

menggabungkan kapasitas produksi untuk memenuhi order skala besar. Ketiga,

(30)

dapat memfokuskan ke bisnis intinya dan memberi peluang ekonomi eksternal

atas ketersediaan tenaga kerja yang lebih terspesialisasi. Keempat, kerjasama

antar-perusahaan juga memberi kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara

kolektif (collective learning). Kelima, jaringan bisnis di antara perusahaan, penyediaan jasa (misalnya institusi pelatihan) dan perumus kebijakan lokal dapat

mendukung pembentukan suatu visi pengembangan bersama di tingkat lokal dan

memperkuat tindakan kolektif untuk meningkatkan daya saing UKM.

Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005), fokus pembangunan industri pada

jangka menengah (2004-2009) adalah penguatan dan penumbuhan klaster-klaster

industri inti, yaitu: (1) industri makanan dan minuman, (2) industri pengolahan

hasil laut, (3) industri tekstil dan produk tekstil, (4) industri alas kaki, (5) industri

kelapa sawit, (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu), (7) industri

karet dan barang karet, (8) industri pulp dan kertas, (9) industri mesin listrik dan

peralatan listrik dan (10) industri petrokimia.

Namun demikian implementasi konsep klaster industri bukanlah hal yang

mudah. Asian Development Bank (2001) diacu dalam Partiwi (2007) telah

melakukan penelitian untuk mengidentifikasi hal-hal yang menghambat

kesuksesan perkembangan klaster di Indonesia. Hasil penelitian tersebut

menyatakan bahwa kegagalan pengembangan klaster disebabkan oleh:

1. Mengabaikan hubungan klaster industri ke pasar. Prasyarat yang baik bagi

tumbuh kembangnya klaster industri adalah potensi pasar yang baik. Apabila

hal ini tidak tercapai setiap aktivitas peningkatan teknologi dan inovasi tidak

akan berhasil karena para anggota klaster tidak memperoleh hasil finansial

atas investasinya

2. Mengabaikan atau bahkan memperlemah potensi UKM untuk berorganisasi

3. Ketidakmandirian organisasi klaster yang terbentuk. Organisasi mandiri

penting untuk mengembangkan pasar dan jaringan distribusi baru. Organisasi

mandiri juga memiliki peran penting apabila produsen menghadapi pembeli

tunggal yang kuat

4. Keterbatasan kemungkinan Pemerintah Daerah untuk mendorong

(31)

Klaster di Indonesia masih berupa sentra-sentra UKM. Sentra UKM terdiri

dari sekumpulan industri skala kecil dan menengah yang terkonsentrasi pada suatu

lokasi yang sama serta telah berkembang cukup lama. Sentra UKM

mencerminkan suatu tipe klaster yang paling sederhana dan berkembang secara

alamiah tanpa intervensi dari pemerintah. Klaster-klaster ini pada umumnya

berkembang di wilayah pedesaan merupakan kegiatan tradisional masyarakat

yang telah dilakukan secara turun-temurun serta memiliki komoditi yang spesifik.

Jenis klaster yang ada sangat beragam antara lain klaster kerajinan, makanan dan

minuman, tekstil dan produk tekstil, kulit dan produk kulit, kimia dan produk

kimia, bahan bangunan, peralatan dan sebagainya (Bappenas 2004a).

Menurut studi yang dilakukan oleh Japan International Cooperation Agency

(JICA) (2003) diacu dalam Bappenas (2004), gambaran umum klaster di

Indonesia adalah:

1. Meskipun hanya sebesar 17% dari jumlah total usaha yang ada di Indonesia,

UKM dianggap sebagai kunci perekonomian yang memberikan kontribusi

bagi pembangunan masyarakat dan daerah

2. Kebanyakan UKM dalam klaster merupakan usaha-usaha mikro yang

memiliki ketergantungan kuat kepada para pengumpul lokal sehingga

seringkali menghilangkan jiwa kewirausahaan

3. Produk-produknya ditujukan untuk pasar-pasar yang tidak terlalu menuntut

teknologi dan kualitasnya

4. Sebagian besar UKM dalam klaster tidak memiliki keterikatan internal satu

sama lain sehingga upaya “membangun kepercayaan” sulit dilakukan

5. Rendahnya keterkaitan dengan industri dan insitusi terkait merupakan kendala

yang lumrah ditemui sehingga penguatan klaster sulit dilakukan

6. Sebagian besar klaster memiliki struktur sosial yang mudah bercerai berai dan

masih berkutat pada strategi untuk mempertahankan hidup.

Sandee dan Ibrahim (2002) melakukan penelitian terhadap perdagangan dan

ekspor yang dilakukan oleh industri kecil dan menengah. Salah satu temuannya

adalah bahwa sebagian besar ekspor UKM berasal dari klaster industri dan

mencapai pasar ekspor dengan keterlibatan kuat para pembeli asing. Hal ini

(32)

merekomendasikan agar program-program bantuan pemerintah tidak perlu fokus

pada perusahaan perorangan tetapi dapat fokus secara efektif pada klaster

perusahaan-perusahaan kecil. Terhadap peran para pembeli asing yang penting,

maka pemerintah tidak perlu terlibat dalam semua aspek pembinaan akan tetapi

dapat konsentrasi dalam usaha menjalin hubungan para produsen dengan para

pembeli asing saja. Tugas pemerintah ialah menjamin bahwasanya hubungan

produsen–pembeli berjalan secara berkesinambungan. Tugas pemerintah yang

penting ialah memantau apakah hubungan produsen–pembeli berkembang dalam

arahan yang benar dan berkesinambungan.

2.5 Perbandingan Sentra Industri dengan Klaster Industri

Klaster dapat dikembangkan dari yang sebelumnya sudah ada semacam

sentra, misalnya sentra produksi komoditi tertentu atau ditumbuhkan dari kondisi

tidak terdapat sentra tetapi punya potensi cukup baik. Khusus klaster yang

dikembangkan dari sentra telah ditentukan kriterianya. Kriteria sentra yang dapat

difasilitasi untuk ditumbuhkembangkan menjadi klaster sesuai dengan Keputusan

Menteri Koperasi dan UKM Nomor 32/Kep/M.KUKM/IV/2003 adalah:

(1) terdapat sejumlah UKM dengan kapasitas produksi yang memadai dalam

kawasan sentra yang memiliki prospek untuk berkembang menjadi klaster UKM

dengan market share yang layak, (2) mempunyai omset penjualan minimal mencapai Rp 200 juta/bulan, (3) mempunyai prospek pasar yang berkelanjutan,

(4) mempunyai jaringan kemitraan dalam pengadaan bahan baku maupun

pemasaran, (5) mampu menyerap tenaga kerja minimal 40 orang dalam sentra, (6)

mengutamakan bahan baku lokal, (7) menggunakan teknologi yang berpotensi

meningkatkan mutu produk dan (8) tersedianya sarana dan prasarana pendukung.

Sentra industri dapat dipandang sebagai embrio dari terbentuknya

klaster industri. Sebuah sentra industri dapat pula menjadi bagian dari klaster

industri yang besar. Namun tidak semua klaster industri harus dimulai dari sentra

industri atau beranggotakan sentra-sentra industri. Sentra industri yang dapat

menjadi bagian dari suatu klaster industri harus berada di sekitar atau dekat

dengan industri inti klaster. Perbandingan antara sentra industri dan klaster

(33)

Tabel 2 Perbandingan sentra industri dengan klaster industri

Segi Sentra Industri Klaster Industri

Dari konsep industrial district ~ industri tunggal (sektor)

Dari konsep multi dan lintas sektor (multi-and cross-sectoral) Konsep

Pendekatan

Aspek keserupaan (similarity) dari sehimpunan aktivitas bisnis

Lebih menyoroti “keterkaitan” (interdependency) sehimpunan aktivitas bisnis.

Batasan Industri Himpunan para pelaku (produsen) di bidang usaha industri tertentu yang serupa

Himpunan sebagai jaringan rantai nilai para pelaku dalam konteks tertentu baik pelaku industri yang berperan sebagai industri inti, pemasok, industri pendukung dan pihak/lembaga yang memberikan jasa.

Faktor penting yang menjadi pertimbangan

Hal positif yang umumnya diperoleh lebih karena aglomerasi secara fisik para pelaku usaha

Nilai tambah dan daya saing serta hal positif lain yang terbentuk atas rangkaian rantai nilai keseluruhan industri

Keterkaitan antara keduanya

Sentra industri dapat menjadi salah satu simpul dari suatu klaster industri, baik sebagai industri inti, pemasok atau pendukung

Dalam suatu klaster industri. suatu sentra industri dapat ditempatkan sebagai salah satu subsistem dalam rangkaian rantai nilai sistem industri tertentu

Batasan lokasi/ wilayah

Sentra industri tertentu hanya ada di suatu lokasi

(desa/kelurahan) tertentu

Dimungkinkan terbentuknya klaster industri yang bersifat lintas batas (cross-border) dalam batasan kewilayahan tertentu

Sumber: Disarikan dari Taufik (2005)

2.6 Klaster Industri Furniture

Klaster industri furniture yang cukup terkenal di Indonesia terdapat di

Provinsi Jawa Tengah. Pengelompokan industri umumnya terjadi berdasarkan

batas administratif kabupaten/kota seperti klaster furniture di Jepara, Sukoharjo,

Klaten dan Semarang. Sebagai contoh, klaster furniture di Jepara terdiri dari

banyak sentra ukir dan sentra produksi. Sentra ukir meliputi daerah: Pencangaan,

Kedung, Tahunan, Mlonggo dan Jepara. Sedangkan sentra produksi meliputi

banyak desa seperti: Pulau Darat, Kerso, Langon, Krapyak, Mantingan, Kawak,

Mambak, Wonorejo, Serengan, Petekeyan, Bulungan, Pingko, Tegalsambi dan

SukodoNomor Sementara di Sukoharjo klaster furniture terdiri atas berbagai

sentra pengolahan seperti: sentra Bulakan (460 pengrajin), sentra Ngadirejo (20

pengrajin), sentra Wirun (25 pengrajin) dan sentra Gedangan (23 pengrajin). Dari

(34)

Jepara menyumbang sekitar 60-70% dari nilai ekspor furniture nasional (Effendi

et al. 2006).

Klaster industri furniture yang baik umumnya memiliki struktur industri hilir

dan hulu, industri pelengkap dan kelembagaan yang kuat. ITC dan ITTO (2002)

merinci sejumlah industri yang harus terdapat pada sebuah klaster industri

furniture yang baik. Industri hulu terdiri dari industri pensuplai bahan baku dan

komponen, industri bahan kimia dan perekat, industri produk primer dan olahan

serta industri pensuplai bahan-bahan lainnya. Industri hilir pada klaster industri

furniture terdiri atas biro agen dan iklan, jasa penggudangan dan transportasi, para

pedagang besar dan kecil serta industri pemanfaatan limbah dan daur ulang.

Industri pendukung dalam klaster industri furniture adalah industri tekstil dan

pengepakan, desain produk dan teknologi informasi, industri peralatan dan

perawatannya serta industri perlengkapan dan pemrosesan. Kelembagaan penting

yang mendukung klaster industri furniture diantaranya adalah pemerintah dan

asosiasi industri, jasa perbankan, asuransi, badan standarisasi produk serta

unit-unit penelitian dan pengembangan. Hubungan berbagai industri yang mendukung

klaster industri furniture tersebut disajikan pada Gambar 5.

Sumber: ITC dan ITTO (2002).

(35)

2.7 Analisa Klaster Industri

Menurut Bergman dan Feser (1999), terdapat 3 tingkatan analisa klaster

industri, yaitu:

1. Analisa klaster industri pada tingkat mikro (tingkat perusahaan) yang

fokusnya adalah analisa pada tingkat perusahaan. Pada tingkat ini klaster

dilihat sebagai keterkaitan beberapa perusahaan yang menghasilkan produk

yang hampir mirip dan antara perusahaan-perusahaan tersebut terdapat

hubungan yang formal maupun tidak formal. Dalam analisa ini masalah rantai

nilai tidak menjadi hal yang mendapatkan perhatian. Fokus pada analisa ini

adalah melakukan identifikasi dan penggambaran hubungan dari para

produsen produk yang mirip tersebut

2. Analisa klaster industri pada tingkat meso (tingkat industri) yang fokusnya

adalah pada suatu rantai nilai produk yang ada di pasar. Analisa pada tingkat

ini digunakan untuk mengidentifikasi komplementaritas dan potensi aliansi

strategis antara industri-industri yang sudah berkembang di suatu daerah

manapun antara industri yang sudah berkembang dengan industri yang masih

perlu dikembangkan. Analisa ini menggunakan metode yang dapat meletakkan

investigasi yang mencakup semua sektor ekonomi di daerah

3. Analisa klaster industri pada tingkat makro (tingkat nasional) yang fokusnya

adalah keseluruhan industri yang terdapat dalam perekonomian suatu negara.

Analisa ini biasanya fokus pada jaringan dan aliran transaksi perdagangan

secara nasional.

Sampai saat ini belum ada metode yang baku yang digunakan untuk

melakukan identifikasi dan menganalisa klaster industri. Bergman dan Feser

(1999) membahas dua pendekatan umum untuk melakukan analisa klaster industri

pada tingkat meso. Pertama, pendekatan top-down yang menggunakan teknik

reduksi data untuk mengidentifikasi klaster industri dengan menggunakan data

empiris. Kedua, pendekatan bottom-up yang dilakukan dengan mengidentifikasi

suatu sektor industri tertentu yang kemudian dicari kaitan hubungan yang terdapat

dengan sektor tersebut. Pendekatan top-down biasanya lebih tepat digunakan

untuk suatu daerah yang memiliki banyak dan bermacam jenis industri, sedangkan

(36)

Analisa klaster industri yang dilakukan mencakup analisa yang bersifat

kualitatif, kuantitatif, maupun kombinasi keduanya (Stamer dan Liedtke 2005).

Analisa dengan pendekatan kuantitatif mengolah data dengan metode antara lain:

analisa input-output. analisa klaster (cluster analysis), analisa faktor (factor analysis), analisa lokasi (locatian quotient) dan shift-share analysis. Indikator kinerja yang dilakukan antara lain: jumlah tenaga kerja, nilai tambah, ekspor dan

penjualan dalam negeri, data produksi, keuntungan dan investasi. Pendekatan

kualitatif mencakup: wawancara, focus group, survei, pemetaan klaster dan multi sectoral qualitative analysis.

Keberhasilan strategi membangun suatu klaster dapat diukur dengan

menggunakan indikator tertentu yang dipilih. Pemilihan indikator ini perlu

disesuaikan dengan data dan informasi yang bisa diperoleh dari suatu klaster.

Indikator yang mungkin dipilih antara lain: jumlah perusahaan yang terbentuk

dalam klaster sejak diterapkannya strategi, jumlah perusahaan yang merupakan

spin-off dari klaster, pertambahan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dari

perusahaan dalam klaster, peningkatan pangsa pasar produk klaster, pembentukan

aliansi strategis antar perusahaan klaster, biaya-biaya untuk penelitian dan

pengembangan klaster, investasi baru pada klaster, jumlah paten baru dan

penjualan teknologi dari klaster (Tambunan 2001, 2005). Klaster memerlukan

waktu yang cukup panjang untuk berkembang. Oleh karena itu pengaruh dari

penerapan strategi tidak langsung dapat dilihat dalam waktu yang singkat.

Pendekatan lain yang digunakan untuk menganalisis perkembangan klaster

industri adalah dengan menggunakan Teori Daya Saing. Teori ini cukup

komprehensif dalam menilai suatu klaster karena meninjau seluruh aspek penting

yang mempengaruhi suatu klaster industri. Pendekatan ini dikembangkan oleh

Porter dan telah digunakan untuk menganalisis klaster maritim di Norwegia,

klaster industri minyak dan gas di Houston, klaster peralatan medis di Minnesota

(Porter 2000), serta klaster anggur di California dan Australia (Porter 2003).

Porter (2006) juga menggunakan pendekatan ini untuk melakukan analisis dalam

(37)

III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Palangka Raya. Observasi pendahuluan

berupa pengambilan gambar klaster industri beserta aktivitasnya dan pengamatan

umum lokasi penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2007. Kegiatan

pengumpulan data di lokasi penelitian serta studi banding di klaster furniture Jawa

Tengah dilakukan pada bulan Mei hingga Juli 2008. Pengolahan dan analisa data

serta penarikan simpulan selesai pada bulan Agustus 2008.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan

sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan dan wawancana

dengan responden mengunakan daftar pertanyaan terstruktur. Jenis data primer

yang dikumpulkan meliputi sumber dan jumlah bahan baku, keadaan sumberdaya

manusia, karakteristik dan persaingan antarperusahaan, karakteristik permintaan

dan keberadaan industri pendukung.

Data sekunder diperoleh dari instansi di lingkungan Pemko Palangka Raya,

yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencana Pembangunan Daerah

(Bappeda), Dinas Perindustrian dan Koperasi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan,

Koperasi Palangka Sejahtera. Jenis data sekunder yang dikumpulkan meliputi

data tentang politik, hukum dan makroekonomi yang mempengaruhi

pembangunan klaster tersebut. Daftar nama responden yang diwawancarai

disajikan pada Lampiran 1.

Elemen data yang berkaitan dengan politik, hukum dan makroekonomi

disajikan pada Tabel 3. Sementara elemen data yang berkaitan dengan

mikroekonomi disajikan pada Tabel 4 dan elemen data strategi dan pengalaman

(38)

Tabel 3 Elemen data tentang politik, hukum dan makroekonomi

Faktor Elemen Cara Pengumpulan Sumber/Referensi

Politik 1. Kebijakan/peraturan pemerintah pendukung strategi pengembangan klaster

2. kerja sama pengembangan lintas sektoral

Wawancara Studi data sekunder

Dinas Perindustrian/Bappeda

Hukum 1. Aspek legalitas lokasi 2. Aturan keluar/masuk industri

3. Peraturan Pemda tentang pajak dan retribusi 4. Pungutan tidak resmi

Wawancara &

1. Laju pertumbuhan dan volume ekspor 2. Diversifikasi pasar ekspor

3. Penanaman modal asing

4. Hambatan perdagangan antar daerah 5. Aliran barang dan jasa dari/ke daerah lain

Studi data sekunder BPS

Dinas Perindustrian Makroekonomi

Sistem Keuangan

1. Tingkat bunga riil jangka pendek 2. Kemudahan penyaluran kredit bank

Wawancara

Studi data sekunder

BPS

(39)

Tabel 4 Elemen data tentang mikroekonomi lingkungan usaha.

Faktor Data Cara Pengumpulan Sumber data

Bahan baku

1. Jumlah kebutuhan 2. Jumlah pasokan 3. Sumber

4. Legalitas 5. Jenis 6. Harga

Wawancara Kuisioner Observasi

Pengusaha Dinas Kehutanan Dinas Perindustrian Kondisi lapangan

Kondisi SDM 1. Jumlah

2. Pendidikan formal 3. Pendidikan informal 4. Pengalaman kerja

5. Usaha peningkatan keahlian pekerja

Wawancara Kuisioner

Pengusaha Pengrajin

Permodalan

1. Nilai aset perusahaan 2. Sumber modal usaha

3. Keperluan terhadap modal tambahan 4. Sumber modal tambahan

Wawancara Kuisioner

Pengusaha

Mesin/peralatan

1. Kondisi mesin/peralatan

2. Cara memperoleh mesin/peralatan 3. Cara meningkatan kemampuan teknis

(40)

Tabel 4 (Lanjutan).

Faktor Data Cara Pengumpulan Sumber data

Infrastruktur

1. Ketersediaan lembaga finansial 2. Hambatan akses thd lembaga finansial

Wawancara Pengusaha

Dinas Perindustrian Perbankan

Input Kondisi (lanjutan)

Fasilitas Litbang

1. Ketersediaan fasilitas litbang 2. Hubungan dengan lembaga litbang 3. Pemanfaatan hasil litbang

Wawancara Pengusaha

Dinas Perindustrian Lembaga terkait lainnya Strategi perusahaan

1. Strategi mendapatkan bahan baku 2. Strategi minimisasi biaya produksi 3. Strategi inovasi dalam proses produksi 4. Strategi mendapatkan konsumen/pemasaran

Antar Perusahaan

Persaingan Antar-perusahaan 1. Strategi menghadapi pesaing

2. Dampak pesaing thd peningkatan kinerja

3. Pengaruh barang dari luar

Wawancara Kuisioner

Pengusaha

(41)

Tabel 4 (Lanjutan).

Faktor Data Cara Pengumpulan Sumber data

Industri Terkait dan Pendukung 1. Jenis industri penunjang 2. kodisi industri penunjang 3. Manfaat industri penunjang

4. Hambatan akses terhadap industri tersebut

Wawancara

1. Hubungan dengan lembaga penunjang 2. Jenis bantuan yang diberikan

3. Ketersediaan asosiasi 4. Peran/manfaat asosiasi 5. Keterlibatan dalam asosiasi

6. Keuntungan menjadi anggota asosiasi

Wawancara 1. Daya serap pasar lokal

2. Kemampuan memenuhi pasar lokal 3. Masukan dari konsumen

Wawancara

Observasi lapangan

Pengusaha Kondisi lapangan Kondisi Permintaan

Pengembangan Produk dan Segmen Pasar Baru 1. Kemampuan inovasi produk

2. Kendala pengembangan produk 3. Peluang pasar baru

(42)

Tabel 5 Elemen data tentang karakteristik dan pengalaman perusahaan.

Faktor Data Cara pengumpulan Sumber data

Karakteristik dan

Pengalaman Perusahaan

Strategi Perusahaan

1. Repons terhadap permintaan konsumen 2. Kemampuan membuat produk yang unik 3. Strategi pemasaran

Wawancara Kuisioner Observasi

Pengusaha

Asosiasi pengusaha/industri Dinas perindustrian

(43)

3.3 Analisa Data

Analisa ini dilakukan berdasarkan teori daya saing yang dibangun Porter dan

Martin (2000). Teori ini menyatakan bahwa peningkatan kemakmuran negara

tergantung atau sangat dipengaruhi oleh produktivitas yang dihasilkan oleh

manusia, modal dan sumberdaya alam. Produktivitas ini dimanifestasikan dalam

cara perusahaan-perusahaan bersaing. Menurut Porter (1998), produktivitas

merupakan hasil fungsi yang saling mempengaruhi antara tiga faktor: politik,

hukum dan makroekonomi; kualitas mikroekonomi lingkungan usaha; dan

pengalaman perusahaan dan strateginya. Faktor-faktor tersebut secara

bersama-sama mempengaruhi kemampuan suatu negara untuk menghasilkan perusahaan

yang dapat bersaing secara internasional dan mendukung peningkatan

kemakmuran (Gambar 6).

Sumber: Porter dan Martin (2000).

Gambar 6. Paradigma daya saing Porter.

3.3.1 Politik, Hukum dan Makroekonomi

Kombinasi kestabilan politik, hukum dan kondisi makroekonomi yang baik

akan menghasilkan inflasi yang rendah, tingkat suku bunga yang stabil dan

rendah. Kebijakan perpajakan yang tepat akan menstimulus pengusaha untuk

berinvestasi. Namun kondisi makroekonomi yang baik hanya menciptakan

potensi. Menurut Porter dan Martin (2006), kemakmuran sesungguhnya

diciptakan oleh para pelaku ekonomi yang memanfaatkan keunggulan fondasi

Politik, Hukum dan Makroekonomi

Mikroekonomi Lingkungan

Usaha Strategi dan

(44)

makroekonomi tersebut. Mereka adalah para pekerja, perusahaan, pasar, asosiasi

dan lembaga dimana kompetisi itu berlangsung.

Pada penelitian ini data-data yang dianalisa adalah data-data pada tingkat

nasional dan provinsi yang dianggap penting dalam mendukung iklim usaha yaitu

perekonomian daerah dan sistem keuangan. Data tentang perekonomian daerah

meliputi PDRB, investasi domestik dan asing, suku bunga bank, nilai tukar mata

uang dan inflasi. Data tentang sistem keuangan meliputi tingkat bunga riil jangka

pendek dan kemudahan penyaluran kredit perbankan. Kondisi politik yang dikaji

berupa penjabaran kebijakan pengembangan klaster yang telah ditetapkan oleh

pemerintah pusat menjadi kebijakan stategis di tingkat daerah. Kajian pada aspek

hukum ditujukan mengetahui aturan-aturan yang lebih rinci dan teknis yang

dikeluarkan instansi terkait (misalnya pajak, retribusi, aturan keluar/masuk

industri, dll) beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya.

3.3.2 Kondisi Mikroekonomi Lingkungan Usaha

Menurut Porter dan Martin (2000), kondisi diamond pada dasarnya muncul

dari tekanan usaha yang bermuara pada meningkatkan mutu. Kondisi itu

menciptakan tekanan kepada perusahaan untuk secara terus-menerus

meningkatkan mutu menyempurnakan kualitas produk mereka dan pada waktu

yang sama mendukung proses peningkatan usaha yang dilakukan oleh pesaingnya.

Tekanan-tekanan yang muncul dari permintaan pelanggan berupa produk yang

berkualitas, murah dan unik. Untuk menciptakan produk demikian perusahaan

berusaha mencari inovasi proses produksi terbaik secara terus menerus. Inovasi

ini dilakukan oleh setiap perusahaan sehingga mereka memiliki keunggulan yang

tidak dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tidak berinteraksi dengan mereka.

Di sisi lain, kondisi ini memicu adanya kerjasama pihak lain yang berkaitan

dengan industri tersebut. Peningkatan mutu produksi sangat dipengaruhi oleh

dukungan faktor (masukan) kondisi-kondisi yaitu faktor-faktor dasar seperti

sumber daya alam dan modal, kondisi SDM dan infrastruktur.

Faktor-faktor yang saling berkaitan dan mempengaruhi daya saing adalah

(1) input kondisi, (2) strategi dan persaingan antar-perusahaan, (3) kondisi

permintaan, dan (4) industri/lembaga terkait dan pendukung (Cho dan Moon

(45)

berupa dukungan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku, ketersediaan

sumberdaya manusia yang berkualitas, permodalan, mesin dan peralatan serta

keberadaan lembaga finansial dan fasilitas litbang. Strategi, struktur dan

persaingan antar-perusahaan meliputi strategi perusahaan untuk mendapatkan

bahan baku, minimisasi biaya produksi, inovasi proses produksi dan pemasaran,

jumlah perusahaan dan hambatan/keluar masuk industri. Kondisi permintaan

yang diidentifikasi meliputi besarnya permintaan pasar lokal dan kualitas

permintaan. Industri/lembaga terkait dan pendukung berupa keberadaan

industri/lembaga tersebut dan kualitas hubungannya dengan industri furniture

sebagai industri inti. Hubungan keempat faktor tersebut disajikan pada Gambar 7.

Sumber: Porter (2006).

Gambar 7 Diamond Porter.

3.3.3 Karakteristik dan Pengalaman Perusahaan

Menurut Porter (1980), setiap perusahaan akan menghadapi persaingan

dengan lima kekuatan pesaing. Lima kekuatan persaingan tersebut adalah

masuknya pendatang baru, ancaman produk pengganti, kekuatan tawar menawar

•Bahan baku •Kondisi SDM •Permodalan •Mesin/peralatan •Infrastruktur •Fasilitas litbang

Kondisi Permintaan Strategi dan persaingan

antar perusahaan

Input Kondisi

Industri-industri terkait dan pendukung

•Karakteristik permintaan dari pasar lokal

•Keberadaan dan kualitas industri pemasok dan penunjang lainnya •Strategi persaingan

(46)

pemasok bahan baku, kekuatan tawar-menawar pembeli dan pesaing dari

perusahaan sejenis. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui strategi perusahaan

dalam menghadapi setiap kekuatan tersebut. Analisa dilakukan dengan cara

mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur kepada para responden, yaitu

pengusaha, asosiasi pengusaha/industri dan Dinas Perindustrian, Koperasi dan

UKM serta pengamatan di lapangan. Data-data yang dikumpulkan meliputi

strategi perusahaan dalam memperoleh bahan baku, strategi promosi, branding,

respon terhadap permintaan konsumen, kemampuan membuat produk yang unik

dan strategi pemasaran. Hasil wawancara dan pengamatan akan ditabulasilan ke

dalam matriks sederhana untuk strategi yang dilakukan dalam menghadapi setiap

kekuatan.

Seluruh data yang berhasil dikumpulkan akan dianalisa sebagai satu

kesatuan yang tidak terpisah. Penarikan kesimpulan dan rekomendasi dari

analisa-analisa di atas dilakukan dengan cara membandingkan kondisi klaster

furniture tersebut dengan klaster lain yang telah maju, yakni klaster furniture di

Jawa Tengah. Rekomendasi yang akan diajukan meliputi tiga faktor di atas, yaitu

kondisi makroekonomi, politik dan hukum; kondisi mikroekonomi lingkungan

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2  Impor produk kayu tropis oleh konsumen ITTO.
Gambar 4.
Tabel 1 Perkembangan nilai ekspor produk industri kehutanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Maksud dari penelitian ini adalah melakukan pengukuran ulang TDT orde 2 BPN di Grobogan menggunakan metode statik radial dengan titik ikat CORS BPN Kabupaten

Fokus dalam penelitian ini adalah media komunikasi pemasaran kain tenun songket silungkang yang menjadi salah satu ciri khas kerajinan kain di kota ini.. Komunikasi merupakan

Dari berbagai pengertian mengenai media pembelajaran yang telah diuraikan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan sumber belajar yang dapat digunakan

Temuan penelitian menunjukkan (1) tingkat kecenderungan psychological well-being remaja berada pada kategori sedang, (2) tingkat kecenderungan psychological well-being

Ada beberapa bentuk Corporate Social Responsibility yang diberikan Auto 2000 kepada para konsumen dan lingkungan sekitar, seperti menjaga kualitas, baik dari segi

Fixed Karbon Biobriket Sekam Padi Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa kadar fix karbon yang dimiliki briket arang sekam padi untuk ukuran butiran 0,21 mm lebih

1 Memeriksa apakah kita sudah membangun boundaries yang benar dalam hidup kita sesuai dengan firman Tuhan 2 Membangun boundaries/batas yang jelas dan benar dengan memahami

3 Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah adalah sorang guru yang mempunyai kemampuan untuk memimpin segala sumber daya