• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Manajemen Bencana

Adapun penjabaran karakteristik dari tiga kelompok variabel tersebut yakni: karakteristik masalah berupa tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan, tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran, proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, cakupan perubahan perilaku yang diharapkan;

karakteristik kebijakan berupa kejelasan isi kebijakan, dukungan teoritis terhadap kebijakan, alokasi sumberdaya finansial, dukungan antar institusi pelaksana, kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana, komitmen aparat terhadap kebijakan, partisipasi dalam implementasi kebijakan; dan lingkungan kebijakan berupa kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, dukungan publik terhadap sebuah kebijakan, disposisi dari kelompok pemilih, tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor.

Setelah menjabarkan beberapa model implementasi kebijakan dari beberapa ahli di atas maka peneliti tertarik untuk berpedoman pada model implementasi dari perspektif Van Meter dan Van Horn, yang mana model ini dinilai lebih cocok dan kompleks dalam membahas permasalahan terkait implementasi kebijakan yang relevan dengan judul Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Kota Medan.

2.3 Manajemen Bencana

Defenisi bencana dalam buku Disaster Management – A Disaster’s Management Handbook (W. Nick Carter, 2008:xix) “An event, natural or man-made, sudden or progressive, which impacts with such severity that the affected community has to respond by taking exceptional measures.” Bencana merupakan kejadian alam atau buatan manusia, secara tiba-tiba, yang menimbulkan dampak

24

yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa. Sejalan dengan itu menurut Parker (dalam Wijayanto, 2012 : 26), bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, individu maupun lingkungan untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas. Kedua defenisi tersebut mengatakan bahwa bencana merupakan akibat dari ulah perbuatan manusia dan/ataupun aktivitas alam yang mana dampaknya sangat berpengaruh bagi masyarakat yang terkena bencana dan membutuhkan pertolongan atau tindakan dari masyarakat sekitar maupun luar.

Adapun Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), definisi bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Kemudian sejalan dengan teori tersebut definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Lain halnya dengan kedua pemahaman teoritis ini menekankan bahwa bencana memberi dampak destruktif bagi ekologi hingga mengancam nyawa manusia yang pada akhirnya memperburuk kondisi kesehatan masyarakat yang terkena bencana, dalam kondisi ini wilayah yang terkena bencana memerlukan bantuan dari pihak luar.

25

Pendapat lainnya oleh Asian Disaster Reduction Center , bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat, berbagai material dan lingkungan (alam) dimana dampak yang ditimbulkan melebihi kemampuan manusia guna mengatasinya dengan sumber daya yang ada. (www.adrc.asia diakses pada 18/02/2019 23.24 WIB).

Dalam menjalankan upaya penanggulangan bencana yang bertujuan untuk mengurangi dampak resiko maupun melakukan pemulihan, diperlukan pengelolaan yang baik terhadap bencana. Pengelolaan bencana dapat dilakukan pada tiga tahap yaitu pra bencana, saat terjadi bencana, dan pasca bencana.

Namun, realitanya dampak kerugian besar yang ditimbulkan setiap kali terjadi bencana mengindikasikan manajemen bencana belum diprioritaskan dengan baik.

Untuk menerapkan manajemen bencana perlu diberi pemahaman dan pengetahuan tentang apa itu manajemen bencana.

Disaster management is “An Applied science with seeks, by the systematic observation and analysis of disaster, to improve measures relating to prevention, mitigation, preparedness, emergency response and recovery.”(W. N Carter, 1991:xxiii). Pengertian ini mempunyai pemahaman yang sejalan dengan UU No.24/2007 bahwa manajemen bencana didefenisikan sebagai suatu proses dinamis, berlanjut dan terintegrasi yang menekankan penerapan ilmu yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Dengan tujuan berupa mencegah dan mengurangi kerusakan alam dan masyarakat, memberi penghidupan yang baik bagi masyarakat, melakukan

26

rekonstruksi dan rehabilitasi pada pelayanan vital publik, membangun kembali perekonomian dan sosial daerah yang terkena bencana (Khambali, 2017:49).

Dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut menurut Nurjanah (2012:47) kegiatan manajemen bencana dilakukan dalam tiga tahap yaitu pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana dengan uraian kegiatan sebagai berikut :

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini.

Kegiatan pra bencana merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan jauh sebelum bencana terjadi, dimana kegiatan ini memiliki tujuan untuk mengurangi ancaman risiko bencana melalui pembangunan fisik seperti tata ruang, pembangunan infrastruktur, tata bangunan maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana dengan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan. Kegiatan yang mencakup langkah-langkah yang bertujuan untuk menghalangi terjadinya peristiwa bencana dan / atau mencegah kejadian seperti itu terjadi efek berbahaya pada komunitas. Kegiatan pra bencana mendorong pemerintah, organisasi, masyarakat, dan individu untuk merespons dengan cepat dan efektif terhadap situasi bencana.

2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti search and rescue (SAR), bantuan daruirat dan pengungsian

Kegiatan saat terjadi bencana merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, dan memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kepada para korban atau pengungsi pada keadaan darurat.

3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Kegiatan pasca bencana merupakan kegiatan dimana masyarakat dan pemerintah atau stakeholder terkait membantu dalam pemulihan aspek pelayanan publik, aspek kehidupan atau kebutuhan dasar masyarakat, dan pembangunan kembali sarana-prasarana yang memadai setelah terjadinya bencana. Proses pemulihan bisa memakan waktu, mungkin memakan waktu 5-10 tahun atau bahkan lebih. Pemulihan biasanya diambil dengan memasukkan aspek lain seperti restorasi dan rekonstruksi.

Kegiatan manajemen bencana dapat berjalan dengan baik dan maksimal apabila ketiga kegiatan pada tahap pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana

27

seperti yang di jelaskan diatas saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan sistem yang terstruktur. Dengan memprioritaskan kegiatan manajemen bencana dalam pencegahan, tanggap darurat, dan pemulihan maka tujuan pengurangan risiko dampak bencana dapat dikurangi dan jumlah kerugian massal dapat ditekan.

Dalam pelaksanaannya terdapat lima model manajemen bencana, yaitu (S.G Purnama, 2017:5):

1) Disaster management continuum model.

Keunggulan dari model ini adalah urutan kegiatan dapat menggambarkan kebutuhan berupa tahapan mulai dari prabencana dan pascabencana sedangkan kelemahannya adalah ketergantungan pada tahapan manajemen bencana akan mengakibatkan fokus menjadi terpaku pada tahapan berikutnya. Apabila setelah bencana dilakukan recovery, kemudian bencana datang lagi maka upaya mitigasi yang belum terlaksana akan berakibat besarnya jumlah korban.

2) Pre-during-post disaster model.

Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana.

Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan disaster management continuum model.

3) Contract-expand model.

Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.

4) The crunch and release model.

Manajemen bencana ini menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski bahaya tetap terjadi.

5) Disaster risk reduction framework.

Model ini menekankan upaya manajemen bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun bahaya dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

28

Dari kelima model manajemen bencana yang ada, yang paling sering digunakan ialah Disaster management continuum model, model ini di uraikan dalam ketetapan Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bagaimanapun model manajemen bencana yang diterapkan, bila setiap kegiatan terintegrasi dengan baik dan dilaksanakan secara maksimal oleh koordinasi lembaga terkait dan masyarakat maka tujuan manajemen bencana untuk mengurangi dampak resiko dapat tercapai.

Dokumen terkait