BAB I PENDAHULUAN
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan dari dua sisi:
1. Secara Teoritis
a. Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan, sebagai informasi dan masukan dalam perumusan kebijakan dan perbaikan upaya dalam penanggulangan bencana kepada masyarakat.
10
b. Bagi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sebagai penambahan kualitas dan kuantitas referensi dalam bidang Ilmu Sosial khususnya dalam bidang Ilmu Administrasi Publik.
c. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan informasi mengenai Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan.
2. Secara praktis
Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan yang memberikan pemahaman tentang implementasi program pengurangan risiko bencana banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan.
11 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Siswoyo (dalam Mardalis, 2003:4) teori diartikan sebagai seperangkat konsep dan definisi yang saling berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena dengan menerangkan hubungan antar variable, dengan tujuan untuk menerangkan dan meramalkan fenomena.
Landasan teori dimanfaatkan sebagai gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
2.1 Kebijakan Publik
Dalam menjalankan suatu pemerintahan sering ditemukan beragam permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pemerintah sebagai pengelola negara bertugas mengontrol ketertiban dan menjamin kehidupan sosial. Untuk mengurai dan menyelesaikan permasalahan yang ada pemerintah mengeluarkan suatu produk berupa kebijakan publik. Hadirnya kebijakan publik bertujuan untuk menyelesaikan permasalah sosial dan demi kepentingan umum yang ada sekaligus sebagai bukti eksistensi pemerintah. Untuk memahami lebih jauh ada beberapa pemahaman teoritis mengenai kebijakan publik seperti menurut David Easton (dalam Thoha 2002:62-63) mendefenisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai secara sah/paksa kepada seluruh masyarakat. Sementara itu pendapat James E.Anderson (dalam Tangkilisan 2003:19) mengartikan kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.
12
Thomas R.Dye (dalam Kusumanegara 2010:4) berpendapat kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan. Sejalan dengan pendapat Edward dan Sharkansky (dalam Kusumanegara 2010:4) Kebijakan publik adalah apa yang dikatakan dan dilakukan pemerintah, mencakup : tujuan-tujuan, maksud program pemerintah, pelaksanaan, dan peraturan. Kedua pendapat tersebut terkonsentrasi pada tindakan pemerintah seperti yang dikemukakan berhubungan dengan segala tindakan dan proses yang diambil dan dikerjakan oleh pemerintah dalam mengkonstruksikan nilai-nilai melalui suatu kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan yang hadir melalui pelaksanaan kebijakan atau program yang mengandung tujuan yang ingin dicapai.
Kebijakan terdiri dari beberapa komponen menurut Charles O.Jones (dalam Tangkilisan 2003:3) yaitu tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan yang dibuat (goal), uraian kerja atau langkah kegiatan yang lebih jelas mengenai pencapaian yang ditargetkan dalam kebijakan tertulis dalam proposal kebijakan (plans), hasil dari perumusan kebijakan yang dibuat berupa output keputusan kebijakan yang diambil untuk kemudian diimplementasikan, dan terakhir setelah kebijakan tersebut diimplementasikan dalam jangka waktu tertentu kemudian ditinjau akibat-akibat yang hadir dari keputusan tersebut apakah tepat sasaran atau tidak.
Kemudian dalam membentuk kebijakan publik memerlukan beberapa tahapan yang berjalan sistematis, Dunn (1998:25) mengemukakan tahap-tahap kebijakan publik sebagai berikut :
1. Penyusunan Agenda
13
Kegiatan penyusunan agenda merupakan kegiatan untuk melihat dan menganalisis permasalahan yang ada di masyarakat, untuk kemudian dipilah mengenai permasalahan yang krusial dan harus di prioritaskan. Dalam proses ini suatu masalah yang diangkat menurut Woll (dalam Tangkilisan, 2003:8) harus berkriteria memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat, isu ini dihubung-kaitkan terhadap kebijakan yang pernah ada, dan tersedianya sumberdaya untuk memecahkan masalah.
2. Formulasi Kebijakan
Permasalahan yang telah dipilah dan masuk dalam agenda publik, kemudian dilakukan analisis untuk mencari akar permasalahan dan dibentuk rumusan kebijakan oleh para pembuat kebijakan. Dalam proses ini para formulator mencari berbagai alternatif, kemudian dari berbagai alternatif itu akan bersaing dan dipilih mana solusi terbaik melalui identifikasi dalam menyelesaikan masalah yang hadir.
3. Adopsi/legitimasi Kebijakan
Tahapan ini untuk memberikan otoritas kepada produk kebijakan publik yang dihasilkan oleh para formulator. Dengan melewati proses legitimasi kebijakan masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan publik tersebut harus percaya dan mengikuti apa yang diputuskan pemerintah.
4. Implementasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan publik yang dihasilkan dijalankan oleh segala lapisan masyarakat secara paksa, dan berkelanjutan untuk mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Bila kebijakan telah disepakati namun tidak ada tindakan nyata dari para implementor maka kebijakan tersebut hanya sebatas administrasi.
Dalam implementasi kebijakan akan didapatkan dukungan dari para pelaksana, dan sebagian lagi akan mendapatkan tentangan dari para pelaksana.
5. Evaluasi Kebijakan
Tahapan terakhir adalah dilakukan penilaian terhadap kebijakan publik yang dilaksanakan. Dalam hal ini, Winarno (2008:255) mengatakan bahwa penilaian mencakup substansi, implementasi, dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan publik tersebut. Bila dalam penilaian didapatkan dampak yang kurang baik maka kebijakan tersebut patut dilakukan peninjauan kembali terhadap isinya.
Dari beberapa pendapat yang dikutip diatas dapat ditarik pengertian bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian aktivitas yang dijalankan oleh setiap orang untuk mencapai tujuan (goal) yang direncanakan oleh pemerintah, dengan menetapkan keputusan secara sah kepada masyarakat berupa program-program atau rangkaian kegiatan berkelanjutan yang dimaksudkan untuk mengatasi suatu permasalahan yang sedang dihadapi.
14
Dalam merumuskan suatu kebijakan terdapat beberapa proses yang di lewati mulai dari tahap penyusunan agenda, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi. Suatu kebijakan yang telah melewati beberapa tahap perumusan kemudian di cari alternatif terbaik oleh pemerintah, langkah selanjutnya ialah implementasi sebagai tahapan penting yang harus ada dalam keseluruhan proses kebijakan publik (Wahab, 2014:133).
Implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses politik (Lester dan Stewart, 2000:104). Selanjutnya dari James Anderson (dalam Kusumanegara 2010:97) menyatakan bahwa implementasi kebijakan / program merupakan bagian dari administrative process (proses administrasi).
Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab (2004) adalah:
“Konsep implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement.
Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)” (Webster dalam Wahab, 2004:64).
Pengertian implementasi selain menurut Webster dijelaskan juga menurut Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi adalah :
“Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu / pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan” (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2004:65).
Adapun tahap-tahap dalam pelaksanaan implementasi kebijakan publik berdasarkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor:
PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi,
15
Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah, tahap-tahap implementasi dapat digambarkan sebagai berikut (dalam Setyawan, 2017:138-139).
Gambar 2.1 Implementasi Kebijakan Publik
Sumber: Setyawan, 2017:138-139
Bagan diatas menjelaskan sosialisasi dalam implementasi kebijakan dilaksanakan kurun waktu hingga 6 bulan. Sosialisasi dan pemberdayaan para pelaksana kebijakan dilakukan mulai dari kalangan pemerintah (birokrasi) maupun publik (masyarakat). Tahapan sosialisasi dilakukan dengan cara penyebarluasan kepada publik melalui media massa elektronik, media cetak, dan temu publik. Setelah masa sosialisasi berakhir tahap selanjutnya masa uji coba yang mana implementasi kebijakan publik dilaksanakan tanpa sanksi dengan jangka waktu selama 6 bulan hingga 1 tahun dan disertai perbaikan atau penyempurnaan kebijakan (policy rifenement) apabila diperlukan. Implementasi kebijakan publik dengan sanksi dilakukan setelah masa uji coba selesai disertai pengawasan dan pengendalian. Setelah dilakukan implementasi kebijakan selama tiga tahun, dilaksanakan evaluasi kebijakan, guna melihat kekurangan dan feedback yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut.
Sosialisasi Kebijakan (0-6)
Penerapan Kebijakan tanpa sanksi (6-1 tahun) disertai perbaikan kebijakan (policy refinement) apabila diperlukan
Penerapan dengan sanksi disertai pengawasan dan pengendalian
Evaluasi kebijakan (pada akhir tahun ke 3 dan/atau ke 5 sejak diterapkan dengan sanksi
16
Dari beberapa pemahaman yang dikemukakan tersebut mengartikan bahwa kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dilakukan implementasi kepada seluruh lapisan baik kalangan masyarakat maupun pemerintah secara paksa dan dilaksanakan dalam kurun waktu yang ditetapkan agar diarahkan pada pencapaian tujuan, untuk kemudian dilihat dampak atau akibat yang ditimbulkan kebijakan tersebut apakah tepat sasaran/tujuan atau tidak.
Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat kajian mengenai implementasi suatu kebijakan berupa Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Kota Medan.
2.2 Model Implementasi Kebijakan
Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Kesulitan akan banyak ditemui jika fenomena sosial harus dijelaskan dengan konsep abstrak. Oleh karena itu, model diperlukan untuk menyampaikan fenomena yang rumit dan kompleks, dengan tujuan menyelaraskan persepsi terhadap suatu fenomena.
Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Beberapa variabel dan faktor yang terlibat dalam keberhasilan implementasi dapat dipahami melalui beberapa model-model implementasi, antara lain :
2.2.1 Model George C. Edwards III (1980)
Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III mengajukan dua pertanyaan, yakni:
17
1. What is the precondition for successful policy implementation?
(Apa prasyarat untuk keberhasilan implementasi kebijakan?)
2. What are the primary obstacles to successful policy implementation?
(Apa kendala utama untuk keberhasilan implementasi kebijakan?)
Dalam menjawab pertanyaan tersebut Edward menegaskan bahwa kebijakan tidak akan berhasil tanpa implementasi yang efektif dari pembuat kebijakan, agar implementasi berjalan efektif ada empat hal yang harus diperhatikan. Dalam pandangan Edward III (dalam Indiahono, 2009:31), implementasi kebijakan dipeengaruhi oleh empat variabel, yakni :
1. Komunikasi
Berkenaan dengan bagaimana kebijakan publik dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumberdaya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan respon dari para pihak yang terlibat, dan struktur organisasi pelaksana kebijakan. Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam komunikasi, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Transmisi adalah keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah telah diteruskan kepada personil yang tepat. Kejelasan adalah perintah-perintah yang akan dilaksanakan tersebut haruslah jelas misalkan melalui petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Konsistensi adalah perintah-perintah tersebut harus jelas dan tidak bertentangan dengan para pelaksana kebijakan agar proses implementasi dapat berjalan lebih efektif (Winarno, 2002:125).
2. Sumberdaya
Berkenaan dengan ketersediaan sumberdaya, khususnya sumberdaya manusia dan finansial. Sumberdaya manusia mengenai kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan secara efektif. Kemudian sumberdaya finansial adalah kecukupan modal investasi atas keberlangsungan sebuah program/kebijakan. Tanpa adanya sumberdaya sebuah kebijakan hanya akan menjadi tulisan dalam dokumen.
3. Disposisi
Disposisi berbicara mengenai watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Disposisi dapat berupa respon positif maupun respon negatif, bila implementor kebijakan mempunyai disposisi positif maka kebijakan dapat berjalan lancar dan efektif begitu juga sebaliknya bila disposisi negatif maka kebijakan tidak akan berjalan sesuai arah yang diinginkan. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arah program yang telah digariskan dalam guideline program. Pengalaman korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan cerminan konkrit dari rendahnya komitmen dan kejujuran aparat dalam mengimplementasikan kebijakan.
18
Kemudian sikap yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran.
4. Struktur Birokrasi
Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi. Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Struktur organisasi sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang dan kompleks sehingga dapat menghindari red-tape.
Gambar 2.2 Model Implementasi Edward III
Sumber: Edward III, 1980:48
Setiap variabel yang dikemukakan diatas saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya untuk menciptakan implementasi kebijakan yang efektif, keempat variabel saling bersinergi dalam mencapai tujuan dari kebijakan tersebut.
Model Edward menjelaskan keterkaitan antara komunikasi yang baik oleh struktur birokrasi yang sistematis, didukung oleh potensi sumberdaya yang mumpuni, dilaksanakan oleh implementor yang komitmen dan jujur akan menghasilkan implementasi kebijakan yang efektif dan tepat sasaran. Model Edward ini menekankan tantangan bagaimana suatu kebijakan tidak terjadi fragmentasi yang membuat implementasi menjadi tidak efektif. Model Edward masih termasuk
19
sederhana karena hanya melibatkan empat variabel, berbeda dengan model lain yang lebih kompleks melibatkan banyak variabel.
2.2.2 Model Van Meter dan Van Horn (1975)
Meter dan Horn dalam (Suaib, 2016:82) mendefenisikan implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu- individu (dan kelompok-kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Model ini berpandangan bahwa kebijakan publik berjalan secara linier, mulai dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik.
Model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005:99), menetapkan enam variabel yang diyakini dapat memengaruhi implementasi dan kinerja kebijakan, yaitu :
1. Standar dan sasaran kebijakan.
Standar dan sasaran kebijakan berisi uraian yang ingin dicapai oleh program, dalam jangka pendek, menengah atau panjang. Standar dan sasaran harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika-dan-hanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.
2. Sumberdaya.
Implementasi kebijakan membutuhkan dukungan mobilisasi sumberdaya baik dari sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial. Sumberdaya manusia (human resources) diperlukan dalam menjalankan implementasi kebijakan, berkaitan dengan kualitas dan kompetensinya. Kemudian sumberdaya finansial (financial resources) dalam implementasi berkenaan dengan kebutuhan dana yang dimobilisasikan selama kebijakan itu berjalan untuk keberhasilan.
20 3. Karakteristik agen pelaksana.
Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi di internal birokrasi. Karakteristik yang cocok akan mempengaruhi efektifitas suatu kebijakan dan/atau program yang sedang diimplementasikan.
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.
4. Sikap/kecenderungan (disposisi) implementor.
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni : respon implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan dari atas (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Hubungan antar organisasi (komunikasi).
Implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. Kebijakan yang tidak dikomunikasikan dengan baik dengan pihak terkait pelaksana, tidak akan menghasilkan koordinasi dan dukungan yang baik. Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
Oleh karena itu, komunikasi perlu dibangun antar badan pelaksana sehingga sasaran program/kebijakan dapat tercapai.
21 6. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi.
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.
Gambar 2.3 Model Van Meter dan Van Horn
Sumber: Van Meter dan Van Horn, 1975:463
Model Van Meter dan Van Horn mengurai enam variabel dengan lebih kompleks dari model sebelumnya. Melalui Model Van Meter dan Van Horn ini implementasi dikaji dari berbagai aspek yang saling berkaitan atas keberhasilan suatu kebijakan, model ini tidak lupa mengkaji lingkungan luar yang mempengaruhi. Model ini mengkaji baik variabel dari internal maupun eksternal yang mempengaruhi efektifnya suatu kebijakan. Penelitian implementasi kebijakan dengan menggunakan model Van Meter dan Van Horn ini akan mendapatkan hasil yang lebih kompleks dan detail terhadap proses implementasi.
22 2.2.3 Model Merilee S. Grindle (1980)
Ide pokok model Grindle lebih menegaskan kepada kaitan antara tujuan kebijakan dengan hasil-hasil kegiatan implementasi kebijakan. Setelah kebijakan di transformasikan, kemudian kebijakan diimplementasikan hingga keberhasilannya ditentukan oleh implementability dari kebijakan tersebut.
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (dalam Subarsono, 2005:93) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).
Adapun isi kebijakan (content of policy) mencakup variabel kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima, perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, ketepatan letak sebuah program, aktor pelaksana program, dan sumberdaya yang terlibat.
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan (context of implementation) mencakup kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik institusi penguasa; dan tingkat kepatuhan dan responsivitas.
2.2.4 Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
Model ini memiliki pandangan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan suatu tindakan merealisasikan keputusan output dari kebijakan.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Subarsono, 2005:94), ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yakni:
karakteristik dari masalah (tractability of the problems); karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statue to structure implementation); dan variabel lingkungan (nonstatory variables affecting implementation).
23
Adapun penjabaran karakteristik dari tiga kelompok variabel tersebut yakni: karakteristik masalah berupa tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan, tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran, proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, cakupan perubahan perilaku yang diharapkan;
karakteristik kebijakan berupa kejelasan isi kebijakan, dukungan teoritis terhadap kebijakan, alokasi sumberdaya finansial, dukungan antar institusi pelaksana, kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana, komitmen aparat terhadap kebijakan, partisipasi dalam implementasi kebijakan; dan lingkungan kebijakan berupa kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, dukungan publik terhadap sebuah kebijakan, disposisi dari kelompok pemilih, tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor.
Setelah menjabarkan beberapa model implementasi kebijakan dari beberapa ahli di atas maka peneliti tertarik untuk berpedoman pada model implementasi dari perspektif Van Meter dan Van Horn, yang mana model ini dinilai lebih cocok dan kompleks dalam membahas permasalahan terkait implementasi kebijakan yang relevan dengan judul Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Kota Medan.
2.3 Manajemen Bencana
Defenisi bencana dalam buku Disaster Management – A Disaster’s Management Handbook (W. Nick Carter, 2008:xix) “An event, natural or man-made, sudden or progressive, which impacts with such severity that the affected community has to respond by taking exceptional measures.” Bencana merupakan kejadian alam atau buatan manusia, secara tiba-tiba, yang menimbulkan dampak
24
yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa. Sejalan dengan itu menurut Parker (dalam Wijayanto, 2012 : 26), bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, individu maupun lingkungan untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas. Kedua defenisi tersebut mengatakan bahwa bencana merupakan akibat dari ulah perbuatan manusia dan/ataupun aktivitas alam yang mana dampaknya sangat berpengaruh bagi masyarakat yang terkena bencana dan membutuhkan pertolongan atau tindakan dari masyarakat sekitar
yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa. Sejalan dengan itu menurut Parker (dalam Wijayanto, 2012 : 26), bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, individu maupun lingkungan untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas. Kedua defenisi tersebut mengatakan bahwa bencana merupakan akibat dari ulah perbuatan manusia dan/ataupun aktivitas alam yang mana dampaknya sangat berpengaruh bagi masyarakat yang terkena bencana dan membutuhkan pertolongan atau tindakan dari masyarakat sekitar