• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA BANJIR PADA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA MEDAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA BANJIR PADA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA MEDAN SKRIPSI"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA BANJIR PADA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Administrasi Publik

Oleh :

FANI RIZFI NURKHAIR 150903110

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di Universitas Sumatera Utara maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi.

Medan, 27 September 2019 Yang membuat pernyataan

FANI RIZFI NURKHAIR NIM: 150903110

(3)

i ABSTRAK

Program Pengurangan Risiko Bencana banjir merupakan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang berfokus pada tahap pra bencana dengan memberikan penyuluhan sadar bencana dan pelatihan kepada masyarakat dalam menghadapi bencana banjir. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi kerugian akibat banjir di Medan, namun realitanya permasalahan banjir masih melanda beberapa wilayah Kota Medan terutama pemukiman daerah pinggiran sungai. Maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deksriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi dan dokumentasi yang berkaitan dengan implementasi Program PRB. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan meninjau semua data yang didukung oleh hasil wawancara dengan pendekatan teori yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn bahwa keberhasilan implementasi dapat dipengaruhi oleh standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya manusia dan sumberdaya finansial, karakteristik agen pelaksana, disposisi implementor, komunikasi antar organisasi, dan lingkungan ekonomi, sosial, politik.

Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa Implementasi Program PRB Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan secara garis besar dinilai dari enam variabel telah dipenuhi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan meskipun tidak cukup sempurna. Karena masih ada kekurangan pada tujuan mitigasi kultur, komunikasi kepada masyarakat, dan lingkungan sosial. Meskipun demikian Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan tetap melaksanakan implementasi Program PRB sesuai yang diamanatkan, selaku lembaga yang berwenang dalam pengelolaan bencana.

Kata Kunci: Implementasi, Kebijakan, Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

(4)

ii ABSTRACT

Flood Disaster Risk Reduction Program is a disaster management policy that focuses on the pre-disaster stage by providing disaster awareness counseling and training to the community in dealing with floods. The policy aims to reduce losses due to flooding in Medan, but the reality of the flooding problem is still affecting some areas of the city of Medan, especially settlements on river banks.

So this study aims to find out and describe the Implementation of Flood Disaster Risk Reduction Program at the Medan City Disaster Management Agency.

This research uses descriptive research method with a qualitative approach. Data collection techniques carried out by interview, observation and documentation related to the implementation of the DRR Program. The data obtained were then analyzed qualitatively by reviewing all data supported by the results of interviews with the theoretical approach proposed by Van Meter and Van Horn that successful implementation can be influenced by policy standards and objectives, human and financial resources, characteristics of implementing

agencies, implementor dispositions, communication between organizations, and the economic, social, political environment.

From the results of the study, it can be seen that the Implementation of the Flood DRR Program at the Medan City Regional Disaster Management Agency is broadly judged from the six variables that have been fulfilled by the Medan City Disaster Management Agency although it is not quite perfect. Because there are still deficiencies in the goals of cultural mitigation, communication to the community, and the social environment. Nevertheless the Medan City Regional Disaster Management Agency continues to implement the DRR Program as mandated, as the authorized agency in disaster management.

Keywords: Implementation, Policy, Disaster Risk Reduction Program (DRR)

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan ridhoNya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan”.

Penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Sarjana (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Administrasi Publik.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, baik dari segi bahasa, isi dan penulisan yang digunakan karena masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Dengan penuh ketulusan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan skripsi ini. Banyak masukan, motivasi, dan doa

yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si.

2. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, M.A selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Asima Yanty S Siahaan, M.A, Ph.D sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan motivasi kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

(6)

iv

4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU yang telah memberikan begitu banyak ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan.

5. Kedua orang tua tercinta, Rizaldi dan Fitriani Efalina, yang selalu menemani dan mendoakan penulis, terimakasih atas kasih sayang, pengorbanan, dukungan secara moril dan materil kepada penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan sarjana.

6. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan H. Arjuna Sembiring, S.Sos, M.SP yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian skripsi di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan.

7. Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan, Bapak Fahruddin, S.H, M.AP, Ibu Hasnidar, S.E selaku Kepala Seksi Pencegahan, Bapak Muhammad Mukti, S.AP, M.Si, M.H selaku Kepala Seksi Kesiapsiagaan, Bapak Drs. Ali Tohar, M.Si selaku Penyuluh Bencana yang telah meluangkan waktu, memberikan banyak informasi, data-data menyangkut penelitian ini.

8. Informan penulis yakni Bapak Rudi Hartono, Ibu Ratna Sari,Ibu Romlah, Bapak Ali Umar, Bapak Syafi’i Lubis, Bapak Zulfahmi, Ibu Nurlela Wati, Bapak Hendri Nababan, Kak Yesi Tanjung, dan Abang Wahyu yang telah sangat baik meluangkan waktunya untuk keperluan penelitian ini.

9. Kak Dian dan Bang Suhendri yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi selama perkuliahan.

10. Kak Yolanda Dwi Anggraeni, S.Pd dan Venny Tritara Kartika yang senantiasa menjadi tempat persinggahan pelipur lara dan kebosanan dikala penulis jenuh.

(7)

v

11. Muhamad Rasyid Waruwu selaku Wakil Presiden Mahasiswa USU 2019 sekaligus pembimbing pribadi penulis, yang senantiasa membimbing dan menemani segala urusan penulis. Terima kasih telah menjadi abang yang selalu memberikan pundak untuk segala keluh kesah dan kesabaranmu dalam menghadapi penulis, semoga kita menjadi jodoh yang ditorehkan Allah SWT.

12. Siti Maisarah sejawat istimewa tempat berbagi pengalaman menyenangkan sampai terburuk sekalipun, sekaligus mempunyai kesamaan dengan penulis.

13. Para sahabat kelompok kepentingan (PKL Samosir) Ribka N.Z, Chatreen, Namira dan Annisa serta abangda Restu, Candra, Leten terima kasih telah mengukir kenangan bagi penulis dan dukungan selama kuliah. Sampai jumpa di masa mendatang semoga menjadi pribadi yang sukses dengan jalannya masing-masing.

14. Seluruh mahasiswa Administrasi Publik Stambuk 2015, yang membantu penulis selama kuliah dan menyusun skripsi, terimakasih banyak.

15. Kamu yang membaca skripsi ini dan sedang berjuang menyusun skripsi, semangat dan selalu berdoa serta Tawakal kepada Allah SWT.

Semoga Allah SWT berkenan membalas kebaikan semua pihak yang membantu penulis dan skripsi ini dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan Indonesia.

Medan, 27 September 2019 Penulis

Fani Rizfi Nurkhair

(8)

vi DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………. i

ABSTRACT……….. ii

KATA PENGANTAR……….. iii

DAFTAR ISI………. vi

DAFTAR TABEL……….... viii

DAFTAR GAMBAR……… ix

DAFTAR LAMPIRAN………. x

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...9

1.3 Tujuan Penelitian...9

1.4 Manfaat Penelitian...9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...11

2.1 Kebijakan Publik...11

2.2 Model Implementasi Kebijakan...16

2.3 Manajemen Bencana...23

2.4 Kebijakan Penanggulangan Bencana...28

2.5 Konsep Pengurangan Risiko Bencana (PRB)...30

2.6 Defenisi Konsep...35

2.7 Hipotesis Kerja...36

BAB III METODE PENELITIAN...37

3.1 Bentuk Penelitian...37

3.2 Lokasi Penelitian...37

3.3 Informan Penelitian...38

3.4 Teknik Pengumpulan Data...42

3.5 Teknik Analisis Data...44

3.6 Teknik Keabsahan Data...45

BAB IV PEMBAHASAN...47

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian...47

4.1.1 Gambaran Umum Kota Medan...47

4.1.1.1 Pengertian Lambang Kota Medan...47

4.1.1.2 Visi dan Misi Kota Medan...48

4.1.1.3 Lokasi dan Kondisi Geografis...49

4.1.1.4 Peta Rawan Bencana...52

4.1.1.5 Kependudukan...53

4.1.2 Gambaran Umum Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan...54

4.1.2.1 Visi dan Misi BPBD Kota Medan...56

4.1.2.2 Struktur Organisasi BPBD Kota Medan...57

4.1.2.3 Tugas Pokok dan Fungsi Jabatan BPBD Kota Medan...60

(9)

vii

4.2 Program Pengurangan Risiko Bencana...68

4.3 Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada BPBD Kota Medan...72

4.3.1 Standar dan tujuan (standards and goals)...73

4.3.2 Sumber daya (Resource)...81

4.3.3 Karakteristik agen pelaksana (Implementing agent characteristics)...92

4.3.4 Disposisi implementor (Disposition)...97

4.3.5 Hubungan antar organisasi (Communication)...101

4.3.6 Lingkungan sosial, politik, dan ekonomi (Socio-political environment)...107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...115

5.1 Kesimpulan...115

5.2 Saran...118 DAFTAR PUSTAKA

(10)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Matriks Informan Penelitian...40

Tabel 4.1 Luas Wilayah dan Demografi Per Kecamatan di Kota Medan...53

Tabel 4.2 Jumlah Pejabat Struktural BPBD Kota Medan...58

Tabel 4.3 Jumlah Pejabat Fungsional BPBD Kota Medan...58

Tabel 4.4 Daftar Pegawai Struktural BPBD Kota Medan...82

(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Data Bencana di Indonesia 2014-2018...2

Gambar 1.2 Grafik Bencana Alam Kota Medan 2014-2018...8

Gambar 2.1 Implementasi Kebijakan Publik...15

Gambar 2.2 Model Implementasi Edward III...18

Gambar 2.3 Model Van Meter dan Van Horn...21

Gambar 2.4 Alur Perkembangan Landasan Pembentukan PRB...32

Gambar 2.5 Siklus Manajemen Bencana...33

Gambar 4.1 Logo Kota Medan...47

Gambar 4.2 Peta Administrasi Wilayah Kota Medan...50

Gambar 4.3 Peta Risiko Bencana Banjir di Kota Medan...52

Gambar 4.4 Kantor BPBD Kota Medan...54

Gambar 4.5 Struktur Organisasi BPBD Kota Medan...59

Gambar 4.6 Bagan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana...70

Gambar 4.7 Alur Perkembangan Landasan Pembentukan PRB...74

Gambar 4.8 Pelatihan Internal Sumber Daya Manusia BPBD Kota Medan....86

Gambar 4.9 Sarana Prasarana Pendukung pada BPBD Kota Medan...87

Gambar 4.10 Ruangan Pusdalops-PB BPBD Kota Medan...88

Gambar 4.11Bagan Struktur Organisasi BPBD Kota Medan...94

Gambar 4.12 TRC-PB di Posko Siaga BPBD Kota Medan...100

(12)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Pedoman Observasi Lampiran 3 Pedoman Dokumentasi Lampiran 4 Transkrip Wawancara Lampiran 5 Transkrip Observasi Lampiran 6 Transkrip Dokumentasi

Lampiran 7 Surat Izin Penelitian di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan dari Balitbang Pemerintah Kota Medan

Lampiran 8 Surat Izin Penelitian di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kerugian bencana terus meningkat dengan konsekuensi besar bagi kelangsungan hidup, martabat dan mata pencaharian individu, terutama bagi masyarakat miskin, dan hasil pembangunan yang diperoleh dengan susah payah.

Risiko bencana semakin menjadi perhatian global dan dampak serta tindakannya di satu wilayah dapat memiliki dampak pada risiko di negara lain, dan sebaliknya.

Hal ini, diperparah dengan meningkatnya kerentanan terkait dengan perubahan kondisi demografis, teknologi, dan sosial-ekonomi, urbanisasi yang tidak direncanakan, pembangunan dalam zona berisiko tinggi, lingkungan degradasi, variabilitas iklim, perubahan iklim, bahaya geologis, dan kelangkaan sumber daya, menunjukkan masa depan di mana bencana dapat semakin mengancam ekonomi dunia, populasinya dan pembangunan berkelanjutan dari negara-negara berkembang.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang letaknya strategis, karena letak yang strategis ini Indonesia memiliki kekayaan dan potensi sumber daya alam yang luar biasa serta keragaman flora dan faunanya. Dibalik kelebihan potensi dan kekayaan sumber daya alamnya tentu saja posisi strategis Indonesia ini juga menjadikan Indonesia sebagai negara yang rawan bencana.

Indonesia berada di zona berisiko tinggi yang mana sejajar dengan Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire). Lingkaran Api Pasifik merupakan daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan

(14)

2

samudra pasifik. Oleh karena itu, sering kali gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi terjadi di Indonesia dalam rentang waktu yang berdekatan. Selain itu mengingat dua musim di Indonesia yaitu musim hujan dan musim kemarau juga membawa pengaruh besar terhadap bencana yang sering terjadi.

Hal ini tercatat dari data yang didapatkan dari situs resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia.

Gambar 1.1 Data Bencana di Indonesia 2014-2018

Sumber: bnpb.go.id

Dapat dilihat dari data pada tabel diatas, dalam rentang 5 (lima) tahun terakhir dari tahun 2014 sampai pada tahun 2018 tercatat lebih dari 1000 – 2000 kasus bencana alam terjadi. Adapun bencana alam yang paling sering terjadi ialah banjir, tanah longsor, serta kebakaran hutan dan lahan, hal ini menunjukkan bahwa musim di Indonesia juga berpengaruh terhadap bencana yang ada. Banjir dan tanah longsor terjadi karena curah hujan yang tinggi pada saat musim hujan yang terjadi sekitar bulan september sampai bulan maret dengan disertai angin kencang.

(15)

3

Sebagai contoh mengenai bencana di tanah air yang terjadi di tahun 2018, yaitu bencana alam yang menimpa wilayah Palu dan Donggala Provinsi Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu. Tercatat lebih dari 1000 orang korban akibat gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, kejadian ini menyebabkan kerusakan parah di wilayah tersebut. Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa tsunami dengan ketinggian lebih dari 0,5 meter menerjang Palu seusai gempa 7,7 SR mengguncang Donggala, Jumat (29/9) pukul 17.02 WIB.

(https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180929053140-199-334182/kenali- penyebab-gempa-donggala-dan-tsunami-palu diakses pada 22/10/2018 pukul 15.37 WIB).

Belum selesai mengenai bencana Palu dan Donggala, terjadi lagi peristiwa bencana alam yang melanda Mandailing Natal pada 12 Oktober 2018 lalu. Banjir bandang yang terjadi melanda sembilan kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal. Peristiwa itu menyebabkan sedikitnya 13 orang meninggal

dunia dan 10 orang lainnya dinyatakan hilang.

(https://regional.kompas.com/read/2018/10/19/05594121/fakta-banjir-bandang- mandailing-natal-9-kecamatan-terdampak-hingga-kunjungan. diakses pada 22/10/2018 pukul 16.32 WIB).

Pemahaman pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas respon bencana menjadi semakin penting, manajemen dan pengurangan risiko bencana alam di Indonesia khususnya terus menjadi tantangan global. Dalam menanggapi masalah yang krusial terkait bencana yang sering terjadi di Indonesia, pemerintah memiliki peran penting dalam penanggulangan bencana baik kondisi pra bencana,

(16)

4

saat bencana dan pasca bencana. Indonesia memiliki kerangka hukum yang kuat dan komprehensif untuk penanggulangan bencana. UU Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007 memberikan dasar bagi penanggulangan bencana dan PRB di Indonesia. Bersama dengan rangkaian peraturan yang dikeluarkan tahun 2008, UU ini menjabarkan seperangkat ketentuan komprehensif yang merangkum tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, hak dan kewajiban masyarakat, peran lembaga usaha dan internasional, tahap-tahap penanggulangan bencana yang berbeda, serta bantuan keuangan dan penanggulangan bencana.

Pengembangan ini terhubung dengan komitmen utama dalam penerapan PRB yang telah disusun oleh pemerintah Indonesia dengan diadopsinya Hyogo Framework for Action/HFA (Kerangka Kerja Hyogo untuk Aksi). Indonesia telah

membuat langkah yang tegas dan positif demi memadukan dan melaksanakan rekomendasi utama HFA.

Disamping itu masyarakat tanah air juga memiliki hak terhadap keamanan dan perlindungan sesuai dengan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 disebutkan suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang artinya pemerintah dibentuk selain untuk menjalankan tata kelola negara tetapi juga berperan dalam menjamin perlidungan dan keamanan masyarakat.

Untuk menjalankan peran pemerintah dalam melindungi masyarakatnya dan menanggulangi bencana yang ada, pemerintah Indonesia membentuk suatu lembaga bernama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Landasan hukum pembentukan BNPB tertulis dalam Pasal 10 (1) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, BAB IV Kelembagaan, dan Pasal 1 (18)

(17)

5

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, BAB I Ketentuan Umum. BNPB adalah lembaga pemerintahan non-departemen yang dibentuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menanggulangi bencana tingkat pusat.

Adapun lembaga untuk mengurus tingkat daerah bernama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang melakukan penyelenggaraan penanggulangan bencana di berbagai daerah. BPBD mempunyai peran dan tanggungjawab yang sama dengan BNPB hanya saja lembaga ini dibentuk untuk mengurus urusan penanggulangan bencana tingkat daerah. Mengingat Indonesia merupakan negara desentralisasi yang luas dengan beberapa provinsi yang tersebar sehingga BPBD dibentuk untuk mengurus daerahnya masing-masing.

Berdasarkan data bencana Kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari bpbd.pemko.go.id , bencana alam yang paling rawan dan sering melanda Kota Medan diantaranya banjir, gempa bumi, dan kebakaran. Dengan mencermati kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis, pada kenyataannya wilayah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor

alam, faktor non alam maupun faktor manusia.

(http://bpbd.pemkomedan.go.id/statis-1-profil.html diakses pada 11/01/2019 23.22 WIB).

Seperti dari berita yang peneliti himpun berikut, hujan lebat yang melanda Kota Medan pada 15 sampai 16 September 2018, menyebabkan sejumlah sungai yang ada di Kota Medan meluap dan berakibat banjir khususnya daerah yang berada di bantaran sungai. Banjir juga terjadi di kawasan Kampus Universitas

(18)

6

Sumatera Utara. Tidak cukup sampai disitu banjir yang mencapai 180 cm terjadi di Jalan Pamen, Lingkungan III, Gang Napindo, dan Lingkungan VII, Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru. Dari informasi BPBD Medan, ketinggian air kurang lebih 150-180 cm sampai memasuki rumah warga.

(https://www.liputan6.com/regional/read/3645278/ratusan-rumah-warga-medan- terendam-banjir-hingga-2-meter diakses pada 21/02/2019 12.00 WIB)

Dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam berskala besar dapat menghancurkan pencapaian pembangunan dan menurunkan ekonomi masyarakat sekitarnya. Namun, dalam meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh bencana, pemerintah masih dapat mengambil langkah yaitu mengurangi risiko pada tahap pra bencana. Pengurangan risiko bencana pada tahap pra bencana, merupakan hal yang sangat penting dalam penanggulangan bencana. Seperti yang diketahui karakter bencana alam ialah tidak dapat diprediksi dan dihentikan, tetapi dapat dihindari melalui pengurangan risiko bencana.

Berdasarkan pemaparan diatas dengan memperhatikan kondisi daerah Kota Medan terhadap resiko bencana yang mengancam masyarakat, Kota Medan Provinsi Sumatera Utara juga mempunyai lembaga penanggulangannya sendiri, yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Medan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 28 Maret 2011 yang tugas utamanya adalah membantu Pemerintah Daerah dalam upaya penanggulangan bencana di Kota Medan, dengan melaksanakan implementasi pengurangan resiko bencana secara komprehensif dan sistematis dengan didukung oleh suatu komitmen yang kuat dari semua pihak (stakeholders).

(19)

7

Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagai garda terdepan dalam pengelolaan bencana alam di tiap daerah memiliki tujuan penyelenggaraan penanggulangan bencana dimana lembaga ini memiliki misi, melindungi masyarakat Penanggulangan Bencana yang handal; Membangun Sistem Penanggulangan Bencana secara terencana; dan Menyelenggarakan Penanggulangan Bencana secara terencana, terpadu dan meyeluruh.

Untuk mewujudkan misi tersebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan telah mengambil sikap dengan memprioritaskan program pengurangan risiko bencana. Namun pada realita yang ada Kota Medan masih sering dilanda bencana dan bencana yang paling sering melanda ialah banjir.

Banjir sering melanda di beberapa daerah tertentu di Kota Medan terutama ketika musim hujan dan air sungai meluap. Pada 1 Desember 2017, hujan deras yang mengakibatkan banjir di beberapa wilayah Kota Medan salah satunya Gang Merdeka Kelurahan Sei Mati menelan dua korban. Kedua korban tersebut masih anak-anak berusia 5 tahun dan 7 tahun yang merupakan warga pemukiman daerah tersebut (https://medan.tribunnews.com/2017/12/03/banjir-di-medan-menelan- korban-begini-kronologis-lengkap-penemuan-jenazah?page=all diakses pada 10/09/2019 11.13 WIB).

Banjir melanda tidak hanya di daerah pinggiran Kota Medan namun di pusat kota pun masih sering ditemui, padahal wilayah perkotaan yang drainasenya lebih besar pun masih menimbulkan genangan air bahkan banjir. Hal ini menimbulkan banyak keluhan masyarakat, karena banjir dapat menghambat mobilitas aktivitas masyarakat dan transportasi. Melihat realita ini artinya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Medan masih menghadapi

(20)

8

masalah dalam menerapkan Program Pengurangan Risiko Bencana secara maksimal terutama permasalahan banjir di beberapa daerah Kota Medan.

Dari pemaparan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai implementasi program pengurangan risiko bencana banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan. Selain di latarbelakangi oleh permasalahan tersebut diatas, peneliti mengambil penelitian dengan judul terkait Pengurangan Risiko Bencana (PRB) karena masih jarangnya ditemukan penelitian dengan judul relevan. Padahal dewasa ini penelitian terkait bencana sangat penting untuk dilakukan, mengingat bencana merupakan hal yang sering terjadi dan tak terduga di kehidupan yang fenomenanya membawa dampak besar bagi pembangunan dan perubahan sosial lainnya. Seperti pada grafik berikut.

Gambar 1.2 Grafik Bencana Alam Kota Medan 2014-2018

Sumber: Data Informasi Bencana Indonesia BNPB, 2014-2018

Data pada grafik tersebut diperoleh dari Data Informasi Bencana Indonesia berdasarkan wilayah Kota Medan kategori banjir (https://dibi.bnpb.go.id pada 14/03/2019 22.17WIB). Tabel tersebut menggambarkan bahwa bencana yang terjadi khususnya di Kota Medan dalam rentang lima tahun terakhir masih banyak menimbulkan kerusakan dan korban, padahal program PRB sendiri sudah berjalan

(21)

9

sejak dikeluarkannya UU No.24 Tahun 2007, sejalan juga dengan PP No.21 Tahun 2008. Dengan itu implementasi terkait program PRB dijadikan kajian oleh peneliti. Dengan adanya penelitian yang relevan terhadap bencana, dapat diproyeksikan untuk membuka wawasan bagi para stakeholder untuk menemukan kekurangan terhadap pencegahan bencana dan meningkatkan upaya manajemen pra bencana.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian latar belakang diatas untuk membatasi kajian penelitian, maka dirumuskan masalah yaitu “Bagaimana Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam pelaksanaan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan dari dua sisi:

1. Secara Teoritis

a. Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan, sebagai informasi dan masukan dalam perumusan kebijakan dan perbaikan upaya dalam penanggulangan bencana kepada masyarakat.

(22)

10

b. Bagi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sebagai penambahan kualitas dan kuantitas referensi dalam bidang Ilmu Sosial khususnya dalam bidang Ilmu Administrasi Publik.

c. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan informasi mengenai Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan.

2. Secara praktis

Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan yang memberikan pemahaman tentang implementasi program pengurangan risiko bencana banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan.

(23)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Siswoyo (dalam Mardalis, 2003:4) teori diartikan sebagai seperangkat konsep dan definisi yang saling berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena dengan menerangkan hubungan antar variable, dengan tujuan untuk menerangkan dan meramalkan fenomena.

Landasan teori dimanfaatkan sebagai gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.

2.1 Kebijakan Publik

Dalam menjalankan suatu pemerintahan sering ditemukan beragam permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pemerintah sebagai pengelola negara bertugas mengontrol ketertiban dan menjamin kehidupan sosial. Untuk mengurai dan menyelesaikan permasalahan yang ada pemerintah mengeluarkan suatu produk berupa kebijakan publik. Hadirnya kebijakan publik bertujuan untuk menyelesaikan permasalah sosial dan demi kepentingan umum yang ada sekaligus sebagai bukti eksistensi pemerintah. Untuk memahami lebih jauh ada beberapa pemahaman teoritis mengenai kebijakan publik seperti menurut David Easton (dalam Thoha 2002:62-63) mendefenisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai secara sah/paksa kepada seluruh masyarakat. Sementara itu pendapat James E.Anderson (dalam Tangkilisan 2003:19) mengartikan kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.

(24)

12

Thomas R.Dye (dalam Kusumanegara 2010:4) berpendapat kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan. Sejalan dengan pendapat Edward dan Sharkansky (dalam Kusumanegara 2010:4) Kebijakan publik adalah apa yang dikatakan dan dilakukan pemerintah, mencakup : tujuan-tujuan, maksud program pemerintah, pelaksanaan, dan peraturan. Kedua pendapat tersebut terkonsentrasi pada tindakan pemerintah seperti yang dikemukakan berhubungan dengan segala tindakan dan proses yang diambil dan dikerjakan oleh pemerintah dalam mengkonstruksikan nilai-nilai melalui suatu kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan yang hadir melalui pelaksanaan kebijakan atau program yang mengandung tujuan yang ingin dicapai.

Kebijakan terdiri dari beberapa komponen menurut Charles O.Jones (dalam Tangkilisan 2003:3) yaitu tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan yang dibuat (goal), uraian kerja atau langkah kegiatan yang lebih jelas mengenai pencapaian yang ditargetkan dalam kebijakan tertulis dalam proposal kebijakan (plans), hasil dari perumusan kebijakan yang dibuat berupa output keputusan kebijakan yang diambil untuk kemudian diimplementasikan, dan terakhir setelah kebijakan tersebut diimplementasikan dalam jangka waktu tertentu kemudian ditinjau akibat-akibat yang hadir dari keputusan tersebut apakah tepat sasaran atau tidak.

Kemudian dalam membentuk kebijakan publik memerlukan beberapa tahapan yang berjalan sistematis, Dunn (1998:25) mengemukakan tahap-tahap kebijakan publik sebagai berikut :

1. Penyusunan Agenda

(25)

13

Kegiatan penyusunan agenda merupakan kegiatan untuk melihat dan menganalisis permasalahan yang ada di masyarakat, untuk kemudian dipilah mengenai permasalahan yang krusial dan harus di prioritaskan. Dalam proses ini suatu masalah yang diangkat menurut Woll (dalam Tangkilisan, 2003:8) harus berkriteria memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat, isu ini dihubung-kaitkan terhadap kebijakan yang pernah ada, dan tersedianya sumberdaya untuk memecahkan masalah.

2. Formulasi Kebijakan

Permasalahan yang telah dipilah dan masuk dalam agenda publik, kemudian dilakukan analisis untuk mencari akar permasalahan dan dibentuk rumusan kebijakan oleh para pembuat kebijakan. Dalam proses ini para formulator mencari berbagai alternatif, kemudian dari berbagai alternatif itu akan bersaing dan dipilih mana solusi terbaik melalui identifikasi dalam menyelesaikan masalah yang hadir.

3. Adopsi/legitimasi Kebijakan

Tahapan ini untuk memberikan otoritas kepada produk kebijakan publik yang dihasilkan oleh para formulator. Dengan melewati proses legitimasi kebijakan masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan publik tersebut harus percaya dan mengikuti apa yang diputuskan pemerintah.

4. Implementasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan publik yang dihasilkan dijalankan oleh segala lapisan masyarakat secara paksa, dan berkelanjutan untuk mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Bila kebijakan telah disepakati namun tidak ada tindakan nyata dari para implementor maka kebijakan tersebut hanya sebatas administrasi.

Dalam implementasi kebijakan akan didapatkan dukungan dari para pelaksana, dan sebagian lagi akan mendapatkan tentangan dari para pelaksana.

5. Evaluasi Kebijakan

Tahapan terakhir adalah dilakukan penilaian terhadap kebijakan publik yang dilaksanakan. Dalam hal ini, Winarno (2008:255) mengatakan bahwa penilaian mencakup substansi, implementasi, dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan publik tersebut. Bila dalam penilaian didapatkan dampak yang kurang baik maka kebijakan tersebut patut dilakukan peninjauan kembali terhadap isinya.

Dari beberapa pendapat yang dikutip diatas dapat ditarik pengertian bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian aktivitas yang dijalankan oleh setiap orang untuk mencapai tujuan (goal) yang direncanakan oleh pemerintah, dengan menetapkan keputusan secara sah kepada masyarakat berupa program-program atau rangkaian kegiatan berkelanjutan yang dimaksudkan untuk mengatasi suatu permasalahan yang sedang dihadapi.

(26)

14

Dalam merumuskan suatu kebijakan terdapat beberapa proses yang di lewati mulai dari tahap penyusunan agenda, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi. Suatu kebijakan yang telah melewati beberapa tahap perumusan kemudian di cari alternatif terbaik oleh pemerintah, langkah selanjutnya ialah implementasi sebagai tahapan penting yang harus ada dalam keseluruhan proses kebijakan publik (Wahab, 2014:133).

Implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses politik (Lester dan Stewart, 2000:104). Selanjutnya dari James Anderson (dalam Kusumanegara 2010:97) menyatakan bahwa implementasi kebijakan / program merupakan bagian dari administrative process (proses administrasi).

Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab (2004) adalah:

“Konsep implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement.

Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)” (Webster dalam Wahab, 2004:64).

Pengertian implementasi selain menurut Webster dijelaskan juga menurut Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi adalah :

“Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu / pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan” (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2004:65).

Adapun tahap-tahap dalam pelaksanaan implementasi kebijakan publik berdasarkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor:

PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi,

(27)

15

Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah, tahap-tahap implementasi dapat digambarkan sebagai berikut (dalam Setyawan, 2017:138-139).

Gambar 2.1 Implementasi Kebijakan Publik

Sumber: Setyawan, 2017:138-139

Bagan diatas menjelaskan sosialisasi dalam implementasi kebijakan dilaksanakan kurun waktu hingga 6 bulan. Sosialisasi dan pemberdayaan para pelaksana kebijakan dilakukan mulai dari kalangan pemerintah (birokrasi) maupun publik (masyarakat). Tahapan sosialisasi dilakukan dengan cara penyebarluasan kepada publik melalui media massa elektronik, media cetak, dan temu publik. Setelah masa sosialisasi berakhir tahap selanjutnya masa uji coba yang mana implementasi kebijakan publik dilaksanakan tanpa sanksi dengan jangka waktu selama 6 bulan hingga 1 tahun dan disertai perbaikan atau penyempurnaan kebijakan (policy rifenement) apabila diperlukan. Implementasi kebijakan publik dengan sanksi dilakukan setelah masa uji coba selesai disertai pengawasan dan pengendalian. Setelah dilakukan implementasi kebijakan selama tiga tahun, dilaksanakan evaluasi kebijakan, guna melihat kekurangan dan feedback yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut.

Sosialisasi Kebijakan (0-6)

Penerapan Kebijakan tanpa sanksi (6-1 tahun) disertai perbaikan kebijakan (policy refinement) apabila diperlukan

Penerapan dengan sanksi disertai pengawasan dan pengendalian

Evaluasi kebijakan (pada akhir tahun ke 3 dan/atau ke 5 sejak diterapkan dengan sanksi

(28)

16

Dari beberapa pemahaman yang dikemukakan tersebut mengartikan bahwa kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dilakukan implementasi kepada seluruh lapisan baik kalangan masyarakat maupun pemerintah secara paksa dan dilaksanakan dalam kurun waktu yang ditetapkan agar diarahkan pada pencapaian tujuan, untuk kemudian dilihat dampak atau akibat yang ditimbulkan kebijakan tersebut apakah tepat sasaran/tujuan atau tidak.

Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat kajian mengenai implementasi suatu kebijakan berupa Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Kota Medan.

2.2 Model Implementasi Kebijakan

Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Kesulitan akan banyak ditemui jika fenomena sosial harus dijelaskan dengan konsep abstrak. Oleh karena itu, model diperlukan untuk menyampaikan fenomena yang rumit dan kompleks, dengan tujuan menyelaraskan persepsi terhadap suatu fenomena.

Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.

Beberapa variabel dan faktor yang terlibat dalam keberhasilan implementasi dapat dipahami melalui beberapa model-model implementasi, antara lain :

2.2.1 Model George C. Edwards III (1980)

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.

Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III mengajukan dua pertanyaan, yakni:

(29)

17

1. What is the precondition for successful policy implementation?

(Apa prasyarat untuk keberhasilan implementasi kebijakan?)

2. What are the primary obstacles to successful policy implementation?

(Apa kendala utama untuk keberhasilan implementasi kebijakan?)

Dalam menjawab pertanyaan tersebut Edward menegaskan bahwa kebijakan tidak akan berhasil tanpa implementasi yang efektif dari pembuat kebijakan, agar implementasi berjalan efektif ada empat hal yang harus diperhatikan. Dalam pandangan Edward III (dalam Indiahono, 2009:31), implementasi kebijakan dipeengaruhi oleh empat variabel, yakni :

1. Komunikasi

Berkenaan dengan bagaimana kebijakan publik dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumberdaya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan respon dari para pihak yang terlibat, dan struktur organisasi pelaksana kebijakan. Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam komunikasi, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Transmisi adalah keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah telah diteruskan kepada personil yang tepat. Kejelasan adalah perintah-perintah yang akan dilaksanakan tersebut haruslah jelas misalkan melalui petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Konsistensi adalah perintah-perintah tersebut harus jelas dan tidak bertentangan dengan para pelaksana kebijakan agar proses implementasi dapat berjalan lebih efektif (Winarno, 2002:125).

2. Sumberdaya

Berkenaan dengan ketersediaan sumberdaya, khususnya sumberdaya manusia dan finansial. Sumberdaya manusia mengenai kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan secara efektif. Kemudian sumberdaya finansial adalah kecukupan modal investasi atas keberlangsungan sebuah program/kebijakan. Tanpa adanya sumberdaya sebuah kebijakan hanya akan menjadi tulisan dalam dokumen.

3. Disposisi

Disposisi berbicara mengenai watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Disposisi dapat berupa respon positif maupun respon negatif, bila implementor kebijakan mempunyai disposisi positif maka kebijakan dapat berjalan lancar dan efektif begitu juga sebaliknya bila disposisi negatif maka kebijakan tidak akan berjalan sesuai arah yang diinginkan. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arah program yang telah digariskan dalam guideline program. Pengalaman korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan cerminan konkrit dari rendahnya komitmen dan kejujuran aparat dalam mengimplementasikan kebijakan.

(30)

18

Kemudian sikap yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran.

4. Struktur Birokrasi

Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi. Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Struktur organisasi sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang dan kompleks sehingga dapat menghindari red-tape.

Gambar 2.2 Model Implementasi Edward III

Sumber: Edward III, 1980:48

Setiap variabel yang dikemukakan diatas saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya untuk menciptakan implementasi kebijakan yang efektif, keempat variabel saling bersinergi dalam mencapai tujuan dari kebijakan tersebut.

Model Edward menjelaskan keterkaitan antara komunikasi yang baik oleh struktur birokrasi yang sistematis, didukung oleh potensi sumberdaya yang mumpuni, dilaksanakan oleh implementor yang komitmen dan jujur akan menghasilkan implementasi kebijakan yang efektif dan tepat sasaran. Model Edward ini menekankan tantangan bagaimana suatu kebijakan tidak terjadi fragmentasi yang membuat implementasi menjadi tidak efektif. Model Edward masih termasuk

(31)

19

sederhana karena hanya melibatkan empat variabel, berbeda dengan model lain yang lebih kompleks melibatkan banyak variabel.

2.2.2 Model Van Meter dan Van Horn (1975)

Meter dan Horn dalam (Suaib, 2016:82) mendefenisikan implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu- individu (dan kelompok-kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Model ini berpandangan bahwa kebijakan publik berjalan secara linier, mulai dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik.

Model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005:99), menetapkan enam variabel yang diyakini dapat memengaruhi implementasi dan kinerja kebijakan, yaitu :

1. Standar dan sasaran kebijakan.

Standar dan sasaran kebijakan berisi uraian yang ingin dicapai oleh program, dalam jangka pendek, menengah atau panjang. Standar dan sasaran harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika- dan-hanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio- kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumberdaya.

Implementasi kebijakan membutuhkan dukungan mobilisasi sumberdaya baik dari sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial. Sumberdaya manusia (human resources) diperlukan dalam menjalankan implementasi kebijakan, berkaitan dengan kualitas dan kompetensinya. Kemudian sumberdaya finansial (financial resources) dalam implementasi berkenaan dengan kebutuhan dana yang dimobilisasikan selama kebijakan itu berjalan untuk keberhasilan.

(32)

20 3. Karakteristik agen pelaksana.

Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi di internal birokrasi. Karakteristik yang cocok akan mempengaruhi efektifitas suatu kebijakan dan/atau program yang sedang diimplementasikan.

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4. Sikap/kecenderungan (disposisi) implementor.

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni : respon implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan dari atas (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Hubungan antar organisasi (komunikasi).

Implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. Kebijakan yang tidak dikomunikasikan dengan baik dengan pihak terkait pelaksana, tidak akan menghasilkan koordinasi dan dukungan yang baik. Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

Oleh karena itu, komunikasi perlu dibangun antar badan pelaksana sehingga sasaran program/kebijakan dapat tercapai.

(33)

21 6. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi.

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok- kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;

karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Gambar 2.3 Model Van Meter dan Van Horn

Sumber: Van Meter dan Van Horn, 1975:463

Model Van Meter dan Van Horn mengurai enam variabel dengan lebih kompleks dari model sebelumnya. Melalui Model Van Meter dan Van Horn ini implementasi dikaji dari berbagai aspek yang saling berkaitan atas keberhasilan suatu kebijakan, model ini tidak lupa mengkaji lingkungan luar yang mempengaruhi. Model ini mengkaji baik variabel dari internal maupun eksternal yang mempengaruhi efektifnya suatu kebijakan. Penelitian implementasi kebijakan dengan menggunakan model Van Meter dan Van Horn ini akan mendapatkan hasil yang lebih kompleks dan detail terhadap proses implementasi.

(34)

22 2.2.3 Model Merilee S. Grindle (1980)

Ide pokok model Grindle lebih menegaskan kepada kaitan antara tujuan kebijakan dengan hasil-hasil kegiatan implementasi kebijakan. Setelah kebijakan di transformasikan, kemudian kebijakan diimplementasikan hingga keberhasilannya ditentukan oleh implementability dari kebijakan tersebut.

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (dalam Subarsono, 2005:93) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).

Adapun isi kebijakan (content of policy) mencakup variabel kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima, perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, ketepatan letak sebuah program, aktor pelaksana program, dan sumberdaya yang terlibat.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan (context of implementation) mencakup kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik institusi penguasa; dan tingkat kepatuhan dan responsivitas.

2.2.4 Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)

Model ini memiliki pandangan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan suatu tindakan merealisasikan keputusan output dari kebijakan.

Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Subarsono, 2005:94), ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yakni:

karakteristik dari masalah (tractability of the problems); karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statue to structure implementation); dan variabel lingkungan (nonstatory variables affecting implementation).

(35)

23

Adapun penjabaran karakteristik dari tiga kelompok variabel tersebut yakni: karakteristik masalah berupa tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan, tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran, proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, cakupan perubahan perilaku yang diharapkan;

karakteristik kebijakan berupa kejelasan isi kebijakan, dukungan teoritis terhadap kebijakan, alokasi sumberdaya finansial, dukungan antar institusi pelaksana, kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana, komitmen aparat terhadap kebijakan, partisipasi dalam implementasi kebijakan; dan lingkungan kebijakan berupa kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, dukungan publik terhadap sebuah kebijakan, disposisi dari kelompok pemilih, tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor.

Setelah menjabarkan beberapa model implementasi kebijakan dari beberapa ahli di atas maka peneliti tertarik untuk berpedoman pada model implementasi dari perspektif Van Meter dan Van Horn, yang mana model ini dinilai lebih cocok dan kompleks dalam membahas permasalahan terkait implementasi kebijakan yang relevan dengan judul Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Banjir pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Kota Medan.

2.3 Manajemen Bencana

Defenisi bencana dalam buku Disaster Management – A Disaster’s Management Handbook (W. Nick Carter, 2008:xix) “An event, natural or man- made, sudden or progressive, which impacts with such severity that the affected community has to respond by taking exceptional measures.” Bencana merupakan kejadian alam atau buatan manusia, secara tiba-tiba, yang menimbulkan dampak

(36)

24

yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa. Sejalan dengan itu menurut Parker (dalam Wijayanto, 2012 : 26), bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, individu maupun lingkungan untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas. Kedua defenisi tersebut mengatakan bahwa bencana merupakan akibat dari ulah perbuatan manusia dan/ataupun aktivitas alam yang mana dampaknya sangat berpengaruh bagi masyarakat yang terkena bencana dan membutuhkan pertolongan atau tindakan dari masyarakat sekitar maupun luar.

Adapun Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), definisi bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Kemudian sejalan dengan teori tersebut definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Lain halnya dengan kedua pemahaman teoritis ini menekankan bahwa bencana memberi dampak destruktif bagi ekologi hingga mengancam nyawa manusia yang pada akhirnya memperburuk kondisi kesehatan masyarakat yang terkena bencana, dalam kondisi ini wilayah yang terkena bencana memerlukan bantuan dari pihak luar.

(37)

25

Pendapat lainnya oleh Asian Disaster Reduction Center , bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat, berbagai material dan lingkungan (alam) dimana dampak yang ditimbulkan melebihi kemampuan manusia guna mengatasinya dengan sumber daya yang ada. (www.adrc.asia diakses pada 18/02/2019 23.24 WIB).

Dalam menjalankan upaya penanggulangan bencana yang bertujuan untuk mengurangi dampak resiko maupun melakukan pemulihan, diperlukan pengelolaan yang baik terhadap bencana. Pengelolaan bencana dapat dilakukan pada tiga tahap yaitu pra bencana, saat terjadi bencana, dan pasca bencana.

Namun, realitanya dampak kerugian besar yang ditimbulkan setiap kali terjadi bencana mengindikasikan manajemen bencana belum diprioritaskan dengan baik.

Untuk menerapkan manajemen bencana perlu diberi pemahaman dan pengetahuan tentang apa itu manajemen bencana.

Disaster management is “An Applied science with seeks, by the systematic observation and analysis of disaster, to improve measures relating to prevention, mitigation, preparedness, emergency response and recovery.”(W. N Carter, 1991:xxiii). Pengertian ini mempunyai pemahaman yang sejalan dengan UU No.24/2007 bahwa manajemen bencana didefenisikan sebagai suatu proses dinamis, berlanjut dan terintegrasi yang menekankan penerapan ilmu yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Dengan tujuan berupa mencegah dan mengurangi kerusakan alam dan masyarakat, memberi penghidupan yang baik bagi masyarakat, melakukan

(38)

26

rekonstruksi dan rehabilitasi pada pelayanan vital publik, membangun kembali perekonomian dan sosial daerah yang terkena bencana (Khambali, 2017:49).

Dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut menurut Nurjanah (2012:47) kegiatan manajemen bencana dilakukan dalam tiga tahap yaitu pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana dengan uraian kegiatan sebagai berikut :

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini.

Kegiatan pra bencana merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan jauh sebelum bencana terjadi, dimana kegiatan ini memiliki tujuan untuk mengurangi ancaman risiko bencana melalui pembangunan fisik seperti tata ruang, pembangunan infrastruktur, tata bangunan maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana dengan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan. Kegiatan yang mencakup langkah- langkah yang bertujuan untuk menghalangi terjadinya peristiwa bencana dan / atau mencegah kejadian seperti itu terjadi efek berbahaya pada komunitas. Kegiatan pra bencana mendorong pemerintah, organisasi, masyarakat, dan individu untuk merespons dengan cepat dan efektif terhadap situasi bencana.

2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti search and rescue (SAR), bantuan daruirat dan pengungsian

Kegiatan saat terjadi bencana merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, dan memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kepada para korban atau pengungsi pada keadaan darurat.

3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Kegiatan pasca bencana merupakan kegiatan dimana masyarakat dan pemerintah atau stakeholder terkait membantu dalam pemulihan aspek pelayanan publik, aspek kehidupan atau kebutuhan dasar masyarakat, dan pembangunan kembali sarana-prasarana yang memadai setelah terjadinya bencana. Proses pemulihan bisa memakan waktu, mungkin memakan waktu 5-10 tahun atau bahkan lebih. Pemulihan biasanya diambil dengan memasukkan aspek lain seperti restorasi dan rekonstruksi.

Kegiatan manajemen bencana dapat berjalan dengan baik dan maksimal apabila ketiga kegiatan pada tahap pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana

(39)

27

seperti yang di jelaskan diatas saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan sistem yang terstruktur. Dengan memprioritaskan kegiatan manajemen bencana dalam pencegahan, tanggap darurat, dan pemulihan maka tujuan pengurangan risiko dampak bencana dapat dikurangi dan jumlah kerugian massal dapat ditekan.

Dalam pelaksanaannya terdapat lima model manajemen bencana, yaitu (S.G Purnama, 2017:5):

1) Disaster management continuum model.

Keunggulan dari model ini adalah urutan kegiatan dapat menggambarkan kebutuhan berupa tahapan mulai dari prabencana dan pascabencana sedangkan kelemahannya adalah ketergantungan pada tahapan manajemen bencana akan mengakibatkan fokus menjadi terpaku pada tahapan berikutnya. Apabila setelah bencana dilakukan recovery, kemudian bencana datang lagi maka upaya mitigasi yang belum terlaksana akan berakibat besarnya jumlah korban.

2) Pre-during-post disaster model.

Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana.

Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan disaster management continuum model.

3) Contract-expand model.

Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.

4) The crunch and release model.

Manajemen bencana ini menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski bahaya tetap terjadi.

5) Disaster risk reduction framework.

Model ini menekankan upaya manajemen bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun bahaya dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

(40)

28

Dari kelima model manajemen bencana yang ada, yang paling sering digunakan ialah Disaster management continuum model, model ini di uraikan dalam ketetapan Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bagaimanapun model manajemen bencana yang diterapkan, bila setiap kegiatan terintegrasi dengan baik dan dilaksanakan secara maksimal oleh koordinasi lembaga terkait dan masyarakat maka tujuan manajemen bencana untuk mengurangi dampak resiko dapat tercapai.

2.4 Kebijakan Penanggulangan Bencana

Bencana alam maupun non-alam sering terjadi di sekitar kita melanda masyarakat banyak dan tidak dapat dihindari, berbagai penyebab dan dampak timbul saat terjadinya bencana namun masih bisa dicegah dan diminimalisir bila dikelola dengan baik. Bencana yang masih berskala kecil dan dapat diatasi oleh masyarakat tidak menimbulkan dampak signifikan, tetapi bila bencana berskala besar dapat merugikan masyarakat bahkan menghancurkan pembangunan yang selama ini dicapai. Dalam menanggapi hal krusial terkait masalah bencana, pemerintah menerbitkan suatu kebijakan. Menurut James E.Anderson (dalam Tangkilisan 2003:19) mengartikan kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.

Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana sendiri tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Penanggulangan bencana yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut

(41)

29

meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Berdasarkan kebijakan UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang ada serta menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi; membangun partisipasi oleh stakeholder; mendorong semangat gotong royong; dan terselenggaranya perdamaian dalam masyarakat.

Dalam mencapai tujuan peran pemerintah sangat diperlukan dalam menjalankan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Adapun tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengurangan risiko bencana dan pemaduan risiko bencana dengan program pembangunan; perlindungan masyarakat dari dampak bencana;

pemenuhan hak masyarakat yang terkena bencana sesuai standar pelayanan minimum; pemulihan kondisi dari dampak bencana; pengalokasian anggaran penanggulangan bencana; serta pemeliharan dokumen dari ancaman dan dampak bencana.

Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi penetapan kebijakan penanggulangan bencana; pembuatan perencanaan pembangunan yang mengelaborasi kebijakan penanggulangan bencana; penentuan kebijakan mitra dalam penanggulangan bencana dengan stakeholder terkait; dan perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi bahaya serta eksploitasi SDA yang berlebihan.

(42)

30

Definisi yang jelas tentang kebijakan penanggulangan bencana nasional sangat penting jika suatu negara akan membangun dan memelihara peraturan yang memadai untuk menghadapi semua aspek ancaman bencana. Hal ini berlaku untuk semua struktur dan organisasi tingkatan nasional— yaitu, dari pemerintah pusat ke tingkat pemerintah daerah atau masyarakat. Jika peraturan semacam itu tidak ada, kebijakan untuk menangani bencana akan tidak jelas dan tidak memadai.

Akibatnya, kerugian material dan sumber daya manusia akan muncul dan bangsa, secara keseluruhan, akan menderita.

2.5 Konsep Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Gagasan mengenai pengurangan risiko bencana telah lama hadir di kancah internasional, sejak dekade 1990-1999 upaya mengenai pengurangan risiko bencana telah ada. Pada dekade tersebut PBB mengeluarkan Resolusi PBB Nomor 63 Tahun 1999 mengenai Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional yang memfokuskan tindakan kepada pelaksanaan Strategi Internasional untuk Pengurangan Risiko Bencana (International Strategy for Disaster Reduction/ ISDR). Menindaklanjuti resolusi tersebut PBB melakukan konferensi dunia pada tahun 2005 yang menghasilkan kesepakatan mengenai rencana internasional yaitu Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action/HFA) yang berlaku dalam kurun waktu 2005 hingga 2015.

Kerangka HFA berfokus utama pada upaya pengurangan risiko bencana yang lebih menekankan pada pendekatan terhadap seluruh aspek masyarakat dalam memberikan informasi, motivasi, dan tentunya melibatkan mereka dalam upaya tersebut. Sehingga pada pelaksanaannya memastikan adanya aksi yang sistematis dalam menanggulangi risiko bencana sekaligus mendukung

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga yang menentukan jumlah penerimaan SHU KUD bukan kuantitas anggota akan tetapi kualitas anggotanya atau aktivitas yang di lakukan anggota di KUD Jumlah

Ovaj sustav koristi aktivne infracrvene odašiljače koji konstantno emitiraju zračenje kroz cijeli radni prostor. Meta, u našem slučaju stanica za punjenje, je

Sipilis atau raja singa merupakan penyakit yang menular terutama ditularkan melalui kontak seksual tetapi ada juga penularan ibu ke anak dalam kandungan.Penularan sipilis juga

Tak pelak, berbagai pemikir Ilmu HI yang memiliki simpati terhadap potensi emansipatif Marxisme berusaha untuk memperkuat posisi perspektif ini dengan cara

maksimal, dimana masih ada karyawan yang belum memanfaatkan portal web tersebut sesuai dengan tujuan awal dibuat intranet ini, sehingga akhirnya menyebabkan kasus

Produk yang dihasilkan melalui penelitian pengembangan diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pembelajaran yang dilakukan dalam hal ini produk penelitian yang digunakan

Adapun yang dimaksud dengan pengendalian ialah suatu kegiatan yang berhubungan dengan langkah-langkah yang dilaksanakan oleh manajemen untuk menjamin bahwa tujuan

Social history; Peranakan; Dutch East Indies; philately; postal history; Tio Tek Hong; Chinese Red Cross; Yang Seng Ie Red Cross; Palang Merah Tiong Hoa.. This article deals with