• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesehatan kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal cara/metode kerja, proses kerja dan kondisi yang bertujuan untuk (Buchari 2007):

SUMBER PENYAKIT KOMPONEN LINGKUNGAN PENDUDUK: -Umur -Prilaku -Kepadatan,dll SAKIT/ SEHAT

1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat pekerja di semua lapangan kerja setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun kesejahteraan sosialnya.

2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang diakibatkan oleh keadaan/kondisi lingkungan keja.

3. Memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang membahayakan kesehatan.

4. Menempatkan dan memelihara pekerja disuatu lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya.

Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal. Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising, debu, zat-zat kimia dan lain-lain) dapat menjadi beban tambahan terhadap pekerja. Beban-beban tambahan tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat menimbulkan gangguan atau penyakit akibat kerja. Khusus bagi pekerja yang melakukan aktivitasnya di sektor nonformal seperti tukang beca, pedagang pinggir jalan, pekerja pinggir jalan yang melakukan pekerjaan secara mandiri/wiraswasta tanpa dilindungi oleh suatu perusahaan, maka organisasi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan kerjanya dalam hal ini adalah pemerintah (Ridley, 2008).

Penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pemajanan lingkungan kerja. Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di lingkungan kerja ditempuh tiga langkah utama yakni (Buchari, 2007):

1. Pengenalan lingkungan kerja, ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan mengenal (walk through inspection), dan ini merupakan langkah dasar yang pertama dilakukan dalam upaya kesehatan kerja.

2. Evaluasi lingkungan kerja, merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul, sehingga dapat ditentukan prioritas dalam mengatasi permasalahan.

3. Pengendalian lingkungan kerja, dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap zat/bahan yang berbahaya di lingkungan kerja.

Strategi kesehatan kerja meliputi:

1. Mengembangkan kebijakan dan pemantapan manajemen program kesehatan kerja

2. Meningkatkan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kerja

3. Surveilans epidemiologi Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK).

4. Intensifikasi Penatalaksanaan Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja

5. Mengembangkan Sistem Informasi Kesehatan Kerja (SIM-KK) 6. Pengembangan model lingkungan kerja sehat berbasis wilayah

7. Meningkatkan kemitraan dan promosi kesehatan kerja(Buchari, 2007).

Kebijakan kesehatan kerja:

1. Menggali sumber daya untuk optimalisasi tugas dan fungsi institusi pelayanan kesehatan dasar dan rujukan pemerintah maupun swasta di bidang pelayanan kesehatan dan Keselamatan Kerja

2. Meningkatkan profesionalisme para perlaku dalam pembinaan dan pelayanan kesehatan kerja di pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

3. Mengembangkan jaringan kerjasama pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kerja bagi angkatan kerja. 4. Mengembangkan tenaga ahli kesehatan kerja dan dokter kesehatan kerja sebagai pemberi pelayanan kesehatan utama dengan pelayanan kesehatan paripurna.

5. Mengembangkan kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat, serta organisasi profesi.

6. Mendorong agar setiap angkatan kerja menjadi peserta dana sehat/asuransi kesehatan sebagai pewujudan keikutsertaannya dalam upaya pemeliharaan kesehatan diri, keluarga dan lingkungannya.

7. Mengembangkan iklim yang mendorong dunia usaha yang partisipatif dalam kelembagaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di tempat kerja

8. Mengembangkan peranserta masyarakat pekerja dengan meningkatkan pembentukan Pos Usaha Kesehatan Kerja (UKK).

9. Mengembangkan sistem informasi Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai usaha pemantapan surveilans epidemiologi penyakit dan kecelakaan akibat kerja(Buchari, 2007).

Promosi kesehatan kerja perlu dilakukan dengan tujuan:

1. Mempengaruhi pekerja untuk menerima dan memelihara gaya hidup yang sehat dan positif

2. mempengaruhi pekerja untuk menerima dan memelihara kebiasaan makan makanan dengan kandungan gizi yang optimal

3. Mempengaruhi pekerja untuk berhenti merokok

4. Mempengaruhi pekerja untuk mengurangi/menurunkan atau menghilangkan penyalahgunaan obat dan alkohol

5. membantu pkerja untuk terbiasa mengatasi stress yang dialami dalam kehidupannya

6. Mengajarkan pekerja mengenai kemampuan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K)

7. Mengajarkan pekerja mengenai penyakit umum yang berhubungan dengan pekerjaannya serta bagaimana mencegah serta meminimalisasi akibatnya. 8. Mengadakan penilaian menyeluruh secara medis (Buchari, 2007).

Tujuan dan sasaran Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesatuan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit

akibat kerja, serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (Sastrohadiwiryo, 2003).

Silalahi (1985) menyatakan bahwa manajemen sebagai suatu ilmu prilaku yang mencakup aspek sosial dan eksak tidak terlepas dari tanggung jawab keselamatan dan kesehatan kerja, baik dari segi perencanaan, maupun pengambilan keputusan dan organisasi. Baik kecelakaan kerja, gangguan kesehatan, maupun pencemaran lingkungan harus merupakan bagian dari biaya produksi. Sekalipun sifatnya sosial, setiap kecelakaan atau tingkat keparahannya tidak dapat dilepaskan dari faktor ekonomi dalam suatu lingkungan kerja.

Masalah pemakaian alat pelindung diri (APD)

Masalah umum APD: tidak semua APD melalui pengujian laboratorium sehingga tidak diketahui derajat perlindungannya, tidak nyaman dan kadang-kadang membuat si pemakai sulit bekerja, APD dapat menciptakan bahaya baru, perlindungan yang diberikan APD sulit untuk dimonitor, kewajiban pemeliharaan APD dialihkan dari pihak manajemen ke pekerja, efektifitas APD sering tergantung ”good feet”para pekerja, kepercayaan kepada APD akan menghambat pengembangan kontrol teknologi yang baru.

Pekerja tidak mau memakai APD dengan alasan: tidak sadar/tidak mengerti, panas, sesak, tidak enak dipakai, tidak enak dipandang, berat, mengganggu pekerjaan, tidak sesuai dengan bahaya yang ada, tidak ada sangsi, atasan juga tidak pakai. Dari pihak perusahaan: tidak disediakan oleh perusahaan, ketidak mengertian, pura-pura tidak mengerti, alasan bahaya, dianggap sia-sia karena pekerja tidak mau

memakai. Pengadaan oleh perusahaan: tidak sesuai dengan bahaya yang ada dan asal beli terutama memilih yang murah (Santoso, 2004).

Dokumen terkait