• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari banyak penelitian yang telah dilakukan di negara-negara maju polusi udara telah terbukti dapat menyebabkan timbulnya penyakit gangguan pernafasan seperti kekambuhan penyakit asma sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit. Penelitian terakhir juga menunjukkan bahwa ada hubungan polusi udara dengan kelahiran bayi prematur, kematian bayi, paru-paru bayi yang kurang berkembang

dan peningkatan serangan asma.( Committee on Environmental Health, Pediatrics 2004)

Lipsett (1999) mendapatkan hubungan antara polusi yang dikeluarkan oleh gas buang mesin diesel dengan timbulnya kanker pada paru-paru. Salah satu bahan pencemar yang sangat mengkhawatirkan peningkatannya adalah timbal yang berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor dan proses industri lainnya.

Pada tahun 2002 di Amerika lebih kurang 146 juta orang masih terpapar dengan udara yang melebihi Standar Kualitas Udara yang dikeluarkan pada tahun 1997, setidaknya satu dari enam kriteria kualiatas udara yakni Ozone, Particulate Matter, Sulfur Dioxide, Nitrogen Dioxide, Carbon Monoksida dan Timbal. (Lanphear,1998)

Menurut penelitian Bruce et al. (1998) ada beberapa kharakteristik yang bisa dipakai untuk menentukan apakah seorang beresiko untuk mengandung kadar timbal yang tinggi di dalam darahnya antara lain, tempat tinggal di kota atau di desa, rumah tempat tinggal menggunakan cat yang mengandung timbal, kondisi perumahan yang tidak sehat, tempat tinggal ditempat yang padat penduduknya, tingkat pendidikan yang rendah dan lain-lain.

Hasil penelitian dari tahun 1979 -1985 di Montreal Canada, menyatakan bahwa polusi yang ditimbulkan oleh kenderaan bermotor merupakan problem pencemaran lingkungan yang utama, serta mendapat hubungan antara gas buang mesin diesel dan timbulnya kanker paru-paru. (Parent et al, 2007).

Richiardi et al. (2006) menemukan beberapa hubungan antara populasi yang bekerja di tempat yang sering mendapat polusi dari gas buang mesin diesel seperti pekerja pengisian bahan bakar, petugas disepanjang rel kereta api, pengemudi kenderaan bermesin diesel, mekanik mesin-mesin diesel, yang selalu terpapar

dengan gas buang mesin diesel dengan peningkatan resiko timbulnya kanker paru, yang walaupun ini secara statistik tidak signifikan.

Efek kesehatan secara umum yang disebabkan oleh keterpaparan terhadap polusi timbale dapat kita lihat pada Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3. Efek Kesehatan Secara Umum yang Timbul Akibat Keterpaparan Timbal

Tingkat Masalah

Kesehatan yang Timbul

Kadar Timbal Darah (µ/dl)

Pengaruh pada Tubuh yang Sudah Terdeteksi Sesuai dengan Kadar Timbal Darah.

Gangguan kesehatan yang berbahaya terjadi segera dan bersifat permanen

Bisa timbul gangguan kesehatan yang lain

Dapat timbul kerusakan tapi belum menunjukkan gejala

Timbal mulai menggang- gu system tubuh

Kadar rata-rata untuk manusia sehat 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 3 0

Kerusakan jaringan otak

Penurunan berbahaya atas kemam- puan darah untuk membawa oksigen

Penurunan produksi darah Kemandulan pada pria Kerusakan jaringan syaraf Penurunan pendengaran Peningkatan tekanan darah

Pengaruh pada bayi dalam kan- dungan pada wanita hamil

Sumber: diterjemahkan dari Fewtrell (2003)

Keracunan Pb terhadap manusia dapat bersifat akut maupun kronis. Walaupun pengaruh toksisitas akut agak jarang dijumpai tetapi pengaruh toksisitas kronis sering ditemukan. Pengaruh toksisitas kronis sering ditemukan pada pekerja di

pertambangan dan pabrik pemurnian logam, pabrik mobil pada proses pengecatan sistem semprot, pengolahan baterei, pencetakan, pembuatan keramik dan pelapisan logam. Keracunan kronis yang sangat patut kita waspadai adalah pada orang-orang yang bekerja di pinggir jalan seperti polisi lalu lintas, pekerja kebersihan jalan, pekerja taman, pedagang kakilima, penjaga toko dan lain-lain yang sehari-hari menghirup udara yang tercemar Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Tetra Methyl Lead (TML) yang dilepaskan oleh gas buang kendaraan bermotor.

Orang-orang yang bekerja di tempat dimana terdapat gas buang dari mesin diesel mempunyai resiko yang lebih besar untuk mendapat penyakit kanker paru, dan bila sudah bekerja dalam waktu lama ditempat ini maka resikonya juga akan lebih tinggi (Frumkin, 2001). Penelitian terhadap pengaruh polusi udara yang ditimbulkan oleh lalu lintas terhadap timbulnya kanker pada manusia yang dimulai dari sejak mulai terjadinya kehamilan sampai dengan didiagnose timbulnya kanker sebanyak 1989 kasus yang didiagnose sebagai leukemia, tumor dari central nervus system dan tumor ganas limfoma selama tahun 1968 s/d 1991 di Danish Cancer Registry di Denmark. Disimpulkannya bahwa resiko timbulnya leukemia, tumor central nervus system tidak ada hubungan dengan benzene dan nitrogen dioxide selama periode pengukuran, namun didapatnya bahwa resiko terjadinya lymphoma meningkat 25% (Nielsen et al.2001).

Connel et al. (2003) meneliti hubungan antara kambuhnya penyakit asma, dihubungkan dengan adanya polusi debu, Organic Carbon (OC) dan Nitrogen Dioxide (NO2) dan polutan udara lain menyimpulkan bahawa OC dan NO2 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap timbulnya bronchitis khronis disertai asma pada anak-anak. Katsouyanni (2003) menjelaskan hubungan antara polusi udara dan

kesehatan terutama dalam jangka waktu lama pollusi udara menunjukkan pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

Pope (2006) melaporkan bahwa particulate matter (PM), salah satu komponen polusi udara mempunyai pengaruh terhadap kesehatan jantung dan paru- paru. Dilaporkan juga bahwa perubahan PM setiap hari berpegaruh terhadap angka kematian di beberapa kota di Amerika Serikat. The Harvard Six Cities dan American Cancer Society (ACS) dengan prospective cohort study mendapatkan bahwa pemaparan dalam waktu lama terhadap PM sangat berhubungan dengan timbulnya penyakit saluran nafas pada anak dan meningkatnya kematian pada penderita penyakit jantung dan paru pada orang dewasa. Beberapa penelitian di Utah melaporkan bahwa polusi PM berpengaruh terhadap beberapa hal kesehatan seperti jumlah penderita paru yang diopname, gangguan fungsi paru dan saluran nafas, ketidak hadiran di sekolah dan jumlah kematian. Hal serupa juga dilaporkan oleh peneliti dari Jerman, Canada, Finlandia dan Czech Republik.

Kim et al. (1995) dalam penelitiannya terhadap pengaruh keracunan timbal kronis terhadap pertumbuhan 58 orang anak di Boston dari tahun 1975 sampai tahun 1978. Didapat kadar rata-rata timbal dalam dentin sebesar 14,9 g/g kadar timbal dalam tibia 1,2 g/g dan dalam patella 5,0 g/g. Dari penelitan ini didapatnya kesimpulan bahwa kadar timbal dalam dentin mempunyai hubungan positif dengan body mass index. Kadar timbal dalam tibia dan patella tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan badan. Mereka menyimpulkan bahwa keracunan timbal kronis pada anak menyebabkan obesity yang bertahan sampai mereka dewasa.

Pengaruh timbal terhadap tekanan darah

Vupputuri et al. (2003) melakukan penelitian terhadap 14.592 orang berkulit putih dan berkulit hitam dengan umur diatas 18 tahun yang terdaftar sebagai peserta Third National Health and Nutrition Survey. Kadar timbal dalam darah diukur dengan spectrophotometry dan tekanan darah diukur dengan standard sphygmomanometry. Kadar timbal dalam darah lebih tinggi pada orang negro baik laki-laki maupun perempuan dengan rata-rata 5,4 dan 3,4 µg/dl, dibandingkan dengan kulit putih laki-laki dan perempuan adalah 4,4 dan 3,0 µg/dl. Menggunakan pengujian multivariat didapat kesimpulan bahwa kadar timbal dalam darah menyebabkan kenaikan tekanan darah pada orang negro, tetapi tidak terjadi pada orang kulit putih.

Glenn et al. (2006) melakukan penelitian dari tahun 1997-2001 terhadap 575 pekerja yang terpapar dengan timbal di Korea yang berumur rata-rata 41 tahun dan sudah bekerja di tempat tersebut selama 8,5 tahun di bagian yang terpapar timbal. Kadar timbal dalam darah rata-rata 31,4 ± 14,2 µg/dl. Perubahan tekanan darah sistolik selama penelitian sejalan dengan perubahan kadar timbal dalam darah, dengan nilai kenaikan rata-rata 0,9 mm Hg untuk setiap kenaikan 10 µg/dl kadar timbal dalam darah. Dalam penelitian ini pekerja yang mempunyai riwayat hipertensi dan mengalami hipertensi tidak dimasukkan kedalam responden penelitian.

Muntner et al. (2005) melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh dari the Third National Health and Nutrition Examination Survey 1988-1994 (n=16.609) dan the National Health and Nutrition Examination Survey 1999-2002

(n=9.961) mendapatkan rata-rata hasil penurunan dari kadar timbal dalam darah responden sebesar 41% yaitu dari 2,76 µg/dl (1988-1994) menjadi 1,64 µg/dl (1999- 2002). Persentasi dari orang dewasa yang mengandung kadar timbal dalam darah sama atau lebih tinggi dari 10 µg/dl menurun dari 3,3% menjadi 0,7%. Mereka juga menemukan bahwa kadar timbal dalam darah yang lebih tinggi berhubungan dengan timbulnya prnyakit ginjal dan penyakit arteri perifer diantara seluruh populasi dan adanya hipertensi pada non-Hispanic Blacks dan Mexican Americans.

Pengaruh timbal terhadap Sistem Hemopoietik

Timbal menghambat sistem pembentukan hemoglobin sehingga menyebabkan anemia. Timbal dalam tubuh terutama terikat dalam gugus SH dalam molekul protein dan hal ini menyebabkan hambatan pada aktivitas kerja sistem enzim. Timbal mengganggu sintesis hemoglobin (Hb) dengan jalan menghambat konversi delta aminolevulinik asid (delta-ALA) menjadi forfobilinogen dan juga menghambat korporasi dari Fe kedalam portoporfirin IX untuk membentuk Hb, dengan jalan menghambat enzim delta-aminolevulinik asid-dehidrase (delta-ALAD) dan feroketalase. Hal ini menyebabkan meningkatnya ekskresi koproporfirin dalam urin dan delta ALA serta menghambat sintesa hemoglobin.

Untuk kompensasi dari penurunan sintesis Hb karena hambatan oleh Pb, sumsum tulang meningkatkan produksi sel darah merah. Sel darah merah yang masih muda (retikulosit) dan sel stipel kemudian terbebaskan. Sel stipel basofil (basophilic stippling) ditemukan sebagai bagian dari gangguan pembentukan Hb yang merupakan tanda-tanda keracunan Pb. Meskipun anemia klinis hanya tampak jelas bila kadar Pb dalam darah sudah mencapai 50 ug/dl, namun penghambatan

ALAD telah terjadi pada kadar Pb 10 ug/dl darah. Karena itu pada kadar demikian dapat dijadikan sebagai petunjuk adanya pajanan. Keracunan akibat akumulasi Pb dalam tubuh dapat menimbulkan:

meningkatnya kadar ALA dalam darah dan urin

meningkatnya kadar protoporpirin dalam sel darah merah memperpendek umur sel darah merah

menurunkan jumlah sel darah merah (anemia)

menurunkan kadar retikulosit (sel darah merah yang masih muda) meningkatkan kandungan logam Fe dalam darah.

Pengaruh timbal terhadap Ginjal

Yu et al. (2004) meneliti 121 pasien yang menderita gangguan ginjal kronis dengan normal body lead burden (BLB), dan tidak ada sejarah terpapar timbal selama 48 bulan observasi. Hubungan dengan kadar timbal dalam darah dan BLB dievaluasi secara longitudinal. Hasilnya disimpulkan bahwa BLB dan kadar timbal dalam darah merupakan faktor resiko yang sangat penting dalam gangguan ginjal kronis. Setiap peningkatan 10 g dari BLB atau 1 g/dl kadar timbal dalam darah akan menyebabkan penurunan Glomerulo Filtration Rate (GFR) sebesar 1,3 sampai 4 ml/menit selama masa studi. Kesimpulan dari studi ini adalah keterpaparan dengan timbal dalam kadar rendah berhubungan dengan peningkatan gangguan ginjal kronis walaupun pada kadar yang jauh dibawah kadar normal baik pada BLB maupun kadar timbal dalam darah.

Jung et al. (1998) dalam penelitian terhadap 75 laki-laki pekerja yang terpapar dengan timbal yang mendapat pemeriksaan kesehatan secara reguler setiap

6 bulan di Korea. Mereka terdiri dari 27 pekerja industri pelebur timbal dengan kadar timbal di udara 0,0063 mg/m3, 18 pekerja dari industri plastik stabilizer dengan kadar timbal di udara 0,0013 mg/m3 dan 30 pekerja industri radiator dengan kadar timbal di udara 0,0023 mg/m3. Pekerja dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan kadar timbal dalam darah yakni kelompok diatas 60 µg/dl, kelompok 40-60 µg/dl dan kelompok dibawah 40 µg/dl. Sebagai kelompok kontrol diambil 60 orang pekerja kantor yang selama bekerja tidak terpapar dengan polusi timbal. Kesimpulan penelitian mereka adalah bahwa kadar Blood Urea Nitrogen (BUN) meninggi sehubungan dengan kenaikan kadar timbal dalam darah, tapi secara statistik hal ini hanya ditemukan pada keadaan kadar timbal dalam darah diatas 60 µg/dl dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Lin et al. (2001) meneliti 110 pasien dengan gangguan ginjal kronis (serum kreatinin 133-354 µmol/L (1,5-4,0 mg/dL) dan mengandung Body Lead Burden (BLB) normal (EDTA mobilization test < 600 g per 72-hour urine collection) dan tidak ada sejarah terpapar dengan polusi timbal yang tinggi. Pasien dibagi 2 kelompok berdasar kan nilai BLB yaitu high-normal BLB group (80 g-600 g) dan kelompok BLB rendah (< 80 g). Pasien difolow secara prospektif selama 2 tahun. Hasil yang didapat disimpulkan bahwa keterpaparan dengan timbal dalam dosis rendah di lingkungan pada waktu yang lama secara pelan-pelan dapat mempengaruhi peningkatan kegagalan ginjal pada masyarakat umum. Setelah diberikan pengobatan chelation terapi selama satu tahun dapat menahan penurunan fungsi ginjal.

Lin et al. (2006) meneliti 108 pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronis (serum kreatinin 1,5-2,9 mg/dL) dengan kadar BLB rendah (< 80 g) dan tidak

mendapat paparan terhadap timbal, diobservasi selama 2 tahun. Sebagai pembanding adalah 32 pasien dengan kegagalan ginjal kronis dengan kadar BLB rendah (20-80 g yang diberi pengobatan dengan chelation secara random dan kelompok kontrol. Kelompok ini diberi chelation terapi EDTA selama 3 bulan dan kemudian diikuti terapi ulang selama 24 bulan untuk mempertahankan kadar BLB tetap < 20 g, sedang kelompok kontrol diberi placebo. Kesimpulannya adalah bahwa keterpaparan dengan polusi timbal walaupun dengan kadar rendah dapat meningkatkan kegagalan ginjal pada pasien yang bukan penderita diabetes.

Tan et al.(2007) dalam penelitiannya terhadap 116 pasien yang menderita kegagalan ginjal kronis (serum kreatini 1,5-3,9 mg/dl) dengan kadar BLB 80-600 g dan tidak mengalami keterpaparan timbal dipilih untuk melaksanakan klinikal trial memakai chelation terapi dan kelompok kontrol selama 4 tahun. 58 pasien diberi chelation terapi EDTA dan 58 pasien lagi menerima plasebo sebagai kontrol. Selama 48 bulan dilakukan repeated chelation terapi untuk menjaga BLB tidak lebih dari 60 g. Untuk kelompok kontrol diberi infus plasebo setiap minggu selama 5 minggu dan diulangi dengan interval 6 bulan. Kesimpulan yang didapat adalah repeated chelation therapy selama 4 tahun akan memperlambat penurunan fungsi ginjal pada pasien non diabetes dengan kadar BLB 60-600 g.

Lin et al. (1999) meneliti 32 pasien dengan gangguan ginjal kronis dengan serum kreatinin >1,5 mg/dl-4 mg/dl dengan BLL 150 g-600 g dan tidak ada sejarah terpapar dengan timbal dalam kadar tinggi. Pasien dapat perlakuan chelation terapi selama 2 bulan dibanding dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat terapi. Setelah pengobatan selama satu bulan belum ada perbedaan antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol dalam hal kadar kreatinin serum, namun setelah perlakuan sampai dengan dua bulan terlihat bahwa kelompok yang dapat perlakuan menunjukkan perbaikan fungsi ginjal lebih baik pada kelompok yang dapat pengobatan. Keterpaparan dengan timbal dalam kadar rendah dapat menyebabkan semakin beratnya penyakit ginjal kronis.

Pengaruh timbal terhadap Saraf Pusat dan Tepi

Brochin et al. (2008) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa timbal dalam tubuh mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap sistem syaraf, dimana timbal memblok reseptor yang dikenal dengan N-methyl-D-aspartate suatu reseptor yang berfungsi dalam pematangan sel otak. Pelindung peredaran darah otak (blood brain barrier) terdiri dari sejumlah endotelial sel yang diikat erat satu sama lain. Endotelial sel ini dikelilingi oleh sel astrocyte yang merupakan sel syaraf terbanyak dalam otak.

Penelitian menunjukkan bahwa daya racun timbal memegang peranan dalam komunikasi dari astrocyte dan endotelial sel. Blood brain barrier mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempertahankan cairan dalam sistem syaraf dan melakukan skrening yang sangat ketat terhadap zat-zat terlarut dalam plasma seperti asam amino, glucose, kalsium, sodium dan potassium. Bila blood brain barrier terpapar kadar timbal yang tinggi maka plasma akan merembes ke dalam jaringan interstitial dan terjadilah edema, maka timbul ensefalopati yang sangat memengaruhi serebelum. Edema menyebabkan terjadinya tekanan terhadap otak yang bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen (Brochin et al, 2008).

Kerusakan otak ini juga akan menimbulkan gejala kurangnya perhatian, gangguan social behaviour, mathematic skill dan kemampuan membaca, penurunan kemampuan kognitif, penurunan IQ dari 0-5 setiap kenaikan dari 10 g/dl kadar timbal dalam darah. Sewaktu masih dalam kandungan, Astrocyte, sel syaraf pada fetus merupakan sel yang mengalami resiko sangat tinggi oleh keracunan timbal sebab endotelial sel yang immature dari kapiler otak menyebabkan menurunnya ketahanan terhadap timbal, mengakibatkan Pb2+ masuk ke dalam sel otak (Brochin et al, 2008).

Timbal menggantikan kalsium sebagai pengantar rangsangan dalam sel syaraf, berikatan dengan calmodulin lebih kuat dari pada kalsium, sehingga terjadi gangguan pembentukan protein. Pb dapat menyebabkan gangguan ensefalopati dan gangguan saraf perifer terutama jika kadar Pb dalam darah sudah mencapai 80 ug/dl. Terjadi kerusakan pada arteriol dan kapiler yang mengakibatkan edema otak, meningkatkan tekanan cairan serebspinal, degenerasi neuron. Secara klinis keadaan ini disertai dengan munculnya ataksia, stupor, koma dan kejang-kejang (Brochin et al, 2008).

Pada percobaan secara invitro, akumulasi dari delta-ALA dan protoporpirin dapat menyebabkan pengaruh toksik terhadap jaringan. Akumulasi delta ALA dalam hipotalamus dan protoporpirin dalam saraf dorsal dapat menyebabkan ensefalopati karena keracunan Pb. Keadaan ini dapat menimbulkan gejala epilepsi, halusinasi dan delirium. Terjadinya neuropati pada saraf tepi karena toksisitas kronis Pb disebabkan oleh demyelinasi dan degenerasi sel Schwann saraf tersebut diikuti degenerasi akson. Gangguan neuromuskular nyata terlihat pada paralise dari otot-

otot ekstensor pergelangan tangan menyebabkan wrist drop dan pada pergelangan kaki menyebabkan foot drop yang terjadi pada pekerja pabrik (Brochin et al, 2008).

2.7 Toksisitas Timbal

Dokumen terkait