BAB I PENDAHULUAN
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pembaca sebagai studi dan referensi dalam menentukan posisi ingate dan bentuk sprue dalam pengecoran Aluminium 2024 terhadap proses pembentukan shrinkage dan crack. Agar didapatkan hasil coran yang maksimal. Diharapkan dapat memajukan penelitian di bidang Teknik Material dan Metalurgi.
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Simulasi Pengecoran Aluminium Sebelumnya ANSYS merupakan sebuah software berbasis finite element methods yang memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai masalah struktur, elektromagnetik dan perpindahan panas dan digunakan oleh insinyur desain untuk menentukan perpindahan, kekuatan, tekanan, strain, suhu dan medan magnet. Grafis, preprocessing, solusi dan postprocessing semua dapat dilakukan dalam software lengkap ini. Kemampuan analitik yang luas ini telah menarik pengguna ANSYS dari berbagai bidang industri seperti nuklir, aerospace, transportasi, medis, petrokimia, baja, elektroknik dan konstruksi sipil. ANSYS Mechanical APDL adalah salah satu jenis ANSYS parametric design language dan dapat digunakan untuk membangun model dengan parameter tertentu. Pengguna ANSYS dapat mensimualsikan model dua dan tiga dimensi termasuk permukuaan, shells, pegas, beam dan lainnya. (Niku-Lari, 2014).
Aluminium merupakan logam terbesar kedua dunia yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tidak heran banyak sekali berbagai komponen yang berbahan dasar aluminium dengan penambahan paduannya sesuai dengan fungsinya. Oleh karena itu banyak sekali penelitian yang fokus terhadap pengecoran aluminium untuk meningkatkan efisien, menurunkan cost, maupun meningkatkan nilai fungsi. Hal ini dikarenakan banyak sekali faktor yang mempengaruhi selama proses pengecoran seperti kondisi lingkungan, bahan dasar cetakan, bentuk dari gating sistem cetakan, fluiditas logam cair, dan lain-lain.
Simulasi terhadap pengecoran aluminium merupakan salah satu kajian yang sangat menarik untuk dipelajari lebih lanjut dalam meningkatkan kualitas pengecoran. Berikut merupakan penelitian sebelumnya mengenai pengecoran aluminium dengan simulasi metode elemen hingga menggunakan ANSYS.
Pada tahun 2013, Choudari melakukan simulasi distribusi temperatur pada pengecoran aluminium menggunakan sand casting dengan validasi eksperimen. Geometri berbentuk silinder dengan posisi horizontal. Aluminium dileburkan hingga temperatur 973 K dan waktu solidifikasi lebih dari 60 menit.
Validasi eksperimen dilakukan menggunakan thermocouple untuk mengukur temperatur. Simulasi dan eksperimen menghasilkan kesamaan distribusi temperatur pada posisi yang sudah ditetapkan.
Dan temperatur mengalami trend peningkatan selama solidifikasi yang menandakan latent heat yang diterima oleh mould memiliki energi yang besar. Kesimpulan, proses solidifikasi dapat dilihat visual dengan ANSYS dan dapat mengetahui isoterm dalam berbagai waktu (Choudari, 2013).
Pada tahun 2015, Vinit Bijagare melakukan simulasi dengan ANSYS untuk memprediksikan cacat shrinkage pada blade pompa impeller berbahan aluminium, karena memiliki struktur yang tipis yang mengakibatkan mudah terjadi kegagalan. Perpindahan panas yang tidak merata merupakan salah satu penyebabnya. Penelitian dilakukan dengan melihat pengaruh posisi riser dan runner agar terjadi distribusi temperatur yang merata. Hasil eksperimen menunjukkan dengan penambahan jumlah riser akan mengurangi jumlah porositas dibandingkan hanya menggunakan runner yang berfungsi sebagai riser. Simulasi menghasilkan posisi hotspot terletak pada bagian poros impeller, yang dapat membantu kita untuk melokasikan riser dan runner untuk menghindari hotspot.
Kesimpulan, kontraksi volumetrik aluminium sangat besar, sehingga posisi riser berperan penting untuk menghasilkan cor tanpa defect. Selama simulasi terobservasi bahwa disipasi temperatur tergantung dari rasio luas permukaan terhadap volume dari cor. Rasio yang besar akan mempercepat dan memberikan arah solidifikasi yang bagus atas aliran logam (Vinit, 2015).
Pada tahun 2016, Hardik Rathod melakukan riset prediksi cacat porositas shrinkage dalam sand casting dengan software ANSYS. Micro porosity dapat terjadi dalam Al-Si karena dua faktor yaitu penolakan hydrogen akibat reduksi yang drastis dari
fasa solubility ke solid dan akibat kontraksi volume bersamaan dengan inter dendritik feeding yang jelek selama solidifikasi.
Sehingga dapat dikatakan thermal gradient, waktu pendinginan, waktu solidifikasi, dan kecepatan solidifikasi menjadi parameter terjadinya porositas. Dengan variabel panjang, ketebalan, dan sudut dari geometri casting berbentu Y. Penelitian menarik kesimpulan bahwa porosity akan mungkin terjadi dekat bagian tengah geometri Y, sama seperti eksperimen. Namun posisi porositas akan tergantung pada bentuk geometri dan parameter perubahan temperatur (Hardik, 2016).
Pada tahun 2016, Hemant Sharma melakukan simulasi dan eksperimen terhadap waktu pendinginan dan solidifikasi pengecoran aluminium murni dalam cetakan pasir. Penelitian dilakukan dalam kondisi unsteady dan pengamatan fokus terhadap konduktifitas pada perpindahan panas. Hal ini dikarenakan konduksi akan berperan penting dari pada konveksi dan radiasi.
Hasil simulasi menunjukan temperatur logam menurun sedangkan mold meningkat karena perpindahan panas terjadi dari molten metal menuju mold. Kesimpulan dari penelitian ini waktu pendinginan dapat diplotkan di dalam ANSYS (Hemant, 2016).
Pada tahun 2016, Muhammad Bahtiyar Anhar telah melakukan analisa perpindahan panas pada pengecoran Al-12%Si dengan metode elemen hingga. Objek dari penulis ingin mengetahui distribusi temperatur dan tegangan termal terhadap shrinkage pada pengecoran dan material yang cocok antara pasir dan SS304 sebagai mold. Hasil menunjukkan pendinginan dalam cetakan SS304 akan lebih cepat dibandingkan pasir. Tegangan termal pada cetakan SS304 akan lebih besar dibandingkan pasir.
Semakin besar tegangan termal maka shrinkage yang akan terjadi semakin besar. Sehinga menggunakan cetakan pasir akan menghasilkan coran yang lebih baik karena shrinkage lebih kecil dibandingkan menggunkan cetakan SS304 (Bahtiyar, 2016).
2.2 Aluminium Alloy 2024
Almunium merupakan metal yang paling banyak digunakan di dunia industri. Hal ini dikarenakan aluminium yang memiliki properties yang sangat ringan, mudah di fabrikasi, properties fisik dan mekanik yang baik, dan sangat tahan korosi. Paduan aluminium dibedakan menjadi dua jenis yaitu aluminium tuang dan aluminium tempa. Untuk aluminium tempa, paduan diklasifikasikan dengan metode 4 digit yaitu (ASM, 1990) :
1xxx Komposisi murni dengan impuritas alami.
2xxx Paduan dengan tembaga sebagai paduan dasarnya dan tambahan beberapa Magnesium.
3xxx Paduan dengan magan sebagai paduan dasarnya.
4xxx Paduan dengan silicon sebagai paduan dasarnya.
5xxx Paduan dengan magnesium sebagai paduan dasarnya.
6xxx Paduan dengan magnesium dan Silikon sebagai paduan dasarnya.
7xxx Paduan dengan zinc sebagai paduan dasarnya, tapi elemen seperti tembaga, magnesium, chromium, dan zirkonium ditentukan.
8xxx Paduan dengan timah dan beberapa lithium.
9xxx Digunakan untuk penggunaan lebih lanjut.
Sehingga aluminium 2024 merupakan paduan aluminium dengan paduan dasar tembaga dengan komposisi pada tabel 2.1 dibawah ini:
Tabel 2.1 Komposisi paduan aluminium 2024 (ASM Vol 2) Unsur Al Paduan AA 2024 yang mengandung aluminium-tembaga dalam bentuk tempa maupun paku biasanya digunakan dalam
industri pesawat terbang. Paduan ini memeiliki tensile dan yield strength yang tinggi dengan elongation yang rendah (Kumar, 2015). Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai properties dari aluminium alloy bisa dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini.
Tabel 2.2 Properties dari aluminium alloy 2024 (Callister, 1940)
Tensile Strength (Mpa) 470
Yield Strength (Mpa) 325
Ductility (%EL in 50mm) 20
Density (g/cm3) 2,77
Modulus Elasticity (Gpa) 72.4
Poisson’s Ratio 0,33
Coefficient of Thermal Expansion 10-6(oC)-1 22,9
Thermal Conductivity (W/m.K) 190
Specific Heat (J/kg.K) 875
Electrical Resistivity (Ω.m) 3,4x10-8
Paduan aluminium dapat juga ditambahkan unsur pemadu untuk mengubah propertis dari aluminium. Pengaruh dari berbagai unsur pada sifat paduan yaitu:
Tembaga (Copper). Penambahan tembaga akan menaikkan sifat kekerasan dan kekuatan aluminium namun menurunkan sedikit sifat keuletannya.
Silikon. Digunakan untuk menaikkan fluiditas aluminium, sehingga aluminium cair akan dapat mengalir lebih mudah.
Penambahan silikon juga akan memperbaiki ketahanan korosi dan kemampuan untuk dilakukan proses pengelasan. Silikon juga dikombinasikan dengan magnesium.
Magnesium. Penambahan magnesium hampir sama dengan penambahan tembaga, namun magnesium bila kontak dengan udara luar akan mengalami oksidasi dan membentuk MgO dan hydrogen.
Magnesium dan Silikon. Dikombinasikan dari bentuk Mg2Si.
Penambahan sedikit jumlah magnesium dan jumlah silikon akan membuat kekuatan yieldnya menjadi lebih besar.
Seng (Zinc). Penambahan unsur seng ke dalam paduan akan mendapatkan kekerasan maksimum. (Chastain, 2004).
Tabel 2.3 Titik cair dan temperatur penuangan dari paduan aluminium dan paduan magnesium (Surdia, 2006):
Paduan dan
Diagram fasa merupakan grafik yang dibuat dari eksperimen untuk mengetahui fasa yang terjadi pada tiap temperatur dan
komposisinya. Untuk diagram fasa dari paduan aluminium dengan tembaga dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini.
Gambar 2.1 Diagram fasa Al-Cu pada temperatur tertentu (antipasto.union.edu)
2.3 Pengecoran 2.3.1 Proses Pengecoran
Pengecoran logam adalah proses pembuatan benda dengan mencairkan logam dan menuangkan ke dalam rongga cetakan.
Proses ini dapat digunakan untuk membuat benda-benda dengan bentuk rumit. Benda berlubang yang sangat besar yang sangat sulit atau sangat mahal jika dibuat dengan metode lain, dapat diproduksi masal secara ekonomis menggunakan teknik pengecoran yang tepat.
Adapun masalah-masalah yang dihadapi selama proses pengecoran yaitu desain cetakan, pembuatan cetakan, pencairan,
pemurnian, dan pengecoran logam cair. Pada desain dan pembuatan cetakan meliputi:
1. Mekanisme dan laju pembentukan
Dimensi serta penempatan riser yang sesuai, pola rekristalisasi dan penyusutan harus diketahui. Faktor tersebut tergantung pada komposisi kimia logam yang bersangkutan serta gradien termal dari cetakan.
2. Heat transfer selama pembekuan (Riser)
Setelah proses pembekuan difahami, maka penyusutan dapat dikontrol dengan penggunaan prinsip heat-transfer.
3. Aliran logam cair
Masalah aliran logam cair ini meliputi :
Temperatur
Dimensi sistem saluran yang tepat.
Pencegahan ikutnya kotoran kedalam rongga cetakan.
4. Tegangan yang, timbul pada coran pada daerah temperatur solidus.
Masalah yang terjadi yaitu timbulnya hot tear (keretakan panas).Hal ini dapat diatasi dengan perubahan pada bentuk coran atau konstruksi cetakan.
5. Tegangan yang timbul pada coran pada daerah elastis Laju pendinginan yang tidak serempak pada seluruh coran dapat mengakibatkan tegangan pada saat coran sudah dingin.
6. Bahan dan metoda pembuatan cetakan
Diusahakan pemilihan material yang ekonomis sebagai bahan cetakan. Disamping itu juga metoda pembuatan cetakan yang ekonomis.
Untuk mendapatkan logam cair yang sesuai, maka masalah-masalah berikut perlu mendapat perhatian
1. Gas dalam logam Cair
Dalam peleburan, coran akan terjadi porositas yang diakibatkan kelarutan gas dalam logam cair. Meskipun kandungan gas-gas tertentu seperti nitrogen, dapat
membantu dalam pembuatan struktur tertentu agar kandungan gas dalam logam cair dapat ditekan.
2. Kontrol dari unsur- unsur yang terdapat dalam logam cair Komposisi kimia suatu logam sangat erat kaitan dengan sifat mekanik, fisik dan sebagainya. Oleh sebab itu perlu dipilih kombinasi baja bekas, besi kasar, flux, kondisi tungku (dapur), serta temperatur yang diperlukan agar didapat produksi yang ekonomis.
3. Pemilihan dan pengontrolan dapur pelebur
Dengan reaksi slag-logam tertentu, perlu ditentukan jenis tungku atau kombinasi yang digunakan, sehingga kapasitas, temparatur, dimensi dapur, serta komposisi yang diinginkan dapat tercapai (Sadino, 2007).
Untuk menghasilkan coran yang baik, logam cair harus efektif terdistribusi ke dalam cetakan sebelum kehilangan panas.
Aliran turbulensi harus dicegah untuk menghasilkan aliran laminer. Hal ini dikarenakan aluminium sangat mudah untuk teroksidasi pada lapisan yang tersentuh dengan udara. Oksida ini bisa masuk ke dalam coran dan dapat menyebabkan porositas.
Campbell telah menunjukkan aliran turbulensi pada paduan aluminium dapat dicegah dengan menjaga aliran dibawah 0.5 m/s.
Hydrogen juga merupakan gas yang mudah larut ke dalam logam cair. Namun pada saat solidifikasi hydrogen sulit larut dalam fasa solid sehingga menimbulkan porositas. Sehingga pada pengecoran tertentu diperlukan degasing untuk menghilangkan hydrogen dari logam cair. Selain itu dalam pengecoran, tidak boleh ada pengotor dalam cetakan (Roger, 2010).
2.3.2 Cetakan Pasir
Pengecoran cetakan pasir adalah proses pengecoran logam yang menggunakan pasir sebagai material cetakan. Hal ini dikarenakan harganya yang murah dan memiliki ketahanan panas yang cukup baik. Bonding agent (biasanya clay) dicampurkan dengan pasir. Campuran ini dilembabkan dengan air untuk meningkatkan kekuatan dan plastisitas clay agar dapat dijadikan
cetakan. Pasir cetak memerlukan sifat-sifat yang memenuhi persyaratan sebagai berikut (Surdia, 2006):
1. Mempunyai sifat mampu bentuk sehingga mudah dalam pembuatan cetakan dengan kekuatan yang cocok. Cetakan yang dihasilkan harus kuat sehingga tidak rusak karena dipindah-pindah dan dapat menahan logam cair waktu dituang ke dalamnya. Karena iu kekuatannya pada temperatur kamar dan kekuatan panasnya sangat diperlukan.
2. Permeabilitas yang cocok. Dikuatirkan bahwa hasil coran mempunyai cacat seperti rongga peyusutan, gelembung gas atau kekasaran permukaan, kecuali jika udara atau gas yang terjadi dalam cetakan waktu penuangan disalurkan melalui rongga-rongga di antara butir-butir pasir keluar dari cetakan dengan kecepatan yang cocok.
3. Distribusi besar butir yang cocok. Permukaan coran diperhalus kalau coran dibuat di dalam cetakan yang berbutir halus. Tetapi kalau butir pasir terlalu halus, gas dicegah keluar dan membuat cacat, yaitu gelembung udara. Distribusi besar butir harus cocok mengingat dua syarat yang disebut diatas.
4. Tahan terhadap temperatur logam yang dituang.
Temperature penuangan yang biasa untuk bermacam-macam corn. Butir pasir dan pengikat harus mempunyai derajat tahan api tertentu terhadap temperatur tinggi, kalau logam cair dengan temperatur tinggi ini dituang kedalam cetakan.
5. Komposisi yang cocok. Butir pasir bersentuhan dengan logam yang dituang mengalami peristiwa kimia dan fisik karena logam cair mempunyai temperature yang tinggi.
Bahan-bahan yang tercampur mungkin menghasilkan gas atau larut dalam logam adalah tidak dikehendaki.
6. Mampu dipakai kembali. Pasir harus dapat dipakai berulang-ulang seupaya ekonomis.
7. Pasir harus murah.
Bagian-bagian dari cetakan pasir sendiri antara lain meliputi : 1. Pola (pattern)
Memiliki bentuk dan ukuran yang sama dengan bentuk asli dari benda kerja yang dikehendaki.
2. Inti (core)
Berfungsi sebagai bingkai untuk melindungi struktur model yang akan dibentuk sehingga cetakan tidak berubah bentuk saat terjadi proses pengecoran.
3. Cetakan atas (Cope)
Merupakan bagian atas cetakan pasir.
4. Cetakan bawah (Drag)
Merupakan setengah bagian bawah dari cetakan pasir.
5. Gate
Adalah lubang dimana logam cair nantinya akan dituangkan, berada di antara core dan drag.
6. Riser
Adalah lubang yang berfungsi sebagai tempat untuk menambahkan logam cair agar tidak ada rongga yang kosong di dalam ruang cetakan (Gilbert, 2004).
Gambar 2.2 Bagian dari cetakan pasir (www.ic.polyu.edu.hk)
2.3.3 Sistem Saluran
Elemen sistem saluran terdiri dari pouring basin, sprue, sprue well, runner, dan ingate. Gambar gating system dapat dilihat pada gambar 2.3 dibawah ini.
Gambar 2.3 Gating system pada coran (Dolar, 2009)
Pouring basin : berbentuk kerucut yang terletak pada bagian atas mold. Memiliki fungsi mengalirkan logam cair dari ladle menuju sprue. Pouring basin harus dalam untuk mengurangi vortex formation dan memuhi mold selama proses penuangan.
Sprue : saluran yang menghubungi antara pouring basin dan runner. Sprue dibuat meruncing kebawah untuk menghindari masuknya udara karena perbedaan tekanan. Penampang dapat berbentuk lingkaran, persegi, maupun persegi ppanjang.
Lingkaran memiliki surface area exposed yang kecil dan menghasilkan ketahan aliran metal terendah. Bentuk persegi atau persegi panjang mengurangi masuknya udara dan turbulensi.
Sprue Well : terletak pada bagian bawah sprue untuk menahan jatuhnya aliran logam cair dan dibelokkan ke runner.
Runner : saluran yang menghantarkan logam cair menuju Ingate. Penampang runner berbentuk persegi panjang untuk menghasilkan aliran yang efisien dengan sedikit turbulensi. Runner harus terisi penuh sebelum memasuki ingate. Pada pengecoran dengan ingate lebih dari satu, ukuran penampang harus dikurangi untuk menjaga keseragaman aliran menuju ingate.
Ingate : saluran kecil yang menghubungkan antara runner dan rongga cetakan. Penampang dapat dalam bentuk persegi, persegi panjang, atau trapezoid.
Dari segi posisi sistem saluran terdiri dari tiga jenis yaitu:
1. Top Gating System
Pada gating system ini logam cair akan mengalir dari pouring basin langsung menuju bagian atas dari mold.
Keuntungan dari sistem ini yaitu menghasilkan pembekuan dari bawah keatas. Kerugian dari sistem ini, logam cair akan mengakibatkan erosi pada bagian dasar rongga cetakan. Sangat cocok untuk bentuk cetakan yang mendatar. Kecepatan aliran dijaga konstan dari awal hingga akhir penuangan, sehingga menghasilkan laju pengisian yang paling cepat.
2. Bottom Gating System
Sistem ini menciptakan pengisian rongga cetakan dari bawah ke atas rongga. Sangat direkomendasikan untuk coran yang tinggi untuk menghindari jatuh bebas logam cair dihindarkan. Keuntungan sistem ini menghasilkan pengisian yang bertahap dari bawah dengan sedikit gangguan. Kerugian dari sistem ini, pengisian rongga cetakan dengan laju pengisian yang berbeda-beda, memiliki laju pengisian yang tinggi pada awal penuangan
dan bertahap berkurang bersamaan dengan pengisian rongga cetakan.
3. Parting-line Gating System
Sistem ini terletak pada bagian tengah dari rongga cetakan.
Sistem ini memiliki keuntungan gabungan top dan bottom system dengan mengurangi jatuh bebas logam cair dan menghasilkan laju pengisian yang tinggi seperti bottom gating system. Efek turbulensi juga berkurang dibandingkan dengan jenis top gating sytem. Biasanya digunakan untuk gating system mendatar (Dolar, 2009).
Gambar 2.4 Klasifikasi gating system berdasarkan posisi ingates (a) Top Gating (b) Bottom Gating (c) Parting Line Gating (Dolar,
2009) 2.3.4 Solidifikasi
Proses solidifikasi adalah proses transformasi dari struktur non–chrystallographic dan christallographic pada material logam dan paduannya. Pemahaman tentang proses mekanisme solidifikasi dan bagaimana proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti distribusi temperatur, laju pendinginan dan paduannya, adalah hal yang sangat penting dalam mengontrol sifat-sifat dari produkcasting.
Pada penggunaannya, transfer panas yang bekerja pada proses solidifikasi adalah konveksi, konduksi dan radiasi sehingga laju transfer panas totalnya ditampilkan pada persamaan 2.1.
QT = QT1 . QT2 . QT3 ...(2.1) Dapat dilihat bahwa transfer panas secara konveksi, dan radiasi dari permukaan atas, konduksi yang melalui dinding, konveksi dan radiasi dari permukaan cetakan yang dipanaskan diwakilkan dengan QT1 . QT2 . QT3.
Untuk mencari QT1 yang merupakan laju transfer panas dengan konveksi dan radiasi dari bagian atas dapat digunakan persamaan 2.2.
QT1 = (h + hr)T . AT . (T - T∞) ...(2.2) Sedangkan nilai dari T= 1/2(T_p+T_m). Koefisien transfer panas dilambangkan h dan hr. AT adalah luasan dari permukaan atas dari cetakan dan T∞ adalah temperatur cetakan. Kemudian laju transfer panas dengan konduksi dituliskan pada persamaan 2.3.
𝑄𝑇2=(𝑇𝑝−𝑇∞)
𝑅𝑡 ...(2.3) Pada persamaan 2.24 ini, Tp dan T∞ adalah temperatur dalam dan luar dari cetakan dan Rt adalah ketahanan termal dari dinding cetakan. Namun, sering kali Rt ini diabaikan dikarenakan Kemudian laju transfer panas konveksi dan radiasi untuk dinding cetakan luar yang dipanaskan menggunakan persamaan 2.4.
𝑄𝑇3= (ℎ + ℎ𝑟)𝑇𝑠 . 𝐴 . (𝑇𝑠− 𝑇∞) ...(2.4) Ts adalah temperatur permukaan cetakan, T∞ adalah temperatur dari lingkungan sekitar cetakan. H dan hr adalah koefisien transfer panas. A adalah luasan dari permukaan cetakan yang dipanaskan terhadap lingkungan.
Sehingga total dari laju panas sesuai persamaan 2.5 menjadi
QT = (h + hr)T . AT . (T - T∞) + (𝑇𝑝−𝑇∞)
𝑅𝑡 + (ℎ + ℎ𝑟)𝑇𝑠 . 𝐴 . (𝑇𝑠− 𝑇∞)...(2.5) Sebenarnya, Qt adalah proses hilangnya panas dari suatu logam yang biasanya dianggap sebagai panas sensible.
Ditampilkan pada persamaan 2.6 dan 2.7.
𝑄𝑡= 𝑚𝐶𝑝∆𝑇 ...(2.6) 𝑄𝑡= 𝑚𝐶𝑝(𝑇𝑝− 𝑇𝑚) ...(2.7) Dimana Cp adalah specific heat dari logam, Tp dan Tm adalah temperatur saat penuangan serta temperatur lelehan, sedangkan m adalah massa logam yang dituangkan.
Kemudian, persamaan 2.6 digabungkan dengan persamaan 2.7 sehingga menghasilkan persamaan 2.8
𝑡1= 𝑚𝐶𝑝(𝑇𝑝−𝑇𝑚)
(h+hr)T̅ .𝐴𝑇 .(𝑇̅−𝑇∞)+(𝑇𝑝− 𝑇∞)
𝑅𝑡 + (ℎ+ℎ𝑟)𝑇̅.𝐴𝑇 .(𝑇𝑠−𝑇∞)
...(2.8)
Persamaan 2.29 merupakan persamaan untuk mencari solidifikasi selama penuangan.
Kemudian, langkah selanjutnya adalah transfer panas pembentukan. Transformasi fasa akan terjadi ketika logam kehilangan panas sensible dan mencapai temperatur lelehnya.
Pada dasarnya persamaannya sama dengan perpindahan panas saat logam dituangkan sehingga dapat dirumuskan seperti persamaan 2.9.
Qt = QT.t2 ...(2.9) dimana Qt adalah jumlah kehilangan panas total dari atas dan dinding, QT adalah laju transfer panas total baik dari konveksi dan radiasi dari atas dan konduksi yang melalui dinding. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk transfer panas atau dengan kata lain waktu solidifikasi kedua dilambangkan dengan t2.
Sama seperti tadi, transfer panas yang bekerja pada proses pengecoran adalah konveksi, konduksi dan radiasi sehingga laju transfer panas totalnya diyampilkan pada persamaan 2.10.
QT = QT1 . QT2 . QT3 ...(2.10) Transfer panas secara konveksi, dan radiasi dari permukaan atas, konduksi yang melalui dinding, konveksi dan radiasi dari permukaan cetakan yang dipanaskan diwakilkan dengan QT1 . QT2
. QT3.
Berbeda dengan persamaan (2.4.4), (2.4.5) serta (2.4.6).
Pada tahap ini T diganti menjadi Tm dikarenakan ini adalah temperatur saat koefisien transfer panas selama konduksi pada tahap kedua. Apabila digabungkan, maka didapat persamaan 2.11.
QT = (h + hr)T . AT . (𝑇𝑚- T∞) + (𝑇𝑚𝑅−𝑇∞)
𝑡 + (ℎ + ℎ𝑟)𝑇𝑠 . 𝐴 . (𝑇𝑠− 𝑇∞) ...(2.11) Di tahap ini, total dari heat loss ditampilkan pada persamaan 2.12.
Qt = mHf ...(2.12) Diketahui bahwa m adalah massa dari logam sedangkan Hf adalah panas pembentukannya. Ketika persamaan 2.33 dan 2.33 digabungkan akan menjadi persamaan 2.13.
𝑡2= m𝐻𝑓
(h+hr)𝑇𝑚 .𝐴𝑇 .(𝑇𝑚−𝑇∞)+(𝑇𝑚− 𝑇∞)
𝑅𝑡 + (ℎ+ℎ𝑟)𝑇𝑠.𝐴𝑇 .(𝑇𝑠−𝑇∞) ....(2.13)
Dimana t2 adalah waktu solidifikasi pada tahap kedua yaitu ketika logam berubah dari fasa liquid ke solid.
Sehingga didapatkan waktu solidifikasi total yang ditampilkan pada persamaan 2.14.
t = t1 + t2 ...(2.14)
2.3.5 Penyusutan, Porosity, dan Crack dalam Coran Semua logam yang digunakan dalam pengecoran ukurannya akan mengecil dan menyusut setelah pemadatan dan pendinginan didalam cetakan. Untuk mengimbangi hal ini maka, pola dari cetakan harus dibuat lebih besar dari ukuran coran yang sebenarnya sesuai dengan jumlah yang disebut dengan “pengecilan pembuatan pola”. Dalam menyusun pengukuran dari pola, pembuatan pola memperkenankan pengecilan ini dengan menggunakan aturan ini yang sedikit lebih panjang dari aturan yang sama dalam panjang yang sama. Untuk pengecoran logam yang berbeda maka mungkin akan berbeda juga prinsip pengecilannya, namun pada umumnya prinsip tersebut digunakan pada setiap sisi, dimana ada 2 skala, jumlah total skalanya adalah 4 untuk 4 logam coran umum, seperti baja, besi cor, kuningan, dan aluminium. Pembagian pada setiap
2.3.5 Penyusutan, Porosity, dan Crack dalam Coran Semua logam yang digunakan dalam pengecoran ukurannya akan mengecil dan menyusut setelah pemadatan dan pendinginan didalam cetakan. Untuk mengimbangi hal ini maka, pola dari cetakan harus dibuat lebih besar dari ukuran coran yang sebenarnya sesuai dengan jumlah yang disebut dengan “pengecilan pembuatan pola”. Dalam menyusun pengukuran dari pola, pembuatan pola memperkenankan pengecilan ini dengan menggunakan aturan ini yang sedikit lebih panjang dari aturan yang sama dalam panjang yang sama. Untuk pengecoran logam yang berbeda maka mungkin akan berbeda juga prinsip pengecilannya, namun pada umumnya prinsip tersebut digunakan pada setiap sisi, dimana ada 2 skala, jumlah total skalanya adalah 4 untuk 4 logam coran umum, seperti baja, besi cor, kuningan, dan aluminium. Pembagian pada setiap