• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak, diantaranya sebagai berikut:

1. Bagi Akademisi

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan penelitian mengeni model pengukuran kinerja Perbankan Syariah yang masih terbatas dan masih menjadi wacana akademik yang baru, serta dapat menjadi referensi untuk penelitian berikutnya.

2. Bagi Pemerintah

Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam memberikan dukungan terhadap Perbankan Syariah, sehingga Perbankan Syariah memiliki standarisasi model pengukuran kinerja yang dapat mengevaluasi seberapa tepat dan relevan Kinerja Perbankan Syariah dengan prinsip dan tujuannya.

14 3. Bagi Bank Syariah

Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi internal oleh Bank Syariah dalam memaksimalkan aspek kinerja syariah maupun sosial sebagaimana dalam pendekatan Islamicity Performance Index dan Maqashid Syariah Index.

15 BAB II

TINJAUAN PENELITIAN

A. Teori – teori Terkait Penelitian 1. Stakeholder

Menurut Maskuroh (2014:195) menyatakan definisi stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Di dalam perusahaan terdapat pihak yang diutamakan yaitu stakeholder, yang termasuk dalam kelompok stakeholder antara lain pemegang saham, pekerja, supplier, investor, konsumen, dan pemerintah. Perusahaan bukan sebuah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun memberikan manfaat bagi stakeholder.

Menurut Rokhlinasari (2016:7), tujuan utama dari teori stakeholder yaitu untuk membantu manajer perusahaan agar mengerti lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan dengan lebih efektif di antara keberadaan hubungan-hubungan di lingkungan perusahaan mereka. Namun demikian, tujuan yang lebih luas dari teori stakeholder yaitu untuk membantu manajer perusahaan dalam meningkatkan nilai dari dampak aktifitas mereka, serta meminimalkan kerugian bagi stakeholder. Pada kenyataannya, inti keseluruhan dari teori stakeholder adalah terletak pada apa yang akan terjadi ketika sebuah perusahan dan stakeholder menjalankan hubungan antar keduanya dengan baik.

16

Stakeholder dapat dibagi menjadi dua berdasarkan karakteristiknya yaitu stakeholder primer dan stakeholder sekunder. Stakeholder primer merupakan seseorang atau kelompok yang tanpanya perusahaan tidak dapat bertahan untuk going concern, di antaranya : shareholders dan investor, karyawan, konsumen, pemasok, pemerintah, dan komunitas.

Kelompok stakeholder sekunder didefinisikan sebagai mereka yang mempengaruhi, atau dipengaruhi perusahaan, namun mereka tidak berhubungan transaksi dengan perusahaan dan tidak esensial kelangsungannya (Rokhlinasari, 2016:6).

Teori stakeholder mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan memerlukan dukungan stakeholder, sehingga aktivitas perusahaan juga mempertimbangkan persetujuan stakeholder. Semakin kuat stakeholder, maka perusahaan harus semakin beradaptasi dengan stakeholder. Pengungkapan sosial dan lingkungan kemudian dipandang sebagai dialog antara perusahaan dengan stakeholder (Maskuroh, 2014:6). Terdapat beberapa alasan yang mendorong perusahaan perlu memperhatikan kepentingan stakeholder yaitu:

1. Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka

2. Dalam era globalisasi tellah mendorong produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan

17

3. Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih perusahaan yang memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program lingkungan

4. Lembaga Swadaya Masyarakat dan pecinta lingkungan makin vokal dalam mengkritik perusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, teori stakeholder dapat diartikan sebagai teori yang menekankan akuntabilitas sebuah perusahaan tidak semata-mata mengenai kinerja keuangan, namun terdapat sisi moral dan manajerial yang harus dipenuhi oleh perusahaan guna untuk memenuhi hak para pemangku kepentingan, karena mereka harus diperlakukan secara adil, serta berhak menerima manfaat atau keuntungan dari hasil pengelolaan manajer perusahaan.

2. Kinerja Perbankan Syariah a. Pengertian Kinerja

Menurut Hameed dkk (2004:1) kinerja dapat diartikan sebagai pencapaian perusahaan yang merupakan konsekuensi dan hasil dari tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga, tujuan yang ditetapkan tersebut menjadi parameter yang penting dalam menilai seberapa baik pencapaian kinerja bank syariah, sehingga capaian atas kinerja dapat disesuaikan dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya oleh bank syariah.

18

Menurut Yusnita (2019:15), kinerja bank merupakan bagian dari kinerja bank secara keseluruhan yang merupakan gambaran prestasi yang dicapai bank dalam operasionalnya, baik yang menyangkut aspek keuangan, pemasaran dan penyaluran dana, teknologi maupun sumber daya manusia.

Menurut Wiranata (2013:199) pengertian kinerja merupakan kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumberdaya yang dimilikinya. Sehingga, kinerja merupakan pencapaian perusahaan dalam mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya melalui pengendalian sumberdaya yang dimiliki dan seluruh aspek operasional serta non operasional lainnya.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, kinerja dapat diartikan sebagai keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya baik secara aspek operasional maupun non operasional yang mengindikasikan prestasi suatu perusahaan.

b. Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja (performing measurement) merupakan upaya yang dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan aktivitas bisnis berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan, sekaligus untuk mengukur tingkat pencapaian keberhasilan, sehingga penyimpangan yang terjadi dalam mencapai

19

tujuan dapat dieliminasi melalui proses perbaikan yang berkesinambungan (Yusnita, 2019:15).

Analisis kinerja merupakan proses pengkajian secara kritis yang meliputi review data, menghitung, mengukur, menginterpretasi, serta memberi solusi terhadap keuangan perusahaan pada suatu periode tertentu untuk perbaikan kegiatan operasional perusahaan agar dapat bersaing dengan perusahaan lain (Antonio, 2012:14).

Pengukuran kinerja dalam keuangan syariah diukur dari segi tujuan syariah (maqashid syariah), sehingga dapat diketahui apakah kinerja atau aktivitas muamalah yang dijalankan tersebut sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah atau belum (Hameed et al., 2004:1).

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, pengukuran kinerja dapat diartikan sebagai upaya pengkajian secara kritis yang dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan.

c. Kinerja Perbankan

Dalam Jurnal Antonio (2012:14) dikemukakan bahwa Perbankan biasa menggunakan kinerja keuangan sebagai alat ukur kinerja melalui laporan keuangan yang berupa neraca dan laporan laba rugi dari suatu perusahaan yang disusun secara baik dan akurat

20

yang memberikan gambaran keadaan yang nyata mengenai hasil atau prestasi yang telah dicapai oleh suatu perusahaan selama kurun waktu tertentu.

Perbankan Konvensional menggunakan rasio keuangan untuk mengukur kinerja. Rasio dalam analisis laporan keuangan merupakan angka yang menunjukkan hubungan antara suatu unsur dengan unsur lainnya dalam laporan keuangan. Rasio keuangan digunakan untuk menilai kondisi keuangan suatu perusahaan (Winanti, 2017:132). Adapun rasio-rasio yang digunakan dalam perbankan secara umum antara lain sebagai berikut:

1. Rasio Solvabilitas

Rasio solvabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur aktiva perusahaan yang dibiayai dengan utang.

Dalam hal ini berapa besarnya jumlah utang yang digunakan perusahaan untuk membiayai kegiatan usahanya jika dibandingkan dengan menggunakan modalnya sendiri.

2. Rasio Profitabilitas

Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan atau laba dalam kurun waktu tertentu. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu perusahaan yang ditunjukkan melalui laba yang dihasilkan dari penjualan atau pendapatan investasi.

21 3. Rasio Likuiditas

Rasio likuiditas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.

d. Kinerja Perbankan Syariah

Hameed et al ( 2 0 0 4 : 1 ) mengemukakan bahwa salah satu tujuan pendirian bank syariah adalah untuk mencapai falah, baik bagi stakeholder maupun masyarakat secara luas. Tujuan inilah yang membedakan perbankan syariah dengan perbankan konvensional yang hanya berorientasi pada profit oriented.

Peran dan tanggung jawab keuangan syariah tidak hanya terbatas pada kebutuhan keuangan berbagai pemangku kepentingan saja, tetapi yang lebih penting daripada itu adalah bagaimana perbankan syariah mampu menjalankan bisnis dan memastikan bahwa keseluruhan aktivitas operasional serta produk yang dihasilkan tidak bertentangan dengan syariat islam.

Tujuan kegiatan ekonomi dalam islam termasuk lembaga keuangan syariah, tidak hanya berfokus pada tujuan komersial yang berorientasi pada keuntungan, akan tetapi terdapat tujuan lain yang harus diperhatikan oleh pelaku ekonomi, yaitu

22

memberikan kesejahteraan sosial. Fungsi sosial bank syariah tersebut sejalan dengan teori Corporate Social Responsibility (CSR) yang bertujuan agar perusahaan tidak hanya menjalankan kepentingan para pemegang saham (shareholders) saja, tetapi juga memperhatikan kepentingan stakeholder yang terdiri dari para pekerja, komunitas lokal, pemerintah, LSM, konsumen, dan lingkungan. CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari pada tiga prinsip dasar yang dikenal dengan Triple Bottom Lines (3P), yaitu Profit, People, dan Planet (Wiranata, 2013:197).

Mohammed et al (2005:5) juga menyatakan bahwa dengan adanya pergeseran paradigma pada konsep triple bottom lines dengan indikator kinerja yang meliputi indikator ekonomi, lingkungan dan sosial, maka sistem perbankan syariah harus memiliki pertumbuhan yang berkelanjutan, dimana kegiatan utamanya harus difokuskan pada pendekatan yang manfaat yang tidak hanya bagi pemegang saham saja, tetapi juga terhadap pemangku kepentingan yang lebih luas yaitu masyarakat dan lingkungan.

Dalam Islam, ketika perusahaan menyediakan informasi akuntansi, maka tidak diperbolehkan hanya berfokus pada kebutuhan kelompok tertentu saja. Namun informasi akuntansi dalam lembaga keuangan syariah harus mampu memenuhi kebutuhan stakeholder secara keseluruhan seperti karyawan,

23

kreditur, pemerintah dan sosial. Hal ini disebabkan karena aspek sosial dalam Islam didasarkan pada konsep Tauhid (Unity), Adl (Keadilan), Ummah (Keummatan) dan Maslahah (Manfaat bagi masyarakat). Sudah seharusnya pengukuran kinerja perbankan syariah diukur dari segi tujuan syariah (maqashid syariah) sehingga dapat diketahui kinerja perbankan syariah tersebut atau aktivitas muamalah yang dijalankan sudah sesuai atau belum dengan nilai dan prinsip syariah (Azis & Basri, 2019:2).

Secara umum pengukuran kinerja bank syariah saat ini mayoritas menggunakan kinerja pengukuran yang cenderung serupa dengan pengukuran kinerja bank konvensional dengan menggunakan rasio keuangan dan efisiensi. Pengukuran efisiensi perbankan syariah yang biasa digunakan adalah metode Data Envelopment Analysis (DEA). Mayoritas penelitian di bidang ini membandingkan efisiensi antara perbankan syariah dan perbankan konvensional untuk melihat mana yang lebih efisien. Kemudian, beberapa penelitian menggabungkan DEA dengan Malmquist Productivity Index untuk mengukur produktivitas perbankan syariah (Setiawan et al., 2020:205). Pengukuran kinerja yang lain yang disamakan dengan pengukuran kinerja bank konvensional yaitu pendekatan rasio CAMELS (Capital, Asset, Management, Earning, Liquidity, Sensitivity of Market Risk) (Antonio, 2012:13).

Upaya mengembangkan evaluasi pengukuran kinerja

24

perbankan syariah yang sejalan dengan tujuan tercapainya syariah melalui konsep Maqashid Syariah telah dibahas oleh Mohammed, Dzuljastri, dan Taib (2005:7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan indeks maqashid dapat menjadi alternatif pendekatan strategis yang dapat menggambarkan seberapa baik kinerja perbankan syariah secara lebih universal dan komprehensif.

Pemahaman lengkap tentang Indeks Maqashid diambil dari nilai-nilai luhur Islam (maqashid syariah) yang dipahami sebagai tujuan akhir syariah yang mengedepankan nilai-nilai kesejahteraan dan kemaslahatan sekaligus menghilangkan kesengsaraan.

Adapun lebih rinci menurut Al-Ghazali dalam Jurnal Khatib (2018:154) menyatakan bahwa maqashid syariah terangkum dalam al-mabaadi’ al-khamsah yaitu perlindungan terhadap agama (hifzd din), jiwa (hifzd nafs) akal (hifzd –‘aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifzd al-maal). Maka segala hal yang dapat menjamin kelima hakikat itu disebut maslahah dan segala yang lepas dari lima unsur tersebut disebut mafsadah (kerusakan).

Dalam pandangan lain, maqashid syariah menurut Abu Zaharah (1958) yang kemudian dikembangkan oleh Mohammed et al (2008:7) membagi dalam 3 tujuan yaitu Tahdzib al-fard (pendidikan untuk individu), Iqamah al-adl (menegakkan keadilan), dan Jalb al-maslahah (manfaat/kesejahteraan). Konsep ini kemudian ditransformasi oleh Mohammed et al (2008:7)

25

menjadi Maqashid Syariah Indeks sebagai alat ukur evaluasi kinerja perbankan syariah. Melalui Konsep Sekaran, ketiga tujuan maqashid tersebut diterjemahkan ke dalam 9 dimensi dan kemudian diklasifikasikan menjadi 10 elemen. Rasio dalam Maqashid (tujuan) pertama adalah hibah pendidikan, penelitian, pelatihan, dan publisitas (promosi). Rasio pada Maqashid kedua adalah fair return, distribusi fungsional, serta produk bebas bunga.

Adapun Maqashid ketiga dapat dilihat dari rasio zakat yang dikeluarkan oleh perbankan dan investasi sektor riil.

Hameed et al (2004:1) juga telah merumuskan konsep pengukuran Islamicity performance Index untuk mengukur kinerja perbankan syariah dari segi ketercapaian tujuan syariah. Dalam penelitian ini, Hameed et al (2004:1) menggunakan 7 rasio dalam mengukur kinerja syariah diantaranya profit sharing ratio, zakat performance ratio, equitable distribution ratio, islamic investment vs non islamic investment, islamic income vs non islamic income ratio, directors employees welfare ratio, serta AAOIFI index.

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, kinerja Perbankan Syariah dapat diartikan sebagai keberhasilan Perbankan Syariah dalam mencapai tujuan didirikannya yang tidak hanya berfokus pada orientasi keuntungan, tetapi juga harus mampu memenuhi kebutuhan stakeholder secara keseluruhan dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip syariah yang telah ditentukan.

26 3. Islamicity Performance Index (IPI)

Analisis kinerja yang relevan menjadi aspek penting bagi perbankan syariah sebagai metode pengukuran pencapaian kinerja Perbankan Syariah berdasarkan target yang telah ditetapkan sebelumnya (Mutia & Musfirah, 2017:183). Hal ini akan membantu Perbankan Syariah dalam memperbaiki kinerjanya di masa mendatang dan mengidentifikasi kekurangan operasionalnya selama tahun yang sudah berjalan. Sehingga Perbankan Syariah semakin kompetitif dalam menjawab tantangan dengan Perbankan Konvensional melalui sistem pengukuran kinerja yang tepat (Prasetyowati & Handoko, 2019:94).

Hameed et al (2004:1) telah mengajukan 2 jenis indeks dalam penelitiannya yaitu: Islamicity Disclosure Index dan Islamicity Performance Index. Indeks ini dikembangkan untuk membantu para pemangku kepentingan dalam mengevaluasi kinerja lembaga keuangan syariah melalui laporan keuangan tahunan (annual report) dengan cara memaksimalkan keterbatasan informasi yang tersedia di dalamnya. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan tentang bagaimana kinerja lembaga keuangan syariah di tahun sebelumnya, dan bagaimana kinerja lembaga tersebut dalam waktu dekat.

Rahayu (2019:363), Meilani (2014:29), serta Hameed et al (2004:1) juga menyatakan bahwa Islamicity Performance Index merupakan salah satu metode yang dapat mengevaluasi kinerja bank

27

syariah, tidak hanya dari segi keuangan tetapi juga mampu mengevaluasi prinsip keadilan, kehalalan, dan penyucian (tazkiyah) yang dilakukan oleh bank syariah. Terdapat tujuh rasio kinerja yang diukur dalam Islamicity Performance Index, yaitu Profit Sharing Ratio, Zakat Performance Ratio, Equitable Distribution Ratio, Directors-Employess Welfare Ratio, Islamic Investment vs Non Islamic Invesment Ratio, Islamic Income vs Non Islamic Income, dan AAOIFI Index.

Rasio yang digunakan dalam Islamicity Performance Index oleh Hameed et al (2004:1), antara lain :

a. Profit Sharing Ratio (PSR)

Salah satu keunikan yang dimiliki Bank Syariah adalah sistem bagi hasil. Sehingga, sangat penting untuk mengidentifikasi seberapa jauh Bank Syariah telah berhasil dalam mencapai tujuan atas bagi hasil melalui rasio PSR. Pendapatan bagi hasil Bank dapat diperoleh melalui dua akad, yang pertama adalah mudharabah yaitu pembiayaan kerja sama antara bank yang menyediakan seluruh modal dan nasabah yang bertindak selaku pengelola dana. Dengan pembagian keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank, kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. Akad yang kedua adalah musyarakah yaitu pembiayaan kerja sama antara Bank

28

dengan nasabah, masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.

Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung Profit Sharing Ratio adalah sebagai berikut :

PSR = Mudharabah + Musyarakah Total Pembiayaan

Dalam Profit Sharing Ratio ini memiliki tujuan untuk melihat seberapa besar pembiayaan yang disalurkan melalui 2 akad tersebut yakni mudharabah dan musyarakah (Hameed et al., 2004:18).

b. Zakat Performance Ratio (ZPR)

Hameed et al (2004:19) menyatakan bahwa kinerja bank syariah harus berdasarkan pada pembayaran zakat untuk menggantikan indikator kinerja konvensional yaitu Earning Per Share (EPS). Hameed et al (2004:19) mengusulkan formula ZPR sebagai berikut:

ZPR = Zakat Net Asset

Menurut Hameed et al (2004:19), dan Meilani (2014:28) menyatakan bahwa kekayaan bank syariah harus didasarkan pada aktiva bersih (net asset) bukan laba bersih (net profit).Sehingga,

29

jika aktiva bersih bank semakin tinggi, maka rasio zakat yang dikeluarkan oleh bank juga harus lebih tinggi.

c. Equitable Distribution Ratio (EDR)

Menurut Hameed et al (2004:19), Equitable Distribution Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur berapa persentase pendapatan yang didistribusikan kepada stakeholder secara keseluruhan yang terlihat dari jumlah dana yang dihabiskan untuk qard dan donasi, beban pegawai, pemegang saham, dan perusahaan. Untuk setiap hal tersebut, dihitung dengan menilai jumlah yang didistribusikan kepada sosial masyarakat, pegawai, investor dan perusahaan, selanjutnya dibagi dengan total pendapatan yang telah dikurangi zakat dan pajak.

Sehingga dari rasio ini dapat diketahui besarnya rata- rata distribusi pendapatan ke sejumlah stakeholder.

Dalam menghitung rasio EDR (Equitable Distribution Ratio), Hameed et al (2004:32) membagi ke dalam 4 komponen antara lain: Qard and Donation, Employees Expenses, Shareholders, dan Net Profit. Masing-masing perhitungan tersebut, menggunakan formula sebagai berikut:

Qard and Donation =

Employees Expenses =

Shareholders =

30

Net Profit =

Qard dan donasi untuk mengetahui berapa dana yang didistribusikan oleh Bank Syariah kepada sosial masyarakat, Employees Expenses untuk mengetahui berapa persen dana yang dikeluarkan Bank Syariah untuk beban gaji pegawai, Shareholders untuk mengetahui berapa persen dana yang digunakan Bank Syariah terhadap pemberian dividen kepada investor, dan Net Profit untuk mengetahui berapa persen dana yang diambil untuk Perbankan Syariah tersebut.

d. Directors Employees Welfare Ratio (DEWR)

Menurut Hameed et al (2004:19), dan Meilani (2014:28) menyatakan bahwa Directors Employees Welfare Ratio merupakan rasio yang membandingkan antara gaji direktur berbanding dengan dana yang digunakan untuk kesejahteraan pegawai. Formula dalam menghitung DEWR adalah sebagai berikut:

DEWR = Rata-rata Gaji Dewan Direksi Rata-rata Gaji Karyawan Tetap

Nilai yang dihasilkan digunakan untuk mengidentifikasi berapa dana yang digunakan untuk gaji direktur dibanding dengan dana yang digunakan untuk kesejahteraan pegawai. Kesejahteraan karyawan meliputi gaji, pelatihan, dan lain-lain.

31

e. Islamic Investment vs Non Islamic Investment (II vs NII)

Menurut Hameed et al (2004:19), dan Meilani (2014:28) menyatakan bahwa Islamic Investment vs Non-Islamic Investment merupakan rasio yang membandingkan antara investasi halal dan non halal dengan total investasi yang dilakukan oleh Bank Syariah secara keseluruhan (halal dan non halal). Formula untuk menghitung IIvsNII adalah sebagai berikut:

Islamic Investment = Investasi Halal

Investasi Halal + Investasi Non Halal Nilai yang dihasilkan merupakan ukuran aspek kehalalan dan keberhasilan pelaksanaan prinsip dasar bank syariah yaitu terbebas dari unsur riba.

f. Islamic Income vs Non Islamic Income (IInc vs NIInc)

Menurut Hameed et al (2004:20) menyatakan bahwa selain memisahkan investasi halal dan non halal, juga harus memisahkan pendapatan halal dan non halal. Dengan demikian Bank Syariah seharusnya hanya menerima pendapatan dari sumber yang halal dan dengan cara yang halal. Karena Islam secara tegas telah melarang transaksi yang mengandung riba, gharar dan judi. Sehingga penting bagi bank syariah untuk mengungkapkan dengan jujur dan tegas atas setiap pendapatan yang dianggap halal, dan pendapatan yang melanggar syariat Islam (Fatmasari & Kholmi, 2018:78). Menurut Hameed et al

32

(2004:20), rumus yang digunakan untuk menghitung rasio ini adalah sebagai berikut:

Islamic Income = Pendapatan Halal

Pendapatan Halal + Pendapatan Non halal Idealnya Bank syariah harus menerima pendapatan hanya dari sumber yang halal. Namun, jika bank syariah memperoleh pendapatan dari transaksi non-halal, maka bank harus mengungkapkan informasi seperti jumlah, sumber, bagaimana penentuannya dan prosedur apa saja yang tersedia untuk mencegah masuknya transaksi yang dilarang oleh syariah.

g. AAOIFI Index

Menurut Hameed et al (2004:20) menyatakan bahwa rasio AAOIFI Index ini untuk mengukur sejauh mana lembaga keuangan syariah telah memenuhi prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam AAOIFI. Perhitungan didasarkan pada jumlah prinsip yang diikuti AAOIFI terhadap total prinsip akuntansi yang diterapkan.

4. Maqashid Syariah Index (MSI) a. Maqashid Syariah

Konsep Maqashid Syariah sebenarnya telah dimulai dari masa al-Juwaini yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara sistematis oleh seorang ulama ahli ushul fikih bermazhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi. Konsep tersebut ditulis dalam kitabnya yang

33

terkenal, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid. Menurut al- Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-ibad), baik di dunia maupun di akhirat.

Kemaslahatan ini kemudian menjadi Maqashid Syariah, dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan maupun secara rinci, didasarkan pada suatu `illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba (Thalib & Rama, 2018:35).

Dalam kamus Munawwir (1984:1123), secara etimologi, maqashid syariah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan al-syari’ah. Maqashid merupakan bentuk jamak yang memiliki kata akar dalam bentuk kata verbal ‘’qashada’’, yang berarti bermaksud, berniat, menuju; bertujuan; berkeinginan; dan berkesengajaan. Sedangkan ‘’syariah’’ secara harfiah memiliki arti sumber mata air atau sumber kehidupan. Kata ‘’syariah’’

merupakan bentuk kata tunggal dan bentuk jamak nya berupa

‘’syar’i’’ yang berarti segala yang disyaratkan Allah kepada hambanya, diantaranya berupa aturan-aturan hukum. Perkataan

‘’syari’ah’’ berarti peraturan.

Secara terminologi, definisi maqashid syariah berarti tujuan Allah (Pembuatan Hukum) menetapkan hukum terhadap hambanya, inti dari penerapan syariah berorientasi dalam

34

mewujudkan kemaslahatan umat. Abu Ishaq Al-Syatibi (w.790H/1388M) dalam bukunya Al Muwafaqat menegaskan bahwa yang dimaksud maqashid syariah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang disyariatkan Allah untuk kemaslahatan manusia. Begitu pula, menurut Allal al-Fasiy dalam karyanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid syariah adalah tujuan yang dikehendaki syara’ dan rahasia-rahasia yang

mewujudkan kemaslahatan umat. Abu Ishaq Al-Syatibi (w.790H/1388M) dalam bukunya Al Muwafaqat menegaskan bahwa yang dimaksud maqashid syariah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang disyariatkan Allah untuk kemaslahatan manusia. Begitu pula, menurut Allal al-Fasiy dalam karyanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid syariah adalah tujuan yang dikehendaki syara’ dan rahasia-rahasia yang