• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagi Penulis

Penelitian ini memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi penulis tentang pengaruh Sukuk, Inflasi, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada tahun 2016 – 2019.

2. Bagi Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi mengenai hubungan antara sukuk, inflasi, dan IPM serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

3. Bagi Investor

Penelitian ini diharapakan dapat menjadi bahan informasi untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi investor khususunya

investor muslim dalam berinvestai pada sukuk, sehingga menjadi landasan dalam pengambilan keputusan terkait investasi sukuk tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori yang Digunakan 1. Sukuk

a. Definisi Sukuk

Pontjowinoto dan Firdaus (2011) menyatakan bahwa “Sukuk (obligasi syariah) adalah sebuah kesepakatan yang ditulis yang bersifat kontrak jangka panjang untuk pembayaran kembali dalam waktu yang spesifik, semua kewajiban yang ada akibat pembiayaan untuk suatu kegiatan sesuai syariat serta membayar sejumlah imbal hasil selama jangka waktu tertentu menurut akad yang disepakati”.

Menurut fatwa DSN-MUI No 32/DSN-MUI/IX/2002, sukuk adalah surat berharga jangka panjang berlandaskan hukum syariah yang dirilis emiten tertentu kepada pemegang sukuk/investor yang mewajibkan emiten untuk membayar sebagian pemasukan kepada pemegang sukuk berupa imbal hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana sukuk tersebut pada saat jatuh tempo (Purwanto, 2006). Sukuk saat ini mayoritas dirilis oleh pemerintah. Contohnya pemerintah membangun sebuah gedung, penerbitan sukuk akan dilakukan oleh pemerintah, dibandingkan menabung di sektor bank nasional atau swasta, sukuk ini mempunyai keuntungan yang lebih besar. Minimal dana yang diinvestasikan adalah Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan maksimal Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Sukuk juga didefinisikan sebagai sebuah obligasi berbasis syariah jangka panjang yang berlandaskan hukum dan konsep syariah yang dirilis emiten ke investor (pemegang sukuk) yang

mengharuskan emiten untuk berbagi keuntungan dengan investor berupa imbal hasil, margin, atau fee serta menyerahkan kembali dana investor saat jatuh tempo habis (Purwanto, 2006). Rekontruksi terhadap surat berharga dilakukan agar sesuai dengan prinsip syariah, yaitu:

1) Menghapuskan bunga tetap kemudian mengalihkannya ke investasi surat berharga yang ikut serta baik saat untung maupun rugi, juga patuh pada kaidah al-ghurm, yaitu keuntungan pada dasarnya seimbang dengan kerugian yang didapatkan.

2) Menghapuskan syarat jaminan atas kembalinya harga surat berharga serta bunga yang mengikuti sehingga mirip seperti saham biasa.

3) Mengalihkan surat berharga ke saham biasa.

Umumnya jenis surat berharga bisa dilihat dari penerbitnya, yaitu surat berharga korporasi dan surat berharga negara. Surat berharga yang diterbitkan negara terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

1) Surat berharga rekap, yaitu surat berharga yang diterbitkan untuk tujuan program rekapitulasi sektor bank, baik BUMN maupun swasta.

2) SUN (Surat Utang Negara), yaitu surat berharga yang diterbitkan untuk menutupi defisit APBN.

3) Surat berharga ritel, yaitu surat berharga yang sama SUN (Surat Utang Negara), dirilis untuk menutupi defisit anggaran, dengan nominalnya lebih kecil sehingga terjual ke investor perseorangan.

4) Surat berharga syariah (sukuk), sama dengan SUN, namun surat berharga ini dirilis berdasarkan hukum syariah.

b. Sejarah Sukuk

Surat berharga syariah (sukuk) bukan merupakan istilah baru dalam peradaban Islam. Istilah ini sudah dikenal sejak abad

pertengahan, dimana umat Muslim menggunakan istilah tersebut dalam jual-beli berskala internasional. Sukuk adalah jamak dari kata sakk, yang berarti sertifikat. Sukuk digunakan pedagang sebagai dokumentasi untuk membuktikan kewajiban finansial dari usaha perniagaan serta aktivitas perdagangan lain. Namun, beberapa ekonom barat yang tertarik kepada sejarah Islam mengatakan jika sakk sering digunakan di sektor perekonomian perbankan.

Dalam artian istilah, sukuk adalah catatan yang di dalamnya terdapat amanah dari seseorang untuk pelunasan uang dalam suatu nominal kepada pihak lain yang namanya tertulis dalam dokumen tersebut. Kata “Sukuk” berakar dari bahasa Persia, yaitu “jack”, kemudian berasimilasi dalam arab dengan menjadi “shak”. Goitien mengatakan “shak” adalah asal dari kata “cek” atau “cheque” yang ada dalam bahasa Inggris dimana artinya adalah surat utang. Tidak lama kemudian obligasi negara juga mulai berkembang di negara-negara Eropa.

“Surat berharga syariah digunakan untuk pembayaran dari Islam dimulai dimana hibah negara dan gaji tenaga kerja negara dibayar memakai surat berharga tersebut. Sejarah mencatat khalifah Umar bin Khatab merupakan khalifah pertama yang merilis shakk dengan menempelkan stempel dibagian bawah surat berharga atau shak tersebut. Fakta sejarah membuktikan bahwa sukuk digunakan secara luas oleh masyarakat muslim di abad pertengahan, dalam bentuk surat berharga untuk mewakili kewajiban pembiayaan atau pembayaran yang berasal dari kegiatan berdagang dan kegiatan komersil lainnya” (Purwanto, 2006).

Bentuk surat berharga syariah saat ini belum terefleksikan secara menyeluruh pada shak (sukuk), karena surat berharga syariah saat ini bertujuan sebagai investasi yang diambil dengan sistem mudharabah, musyarakah, Ijarah dan lainnya.

c. Perkembangan Sukuk di Indonesia

Penerbitan surat berharga syariah dimulai oleh PT. Indosat Tbk. dengan merilis surat berharga syariah mudharabah Indosat senilai Rp 100 milyar pada bulan Oktober 2002. Surat berharga ini mengalami oversubscribed sebanyak dua kali lipat, yang mengakibatkan Indosat menambah jumlah surat berharga yang dirilis menjadi Rp 175 milyar Rupiah. Inovasi dari Indosat ini diikuti oleh BSM (Bank Syariah Mandiri) dan Bank Muamalat di tahun yang sama, yaitu 2002. Kemudian PT. Berlian Laju Tanker merilis Surat Berharga Syariah dengan emisi 175 milyar pada 28 Mei 2003.

PT. Bank Bukopin merilis Surat Berharga Syariah Mudharabah pada tanggal 10 Juli 2003 dengan nilai Rp 45 milyar. Di tanggal 15 Juli 2003, PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) merilis dengan nilai emisi Rp. 200 milyar, pada 26 September 2003 PT Ciliandra Perkasa merilis dengan nilai emisi Rp. 60 milyar, pada 31 Oktober 2003 PT Bank Syariah Mandiri (BSM) merilis sukuk senilai Rp. 200 milyar.

Saat Surat Utang Negara (SUN) dan pasar modal sedang lesu, surat berharga syariah atau sukuk dirilis. Langkah pemerintah tersebut disambut positif, sehingga investor melihat sukuk sebagai alternatif pembiayaan yang menjanjikan. Sentimen positif terkait sukuk tidak hanya berasal dari pemerintah, namun juga berasal dari sektor pasar modal. Erry Firmansyah sebagai Direktur Utama BEI bahkan mengambil langkah mengarahkan minat investor terhadap surat berharga syariah negara yang dirilis pada bulan Agustus 2008.

Saat ini investor berdana besar cukup banyak, namun tidak dapat berkontirbusi ke surat berharga dan sektor modal dikarenakan minimnya produk investasi. Sukuk dapat menjadi pilihan berinvestasi di pasar modal berbasis syariah. Sejak tanggal 6 Februari 2009, pemerintah merilis sukuk ritel ke pasar domestic.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan mengatakan bahwa sukuk berbasis ritel adalah surat berharga negara yang dirilis berdasarkan hukum syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset Surat Berharga Syariah Negara, yang dijual melalui agen penjual, dengan volume minimum yang telah ditentukan kepada individu Warga Negara Indonesia (WNI).

d. Perkembangan Sukuk Global

Sistem keuangan syariah berkembang secara kompetitif dalam pangsa moneter global. Selama empat tahun belakangan, keuangan syariah sudah menunjukkan pertumbuhan yang drastis dan sudah diterapkan lebih dari 75 negara dunia. Sistem keuangan syariah yang paling berkembang adalah pasar keuangan surat berharga syariah atau sukuk. Surat berharga syariah sekarang telah terintegrasi dari sistem keuangan global.

Sunarsip (2008) mengatakan bahwa “Pada 2007, nilai sukuk yang diperjualbelikan di pangsa global sudah meningkat dua kali lipat daripada jumlah di tahun 2006 yang mencapai US$62 miliar dibandingkan tahun 2006 sebesar US$ 27 miliar. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2006 surat berharga mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 123%”. Jumlah oustanding surat berharga syariah global sampai tahun 2009 diperkirakan sudah menyentuh angka US$ 90 miliar. Dalam proyeksi S&P, kuantitas surat berharga syariah global diprediksi terus bertambah dalam beberapa tahun kedepan.

Pada 2010, pertumbuhan kapitalisasi diprediksi mencapai 100 miliar US Dollar dengan pertumbuhan sebesar 35% per tahun.

Dalam ranking penerbitan sukuk global, United Arab Emirates (UEA) serta Malaysia menjadi yang paling banyak merilis surat berharga syariah. Menurut The Standard & Poor's, dari total sukuk

global yang diterbitkan pada 6 bulan pertama di tahun 2009 sekitar 45,03% dikuasai oleh Indonesia, Malaysia, dan Arab Saudi, dengan masing-masing menguasai sebesar 22,03% total sukuk global yang dirilis.

Dengan bertambah banyaknya negara yang merilis surat berharga syariah, maka membuat sukuk sebagai opsi pembiayaan di zaman globalisasi dan free market saat ini. Sukuk tidak dipandang hanya sebatas perspektif agama namun sebagai pilihan investasi yang menjanjikan tingkat imbal hasil yang kompetitif serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebuah negara. PT. Salim Ivomas Pratama (SIMP), cabang perusahaan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk berencana menerbitkan sukuk ijarah Rp 250 miliar dengan jangka waktu lima tahun pada tanggal 15 Oktober 2009. Dana hasil penerbitan surat berharga syariah dengan akad ijarah tersebut akan dipakai untuk refinancing pinjaman dalam jangka pendek dan menambah modal perusahaan.

Ramainya perilisan surat berharga korporasi di tahun 2009 didorong oleh rendahnya tingkat suku bunga bank. Selain karena bunga bank akan naik akibat kenaikan inflasi, banyak perseroan mengantisipasi kebutuhan suku bunga yang rendah. Menurut dirut Pefindo, bersamaan dengan naiknya pertumbuhan ekonomi akan memberikan stimulus dana, hal ini berarti akan terjadi peningkatan perkiraan surat berharga syariah.

Pasar surat berharga syariah masih memiliki peluang yang belum dieksplorasi. Oleh karena itu, tren perilisan sukuk selalu mengalami peningkatan. Hal ini bersamaan dengan berkembangnya pangsa syariah di dalam negeri yang sangat pesat, peningkatan demand sukuk juga meningkat secara bersamaan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya korporasi yang merilis surat berharga

konvensional bersamaan dengan perilisan surat berharga syariah atau sukuk.

Pangsa utama surat berharga syariah adalah reksadana syariah dan sektor perbankan syariah. Pertumbhan industri berbasis syariah mendorong munculnya needs penempatan modal berbasis syariah di pasar modal (Ahmad, 2004). Target pemerintah adalah dapat mengumpulkan dana sebesar Rp 1,5 triliun dari investor saat lelang SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) atau sukuk pada tanggal 10 November 2009 dimana terdapat lima jenis surat berharga syariah yang dilelang. Saat itu pemerintah merilis dua seri sukuk, yaitu seri IFR-Q003 dan seri IFRQ004 dengan tenor 6-11 tahun dan suku bunga tetap. Pemerintah menargetkan dapat meraup dana sebesar Rp 1,5 triliun dari lelang tersebut. Kementerian Keuangan mulai melakukan lelang agen penjual dan konsultan hukum untuk penerbitan dan penjualan sukuk ritel negara di tahun 2010.

Direktur jendral (Ditjen) pengelolaaan utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyo mengatakan di Jakarta, Senin (2/11), seleksi agen penjual dimulai dengan pendaftaran melalui dokumen seleksi yang dilaksanakan setiap hari kerja mulai tanggal 3 sampai tanggal 9 November 2009. Seleksi agen penjual terbuka untuk bank konvensional yang memiliki izin usaha dari Bank Indonesia (BI) dan perseroan efek yang memiliki izin usaha sebagai penjamin emisi efek dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam LK).

e. Potensi Sukuk bagi Indonesia

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan masyarakat Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kesempatan menjadi leading country keuangan Islam di Asia tenggara pada tahun 2013, khususnya di bidang pemanfaatan surat

berharga syariah sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Salah satu yang menarik investor terhadap Indonesia adalah banyaknya proyek infrastruktur domestik yang dapat dibiayai dengan pembiayaan sukuk serta ekonomi yang cukup baik. Saat negara lain mengalami pertumbuhan minus dikarenakan krisis keuangan global, Indonesia bisa mencatatkan positive growth. Kondisi ini memungkinkan Indonesia dapat memberikan return kompetitif kepada investor-investor di pangsa sukuk.

Indonesia membutuhkan dana sebesar Rp 150 triliun dalam beberapa tahun ke depan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Apabila kebutuhan dana tersebut dapat terpenuhi melalui sektor syariah (sukuk) maka Indonesia dapat menjadi salah satu negara penting dalam sektor ekonomi syariah global. Hal ini dapat mendorong perkembangan sektor perbankan dan keuangan syariah secara nasional maupun inernasional. Pembiayaan infastruktur melalui sukuk global bisa direalisasikan, hal tersebut telah didukung dengan Undang-Undang No 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara yang menjadi dasar hukum penerbitan sukuk negara senilai triliunan rupiah.

Perilisan sukuk global di tahun 2010 senilai US$ 650 juta untuk APBN dan oversubcribed hingga 7 kali lipat senilai US$ 4,7 miliar menjadi sentiment positif terhadap potensi dan prospek Indonesia menjadi pasar investasi bagi investor Timur Tengah.

Investor Timur Tengah sudah lama ingin berinvestasi di Indonesia karena potensi ekonomi dalam negeri yang dimiliki ditambah dengan kondisi saat di mana mengalami overliquiditas dana akibat naiknya harga minyak dunia. Namun karena tidak ada instrumen investasi syariah seperti sukuk mereka memutuskan menunda investasi dan menginvestasikan dana di Malaysia yang rutin merilis sukuk sebagai sumber pembiayaan pembangunan.

Dana berjumlah ratusan ribu bahkan jutaan US Dollar dari Timur Tengah yang saat ini mulai meninggalkan bursa Eropa dan USA untuk mencari investasi baru yang berlandaskan hukum syariah dapat dijadikan momentum untuk sumber pembiayaan pembangunan yang dapat juga menjadi stimulan pertumbuhan ekonomi syariah nasional yang pangsa pasarnya saat ini belum mampu menebus angka 5%. Namun, ada beberapa hal yang menjadi kendala kenapa Indonesia yang memiliki pasar untuk perkembangan sukuk justru mendapatkan pasar yang kecil. Hal tersebut tidak terlepas dari sejumlah kendala misalnya regulasi yang tidak maksimal, kepastian perpajakan, tidak liquid, dan transaksinya terfokus pada debt Based (Ahmad 2004).

2. Inflasi

a. Definisi Infasi

Inflasi adalah keadaan dimana terdapat tingkat harga umum yang mengalami kenaikan (Samuelson, 1995). Maksud definisi tersebut menyebutkan bahwa kondisi menurunnya kemampuan beli penduduk negara yang bersamaan dengan menurunnya nilai rill (intrinsic) mata uang negara. Inflasi adalah kondisi peningkatan harga yang terus terjadi dari barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat secara umum (Ackley, 1993).

Marcus (2001) Inflasi adalah kondisi dimana tingkat kenaikan harga barang serta jasa terjadi secara luas dan umum, maksudnya adalah inflasi termasuk salah satu kejadian ekonomi moneter yang memperlihatkan sebuah kecenderungan terhadap kenaikan harga barang umum yang diikuti dengan nilai mata uang yang mengalami tren negatif atau penurunan (Marcus, 2001). Inflasi juga dapat didefinisikan sebagai tingkat harga umum yang setiap waktu cenderung mengalami kenaikan (Veneris & Sebold, 1991).

Selain teori-teori yang sudah disebutkan diatas, ada pandangan lain mengenai inflasi dari ekonom yang secara keseluruhan berasal dari teori kaum klasik (kuantitas), teori Keynes serta teori Struktrualis.

Berikut adalah penjelasan masing-masing teori tersebut:

1) Ekonomi Klasik

Teori ini menjelaskan hubungan antara permintaan serta penawaran agregat dan juga tingkat harga. Pada Teori ini menyebutkan bahwa perubahan dalam penawaran uang dapat mengakibatkan peningkatan harga yang selaras dengan tingkat penawaran uang. Rumus yang dipakai dalam teori ini adalah sebagai berikut:

MV = PT

Dimana M = Jumlah uang beredar

V = Kecepatan perputaran uang dalam satu periode P = Tingkat harga rata-rata

T = Jumlah transaksi selama masa periode tertentu Rumus diatas menyatakan bahwa nilai transaksi dalam perekonomian adalah nilai pembelian produk dalam negeri. MV mewakili jumlah transaksi atas barang serta jasa, dimana PT mewakili jumlah uang yang diterima atas hasil barang serta jasa.

Dari teori tersebut, terdapat 3 hal dari teori ekonomi klasik, yaitu:

a) Semua penawaran uang dalam sebuah sistem ekonomi dipakai untuk transaksi pembelian barang dan jasa.

Seseorang memiliki uang untuk membeli barang atau jasa agar transaksi yang sedang dilakukan dapat berjalan dengan lancar.

b) Nilai V (kecepatan perputaran uang) selalu berada dalam kondisi stabil atau konstan, maka nilai V relatif tetap dan hanya berubah apabila adanya perubahan kelembagaan.

c) Di dalam suatu sistem ekonomi selalu tersedia full employment chance sehingga angka T tidak bisa bertambah. Dengan anggapan bahwa perekonomian berada di keadaan full employment, maka besarnya T tidak berubah.

2) Teori Keynes

Berdasarkan teori Keynes, inflasi diakibatkan oleh penduduk suatu daerah memiliki keinginan hidup namun diluar batas kemampuan ekonomi mereka, hal tersebut mengakibatkan permintaan masyarakat terhadap suatu barang atau jasa melebihi jumlah yang tersedia. Hal tersebut dikarenakan masyarakat mengetahui apa keinginan mereka lalu menjadikannya dalam bentuk permintaan yang efektif terhadap suatu barang atau jasa.

Maksudnya adalah, penduduk suatu negara mampu mendapat uang tambahan diatas kemampuan ekonomi mereka sebenarnya sehingga kelompok masyarakat tersebut bisa mendapatkan barang dalam jumlah lebih besar dari yang seharusnya (Boediono, 1994). Jika jumlah demand barang naik, dalam tingkat rata-rata harga yang berlaku, dan diatas jumlah maksimal dari barang yang dapat diproduksi, maka akan timbul sebuah inflationary gap.

Hal ini mengakibatkan berbagai harga mengalami kenaikan yang berarti rencana pembelian barang tidak bisa dilakukan. Dalam periode berikutnya, masyarakat terus berupaya agar mendapatkan dana yang lebih besar. Keadaan inflasi akan terus terjadi selama jumlah permintaan dari semua golongan penduduk berada diatas jumlah output yang dapat diproduksi masyarakat. Situasi ini menggeser permintaan

agregat yang berakibat terjadinya kelebihan permintaan atau inflationary gap, peningkatan permintaan agregat saat keadaan output full employment bisa mengakibatkan terjadinya surplus permintaan di pasar barang dan jasa sehingga harga barang dan jasa ikut naik yang berakibat adanya kenaikan demand terhadap faktor produksi, sehingga harga faktor produksi juga akan naik.

Peningkatan harga barang dan jasa ditambah faktor produksi tersebut yang merupakan inflasi bagi sistem perekonomian.

3) Teori Struktualis

Teori ini menitikberatkan dengan terjadinya perubahan dari sistem perekonomian negara berkembang. Faktor struktural tersebut hanya dapat berubah secara berkala dan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, teori ini dikenal juga dengan teori inflasi jangka panjang. Berdasarkan teori ini, ada 2 penyebab dalam sistem ekonomi negara berkembang yang dapat menimbulkan inflasi (Boediono, 1994), yaitu:

a) Ketidakelastisan Export Income

Ketidakelastisan penerimaan ekspor yaitu ekspor berkembang secara lambat bila dibandingkan dengan sektor lainnya dalam perekonomian. Hal ini diakibatkan oleh kenaikan harga komoditas negara berkembang dalam jangka panjang perkembangannya lebih lambat jika dibandingan dengan harga barang industri. Hal tersebut mengakibatkan negara terkait terpaksa mengambil kebijakan yang lebih memfokuskan pemakaian produksi dan sebelumnya diimpor efisien. Dengan adanya biaya produksi tinggi dapat mengakibatkan harga yang tinggi pula. Selain itu, jika proses subsitusi impor ini semakin meluas, maka peningkatan biaya produksi akan makin

meluas juga, sehingga banyak harga barang yang makin naik. Pada akhirnya, inflasi dalam perekonomian akan berlangsung berkepanjangan.

b) Ketidakelastisan Supply Dalam Negeri

Efek dari pertumbuhan produksi pangan yang tidak dapat menyamai pertumbuhan penduduk, membuat harga pangan mengalami peningkatan melebihi kenaikan harga komoditas lain. Kenaikan harga pangan ini membuat kaujm buruh dan pekerja menuntut kenaikan upah yang berdampak pada kenaikan biaya produksi. Siklus ini akan berhenti jika harga pangan tidak mengalami kenaikan, namun faktor struktural perekonomian tidak dapat mencegah kenaikan harga pangan, sehingga akan ada proses saling dorong antara upah dan kenaikan harga.

b. Pengukuran Inflasi

1) Indeks Harga Konsumen

Indeks Harga Konsumen mengukur perubahan harga rata-rata tertimbang dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam periode tertentu. IHK memperlihatkan rata-rata perubahan harga yang dibayarkan oleh konsumen dari barang dan jasa tertentu. Indeks Harga Konsumen sering dipakai untuk menghitung tingkat inflasi. IHK menunjukkan semua pergeseran harga terhadap barang dan jasa yang digunakan oleh masyarakat melalui survei di berbagai wilayah.

2) GDP Deflator

GDP deflator merupakan indeks perbandingan antara gdp riil dengan gdp nominal. GDP rill adalah nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian yang diperoleh saat output dinilai menggunakan harga tahun dasar. Sedangkan GDP

nominal adalah GDP yang dihitung berdasarkan harga yang berlaku di pasar.

3) Indeks Harga Perdagangan Besar

Indeks Harga Perdagangan Besar adalah indeks harga bahan baku, produk antara dan peralatan modal dan mesin yang dibeli oleh suatu perusahaan. Indeks harga produsen hanya mencakup bahan baku dan barang antara atau setengah jadi saja, sementara barang-barang jadi tidak dimasukan di dalam perhitungan indeks harga.

4) Indeks Harga Produsen

IHP menggambarkan perbandingan perubahan barang dan jasa yang dibeli oleh produsen dalam periode tertentu.

Adapun bahan yang dibeli oleh produsen meliputi bahan mentah dan bahan setengah jadi. Dan adapun perbedaan antara IHP dengan IHK adalah kalau IHP mengukur tingkat harga pada awal sistem distribusi, IHK mengukur harga langsung yang dibayar oleh konsumen pada tingkat harga eceran. Indeks Harga Produsen biasa disebut juga indeks harga grosir.

c. Jenis Inflasi

1) Berdasarkan Sifat

Berdasarkan sifatnya, jenis inflasi dibagi menjadi 3 (Nopirin, 1992) yaitu:

1. Inflasi Ringan

Ciri inflasi ini adalah angkanya yang dibawah 10%

per tahun. Kenaikan harga berjalan lambat dengan porsi kecil serta dalam jangka waktu lama.

2. Inflasi Sedang

Ciri inflasi ini adalah angka kenaikan harga yang relatif besar yaitu antara 10% - 30% per tahun serta periode kenaikannya masih dalam waktu yang pendek.

3. Inflasi Tinggi

Ciri inflasi ini adalah kenaikan harga yang parah dibandingkan jenis inflasi lainnya karena angka kenaikan lebih dari 100% pertahun. Hal tersebut membuat masyarakat tidak mempunyai keinginan untuk menyimpan uang karena

Ciri inflasi ini adalah kenaikan harga yang parah dibandingkan jenis inflasi lainnya karena angka kenaikan lebih dari 100% pertahun. Hal tersebut membuat masyarakat tidak mempunyai keinginan untuk menyimpan uang karena

Dokumen terkait