• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi tinjauan manfaat bagi sejumlah subjek dalam ranah pendidikan diantaranya:

1. Bagi guru

Penelitian ini memberikan informasi mengenai miskonsepsi peserta didik pada materi termodinamika sehingga guru dapat menentukan subkonsep apa yang perlu penjelasan lebih mendalam.

2. Bagi peneliti lainnya

Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengungkap miskonsepsi secara spesifik dan dapat dijadikan referensi untuk menerapkan model pembelajaran yang mampu mereduksi miskonsepsi yang dialami oleh peserta didik.

7 BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori

1. Konsep, Konsepsi, dan Miskonsepsi a. Pengertian Konsep

Konsep secara umum dapat dirumuskan pengertiannya sebagai suatu representasi abstrak dan umum tentang sesuatu.1 Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret.2 Selain itu, konsep adalah cara mengelompokkan dan mengkategorikan secara mental berbagai obyek atau peristiwa yang mirip dalam hal tertentu.3 Kesimpulannya konsep adalah suatu idea atau cara dari sebuah abstraksi yang digunakan untuk mengelompokkan suatu obyek yang sama.

Dalam belajar abstrak, orang mengadakan abstraksi, yaitu dalam obyek objek yang meliputi benda, kejadian dan orang , hanya ditinjau aspek-aspek tertentu saja.

Objek tidak ditinjau dalam semua detail-detailnya. Pada bunga flamboyan, kembang sepatu, bunga anggrek, bunga mawar, dan bunga bunga lainnyaditemukan sejumlah cirri yang terdapat pada semua bunga bunga konkret itu. Yaitu mekar, bertangkai, berwarna, sedap dipandang mata, berputik dan berbenang sari. Semua ciri bersama-sama ditangkap atau dikumpulkan dalam pengertian “bunga”. Maka, pengertian/konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mewakili ciri ciri yang sama.4

Konsep dapat mengalami perubahan disesuaikan dengan fakta atau pengetahuan baru. Kegunaan konsep ialah untuk menjelaskan dan meramalkan.5Konsep dapat dilihat dari segi subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif, konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu.

1J. Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan Cet.9, (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2010), h. 87.

2Konsep, diambil dari https://kbbi.web.id/konsep diakses pada 03 Februari 2020 Pukul 15.00

3 Jeanne Ellis Omrod, Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 327.

4WS Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 57.

5 Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 71.

Sedangkan dari segi obyektif, konsep merupakan sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut. Hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.6 Maka dapat dinyatakan bahwa konsep merupakan usaha manusia guna mengembangkan keilmuan.

Klausmeier membagi empat tingkat pencapaian konsep, yaitu:7

1) Tingkat kongkret, apabila seseorang telah mengenal suatu benda yang telah dihadapinya.

2) Tingkat identitas, seseorang akan mengenal suatu obyek sesudah selang suatu waktu, mempunyai orientasi ruang yang berbeda terhadap obyek tersebut atau obyek yang ditentukan melalui suatu cara indera yang berbeda, contohnya mengenal suatu benda dengan cara menyentuh bukan dengan melihatnya.

3) Tingkat klasifikasi, seseorang telah mengenal persamaan dari dua buah contoh yang berbeda dari kelas yang sama.

4) Tingkat formal, seseorang harus dapat menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep, contohnya seseorang itu dapat memberi nama konsep.

Pemahaman konseptual tentang suatu topik pembelajaran didapatkan ketika peserta didik dapat membentuk banyak hubungan yang logis di antara berbagai konsep dan prinsip spesifik yang terkait dengan topik pembelajaran tersebut.8Seorang peserta didik harus mengetahui aturan-aturan yang relevan dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya agar dapat memecahkan masalah.9Belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan.

Hakikat konsep, para ahli psikologi memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang sesungguhnya dipelajari orang ketika mendapatkan suatu konsep baru. Mereka mengemukakan bahwa suatu konsep mungkin saja dipelajari sebagai serangkaian fitur, suatu prototipe, serangkaian ekslempar, atau kombinasi ketiganya.10 Sehingga kajian mengenai konsep sebagai bahan pembelajaran bagi

6 Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 122.

7 Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.

70-71.

8 Omrod, Op. Cit., h. 344.

9Op. Cit., h. 62.

10 Omrod, Op. Cit., h. 327-329.

peserta didik dipandang sebagai suatu hal yang penting guna dipahami secara utuh dan benar.

b. Pengertian Konsepsi

Konsep diperoleh melalui dua cara yaitu formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep dimulai pada saat awal masa berpikir anak, sedangkan asimilasi konsep terjadi saat peserta didik menemukan fakta baru terkait konsep yang telah ada sebelumnya. Guru harus mampu memfasilitasi peserta didik untuk memiliki pengalaman sendiri terkait konsep yang dipelajari.11Penjelasan tersebut mengantar pada pemahaman awal terkait hubungan konsep dan konsepsi.

Konsep dan Konsepsi merupakan istilah yang berbeda, baik dalam pengertian maupun penggunaannya. Konsep bersifat lebih umum dan dikenal atau diumumkan berdasarkan kesepakatan, sedangkan konsepsi bersifat khusus atau spesifik. Kamus besar bahasa Indonesia konsepsi diartikan sebagai pengertian atau pendapat (paham). Sedangkan menurut salah satu ahli yaitu Malika konsepsi adalah pengertian atau tafsiran seseorang terhadap suatu konsep tertentu dalam kerangka yang sudah ada dalam pikirannya dan setiap konsep baru didapatkan dan diproses dengan konsep-konsep yang telah dimiliki.12 Sehingga dapat diketahui bahwa guna mengaktifkan konsepsi dalam diri peserta didik dibutuhkan fasilitas penyampaian konsep secara tepat.

Pengaktifan konsepsi dalam diri peserta didik dapat dipengaruhi oleh ciri-ciri bahan konsep yang akan disampaikan. Ciri-ciri konsep yakni terdapat atribut konsep yang diartikan sebagai suatu sifat yang membedakan antara konsep satu dengan konsep yang lainnya. Ciri berikutnya terdapat atribut nilai-nilai yaitu adanya keanekaragaman yang terdapat pada suatu atribut, jumlah nilai yang bebeda-beda membuat konsep menjadi bervariasi. Ciri terakhir ialah setiap konsep memiliki jumlah atribut yang berbeda.13 Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa konsep memiliki ragam ciri yang dapat mempengaruhi terbentuknya konsepsi dalam diri peserta didik.

11Ibid., h. 82.

12 Malikha, Analisis Miskonsepsi Siswa Pada Materi Pecahan Ditinjau Dari Kemampuan Matematika, 2018, Jurnal Mathemtics Education, h. 75-81.

13 Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem (Jakarta:

Bumi Aksara, 2011), .h. 162.

Hal yang dapat dijadikan acuan apakah peserta didik mengetahui suatu konsep untuk mengidentifikasi contoh-contoh konsep yang baru berdasarkan konsepsinya, maka perlu ditetapkan indikatornya. Indikator-indikator tersebut yaitu:14

1.) Bila peserta didik melihat contoh-contoh dia dapat menyebutkan nama konsepnya,

2.) Dapat menyatakan ciri-ciri dari konsep tersebut,

3.) Peserta didik dapat membedakan dan memilih antara contoh-contoh dari yang bukan contoh,

4.) Kemungkinan peserta didik dalam memecahkan masalah yang berkenaan dengan suatu konsep lebih besar.

Indikator tersebut berguna untuk mendapatkan referensi konsepsi dari peserta didik. Konsepsi dalam diri peserta didik dapat hadir dari pengetahuan awal yang dimilikinya. Pengetahuan melibatkan tindakan dari pada penguasaan.

Ketika para peserta didik mengerti sesuatu, mereka dapat menjelaskan konsep-konsep dalam kalimat mereka sendiri, menggunakan informasi dengan tepat dalam konteks baru, membuat analogi baru, dan generalilsasi. Penghafalan dan pembacaan tidak menunjukkan pemahaman.15

c. Pengertian Miskonsepsi

Miskonsepsi adalah kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima secara umum dan terbukti sahih tentang suatu fenomena atau peristiwa.16Secara harfiah kata miskonsepsi berasal dari kata dasar “konsep”.

Kata konsep dalam berbagai pembahasan dapat dikembangkan menjadi beberapa istilah diantaranya adalah: peta konsep, konsepsi, prakonsepsi, miskonsepsi dan lain-lain.17Konsepsi keilmuan pada umumnya akan lebih

14Ibid., 166.

15 Hamzah B. Uno, Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 172 .

16Omrod, Op. Cit.,h. 338.

17 Kurniatul Faizah, Miskonsepsi dalam Pembelajaran IPA, Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam Vol. VIII No. 1, 2016, h. 116.

berdasar, lebih kompleks, lebih rumit, melibatkan lebih banyak hubungan antar konsep dari pada konsepsi peserta didik.

Jika konsepsi peserta didik adalah sama dengan konsepsi keilmuan yang disederhanakan, maka konsepsi peserta didik tidak dapat dikatakan salah, tetapi jika konsepsi peserta didik bertentangan dengan konsepsi para ilmuan, untuk kondisi yang demikian digunakan istilah “miskonsepsi”

(misconception).18Selaras dengan pernyataan sebelumnya mengenai pengertian miskonsepsi (salah konsep) adalah konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para pakar dalam bidang itu.19

Menurutliteratur yang ada mengenai identifikasi terkait kajian miskonsepsi disimpulkan sebagai berikut:20

1) Miskonsepsi sulit untuk diperbaiki. Namun demikian hal ini menjadi kewajiban seorang guru untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang konsep yang benar.

2) Seringkali “sisa” miskonsepsi terus menerus mengganggu. Soal-soal yang sederhana dapat dikerjakan, tetapi dengan soal yang sedikit lebih sulit miskonsepsi muncul lagi.

3) Seringkali terjadi regresi, yaitu mahasiswa yang sudah pernah mengatasi miskonsepsi, beberapa waktu kemudian mengalami salah konsep lagi.

4) Dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi tak dapat dihilangkan atau dihindari.

5) Peserta didik, mahasiswa, guru, dosen, maupun peneliti sering kali mengalami miskonsepsi.

6) Guru dan dosen pada umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang lazim dan tidak menyesuaikan proses pembelajaran dengan miskonsepsi peserta didiknya.

7) Miskonsepsi bisa terjadi pada peserta didik tanpa memandang apakah peserta didik tersebut pandai atau tidak terbukti pada hasil tes miskonsepsi,

18Ibid., h. 117.

19 Paul Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta:

PT. Grasindo, 2005), h. 4.

20 Kurniyatul, Loc. Cit., h. 119-120.

peserta didik yang tergolong pandai mendapat skor rata-rata sama dengan peserta didik yang memiliki kemampuan rata-rata.

8) Pada umumnya cara mediasi yang sudah dicobakan mendapatkan hasil yang belum maksimal.

d. Penyebab dan Ciri-ciri Miskonsepsi

Miskonsepsi dapat berasal dari peserta didik sendiri (konsepsi awal sebelum pelajaran, pengalaman, kemampuan dan minat), dari guru yang juga punya salah pengertian, serta dari buku yang digunakan. Secara filosofis, adannya konsep alternatif (miskonsepsi) dapat dijelaskan dengan filsafat konstruktivisme,filsafat ini menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh peserta didik sendiri dalam kontak dengan lingkungan, tantangan dan bahan yanng dihadapi.

Karena mereka sendiri yang mengkonstruksikannya, tidak mustahil sejak awal, sebelum mendapatkaan pelajaran formal tentang bahan tertentu, mereka suudah mengkonstruksi sendiri hal itu karena pengalaman hidupnya.

Pengetahuan awal ini sering kali tidak cocok dengan pengetahuan yang diterima oleh para pakar dan menjadi suatu konsep alternatif baginya. Karena peserta didik sendiri yang membentuk pengetahuan, maka meski diberi bahan atau pelajaran yang sama sekalipun, mereka dapat membangun pengetahuan yang berbeda, tergantung pada situasi dan juga daya konstruksi mereka.

Kontruksi pengetahuan peserta didik tidak hanya dilakukan sendiri tetapi juga dibantu oleh konteks dan lingkungan peserta didik, diantaranya teman-teman di sekitar peserta didik, buku teks, guru dan lainnya. Jika aspek-aspek tersebut memberikan informasi dan pengalaman yang berbeda dengan pengertian ilmiah maka sangat besar kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik tersebut. Oleh karena itu, aspek-aspek tersebut merupakan penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Aspek-aspek yang dapat

menyebabkan terjadinya miskonsepsi adalah pesertadidik itu sendiri, guru, dan metode pembelajaran yang digunakan guru di kelas.21

Penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik tidak hanya berasal dari faktor internal (dalam) tetapi juga disebabkan faktor eksternal (luar) peserta didik. Faktor pengalaman yang diperoleh peserta didik merupakan faktor internal yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi, sedangkan faktor eksternal yang menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi yaitu dapat berasal dari guru, buku, dan media pembelajaran yang digunakan selama proses pembelajaran.22 Penguraian faktor eksternal miskonsepsi sebagai berikut:

1.) Guru.

Miskosepsi yang dialami seorang guru akan menyebar kepada peserta didik melalui proses pembelajaran, karena guru merupakan sumber informasi pada proses pembelajaran tersebut, sehingga kesalahpahaman konsep yang dimiliki guru akan dimilki juga oleh peserta didik.

2.) Sumber belajar

Buku merupakan sumber belajar yang dimiliki peserta didik. Sulitnya bahasa yang digunakan dalam sebuah buku menyebabkan peserta didik sulit memahami isinya. Hal ini dapat memicu miskonsepsi pada peserta didik.

3.) Metode pembelajran

Tidak tepatnya melilih metode pembelajran akan menyabkan miskonsepsi pada peserta didik. Pada metode yang digunakan pemilihan alat peraga yang tidak sesuai akan mempengaruhi konsep yang dibangun oleh peserta didik, jika konsep yang akan dijelaskan melalui alat peraga tidak tersampaikan dengan baik maka pesrta didik akan mengalami miskonsepsi.

4.) Asosiasi siswa

Miskonsepsi terjadi karena asosiasi siswa dengan istilah istilah sehari-hari sehingga menyebabkan miskonsepsi. Selain itu, konsep awal yang dimiliki oleh siswa pun dapat menyebabkan miskonsepsi.23 Sehingga asosiasi dari konsepsi

21 Koestoer Partowisastro, Dinamika Psikologi Sosial, (Jakarta, Erlangga, 1983), h. 89-90.

22 Suparno, Op. Cit., h. 54.

23 Omrod, Op. Cit., h. 339.

awal peserta didik turut mengambil peran dalam terbentuknya pola miskonsepsi dalam diri peserta didik.

Berdasarkan kajian di atas, maka dapat disusun Diagram 2.1 mengenai faktor eksternal dalam terbentuknya miskonsepsi peserta didik yakni:

Gambar 2. 1Diagram Faktor Eksternal Pembentuk Miskonsepsi

Kajian berikutnya mengenai ciri-ciri miskonsepsi yang dapat dialami oleh peserta didik dalam pembelajaran. Suatu konsep dianggap mengalami miskonsepsi apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:24

1.) Atribut tidak lengkap, yang menyebabkan gagalnya pendefinisian konsep secara lengkap dan benar.

2.) Gambaran konsep yang salah, bagi seseorang yang memiliki tingkat pemikiran yang masih kongkrit akan menemui banyak hambatan dalam proses generalisasi konsep yang abstrak.

3.) Penerapan konsep yang tidak tepat, akibat dalam perolehan konsep, terjadi deferensiasi yang gagal.

4.) Kegagalan dalam melakukan klarifikasi.

5.) Misinterpretasi terhadap suatu objek abstrak dan proses yang berakibat gambaran yang diberikan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

24 Widya, Miskonsepsi Dalam Pembelajran Di Sekolah (Jawa Barat: Kemendikbud LPMP Ja-Bar, 2013), h. 21.

Faktor Eksternal

Guru Sumber

belajar

Merode belajar

Asosiasi

siswa

e. Cara Mengatasi Miskonsepsi

Kajianyang dilakukan oleh para ahli pendidikan dalam ranah ilmu biologi, fisika, kimia, astronomi telah mengungkapkan bermacam-macam cara yang dibuat untuk membantu siswa dalam memecahkan persoalan miskonsepsi. Secara garis besar langkah yang digunakan untuk meremidiasi miskonsepsi adalah; mencari atau mengungkap miskonsepsi yang dilakukan peserta didik, mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut, dan mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi miskonsepsi tersebut.25

Kajian lebih lanjut menerangkan mengenai terdapat cara untuk mengatasi miskonsepsi yang dialami peserta didik. Cara yang dapat digunakan tersebut melalui sejumlah langkah sistematis. Adapun langkah-langkah tersebut adalah:26 1) Pendeteksian miskonsepsi sedini mungkin

Sebelum pelajaran di kelas dimulai, sebaiknya guru mengetahui prakonsepsi apakah yang sudah terbentuk dalam pemahaman peserta didik. Baik yang terbentuk dari pengalaman dengan peristiwa-peristiwa terkait yang akan dipelajari. Hal ini dapat diketahui dengan literatur, dari tes diagnostik dan dari pengamatan guru.

2) Merancang penyampaian materi

Setelah langkah pertama dilakukan, kemudian guru dapat merancang pengalaman belajar yang bertolak belakang dari prakonsepsi tersebut. Setelah itu guru dapat membantu peserta didik yang sudah paham menjadi lebih paham serta memperbaiki konsep yang salah yang terdapat pada pemahaman peserta didik.

3) Memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik

Untuk mengatasi terjadinya miskonsepsi adalah dengan jalan usaha guru agar konsep-konsep atau materi yang diajarkan dapat dilihat secara langsung.

Apabila ada yang tidak sesuai dengan teori maka guru harus mengarahkan

25 Suparno, Op. Cit., h. 55.

26 Dwi Anti Prapti Siwi, “Identifikasi Miskonsepsi Siswa kelas VIII pada Konsep Sistem Pencernaan dan Pernafasan”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013), h.

24-25.

jawaban secara ilmiah. Bila pengalaman belajar tidak mungkin diberikan, dapat digunakan contoh dalam kehidupan sehari-hari.

f. Mendeteksi Miskonsepsi

Menurut kajian ahli telah diketahui sejumlah cara mendeteksi miskonsepsi dalam diri peserta didik. Mendeteksi miskonsepsi yang dialami peserta didik merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Berikut ini merupakan cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi27:

1.) Peta Konsep

Peta konsep mampu menghubungkan antara konsep-konsep serta gagasan pokok yang disusun secara hirarkis. Biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep.

Konsepsi peserta didik juga dapat diperkirakan dengan peta konsep yang bentuknya tentu saja berbeda dengan tingkat pemahaman masing-masing peserta didik terhadap suatu konsep. Oleh karena itu penelusuran pengetahuan awal (prior knowledge) peserta didik dapat dilakukan dengan bantuan peta konsep.

2.) Tes Esai Tertulis

Dari tes esai tertulis maka dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa peserta didik dalam bidang apa. Setelah ditemukan miskonsepsinya, dapatlah beberapa peserta didik diwawancarai untuk lebih mendalami mengapa mereka memiliki gagasan seperti itu. Berdasarkan wawancara tersebut maka akan terlihat darimana miskonsepsi itu dibawa.

3.) Wawancara Diagnosis

Wawancara dapat membantu kita dalam mengenal secara mendalam letak miskonsepsi peserta didik dan mengapa peserta didik sampai pada pemahaman seperti itu. Selanjutnya guru dapat mengarahkan peserta didik sehingga peserta didik menyadari kesalahannya. Bila peserta didik sadar akan miskonsepsinya, maka selanjutnya miskonsepsi tersebut akan lebih mudah dirubah.

4.) Diskusi dalam kelas

27 Suparno, Op. Cit., h. 121-128.

Didalam kelas peserta didik diminta untuk mengungkapkan gagasan tentang konsep yang sudah atau akan dipelajari. Dari kegiatan diskusi tersebut, peneliti atau guru dapat mendeteksi gagasan atau pola pikir peserta didik yang tepat atau tidak. Cara mendeteksi miskonsepsi peserta didik dengan metode diskusi ini sangat cocok untuk diterapkan pada kelas yang besar.

5.) Praktikum dengan Tanya Jawab

Kegiatan praktikum yang disertai dengan tanya jawab antara guru dengan peserta didik dapat digunakan sebagai alat untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada peserta didik atau tidak. Selama praktikum disarankan agar guru selalu bertanya mengenai konsep pada kegiatan praktikum dan memperhatikan bagaimana peserta didik menjelaskan persoalan dalam praktikum tersebut.

Selain menggunakan cara-cara di atas untuk mendeteksi adanya miskonsepsi pada peserta didik,terdapat juga cara berikutnya dengan menggunakan tes diagnostik. Selaras dengan pernyataan tersebut diungkapkan oleh ahli bahwa tes diagnostik dapat digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan peserta didik dan hasilnya dapat digunakan untuk melakukan penanganan yang tepat.28

2. Kajian Tes Diagnostik

Secara umum instrumen tes diartikan sebagai alat yang dipergunakan untuk mengukur pengetahuan atau penguasaan obyek ukur terhadap seperangkat konten dan materi tertentu.29 Sehingga terdapat acuan tertentu dalam menetapkan capaian tes diagnostik. Kegunaan tes diagnostik adalah tes

28Arikunto Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 48.

29 Djaali dan Pudji Muljono, Pengykuran dalam Bidang Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 6.

untukmengetahui kelemahan-kelemahan peserta didik sehingga atas dasar kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilakukan terapi yang tepat.30

Evaluasi diagnostik dilaksanakan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar yang dialami peserta didik, menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan belajar, dan menetapkan cara mengatasi kesulitan belajar tersebut.31 Bagi guru tes diagnostik merupakan informasi yang dapat digunakan untuk memperbarui proses pembelajaran, sedangkan bagi peserta didik dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar.32Tes diagnostik yang baik dapat memberikan gambaran akurat mengenai miskonsepsi yang dialami peserta didik berdasarkan informasi kesalahan yang dibuatnya.33

Berdasarkan penguraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan dan kesulitan peserta didik pada konsep tertentu serta mumudahkan guru untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar dan menetapkan strategi untuk mengatasi kelemahan dan kesulitan tersebut. Tes diagnostik memiliki karakteristik sebagai berikut.34

a. Dirancang untuk mendeteksi kelemahan belajar peserta didik, karena itu format dan respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik.

b. Dikembangkan berdasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahanyang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah peserta didik.

c. Menggunakan soal-soal bentuk constructed response (bentuk uraian atau jawaban singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap.

Dalam kondisi tertentu dapat menggunakan bentuk selected response (misalnya bentuk pilihan ganda), namun harus disertakan penjelasan

30 Ibadullah Malawi dan Endang Sri Maruti, Evaluasi Pendidikan, (Jawa Timur: CV. Ae Media Grafika, 2016), h. 15.

31 Djaali, Op. Cit., h.8.

32 Zaleha,Achmad Samsudin, dan Muhammad Gina Nugraha, Pengembangan Instrumen Tes Diagnostik VCCI Bentuk Four-Tier Test pada Konsep Getaran, Jurnal Pendidikan Fisika dan Keilmuan (JPFK) Vol. 3 No. 1, 2017, h. 37.

33 Ani Rusilowati, Pengembangan Tes Diagnostik sebagai Alat Evaluasi Kesulitan Belajar Siswa, Prosding Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika (SNFPF) Ke-6 Vol. 6 No. 1, 2015,h. 3.

34Hairunnisyah Sahidu, dkk, Model E-Assessment & Implikasinya dalam Pembelajaran, (Malang: Literasi Nusantara, 2020), h. 24.

mengapa peserta didik memilih jawaban tertentu. Dengan demikian, dapat meminimalisir jawaban terkaan dan dapat ditentukan tipe kesalahan atau masalahnya.

d. Disertai rancangan tindak lanjut sesuai dengan kesulitan yang teridentifikasi.

Keempat poin penjabaran di atas merupakan karakteristik dari tes diagnostik yang perlu menjadi bahan perhatian.

Tes diagnostik merupakan tes pilihan ganda yang memiliki beberapa tingkatan. Beberapa bentuk tes diagnostik pilihan ganda di antaranya: tes diagnostik pilihan ganda one-tier (satu tingkatan), tes diagnostik two-tier (dua tingkatan), tes diagnostik three-tier (tiga tingkatan), tes diagnostik four-tier (empat tingkatan), dan tes diagnostik five-tier (lima tingkatan). Hadirnya kelima jenis tes diagnostik tersebut sebagai pertanda terdapatnya perkembangan yang berkelanjutan dalam penanganan miskonsepsi pada peserta didik.

Tes diagnostik pilihan ganda one-tier (satu tingkatan) menyajikan beberapa pilihan jawaban yang harus dipilih peserta didik. Bentuk tes ini merupakan tes pilihan ganda paling sederhana. Tes diagnostik pilihan ganda satu tingkatan tidak dapat membedakan peserta didik yang menjawab benar dengan alasan yang benar dan peserta didik yang menjawab benar dengan alasan yang salah. Kajian lanjutan dari tes diagnostik pilihan ganda satu tingkatan yakni tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat.

Tes diagnostik pilihan ganda one-tier (satu tingkatan) menyajikan beberapa pilihan jawaban yang harus dipilih peserta didik. Bentuk tes ini merupakan tes pilihan ganda paling sederhana. Tes diagnostik pilihan ganda satu tingkatan tidak dapat membedakan peserta didik yang menjawab benar dengan alasan yang benar dan peserta didik yang menjawab benar dengan alasan yang salah. Kajian lanjutan dari tes diagnostik pilihan ganda satu tingkatan yakni tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat.

Dokumen terkait