• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Secara teoritis, menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan, serta bahan dalam penerapan ilmu metode penelitian, khususnya mengenai Implementasi Kebijakan Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung Di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

b. Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dan membutuhkan referensi guna mengetahui Implementasi Kebijakan Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung Di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

c. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi akademisi sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik menjadi bagian penting dalam pemerintahan karena setiap ada pemerintahan sudah pasti ada ditetapkan kebijakan publik. Kebijakan publik dapat dirancang untuk memecahkan masalah yang ada maupun untuk melakukan berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Syafiie (dalam Tahir 2015:20) mendefinisikan kebijakan publik adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah karena akan merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur, inovasi, dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah.

Pendapat dari Syafiie di atas menekankan bahwa kebijakan publik merupakan jawaban dari berbagai permasalahan. Artinya kebijakan publik menjadi solusi untuk mengatasi, memecahkan berbagai masalah yang timbul.

Menurut Nakamura dan Small Wood (dalam Abdul 2012:52) bahwa kebijakan publik adalah serentetan instruksi/perintah dari para pembuat kebijakan yang ditujukan kepada para pelaksana kebijakan yang menjelaskan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dari pernyataan di atas bahwa kebijakan publik menyangkut berbagai hal artinya tidak hanya satu atau dua tetapi serentetan yang menyatakan banyak kebijakan publik yang diatur yang akan dilaksanakan oleh pelaksana kebijakan.

Menurut Grindle (dalam Purwanto, dkk 2015: 16) kebijakan publik berperan sangat penting karena proses penyelenggaraan negara senantiasa

dilakukan melalui kebijakan publik. Dengan demikian kebijakan publik dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan pemerintah yang memiliki wewenang dalam suatu negara untuk mengurangi serta memecahkan masalah yang timbul di dalam kehidupan warga negara.

2.1.1. Tahapan Pembuatan Kebijakan

Tahapan pembuatan kebijakan dimulai dari perencanaan awal sampai dengan penilaian kebijakan yang telah dilakukan. Setiap tahapan dapat menjadi penentuan keberhasilan dari kebijakan yang dilakukan. Apabila dalam kebijakan publik memperhatikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat, mengambil cara yang tepat untuk mengatasinya serta mengimplemtasikan dengan tepat juga serta dipastikan sesuai dengan nilai yang dianut masyarakat maka kebijakan publik akan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Menurut Dunn (2003 : 24) berikut ini beberapa tahapan dalam pembuatan kebijakan diantaranya :

a. Penyusunan Agenda

Pejabat yang telah dipilih dan diangkat untuk mendapatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu yang lama.

b. Formulasi Kebijakan

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah.

Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.

c. Adopsi Kebijakan

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus diantara lembaga, atau keputusan peradilan.

d. Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan unit-unit administrasi yang memobilisasi sumberdaya finansial dan manusia.

e. Penilaian Kebijakan

Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pemerintah dari setiap lembaga baik eksekutif, legislatif, dan lembaga peradilan harus saling bekerjasama baik dalam perumusan kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, dan implementasi kebijakan dan diminta pertanggungjawaban dari setiap lembaga yang ikut ambil bagian dalam kebijakan tersebut di dalam penilaian kebijakan. Apabila setiap lembaga bekerjasama dan bertanggungjawab dengan tugasnya masing-masing maka sasaran dari kebijakan tersebut akan dapat tercapai, serta permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat akan dapat terselesaikan sehingga masyarakat sebagai warga negara akan terpenuhi haknya dari negara yang menjalankan kewajibannya kepada warga negaranya.

2.2. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan salah satu dari tahapan pembuatan kebijakan. Dapat dikatakan bahwa apabila ada kebijakan publik yang ditetapkan sudah dapat dipastikan akan diikuti dengan implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan memiliki peranan yang penting dalam kebijakan publik karena implementasi disebut juga sebagai pelaksanaan kebijakan. Selain itu, keberhasilan dari kebijakan publik dapat pula diukur dari bagaimana implementasi atau pelaksanaan kebijakan di lapangan yang dilakukan.

Menurut Tachjan (2006: 24) implementasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan.

Pendapat yang disampaikan Tacjhan di atas menyatakan bahwa implementasi kebijakan publik sebelumnya telah disepakati terlebih dahulu, setelah itu dilaksanakan untuk mencapai tujuan.

Menurut Makmur dan Thahier (dalam Setyawan 2017: 91) menyatakan implementasi kebijakan publik merupakan suatu bentuk proses pemikiran dan tindakan manusia yang direncanakan secara baik, rasional, efisien, dan efektif sebagai upaya mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam berbagai tugas negara atau pemerintah guna menciptakan kesejahteraan bersama berdasarkan pada keadilan dan pemerataan.

Dari pernyataan Makmur dan Thahier di atas menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah buah dari suatu pemikiran yang direncakan dengan sebaik-baiknya dalam berbagai tugas yang dilakukan oleh pemerintah.

Menurut Gordon (dalam Keban 2008: 16) implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program. Dapat dikatakan implementasi kebijakan merupakan kegiatan untuk merealisasikan tujuan-tujuan dari program yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, setiap unit-unit yang bertanggung jawab serta finansial akan mendukung implementasi kebijakan.

Namun, perlu diketahui bahwa betapa hebatnya pun suatu rencana program apabila tidak direalisasikan dengan baik maka program tersebut akan sia-sia.

Implementasi kebijakan dapat disebut sebagai salah satu proses yang paling penting dalam pencapaian tujuan namun, bukan berarti proses yang lain tidak menjadi penting. Ditambahkan oleh Jones (dalam Putra 2003:80) bahwa bahkan mungkin tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan.

2.1.1. Aspek Dalam Implementasi Kebijakan

Dalam implementasi kebijakan tentunya meliputi berbagai aspek agar kebijakan tersebut dapat terlaksana dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Berbagai aspek ini tentunya akan dapat mendukung implementasi kebijakan, misalnya aktor dalam implementasi atau disebut juga sebagai implementor.

Apabila implementor melaksanakan apa yang menjadi tugasnya dengan menaati aturan hukum dan bertanggungjawab maka hal ini mendukung keberhasilan dari implementasi kebijakan.

Menurut Anderson (dalam Tahir 2015: 56) ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Siapa yang dilibatkan dalam implementasi b. Hakikat proses administrasi

c. Kepatuhan atas suatu kebijakan d. Efek atau dampak dari implementasi

Keempat aspek di atas hendaknya diperhatikan dalam implementasi kebijakan karena keempat aspek tersebut sama-sama pentingnya. Artinya tidak ada aspek yang harus diberikan perhatian yang lebih tetapi keempat aspek harus diberikan perhatian yang penuh.

Ditambahkan oleh Abidin (dalam Mulyadi 2016:26) bahwa dalam proses implementasi ada dua faktor utama, yaitu :

a. Faktor utama internal, yaitu kebijakan yang akan diimplementasikan b. Faktor utama eksternal, yaitu kondisi lingkungan dan pihak-pihak yang

terkait.

Dalam proses implementasi berbagai aspek sangat mempengaruhi dalam keberhasilan dalam pencapaian tujuan, baik dari kebijakan, pihak-pihak yang terkait, dan berbagai aspek lainnya. Apabila sebuah kebijakan dirancang dengan standar dan sasaran yang jelas dan mendapat dukungan dari berbagai pihak yang terkait maka pencapaian tujuan dalam kebijakan dapat diwujudkan dan tidak hanya tertulis dalam lembaran kertas.

2.3. Model Implementasi Kebijakan

Model implementasi kebijakan dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang dapat mengurangi masalah yang terjadi serta dapat memperbaiki masalah tersebut.

Sinambela (2008: 41) menyatakan bahwa model kebijakan adalah penyederhanaan sistem masalah dengan membantu mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analisis kebijakan. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa dengan adanya model implementasi kebijakan dapat membantu para analisis kebijakan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

2.3.1. Menurut Eugene Bardach

Ada tiga variabel implementasi yang dinyatakan oleh Eugene Bardach (2012:41-42), yaitu sebagai berikut:

1. Legality

Secara singkat legality dapat diartikan bahwa kebijakan seharusnya tidak melangar konstitusi, undang-undang dan hukum. “A feasible policy must not violate constitutional, statutory, or common law rights.

Remember, however, that legal rights are constantly changing and are often ambiguous” (Bardach, Eugene 2012:41). Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa kebijakan yang layak tidak boleh melanggar hak konstitusional, hukum, atau hukum adat. Ingat, bagaimanapun, bahwa hak-hak hukum terus berubah dan seringkali tidak jelas.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan seharusnya tidak melanggar hukum yang berlaku. Misalnya dalam berbagai kebijakan yang dilakukan khususnya di daerah kabupaten, apakah dalam melakukan setiap kebijakan telah ada disusun Perda yang

mengatur kebijakan tersebut atau tidak. Dari ada tidaknya penyusunan Perda yang dilakukan maka akan dapat diketahui sejauh mana kewenangan dari pemerintahan kabupaten tersebut.

Kriteria legality yang diungkapkan Bardach merupakan suatu tinjauan terhadap suatu kebijakan yang didasarkan tidak adanya pertentangan dengan peraturan yang berlaku dan legal secara hukum.

Berdasarkan asas legalitas, organisasi yang berwenang dalam penanganan penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, yaitu lembaga yang diberi nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan tahun 2014 dibentuklah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 45).

Dari informasi di atas diketahui bahwa BPBD Karo dibentuk sejak tahun 2014, sedangkan Gunung Sinabung erupsi sejak tahun 2010. Setelah dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo apakah sudah menjalankan tugas dan fungsinya dalam penanggulangan bencana Gunung Sinabung.

2. Political Acceptability

Dalam political acceptability ada dua kondisi yang dapat terjadi, yaitu banyaknya oposisi dan sedikitnya dukungan dari kebijakan yang akan dilakukan.

“A feasible policy must be politically acceptable, or at least not unacceptable. Political unacceptability is a combination of two conditions: too much opposition (which may be wide or intense or both) and/or too little support (which may be insufficiently broad or insufficiently intense or both)” (Bardach, Eugene 2012:41).

Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa kebijakan yang layak harus dapat diterima secara politik, atau setidaknya tidak dapat diterima. Politik yang tidak dapat diterima adalah kombinasi dari dua kondisi: terlalu banyak oposisi (yang mungkin luas atau intens atau keduanya) dan / atau

terlalu sedikit dukungan (yang mungkin tidak cukup luas atau tidak cukup intens atau keduanya). Misalnya dalam berbagai kebijakan yang dilakukan khususnya di daerah kabupaten bagaimana setiap lembaga maupun pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan tersebut, apakah telah benar-benar memberikan dukungan atau tidak.

Bardach (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 :49) mengungkapkan bahwa “All policy is political, whether the politics takes place in a back room or within a legislature, an organization, or a community. You must build support and neutralize opponents. To do this, at the interpersonal level, you must make arguments, frame and reframe „the facts,‟ call in favors, imply threats. At the organizational and institutional levels, you must mobilize allies, manipulate arenas and calendars, offer (and extract) concessions, and negotiate side-payments.” Pengungkapan ini dapat diartikan, yaitu semua kebijakan politik, yang berlangsung dengan peran legislatif, organisasi, atau komunitas dan harus mendukung serta menetralisir pihak-pihak yang tidak sependapat. Untuk melakukan hal ini secara interpersonal, harus membuat argumen, kerangka kerja berdasarkan fakta. Pada tingkat organisasi dan kelembagaan memobilisasi dukungan dan bernegosiasi dengan kelompok kepentingan maupun alokasi anggaran biaya.

Dari pernyataan di atas maka dalam setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah setiap lembaga maupun organisasi harus saling bekerjasama dan mendukung setiap kebijakan yang dilakukan untuk pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Tidak hanya dukungan politik dari berbagai lembaga dan organisasi, hal yang tidak kalah penting adalah anggaran yang dikucurkan untuk mendukung kebijakan tersebut juga harus dilakukan.

3. Robustness under conditions of administrative implementation and improvability

“Policy ideas that sound great in theory often fail under conditions of field implementation. Policies that emerge in practice can diverge,

even substantially, from policies as designed and adopted” (dalam Bardach, Eugene 2012:42). Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa gagasan kebijakan yang kedengarannya hebat dalam teori sering gagal dalam implementasi di lapangan. Kebijakan yang muncul dalam praktik dapat menyimpang, bahkan secara substansial, dari kebijakan yang dirancang dan diadopsi. Artinya, segala sesuatu dapat tidak sejalan dengan apa yang telah direncanakan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

Robustness under conditions of administrative implementation and improvability dapat dilihat dari empat hal, yaitu authority, instutional commitment, capability dan organization support (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 56-69).

a. Authority

Authority atau kewenangan bagi suatu lembaga untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo yang dibentuk pada tahun 2014 lalu, apakah sudah memiliki kewenangan yang sesuai dengan tugas dan tanggungjawab Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo tersebut.

Kewenangan tersebut sangat penting sebab tidak semua pelakasanaan tugas Badan Penangulanggan Bencana Daerah Karo berjalan efektif seperti yang direncanakan (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 56).

b. Instutional Commitment

Komitmen kelembagaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sangatlah penting agar apa yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya dapat tercapai.

Komitmen kelembagaan (instutional commitment) merupakan kesiapan memenuhi kebutuhan yang menjadi tugas-tugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 69).

Dalam hal ini berarti Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo harus mengerti terlebih dahulu apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab lembaga tersebut dalam penanggulangan bencana, sehingga dalam pelaksanaan penanggulangan bencana dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan.

c. Capability

Capability atau dapat diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam menjalankan tugasnya.

Menurut Katz (dalam Noor 2013: 43) ada tiga jenis dasar keterampilan, yaitu :

i. Keterampilan teknis (technical skill) adalah kemampuan untuk menjalankan suatu pekerjaan tertentu.

ii. Keterampilan manusiawi (human skill) adalah keterampilan berkomunikasi atau keterampilan berhubungan dengan orang lain.

iii. Keterampilan konseptual (conseptual skill) adalah keterampilan untuk membuat konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan organisasi.

Dalam hal ini bagaimana kemampuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo melaksanakan tugasnya sesuai dengan kebijakan yang diatur.

d. Organization Support

Organization support atau dapat diartikan sebagai dukungan organisasi bagaimana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dengan berbagai fasilitas yang dapat mendukung dalam penanggulangan bencana gunung meletus.

Dukungan organisasi yang dimaksud adalah bagaimana organisasi dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo dapat menopang penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung di wilayahnya. Seperti peralatan yang dimiliki, fasilitas fisik dan layanan kebencanaan yang diberikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo kepada masyarakat (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 69).

2.3.2. Aktor-Aktor Implementasi

Aktor-aktor implementasi atau yang disebut juga sebagai implementor merupakan salah satu hal yang penting dalam implementasi kebijakan.

Implementor adalah pihak yang melaksanakan implementasi kebijakan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Anderson; Lester dan Stewart (dalam Kusumanegara 2010: 100) berikut ini adalah aktor-aktor implementasi diantaranya :

a. Birokrasi

Birokrasi mempunyai wewenang yang besar untuk menguasai “area”

implementasi kebijakan dalam wilayah operasinya karena mereka mendapat mandat dari lembaga legislatif.

b. Badan Legislatif

Badan legislatif terlibat dalam implementasi kebijakan ketika mereka ikut menentukan berbagai peraturan yang spesifik dan mendetail.

c. Lembaga Peradilan

Lembaga peradilan terlibat dalam implementasi kebijakan ketika muncul tuntutan masyarakat atas kebijakan tertentu yang implementasinya dianggap merugikan masyarakat sehingga menjadi perkara hukum.

d. Kelompok Kepentingan/Penekan

Kelompok kepentingan menekan kebijakan pemerintah dimaksudkan agar mereka memperoleh keuntungan dengan adanya implementasi program tertentu.

e. Organisasi Komunitas

Program-program yang dirancang untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan politik yang pro pembangunan masyarakat maka masyarakat baik secara individual maupun kelompok akan terlibat dalam implementasi program tersebut.

Baik birokrasi, badan legislatif, lembaga peradilan, kelompok kepentingan, serta organisasi komunitas harus memiliki pemikiran yang sama, misalnya sasaran dari suatu kebijakan adalah masyarakat yang terkena bencana. Maka kelima aktor implementasi tersebut harus memastikan bahwa memang benar kebijakan tersebut telah tepat sasaran, terlepas dari kelompok kepentingan yang ingin memperoleh image yang baik dari masyarakat.

2.3.3. Hambatan dalam Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan tidaklah mudah untuk dilakukan, bahkan tidak jarang kebijakan yang sudah dirancang dengan sebaik-baiknya tidak dapat diimplementasikan sehebat dari rancangan tersebut sehingga hanya menjadi tulisan di atas kertas saja. Berbagai faktor mempengaruhi implementasi kebijakan sehingga ada kebijakan yang berhasil dan ada juga kebijakan yang gagal.

Menurut Gow dan Mors (dalam Keban 2008:78) ada sembilan hambatan dalam implementasi kebijakan adalah :

1. Hambatan politik, ekonomi, dan lingkungan. Dalam hal politik misalnya seringkali didapati benturan kepentingan yang mengakibatkan adanya kepentingan yang terabaikan.

2. Kelemahan institusi. Seringkali di lapangan didapati bahwa banyaknya kelemahan suatu institusi untuk menjalankan program.

3. Ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administratif. SDM yang masih lemah dalam teknis dan administratif sehingga mempersulit pengimplementasian program.

4. Kekurangan dalam bantuan teknis. SDM yang kurang menguasai teknis namun hal ini tidak segera ditangani dengan kata lain pemberikan bantuan-bantuan teknis minim.

5. Kurangnya desentralisasi dan partisipasi. Partisipasi dalam implementasi kebijakan baik pemerintah maupun setiap pihak yang terkena dampak dalam kebijakan tersebut masih sangat minim.

6. Pengaturan waktu. Pengaturan waktu yang masih belum tepat dan disiplin.

7. Sistem informasi yang kurang mendukung. Sistem informasi kurang mendukung dapat juga diakibatkan karena kekurangan sarana dan fasilitas yang memadai.

8. Perbedaan agenda tujuan antara aktor. Perbedaan ini menyebabkan adanya kesulitan dalam pengambilan keputusan ataupun akan sulit dalam implementasi kebijakan apabila adanya perbedaan pandangan.

9. Dukungan yang berkesinambungan. Dukungan yang berkesinambungan dalam implementasi program tidak berlanjut sehingga menyebabkan adanya hambatan-hambatan.

Hambatan-hambatan muncul karena banyaknya kekurangan yang terjadi di lapangan, baik dari lingkungan, institusi, sumber daya manusia, sistem informasi dan sebagainya yang berdampak kurang baik bagi implementasi kebijakan.

Dengan demikian, perlu kiranya melakukan berbagai perbaikan agar kelemahan-kelemahan yang menjadi hambatan tersebut diminimalisir atau bahkan dihilangkan dengan berbagai upaya. Misalnya dalam suatu institusi tidak memiliki sarana dan fasilitas sistem informasi, namun dalam melaksanakan tugas membutuhkan hal tersebut. Maka institusi harus tanggap dan memenuhi fasilitas tersebut.

Menurut Anderson (dalam Suaib 2016:94) menyatakan ada beberapa faktor penyebab mengapa orang tidak melaksanakan suatu kebijakan publik, sebagai berikut :

a. Kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai masyarakat, b. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum,

c. Keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan atau kelompok,

d. Keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat, e. Adanya ketidakpastian hukum.

Dari pernyataan di atas bahwa karena adanya perbedaan kebijakan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Sehingga hal ini dapat menjadi masukan bagi implementor agar memperhatikan sistem nilai masyarakat terlebih dahulu setelah itu menetapkan kebijakan. Agar kebijakan yang dilaksanakan dapat berjalan karena masyarakat merasakan manfaat dan tidak bertentangan dengan sistem nilai yang dianut. Ketidakpatuhan terhadap hukum, ketidakpastian hukum merupakan permasalahan yang seringkali terjadi, adanya keterpaksaan yang dialami seseorang dalam suatu kelompok sehingga ia tidak patuh dalam pelaksanaan kebijakan publik dan keinginan hanya untuk mencari keuntungan.

Sehingga dengan begitu, ketegasan dalam penetapan hukum harus lebih ditingkatkan lagi untuk memastikan tidak akan ada lagi pihak yang melanggar hukum. Apabila kebijakan publik dapat berjalan dengan lancar maka hal tersebut dapat mendatangakan hal yang baik pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.4. Hunian Tetap

Menurut Permana (dalam Badan Arkeologi Palembang 2013:314) menyatakan hunian adalah sebagai suatu unit tempat tinggal sekelompok warga masyarakat dalam suatu lingkungan tertentu. Pendapat Permana di atas menyatakan bahwa hunian adalah tempat tinggal warga di lokasi tertentu.

Menurut Purwanti (dalam Badan Arkeologi Palembang 2013:313) hunian adalah tempat tinggal manusia (komunitas) di suatu lokasi tertentu. Sehingga hunian dapat diartikan sebagai tempat tinggal yang ditempati oleh masyarakat

untuk dapat menunjang aktivitas sehari-hari yang terletak di lokasi tertentu.

Hunian tetap adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka pengadaan rumah bagi pengungsi Gunung Sinabung dikarekan rumah mereka berada di zona merah yang tidak dapat ditinggali oleh masyarakat.

2.5. Pengungsi

Pengungsi adalah sebutan bagi orang maupun sekelompok yang sedang mengalami musibah baik bencana alam maupun sedang mengalami keadaan darurat seperti perang, sehingga harus pergi mengungsi untuk menyelamatkan nyawa mereka. Dapat dikatakan bahwa keadaan lingkungan memaksa mereka untuk mengungsi dan mencari tempat yang lebih aman.

Menurut Yus Badudu dalam Wagiman (2012 : 97) pengungsi diartikan sebagai orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada bahaya yang mengancam. Dari pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang harus meninggalkan rumah, ladang,

Menurut Yus Badudu dalam Wagiman (2012 : 97) pengungsi diartikan sebagai orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada bahaya yang mengancam. Dari pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang harus meninggalkan rumah, ladang,

Dokumen terkait