• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.6. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data dilakukan untuk memastikan data dan informasi yang diperoleh peneliti saat melakukan penelitian di lapangan adalah data dan informasi yang dituliskan di dalam penelitian tersebut. Selain itu, data dan informasi yang dituliskan tersebut harus dipastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan.

Menurut Sugiyono (2014 : 267) dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Serta dalam penelitian kualitatif, suatu realitas itu bersifat majemuk/gansa, dinamis/selalu berubah, sehingga tidak ada yang konsisten, berulang seperti semula. Oleh sebab itu, keabsahan data suatu penelitian menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan merupakan data yang valid sehingga tidak merugikan berbagai pihak yang terkait.

Triangulasi data adalah pemeriksaan data dengan membandingkan data yang diperoleh dengan berbagai sumber lain. Ada lima jenis triangulasi data yang disebutkan oleh Wirawan (2011: 156), yaitu :

1. Triangulasi data

Triangulasi data adalah mempergunakan berbagai sumber data/informasi. Dalam teknik triangulasi ini adalah mengelompokkan para pemangku kepentingan program dan mempergunakannya sebagai sumber data/informasi.

2. Triangulasi peneliti

Dalam teknik triangulasi ini dipergunakan sejumlah evaluator atau tim evaluator dalam satu proyek evaluasi. Para evaluator mempergunakan metode kualitatif yang sama, misalnya wawancara, observasi, studi kasus, kelompok fokus atau informan kunci.

3. Triangulasi teori

Triangulasi teori adalah penelitian dengan mempergunakan berbagai profesional dengan berbagai latar belakang ilmu pengetahuan untuk menilai suatu set data/informasi.

4. Triangulasi metode

Triangulasi metode adalah pemakaian berbagai metode-metode kuantitatif dan/atau metode kualitatif untuk mengevaluasi program.

Triangulasi metode merupakan triangulasi yang banyak diterapkan karena akan menghasilkan informasi yang kaya, rinci, dan valid. Akan tetapi, triangulasi ini memerlukan banyak sumber dan waktu penelitian.

5. Triangulasi lingkungan

Triangulasi jenis ini mempergunakan berbagai lokasi yang berbeda, altar, dan faktor-faktor lainnya yang berhubungan dengan lingkungan di mana penelitian mengambil tempat seperti waktu suatu hari, hari suatu minggu atau musim dalam suatu tahun.

Dalam penelitian ini menggunakan teknik keabsahan data triangulasi data dan triangulasi teori. Triangulasi data dilakukan dengan mencari informasi dari berbagai pihak baik dari BPBD, DPRD, dan masyarakat. Triangulasi teori digunakan untuk mendeskripsikan bagaimana implementasi kebijakan pembangunan hunian tetap di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai pihak.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kabupaten Karo

Dataran tinggi Karo merupakan dataran tinggi terluas di Indonesia.

Gunungapi Sinabung dan Gunungapi Sibayak adalah dua gunung berapi aktif di Dataran Tinggi Karo dan menjadi puncak tertinggi di Provinsi Sumatera Utara.

4.1.1. Kondisi Fisik

Gunungapi Sinabung dengan tinggi 2.460 meter diatas permukaan laut (dpl) terletak di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Setelah 400 tahun dalam keadaan stabil (semenjak tahun 1605), Gunungapi Sinabung aktif kembali pada tahun 1975-1976 dengan erupsi yang kecil. Erupsi besar terjadi pada tanggal 29 Agustus 2010 dimana status Gunungapi naik menjadi Awas (level IV) dan

mengakibatkan 12.000 jiwa mengungsi.

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan dan merupakan Daerah Hulu Sungai. Luas wilayah Kabupaten Karo adalah 2.127,25 km2 atau 2,97 persen dari luas Provinsi Sumatera Utara dan secara geografis terletak diantara 2°50’-3°19’ Lintang Utara dan 97°55’-98°38’ Bujur Timur. Batas-batas wilayah Kabupaten Karo adalah :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara

(Provinsi Aceh).

Penggunaan lahan terbesar di sekitar Gunungapi Sinabung adalah untuk pertanian, baik berupa sawah maupun non-sawah.

4.1.2. Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Sinabung

PVMBG telah menetapkan Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunungapi Sinabung dibagi dalam tiga tingkat kerawanan, sebagai berikut:

a. Kawasan Rawan Bencana III (KRB III)

KRB III adalah kawasan yang terletak dalam radius 0-2 km dari puncak Gunungapi Sinabung dan dinyatakan dekat dengan sumber bahaya. Kawasan ini sangat berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu (pijar) berdiameter lebih besar dari 6 cm dan hujan abu lebat.

b. Kawasan Rawan Bencana II (KRB II)

KRB II adalah kawasan ring tengah yang berada dalam radius 2-5 km dari puncak Gunungapi Sinabung. Kawasan ini juga berpotensi terkena lontaran batu pijar yang berdiameter antara 2-6 cm, hujan abu lebat, awan panas, aliran lava, dan guguran lava-lava serta gas beracun.

c. Kawasan Rawan Bencana I (KBR I)

KBR I adalah kawasan yang berada dalam radius 5-7 km dari puncak Gunungapi Sinabung. Kawasan ini juga diperkirakan akan berpotensi terlanda hujan abu dan kemungkinan dapat tertimpa material baju pijar berdiameter lebih kecil dari 2 cm, dan tidak tertutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava lahar.

4.2. Gambaran Umum Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo

4.2.1. Visi dan Misi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo

Visi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo 2016-2021 adalah :

“Terwujudnya Kabupaten Karo yang Siaga dan Tangguh dalam Menghadapi Bencana”

Adapun makna dari visi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kabupaten Karo adalah seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah daerah, masyarakat dan swasta yang berada dalam batas administrasi wilayah Kabupaten Karo.

2. Siaga adalah serangkaian yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

3. Tangguh adalah kemampuan/kehandalan dan kecepatan dalam memberikan pelayanan penggulangan bencana.

4. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan tersebut di atas maka ditetapkan empat misi BPBD Kabupaten Karo, yaitu sebagai berikut:

1. Melaksanakan perencanaan, pembinaan, pengendalian terhadap program, administrasi, sumber daya manusia dan sarana prasarana aparatur.

2. Membangun masyarakat yang sadar, siapsiaga dan tangguh dalam menghadapi bencana.

3. Membangun dan menyelenggarakan sistem dan mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.

4. Melindungi masyarakat Kabupaten Karo dengan mengutamakan pengurangan risiko bencana.

4.2.2. Tugas Pokok dan Fungsi BPBD Kabupaten Karo

Sesuai Peraturan Bupati Nomor 04 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Karo Nomor 177 Tahun 2008 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo dan Akademi Kebidanan Kabanjahe disebutkan bahwa Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Menetapkan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi secara adil dan setara sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

b. Menetapakan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Menyusun, menetapkan dan menginformasikan peta rawan bencana.

d. Menyusun menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.

e. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Bupati setiap bulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana.

f. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.

g. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

h. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan tugas di atas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat, tepat, efektif, dan efisien.

b. Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

4.2.3. Struktur Organisasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 01 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo bahwa Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati.

Organisasi unsur pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo terdiri dari :

1. Unsur Pelaksana

2. Sekretariat, terdiri dari : a. Sub Bagian Umum b. Sub Bagian Keuangan c. Sub Bagian Program

3. Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, terdiri dari : a. Seksi Pencegahan

b. Seksi Kesiapsiagaan

4. Bidang Kedaruratan dan Logistik, terdiri dari:

a. Seksi Kedaruratan

b. Seksi Logistik

5. Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, terdiri dari:

a. Seksi Rehabilitasi b. Seksi Rekonstruksi 6. Kelompok Jabatan Fungsional

Gambar 4.2. Struktur Organisasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo

Sumber : Dokumentasi BPBD Kabupaten Karo, 2019

BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN KARO KEPALA

Drs. KAMPERAS TERKELIN PURBA, M.Si

UNSUR PENGARAH BADAN SARJANA GINTING, SE, MSP

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

4.3. Implementasi Kebijakan Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung

Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan dalam kebijakan publik yang dapat diartikan sebagai pelaksanaan dari kebijakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah publik. Bencana alam gunung meletus yang melanda Kabupaten Karo menyebabkan banyak masyarakat yang harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Masyarakat yang bertempat tinggal paling dekat dengan Gunung Sinabung yang termasuk ke dalam zona merah dilakukan relokasi dengan pembangunan hunian tetap.

Pembangunan hunian tetap untuk pengungsi Gunung Sinabung dilakukan beberapa tahapan, yaitu :

1. Relokasi Tahap I

Relokasi tahap I sebanyak 370 KK dilaksanakan untuk tiga desa terdampak bencana erupsi Gunung Sinabung, yaitu Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Suka Meriah. Tiga desa tersebut dilaksanakan pembangunan hunian tetap di Desa Siosar. Hal ini juga dinyatakan oleh informan Seksi Rekonstruksi, yaitu :

Relokasi tahap I itu ke Siosar, intinya pada saat itu pemerintah pusat saat ini melihat posko pengungsi Sinabung sangat padat sekali dan tidak manusiawi mungkin dipercepat ke Siosar. Tiga desa yang paling dekat ke Sinabung, Suka Meriah, Bekerah, Simacem (Wawancara dengan Irvan Maranatha Surbakti, 10 April 2019 pada 14.34 WIB, Transkrip Wawancara halaman 107).

2. Relokasi Mandiri Tahap II

Dilakukannya relokasi mandiri tahap II dikarenakan lahan di Siosar tidak mencukupi untuk kebutuhan relokasi tahap II sebanyak 1682 KK.

Relokasi tahap II dilaksanakan untuk empat desa, yaitu Desa Berastepu, Desa Gurukinayan, Desa Gamber, dan Desa Kuta Tonggal. Hal ini juga dinyatakan oleh informan Seksi Rekonstruksi, yaitu :

Selesai di Siosar ada relokasi tahap II untuk Desa Gurukiyanan, Berastepu, Gamber, Kuta Tonggal. Itulah yang termasuk di relokasi mandiri. Awalnya diarahkan ke Siosar tapi pada saat itu dengan angka 1683 jiwa kita butuh lahan tambahan. Lahan pertanian tidak cukup di atas, kita minta ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak dikasih izin pada saat itu. Dana sudah turun tahun 2015 akhir, akhirnya Pemkab binggung lokasi tidak ada, akhirnya tercetuslah namanya relokasi mandiri. Mandiri maksudnya masyarakat itu menentukan dimana lahan usaha taninya, masyarakat itu menentukan dimana lahan tapak rumahnya.

Itulah ceritanya mengapa terjadi relokasi mandiri. (Wawancara dengan Irvan Maranatha Surbakti, 10 April 2019 pada 14.34 WIB, Transkrip Wawancara halaman 107).

Relokasi mandiri tahap II ini dalam pemilihan lokasi dan pembangunan rumah semuanya dilakukan dengan mandiri oleh masyarkat yang mendapatkan hunian tetap. Hal ini juga didukung oleh pernyataan informan Seksi Rehabilitasi, yaitu:

Relokasi mandiri ini muncul karena awalnya dari siosar tidak ada lahan pertanian, pada saat itu tidak dikasih oleh Kementerian Kehutanan.

Relokasi Mandiri ini ada empat desa sebenarnya, Berastepu, Gurukinayan, Gamber, dan Kuta Tonggal. Ini jumlah 1682 KK. Karena tidak ada lahan diambillah kesepakatan melalui rapat dulu jadikanlah relokasi mandiri.

Relokasi mandiri ini sebenarnya penanganan tahap kedua. Jiwanya relokasi mandiri ini adalah bantuan stimulan, mereka yang melaksanakan semua kegiatannya, pemerintah hanya sebagai pemberi dana dan fasilitator dan media kontrol, itunya cuma fungsi pemerintah. Untuk relokasi mandiri ini ada dua yang ditangani, bantuan dana rumah dan bantuan lahan usaha tani. Untuk bantuan dana rumah, BDR dan lahan tapak rumah ini dikasih dana Rp 59.400.000 per KK, untuk lahan usaha taninya Rp 50.600.000. dia cuma dapat Rp 59.400.000 hanya itu yang didapat. Ada yang ngontrak dulu di kampung tapi dia ada ladangnya, jadi ladang yang cuma ditangani.

(Wawancara dengan Nius Abdi Ginting, 1 April 2019 pukul 15.23 WIB, Transkrip Wawancara halaman 113).

Kemudian penulis juga memaparkan hasil dokumentasi kebijakan pembangunan hunian tetap yang terdapat pada petunjuk teknis pelaksanaan relokasi mandiri rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana erupsi Gunungapi Sinabung Kabupaten Karo. Dimana dinyatakan bahwa sebelum dilakukan pembangunan hunian tetap terlebih dahulu dilakukan pendataan penerima bantuan dengan prinsip “rumah dibantu rumah” dan atau “lahan ganti lahan”. Skema yang dilakukan pada relokasi tahap II ini dilakukan dengan skema relokasi mandiri. Relokasi mandiri artinya pemerintah menyiapkan dana stimulan sebesar Rp 110.000.000 per KK untuk biaya pembangunan rumah yang disebut dengan Bantuan Dana Rumah (BDR) senilai Rp 59.400.000 dan biaya lahan usaha tani yang disebut dengan Bantuan Dana Lahan Usaha Tani (BDLUT) senilai Rp 50.600.000.

Relokasi mandiri untuk pembangunan hunian tetap bagi pengungsi Gunung Sinabung ada beberapa pilihan kategori sebagai berikut :

a. Menyiapkan lahan tapak dan pembangunan rumah secara berkelompok di satu hamparan yang terpisah atau menyatu dengan lahan usaha tani dan masih di dalam wilayah Kabupaten Karo.

Apabila hunian tetap dibangun secara berkelompok di satu hamparan maka beberapa infrastruktur akan dibangun seperti air bersih, jaringan listrik, dan akses jalan menuju hunian tetap.

b. Menyiapkan lahan tapak dan pembangunan rumah secara tidak berkelompok, terpisah atau menyatu dengan lahan usaha tani dan masih di dalam wilayah Kabupaten Karo

Ada dua kategori dalam pemilihan lokasi yang diberikan pemerintah bahwa masyarakat boleh membeli lahan secara berkelompok maupun tidak dengan syarat lahan tersebut minimal di luar 7 km dari puncak Gunung Sinabung dan batas terjauh maksimal masih di dalam wilayah Kabupaten Karo. Terkait dengan pemilihan lahan yang dibebaskan kepada masyarakat tetapi diwajibkan masih berada di dalam wilayah Kabupaten Karo. Hal ini didukung oleh pernyataan informan Kepala Pelaksana, yaitu :

Relokasi tahap kedua ini untuk dibangun huntap karena pada saat itu belum ada tersedia lahan dan tidak ada izin dari Kementerian Kehutanan, dan dananya sudah disediakan oleh BNPB ditempuhlah relokasi mandiri. Jadi relokasi mandiri masyarakat memilih sendiri, menetapkan dimana dan dana kita transfer ke masyarakat. Di dalam juknis memang seperti itu, diberikan hak memilih rumahnya tapi memang dibatasi di Kabupaten Karo tidak boleh diluar Kabupaten Karo membangun huntapnya (Wawancara dengan Martin Sitepu, 1 April 2019 pada 16.13 WIB, Transkrip Wawancara halaman 105).

Senada dengan hal diatas dinyatakan juga oleh informan Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, yaitu :

Dulu ceritanya begini pada saat dibuat relokasi tahap II di Siosar itu ada kendala masalah izin untuk lahan pertanian dari Menteri Kehutanan sehingga diputuskan dibuatlah relokasi mandiri dicarilah lahan di seputaran Kabupaten Karo. (Wawancara dengan Subur Tambun, 10 April 2019 pada 16.19 WIB, Transkrip Wawancara halaman 117).

Hal tersebut juga dinyatakan oleh informan Sub Bagian Keuangan, yaitu :

Jadi pemda tidak punya tempat pada saat itu, relokasi tahap I saja kita membuka hutan. Sehingga ditawarkan relokasi mandiri

dengan dana 110 juta (Wawancara dengan Rizki Emelia Br Sinuraya, 10 April 2019 pada 09.37 WIB, Transkrip Wawancara halaman 121)

Melalui observasi peneliti di lapangan bahwa masyarakat memilih sendiri lokasi yang mereka inginkan untuk dijadikan lokasi pembangunan hunian tetap. Khususnya masyarakat yang memilih lokasi di Desa Ndokum Siroga serta diberikan dana bantuan rumah dan lahan sebesar Rp 110.000.000. Desa Ndokum Siroga masih berada dalam Kabupaten Karo dan lebih dari 7 km dari puncak Gunung Sinabung. Hal ini sesuai dengan petunjuk teknis bahwa batas maksimal adalah Kabupaten Karo dan batas minimal di luar 7 km dari puncak Gunung Sinabung.

3. Relokasi Tahap III

Relokasi tahap III dilaksanakan untuk empat desa terdampak, yaitu Desa Singgarang-garang, Desa Sukanalu, Desa Mardinding, dan Desa Dusun Lau Kawar.

Berdasarkan hasil dokumentasi di dalam progres pemanfaatan dana hibah RR pasca bencana dinyatakan bahwa jumlah masyarakat yang mendapatkan hunian tetap sebanyak 892 KK dan lahan usaha tani sebanyak 1.022 KK yang saat ini masih proses pengerjaan karena dana yang dibutuhkan turun pada 27 Desember 2018. Relokasi tahap III dikembalikan ke Siosar karena telah mendapatkan izin, sebagaimana dinyatakan oleh informan Kepala Pelaksana, yaitu :

Relokasi tahap ketiga ini kita sudah mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan. Tahun lalu kita sudah meratakan pertapakan tahun ini kita akan membangun hunian tetap kembali di Siosar. Kita targetkan bisa diselesaikan di akhir tahun ini (Wawancara dengan Martin

Sitepu, 1 April 2019 pada 16.13 WIB, Transkrip Wawancara halaman 105).

4.3.1. Legality

Dalam penanganan yang dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo untuk pengungsi Gunungapi Sinabung yang sudah tidak dapat tinggal menetap di kampung ataupun desa mereka adalah dengan membangun hunian tetap bagi mereka. Hunian tetap ini merupakan tugas dari BPBD bagian Rehabilitasi dan Rekonstruksi.

Asas legalitas dari pekerjaan yang dilakukan BPBD Kabupaten Karo masih mengacu pada undang-undang Republik Indonesia, peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Dokumen Rencana Aksi yang juga ditetapkan oleh Kepala BNPB sebelum adanya Peraturan Daerah Kabupaten Karo yang mengatur tentang kebencanaan. Hal ini dikemukakan oleh informan Seksi Rehabilitasi berikut ini:

Yang pertama dulu UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, terus yang kedua adalah Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana selanjutnya Peraturan Kepala BNPB Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian Pascabencana, dan untuk penanganannya harus dibuat RENAKSI dulu ke Rehap Rekonnya itulah pondasinya dalam pembangunan hunian tetap (Wawancara dengan Nius Abdi Ginting pada 1 April 2019 pukul 15.23 WIB, Transkrip Wawancara halaman 113).

Begitupula yang dinyatakan oleh informan lainnya Seksi Rekonstruksi, yaitu :

Undang-undang Penanggulangan Bencana Tahun 2004.

Direlokasi karena lokasi awal zona merah, jadi direlokasi sesuai dengan RENAKSI yang sekarang disebut Rencana RR. Kita buat rencana RR apa saja yang dibutuhkan (Wawancara dengan Irvan Maranatha Surbakti, 10 April 2019 pada 14.34 WIB, Transkrip Wawancara halaman 107).

Senada dengan hal tersebut, informan lainnya Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi mengemukakan bahwa :

Relokasi ini paling awal dulu bergerak berdasarkan UU Penanggulangan Bencana No 22 Tahun 2004, keputusan dari kepala BNPB dan ada juga perbup yang mengatur tentang pendanaan untuk pembangunan huntap yang berasal dari hibah pusat (Wawancara dengan Subur Tambun, 10 April 2019 pada 16.19 WIB, Transkrip Wawancara halaman 117 ).

Dasar dalam pelaksanaan pembangunan hunian tetap merupakan undang-undang kebencanaan, peraturan kepala BNPB, hal ini didukung oleh pernyataan informan Seksi Kesiapsiagaan, yaitu :

Perda penanggulangan bencana baru disusun pada tahun 2017 dan pengesahannya 2018 sedangkan relokasi mandiri sudah dikerjakan sebelum perda itu dibuat. Jadi dasarnya untuk bidang rehap rekon itu bukan perda tapi berdasarkan UU penanggulangan bencana diturunkan pada PP 22 dan peraturan dari kepala BNPB kemudian dibuat dalam perbup di Kabupaten Karo (Wawancara dengan Kesiapsiagaan Romalisda Novarta Br Sihaloho, 10 April 2019 pada 10.26 WIB, Transkrip Wawancara halaman 122).

Menurut infomasi di atas, asas legalitas dalam implementasi pembangunan hunian tetap untuk dilakukannya relokasi bagi masyarakat pengungsi masih berdasarkan pada undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana selanjutnya Peraturan Kepala BNPB

Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian Pascabencana.

Peraturan Daerah Kabupaten Karo mengenai penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung belum dilakukan pembuatannya.

Kemudian penulis memaparkan hasil dokumentasi bahwa adanya peraturan bupati tentang pengelolaan dana hibah yang diberikan oleh pusat, yaitu Peraturan Bupati Nomor 51 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Nomor 45 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Dana Hibah Dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Karo Dalam Rangka aturan Pendanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pasca Bencana.

Selanjutnya berdasarkan hasil observasi penulis di lapangan bahwa pemerintahan Kabupaten Karo, BPBD dan lembaga terkait lainnya yang masih mengacu pada peraturan perundang-undangan yang diatur oleh pusat masih mampu melaksanakan pembangunan hunian tetap bagi masyarakat. Meskipun dalam pelaksanaannya tidak dapat diputuskan sendiri oleh pemerintahan Kabupaten Karo.

Berdasarkan hasil wawancara, dokumentasi, dan observasi yang telah dilakukan oleh penulis bahwa dalam implementasi pembangunan hunian tetap untuk merelokasi masyarakat pengungsi masih mengacu pada aturan-aturan dari pusat dikarenakan pemerintah Kabupaten Karo belum mengatur peraturan daerah mengenai kebencanaan Gunung Sinabung. Perlunya diatur peraturan daerah mengenai kebencanaan ini agar dapat mengikat setiap lembaga terkait.

4.3.2. Political Acceptability

Dalam political acceptability dapat pula diartikan sebagai dukungan politik dari berbagai lembaga yang terkait dalam sebuah implementasi kebijakan yang dilakukan dalam suatu wilayah. Dari hal ini dapat menimbulkan dua kemungkinan, yaitu adanya dukungan politik dari berbagai pihak maupun lembaga yang terkait dan tidak didapati adanya dukungan politik dari pihak maupun lembaga yang

Dalam political acceptability dapat pula diartikan sebagai dukungan politik dari berbagai lembaga yang terkait dalam sebuah implementasi kebijakan yang dilakukan dalam suatu wilayah. Dari hal ini dapat menimbulkan dua kemungkinan, yaitu adanya dukungan politik dari berbagai pihak maupun lembaga yang terkait dan tidak didapati adanya dukungan politik dari pihak maupun lembaga yang

Dokumen terkait