• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUNIAN TETAP PENGUNGSI GUNUNG SINABUNG DI DESA NDOKUM SIROGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUNIAN TETAP PENGUNGSI GUNUNG SINABUNG DI DESA NDOKUM SIROGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO SKRIPSI"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUNIAN TETAP PENGUNGSI GUNUNG SINABUNG DI DESA NDOKUM SIROGA

KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S1) Administrasi Publik

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh:

EMI BR SEMBIRING

NIM : 150903006

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

(2)

ABSTRAK

Implementasi kebijakan pembangunan hunian tetap merupakan tindakan pemerintah dalam menyikapi bencana erupsi Gunung Sinabung yang menyebabkan masyarakat yang bertempat tinggal di zona merah harus meninggalkan rumah, lahan pertanian serta harta benda yang mereka miliki.

Pembangunan hunian tetap di Desa Ndokum Siroga adalah relokasi mandiri tahap II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana implementasi kebijakan pembangunan hunian tetap pengungsi Gunung Sinabung di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan melukakan observasi, wawancara dan studi dokumentasi mengenai legality, potical acceptability, dan robustness under conditions of administrative implementation and improvability : authority, instutional commitment, capabilty, dan organization support.

Setelah dilakukan penelitian di lapangan diperoleh data bahwa implementasi kebijakan pembangunan hunian tetap pengungsi Gunung Sinabung tahap II masih memiliki banyak kelemahan diantaranya belum adanya ditetapkan peraturan daerah dalam melaksanakan pembangunan hunian tetap, APBD belum mampu sehingga anggaran dari pusat, fasilitas hunian tetap yang belum rampung, masyarakat yang tidak mendukung dalam pemilihan lokasi hunian tetap, dukungan organisasi dalam hal fasilitas yang dimiliki BPBD masih minim sehingga apabila darurat bencana terjadi maka fasilitas tersebut tidak akan cukup.

Kata Kunci : Implementasi Kebijakan, Pembangunan Hunian Tetap, Pengungsi Gunung Sinabung.

(3)

ABSTRAC

The implementation of the residential development policy is still the government's action in responding to the disaster of the Volcano Sinabung eruption which has caused people who live in the red zone to leave their homes, farms and property.

The construction of permanent housing in the village of Ndokum Siroga is a phase II independent relocation. This study aims to find out and describe how the implementation policy of construction permanent housing for Volcano Sinabung refugees in Ndokum Siroga Village Simpang Empat District Karo Regency.

This study uses descriptive research methods with a qualitative approach by conducting observations, interviews and documentation studies on legality, potical acceptability, and robustness under conditions of administrative implementation and improvability : authority, instutional commitment, capabilty, and organization support.

After conducting research in the field data obtained that the implementation of the permanent residential development policy of Mount Sinabung refugees in Phase II still has many disadvantages including the absence of regional regulations in implementing permanent housing development, the APBD has not been able so that the central budget, unoccupied permanent housing facilities, the community who do not support the selection of permanent housing , organizational support in terms of facilities owned by BPBD is still minimal so that if an emergency occurs, the facility will not be sufficient.

Key Word : Implementation Policy, Construction Permanent Housing, Volcano Sinabung Refugees

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus oleh karena kasih karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat untuk studi Strata 1 (S1) di Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, semangat serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara yang sekaligus Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing yang dengan senang hati membimbing dan memberikan masukan kepada penulis selama pengerjaan skripsi sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Asima Yanty Sylvania Siahaan, MA, Ph.D selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

4. Seluruh Dosen di Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah membekali penulis berbagai ilmu selama mengikuti perkuliahan.

5. Staf administrasi di Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.

(5)

6. Seluruh Pimpinan dan Staf pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo yang telah dengan senang hati membantu penulis dalam memperoleh berbagai data.

7. Seluruh Pimpinan dan Staf Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karo yang telah membantu penulis terkhusus Kakak Herwina Tarigan, SP,M.AP yang bersedia mendampingi saya saat berada di Kantor DPRD.

8. Seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di Hunian Tetap di Desa Ndokum Siroga yang telah mengizinkan penulis untuk mendapatkan berbagai informasi tentang hunian tetap.

9. Kepada kedua orangtua tercinta penulis Bapak Kola Sembiring dan Mamak Dra. Bunga Setina Br Ginting yang selalu mendukung penulis.

Terima kasih untuk semua kasih sayang, doa, pengorbanan, serta nasihat sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi negeri. Serta Abang Niko Sembiring, SE yang selalu memberikan semangat dan selalu melindungi saya dari kecil hingga sekarang. Saya berharap agar saya selalu dapat membahagiakan kalian.

10. Kepada adik-adik saya Riski Milanta Sembiring, Ahmad Ridho Sembiring, Nur Aini Br Sembiring, Victory Lourdes Sembiring, Gisela Pricilia Ginting, Natasha Br Surbakti yang memberikan penulis keceriaan.

11. Kepada sahabatku Yesy Beby Emelya Siregar yang memberikan semangat dan nasihat kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi. Sampai bertemu sukses setelah tamat S1, harapan saya tidak hanya setelah acc liburan bareng tetapi untuk selanjutnya juga.

(6)

12. Kepada kalian yang entah bagaimana dipertemukan di jurusan ini Rani Gabrella yang setia menunggu dosen pembimbing, Septina Kholida Harahap, dan Dian Khairani Siregar yang telah memberikan banyak cerita selama masa perkuliahan.

13. Kepada sahabatku Vina Adelina Ginting yang memberikan semangat dan nasihat agar secepatnya menyelesaikan skripsi ini serta Bripo Mahendra Surbakti, Nina Grace Ivana Sembiring, Rahel Oktavia Ginting, dan Chyntia Merelyn Sembiring sahabat SMA yang telah memberikan dukungan untuk saya menyelesaikan skripsi dan sampai bertemu sukses.

14. Kepada teman-teman PKL di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karo serta Pengabdian di Desa Tongging.

15. Kepada teman-teman mahasiswa Ilmu Administrasi Publik khususnya angkatan 2015 yang telah mengemban ilmu bersama-sama

16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Akhirnya, penulis berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus agar memberkati semua pihak yang telah membantu penulis serta agar skripsi ini dapat bermanfaat dalam penelitian selanjutnya.

Medan, 2 Juli 2019 Penulis

Emi Br Sembiring

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4.Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Kebijakan Publik ... 8

2.2. Implementasi Kebijakan ... 10

2.3. Model Implementasi Kebijakan ... 13

2.3.1. Menurut Eugene Bardach ... 13

2.3.2. Aktor-aktor Kebijakan ... 18

2.3.3. Hambatan dalam Implementasi Kebijakan ... 19

2.4. Hunian Tetap ... 21

2.5. Pengungsi ... 22

(8)

2.6. Defenisi Konsep ... 23

2.7. Hipotesis Kerja ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1. Bentuk Penelitian ... 25

3.2. Lokasi Penelitian ... 26

3.3. Informan Penelitian ... 26

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 28

3.5. Teknik Analisis Data ... 30

3.6. Teknik Keabsahan Data ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kabupaten Karo ... 34

4.1.1. Kondisi Fisik ... 34

4.1.2. Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Sinabung ... 35

4.2. Gambaran Umum Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo ... 36

4.2.1. Visi dan Misi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo ... 36

4.2.2. Tugas Pokok dan Fungsi BPBD Kabupaten Karo ... 37

4.2.3. Struktur Organisasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo ... 39

4.3. Implementasi Kebijakan Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung ... 42

(9)

4.3.1. Legality ... 47

4.3.2. Political Acceptability ... 50

4.2.3. Robustness under conditions of administrative implementation and improvability ... 57

4.3.3.1. Authority ... 57

4.3.3.2. Instutional Commitment ... 69

4.3.3.3. Capability ... 71

4.3.3.4. Organization support ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 78

5.2. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 83

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Pedoman Observasi

Lampiran 3 Pedoman Dokumentasi

Lampiran 4 Transkrip Wawancara

Lampiran 5 Transkrip Observasi

Lampiran 6 Transkrip Dokumentasi

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Matriks Informan Penelitian Data ... 27

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.2. Struktur Organisasi Badan Penanggulangan Bencana

Daerah Kabupaten Karo ... 41

Gambar 4.3. Dokumentasi Fasilitas Badan Penanggulangan Bencana

Daerah Kabupaten Karo ... 76

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Bencana alam adalah peristiwa yang tidak diketahui kapan akan terjadi serta terjadinya diluar kehendak manusia. Bencana dapat dikatakan memberikan dampak negatif bagi manusia yang bersifat merugikan serta menimbulkan berbagai kebutuhan manusia karena dampak dari bencana tersebut.

Menurut Heru Sri Haryanto (dalam Khambali 2001:3) bahwa bencana adalah terjadinya kerusakan pada pola-pola kehidupan normal, bersifat merugikan kehidupan manusia, struktur sosial serta munculnya kebutuhan manusia.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai busur gunungapi terpanjang di dunia. Indonesia memiliki 127 gunungapi aktif, atau sekitar 13%

gunungapi aktif di dunia terletak di Indonesia, sehingga menjadikan Negara Indonesia sebagai pemilik gunungapi terbanyak di dunia. Seperempat gunungapi di Indonesia berada di utara Busur Sunda yang memanjang dari utara Pulau Sumatera ke arah Laut Banda dengan situasi tektonik yang rumit (dalam Robi Amri, dkk, 2016: 70).

Melihat kondisi di atas dapat dikatakan bahwa Negara Indonesia akan sering mengalami bencana gunung meletus karena gunungapi tersebar di berbagai wilayah Negara Indonesia. Bencana gunung meletus akan sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat terutama di bidang ekonomi. Erupsi dari gunung meletus dapat merusak tanaman masyarakat yang berada di sekitar kaki gunung yang memenuhi kebutuhan mereka dari sektor pertanian.

Di Kabupaten Karo terdapat dua gunungapi aktif, yaitu Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung. Pada 29 Agustus 2010 status Gunung Sinabung naik menjadi tingkat IV Awas (level IV) dan mengakibatkan 12.000 jiwa menggungsi. Sejak

(13)

tanggal 23 September 2010 statusnya diturunkan menjadi Siaga (level III), dan kembali diturunkan menjadi Waspada (level II) pada tanggal 7 Oktober 2010.

Gunung Sinabung yang sebelumnya tidak pernah meletus, tetapi pada 27 hingga 29 Agustus 2010 Gunung Sinabung kembali meletus (https://news.okezone.coom/read/2017/08/03/338/1749263/perjalanan-erupsi- gunung-sinabung-dari-tertidur-hingga-renggut-korban-jiwa diakses pada 15 Januari 2019 pada pukul 07.03 WIB). Erupsi Gunung Sinabung yang terus- menerus terjadi mengakibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar kaki gunung harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Akibatnya masyarakat harus meninggalkan rumah serta harta benda yang mereka miliki. Ada beberapa desa yang tidak dapat ditinggali oleh masyarakat karena terkena dampak yang besar diantaranya Desa Suka Meriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem. Ketiga desa tersebut merupakan desa yang letaknya berada paling dekat dengan Gunung Sinabung. Sehingga erupsi Gunung Sinabung mengakibatkan berbagai kerugian terhadap masyarakat seperti kehilangan mata pencaharian, rumah, harta benda dan lain sebagainya.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memfasilitasi pengungsi Gunung Sinabung. Salah satunya instruksi Presiden Republik Indonesia yang termuat pada Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Satuan Tugas Percepatan Relokasi Korban Terdampak Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara untuk percepatan relokasi pengungsi. Ada tiga desa yang telah dilakukan serah terima rumah, yaitu sebagai berikut :

Tiga desa yang terkena dampak yang besar tertanggal 5 Mei 2015 dilakukan serah terima rumah sebanyak 50 unit untuk Desa Bekerah, tertanggal 5 Desember 2015 dilakukan serah terima rumah sebanyak 130 unit untuk Desa Simacem, dan

(14)

tertanggal 5 Desember 2015 dilakukan serah terima sebanyak 128 unit untuk Desa Suka Meriah yang bertempat di Desa Siosar (Badan Penanggulangan Bencana Daerah. 2015. Berita Acara Serah Terima Rumah.

http://karokab.go.id/id/profil/skpd-karo/4943-badan-penanggulangan-bencana- kabupaten-karo diakses pada 17 Oktober 2018 pada pukul 15.43 WIB).

Selain relokasi yang bertempat di Desa Siosar masih banyak relokasi yang dilakukan untuk desa-desa yang berada di zona merah yang tidak dapat tinggal di rumah mereka. Sehingga untuk menyikapi hal ini maka dilakukan kebijakan relokasi mandiri dengan melakukan pembangunan hunian tetap untuk desa tersebut. Salah relokasi mandiri yang dilakukan adalah pembangunan Hunian Tetap (Huntap) di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat. Hunian adalah salah satu kebutuhan dasar manusia untuk dapat mendukung kehidupan dan melaksanakan kegiatan sehari-hari. Karena kebutuhan dasar manusia selain sandang, pangan termasuk juga papan. Hunian dapat juga disebut sebagai kebutuhan papan didalam kehidupan manusia. Dengan adanya pembangunan hunian tetap bagi pengungsi Gunung Sinabung yang dilakukan pemerintah adalah agar tidak ada lagi pengungsi yang tinggal di posko pengungsian dan jambur-jambur yang selama ini merupakan tempat tinggal pengungsi. Selain itu, hal ini merupakan wujud nyata dari peran pemerintah untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan warga negaranya dengan mempertimbangkan beberapa hal tentunya.

Status Gunungapi Sinabung yang terus-menerus meningkat akan membahayakan masyarakat yang tinggal di sekitar kaki Gunung Sinabung.

Adapun peningkatan status Gunungapi Sinabung berikut ini :

Pada 15 September 2013 pukul 02.51 WIB ditingkatkan stastusnya dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III). Selanjutnya pada 24 November 2013 pukul 10.00 WIB status aktivitas Gunung Sinabung dinaikkan menjadi

(15)

Awas (Level IV), mengakibatkan lebih dari dua puluh ribu jiwa mengungsi.

(dalam Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Gunungapi Sinabung di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara 2015-2017:

II-8 ).

Status Gunung Sinabung pada 4 Februari 2019 dinyatakan masih berada pada tingkat aktivitas level IV (awas) (http://www.kabkaro.go.id/id/gunung- sinabung/status-tanggap-darurat/7662-status-gunung-sinabung-tanggal-04-feb- 2019 diakses pada 8 Februari 2019 pukul 10.24 WIB). Dengan keadaaan seperti ini, maka pemerintah mengambil tindakan untuk melaksanakan pembangunan hunian tetap adalah pilihan yang tepat bagi pemenuhan kebutuhan pengungsi Gunung Sinabung. Namun, setelah delapan tahun meletusnya Gunung Sinabung hingga saat ini masih berasa pada level IV (awas) tetapi masih ada hunian tetap yang belum rampung. Hal ini justru menimbulkan pertanyaan mengapa sampai saat ini hunian tersebut masih belum rampung dan dapat dipastikan bahwa masih ada pengungsi yang belum menerima sehingga tidak dapat menempati hunian tetap tersebut. Serta apabila ada pengungsi yang masih belum menempati hunian tetap apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Hunian yang dilengkapi dengan fasilitas listrik dan kamar mandi merupakan hunian yang dapat ditempati dengan nyaman. Karena listrik pada saat ini sudah menjadi kebutuhan yang paling penting begitupula dengan kamar mandi. Namun, pembangunan huntap di Desa Ndokum Siroga masih memiliki kekurangan sehingga masyarakat pun berunjuk rasa menyampaikan aspirasi mereka.

Dampak bangunan hunian tetap (Huntap) untuk warga asal Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat tidak selesai dan sewa rumah serta bantuan lainnya tak kunjung tuntas dari Pemkab Karo serta kamar mandi, air bersih dan listrik masih belum ada, membuat warga pengungsi berunjuk rasa ke kantor DPRD dan Kantor Bupati Karo. (http://harian.analisadaily.com/sumut/news/warga-

(16)

berastepu-bertekad-tempati-zona-merah/621112/2018/09/21 diakses pada 21 Oktober 2018 pukul 20.57 WIB).

Kurang lebih delapan tahun Gunung Sinabung meletus tetapi kenyataannya hunian tetap masih ada dalam tahap pengerjaan. Sehingga hal ini juga memunculkan pertanyaan lagi, apakah ada masalah anggaran dalam pembangunan hunian tetap yang diperuntukkan bagi pengungsi. Sebenarnya apakah anggaran bagi pembangunan hunian tetap ini telah dikucurkan dari pusat ke pemerintahan daerah karo khusus untuk penganganan bencana Gunung Sinabung atau untuk bencana alam yang terjadi di Kabupaten Karo. Apabila khusus untuk bencana Gunung Sinabung apakah ada kekurangan dana sehingga menyebabkan belum rampungnya hunian tetap tersebut.

Sebanyak 71 kepala keluarga (KK) dari 181 kepala keluarga, bakal mendapatkan huntap, sisanya akan menyusul. Begitu juga beberapa warga di desa lainnya yang masih belum mendapatkan tempat tinggal status direlokasi, diupayakan segera mendapat huntap. (http://harian.analisadaily.com/lintas- daerah/news/warga-berastepu-akan-tempati-huntap/617503/2018/09/14 diakses pada 15 Januari 2019 pukul 09.13 WIB).

Dari hal ini dapat diketahui bahwa sebagian masyarakat telah menempati huntap tetapi masih ada masyarakat yang belum dapat menempati huntap.

Perda yang mengatur kewenangan pemerintah sebaiknya ditetapkan.

Dengan adanya Perda yang ditetapkan pemerintah akan memudahkan pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut. Menimbulkan pertanyaan apakah sudah ada Perda yang mengatur penanggulangan bencana khususnya pembangunan hunian tetap tersebut. Karena dengan adanya Perda pemerintah daerah menjadi memiliki kewenangan serta dapat lebih memiliki ruang untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Ditambah lagi pemerintah dalam menjalankan kebijakan ini apakah sudah mendapatkan dukungan dari berbagai

(17)

pihak yang terkait dalam pembangunan hunian tetap tersebut serta komitmen setiap pihak yang terkait dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Implementasi Kebijakan Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung Di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis menentukan perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : Bagaimana Implementasi Kebijakan Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung Di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo ?

1.3. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan tidak lain untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana Implementasi Kebijakan Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung Di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

(18)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Secara teoritis, menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan, serta bahan dalam penerapan ilmu metode penelitian, khususnya mengenai Implementasi Kebijakan Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung Di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

b. Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dan membutuhkan referensi guna mengetahui Implementasi Kebijakan Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung Di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

c. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi akademisi sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik menjadi bagian penting dalam pemerintahan karena setiap ada pemerintahan sudah pasti ada ditetapkan kebijakan publik. Kebijakan publik dapat dirancang untuk memecahkan masalah yang ada maupun untuk melakukan berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Syafiie (dalam Tahir 2015:20) mendefinisikan kebijakan publik adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah karena akan merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur, inovasi, dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah.

Pendapat dari Syafiie di atas menekankan bahwa kebijakan publik merupakan jawaban dari berbagai permasalahan. Artinya kebijakan publik menjadi solusi untuk mengatasi, memecahkan berbagai masalah yang timbul.

Menurut Nakamura dan Small Wood (dalam Abdul 2012:52) bahwa kebijakan publik adalah serentetan instruksi/perintah dari para pembuat kebijakan yang ditujukan kepada para pelaksana kebijakan yang menjelaskan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dari pernyataan di atas bahwa kebijakan publik menyangkut berbagai hal artinya tidak hanya satu atau dua tetapi serentetan yang menyatakan banyak kebijakan publik yang diatur yang akan dilaksanakan oleh pelaksana kebijakan.

Menurut Grindle (dalam Purwanto, dkk 2015: 16) kebijakan publik berperan sangat penting karena proses penyelenggaraan negara senantiasa

(20)

dilakukan melalui kebijakan publik. Dengan demikian kebijakan publik dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan pemerintah yang memiliki wewenang dalam suatu negara untuk mengurangi serta memecahkan masalah yang timbul di dalam kehidupan warga negara.

2.1.1. Tahapan Pembuatan Kebijakan

Tahapan pembuatan kebijakan dimulai dari perencanaan awal sampai dengan penilaian kebijakan yang telah dilakukan. Setiap tahapan dapat menjadi penentuan keberhasilan dari kebijakan yang dilakukan. Apabila dalam kebijakan publik memperhatikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat, mengambil cara yang tepat untuk mengatasinya serta mengimplemtasikan dengan tepat juga serta dipastikan sesuai dengan nilai yang dianut masyarakat maka kebijakan publik akan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Menurut Dunn (2003 : 24) berikut ini beberapa tahapan dalam pembuatan kebijakan diantaranya :

a. Penyusunan Agenda

Pejabat yang telah dipilih dan diangkat untuk mendapatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu yang lama.

b. Formulasi Kebijakan

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah.

Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.

c. Adopsi Kebijakan

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus diantara lembaga, atau keputusan peradilan.

d. Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan unit-unit administrasi yang memobilisasi sumberdaya finansial dan manusia.

e. Penilaian Kebijakan

Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

(21)

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pemerintah dari setiap lembaga baik eksekutif, legislatif, dan lembaga peradilan harus saling bekerjasama baik dalam perumusan kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, dan implementasi kebijakan dan diminta pertanggungjawaban dari setiap lembaga yang ikut ambil bagian dalam kebijakan tersebut di dalam penilaian kebijakan. Apabila setiap lembaga bekerjasama dan bertanggungjawab dengan tugasnya masing-masing maka sasaran dari kebijakan tersebut akan dapat tercapai, serta permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat akan dapat terselesaikan sehingga masyarakat sebagai warga negara akan terpenuhi haknya dari negara yang menjalankan kewajibannya kepada warga negaranya.

2.2. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan salah satu dari tahapan pembuatan kebijakan. Dapat dikatakan bahwa apabila ada kebijakan publik yang ditetapkan sudah dapat dipastikan akan diikuti dengan implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan memiliki peranan yang penting dalam kebijakan publik karena implementasi disebut juga sebagai pelaksanaan kebijakan. Selain itu, keberhasilan dari kebijakan publik dapat pula diukur dari bagaimana implementasi atau pelaksanaan kebijakan di lapangan yang dilakukan.

Menurut Tachjan (2006: 24) implementasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan.

Pendapat yang disampaikan Tacjhan di atas menyatakan bahwa implementasi kebijakan publik sebelumnya telah disepakati terlebih dahulu, setelah itu dilaksanakan untuk mencapai tujuan.

(22)

Menurut Makmur dan Thahier (dalam Setyawan 2017: 91) menyatakan implementasi kebijakan publik merupakan suatu bentuk proses pemikiran dan tindakan manusia yang direncanakan secara baik, rasional, efisien, dan efektif sebagai upaya mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam berbagai tugas negara atau pemerintah guna menciptakan kesejahteraan bersama berdasarkan pada keadilan dan pemerataan.

Dari pernyataan Makmur dan Thahier di atas menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah buah dari suatu pemikiran yang direncakan dengan sebaik- baiknya dalam berbagai tugas yang dilakukan oleh pemerintah.

Menurut Gordon (dalam Keban 2008: 16) implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program. Dapat dikatakan implementasi kebijakan merupakan kegiatan untuk merealisasikan tujuan-tujuan dari program yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, setiap unit-unit yang bertanggung jawab serta finansial akan mendukung implementasi kebijakan.

Namun, perlu diketahui bahwa betapa hebatnya pun suatu rencana program apabila tidak direalisasikan dengan baik maka program tersebut akan sia-sia.

Implementasi kebijakan dapat disebut sebagai salah satu proses yang paling penting dalam pencapaian tujuan namun, bukan berarti proses yang lain tidak menjadi penting. Ditambahkan oleh Jones (dalam Putra 2003:80) bahwa bahkan mungkin tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan.

2.1.1. Aspek Dalam Implementasi Kebijakan

Dalam implementasi kebijakan tentunya meliputi berbagai aspek agar kebijakan tersebut dapat terlaksana dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Berbagai aspek ini tentunya akan dapat mendukung implementasi kebijakan, misalnya aktor dalam implementasi atau disebut juga sebagai implementor.

(23)

Apabila implementor melaksanakan apa yang menjadi tugasnya dengan menaati aturan hukum dan bertanggungjawab maka hal ini mendukung keberhasilan dari implementasi kebijakan.

Menurut Anderson (dalam Tahir 2015: 56) ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Siapa yang dilibatkan dalam implementasi b. Hakikat proses administrasi

c. Kepatuhan atas suatu kebijakan d. Efek atau dampak dari implementasi

Keempat aspek di atas hendaknya diperhatikan dalam implementasi kebijakan karena keempat aspek tersebut sama-sama pentingnya. Artinya tidak ada aspek yang harus diberikan perhatian yang lebih tetapi keempat aspek harus diberikan perhatian yang penuh.

Ditambahkan oleh Abidin (dalam Mulyadi 2016:26) bahwa dalam proses implementasi ada dua faktor utama, yaitu :

a. Faktor utama internal, yaitu kebijakan yang akan diimplementasikan b. Faktor utama eksternal, yaitu kondisi lingkungan dan pihak-pihak yang

terkait.

Dalam proses implementasi berbagai aspek sangat mempengaruhi dalam keberhasilan dalam pencapaian tujuan, baik dari kebijakan, pihak-pihak yang terkait, dan berbagai aspek lainnya. Apabila sebuah kebijakan dirancang dengan standar dan sasaran yang jelas dan mendapat dukungan dari berbagai pihak yang terkait maka pencapaian tujuan dalam kebijakan dapat diwujudkan dan tidak hanya tertulis dalam lembaran kertas.

(24)

2.3. Model Implementasi Kebijakan

Model implementasi kebijakan dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang dapat mengurangi masalah yang terjadi serta dapat memperbaiki masalah tersebut.

Sinambela (2008: 41) menyatakan bahwa model kebijakan adalah penyederhanaan sistem masalah dengan membantu mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analisis kebijakan. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa dengan adanya model implementasi kebijakan dapat membantu para analisis kebijakan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

2.3.1. Menurut Eugene Bardach

Ada tiga variabel implementasi yang dinyatakan oleh Eugene Bardach (2012:41-42), yaitu sebagai berikut:

1. Legality

Secara singkat legality dapat diartikan bahwa kebijakan seharusnya tidak melangar konstitusi, undang-undang dan hukum. “A feasible policy must not violate constitutional, statutory, or common law rights.

Remember, however, that legal rights are constantly changing and are often ambiguous” (Bardach, Eugene 2012:41). Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa kebijakan yang layak tidak boleh melanggar hak konstitusional, hukum, atau hukum adat. Ingat, bagaimanapun, bahwa hak-hak hukum terus berubah dan seringkali tidak jelas.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan seharusnya tidak melanggar hukum yang berlaku. Misalnya dalam berbagai kebijakan yang dilakukan khususnya di daerah kabupaten, apakah dalam melakukan setiap kebijakan telah ada disusun Perda yang

(25)

mengatur kebijakan tersebut atau tidak. Dari ada tidaknya penyusunan Perda yang dilakukan maka akan dapat diketahui sejauh mana kewenangan dari pemerintahan kabupaten tersebut.

Kriteria legality yang diungkapkan Bardach merupakan suatu tinjauan terhadap suatu kebijakan yang didasarkan tidak adanya pertentangan dengan peraturan yang berlaku dan legal secara hukum.

Berdasarkan asas legalitas, organisasi yang berwenang dalam penanganan penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, yaitu lembaga yang diberi nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan tahun 2014 dibentuklah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 45).

Dari informasi di atas diketahui bahwa BPBD Karo dibentuk sejak tahun 2014, sedangkan Gunung Sinabung erupsi sejak tahun 2010. Setelah dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo apakah sudah menjalankan tugas dan fungsinya dalam penanggulangan bencana Gunung Sinabung.

2. Political Acceptability

Dalam political acceptability ada dua kondisi yang dapat terjadi, yaitu banyaknya oposisi dan sedikitnya dukungan dari kebijakan yang akan dilakukan.

“A feasible policy must be politically acceptable, or at least not unacceptable. Political unacceptability is a combination of two conditions: too much opposition (which may be wide or intense or both) and/or too little support (which may be insufficiently broad or insufficiently intense or both)” (Bardach, Eugene 2012:41).

Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa kebijakan yang layak harus dapat diterima secara politik, atau setidaknya tidak dapat diterima. Politik yang tidak dapat diterima adalah kombinasi dari dua kondisi: terlalu banyak oposisi (yang mungkin luas atau intens atau keduanya) dan / atau

(26)

terlalu sedikit dukungan (yang mungkin tidak cukup luas atau tidak cukup intens atau keduanya). Misalnya dalam berbagai kebijakan yang dilakukan khususnya di daerah kabupaten bagaimana setiap lembaga maupun pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan tersebut, apakah telah benar-benar memberikan dukungan atau tidak.

Bardach (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 :49) mengungkapkan bahwa “All policy is political, whether the politics takes place in a back room or within a legislature, an organization, or a community. You must build support and neutralize opponents. To do this, at the interpersonal level, you must make arguments, frame and reframe „the facts,‟ call in favors, imply threats. At the organizational and institutional levels, you must mobilize allies, manipulate arenas and calendars, offer (and extract) concessions, and negotiate side-payments.” Pengungkapan ini dapat diartikan, yaitu semua kebijakan politik, yang berlangsung dengan peran legislatif, organisasi, atau komunitas dan harus mendukung serta menetralisir pihak-pihak yang tidak sependapat. Untuk melakukan hal ini secara interpersonal, harus membuat argumen, kerangka kerja berdasarkan fakta. Pada tingkat organisasi dan kelembagaan memobilisasi dukungan dan bernegosiasi dengan kelompok kepentingan maupun alokasi anggaran biaya.

Dari pernyataan di atas maka dalam setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah setiap lembaga maupun organisasi harus saling bekerjasama dan mendukung setiap kebijakan yang dilakukan untuk pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Tidak hanya dukungan politik dari berbagai lembaga dan organisasi, hal yang tidak kalah penting adalah anggaran yang dikucurkan untuk mendukung kebijakan tersebut juga harus dilakukan.

3. Robustness under conditions of administrative implementation and improvability

“Policy ideas that sound great in theory often fail under conditions of field implementation. Policies that emerge in practice can diverge,

(27)

even substantially, from policies as designed and adopted” (dalam Bardach, Eugene 2012:42). Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa gagasan kebijakan yang kedengarannya hebat dalam teori sering gagal dalam implementasi di lapangan. Kebijakan yang muncul dalam praktik dapat menyimpang, bahkan secara substansial, dari kebijakan yang dirancang dan diadopsi. Artinya, segala sesuatu dapat tidak sejalan dengan apa yang telah direncanakan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

Robustness under conditions of administrative implementation and improvability dapat dilihat dari empat hal, yaitu authority, instutional commitment, capability dan organization support (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 56-69).

a. Authority

Authority atau kewenangan bagi suatu lembaga untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo yang dibentuk pada tahun 2014 lalu, apakah sudah memiliki kewenangan yang sesuai dengan tugas dan tanggungjawab Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo tersebut.

Kewenangan tersebut sangat penting sebab tidak semua pelakasanaan tugas Badan Penangulanggan Bencana Daerah Karo berjalan efektif seperti yang direncanakan (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 56).

(28)

b. Instutional Commitment

Komitmen kelembagaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sangatlah penting agar apa yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya dapat tercapai.

Komitmen kelembagaan (instutional commitment) merupakan kesiapan memenuhi kebutuhan yang menjadi tugas-tugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 69).

Dalam hal ini berarti Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo harus mengerti terlebih dahulu apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab lembaga tersebut dalam penanggulangan bencana, sehingga dalam pelaksanaan penanggulangan bencana dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan.

c. Capability

Capability atau dapat diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam menjalankan tugasnya.

Menurut Katz (dalam Noor 2013: 43) ada tiga jenis dasar keterampilan, yaitu :

i. Keterampilan teknis (technical skill) adalah kemampuan untuk menjalankan suatu pekerjaan tertentu.

ii. Keterampilan manusiawi (human skill) adalah keterampilan berkomunikasi atau keterampilan berhubungan dengan orang lain.

iii. Keterampilan konseptual (conseptual skill) adalah keterampilan untuk membuat konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan organisasi.

(29)

Dalam hal ini bagaimana kemampuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo melaksanakan tugasnya sesuai dengan kebijakan yang diatur.

d. Organization Support

Organization support atau dapat diartikan sebagai dukungan organisasi bagaimana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dengan berbagai fasilitas yang dapat mendukung dalam penanggulangan bencana gunung meletus.

Dukungan organisasi yang dimaksud adalah bagaimana organisasi dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo dapat menopang penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung di wilayahnya. Seperti peralatan yang dimiliki, fasilitas fisik dan layanan kebencanaan yang diberikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo kepada masyarakat (dalam Sihombing, Tunggul dan Asima Yanty Sylvania Siahaan, 2017 : 69).

2.3.2. Aktor-Aktor Implementasi

Aktor-aktor implementasi atau yang disebut juga sebagai implementor merupakan salah satu hal yang penting dalam implementasi kebijakan.

Implementor adalah pihak yang melaksanakan implementasi kebijakan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Anderson; Lester dan Stewart (dalam Kusumanegara 2010: 100) berikut ini adalah aktor-aktor implementasi diantaranya :

a. Birokrasi

Birokrasi mempunyai wewenang yang besar untuk menguasai “area”

implementasi kebijakan dalam wilayah operasinya karena mereka mendapat mandat dari lembaga legislatif.

b. Badan Legislatif

Badan legislatif terlibat dalam implementasi kebijakan ketika mereka ikut menentukan berbagai peraturan yang spesifik dan mendetail.

c. Lembaga Peradilan

(30)

Lembaga peradilan terlibat dalam implementasi kebijakan ketika muncul tuntutan masyarakat atas kebijakan tertentu yang implementasinya dianggap merugikan masyarakat sehingga menjadi perkara hukum.

d. Kelompok Kepentingan/Penekan

Kelompok kepentingan menekan kebijakan pemerintah dimaksudkan agar mereka memperoleh keuntungan dengan adanya implementasi program tertentu.

e. Organisasi Komunitas

Program-program yang dirancang untuk melaksanakan kebijakan- kebijakan politik yang pro pembangunan masyarakat maka masyarakat baik secara individual maupun kelompok akan terlibat dalam implementasi program tersebut.

Baik birokrasi, badan legislatif, lembaga peradilan, kelompok kepentingan, serta organisasi komunitas harus memiliki pemikiran yang sama, misalnya sasaran dari suatu kebijakan adalah masyarakat yang terkena bencana. Maka kelima aktor implementasi tersebut harus memastikan bahwa memang benar kebijakan tersebut telah tepat sasaran, terlepas dari kelompok kepentingan yang ingin memperoleh image yang baik dari masyarakat.

2.3.3. Hambatan dalam Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan tidaklah mudah untuk dilakukan, bahkan tidak jarang kebijakan yang sudah dirancang dengan sebaik-baiknya tidak dapat diimplementasikan sehebat dari rancangan tersebut sehingga hanya menjadi tulisan di atas kertas saja. Berbagai faktor mempengaruhi implementasi kebijakan sehingga ada kebijakan yang berhasil dan ada juga kebijakan yang gagal.

Menurut Gow dan Mors (dalam Keban 2008:78) ada sembilan hambatan dalam implementasi kebijakan adalah :

1. Hambatan politik, ekonomi, dan lingkungan. Dalam hal politik misalnya seringkali didapati benturan kepentingan yang mengakibatkan adanya kepentingan yang terabaikan.

2. Kelemahan institusi. Seringkali di lapangan didapati bahwa banyaknya kelemahan suatu institusi untuk menjalankan program.

(31)

3. Ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administratif. SDM yang masih lemah dalam teknis dan administratif sehingga mempersulit pengimplementasian program.

4. Kekurangan dalam bantuan teknis. SDM yang kurang menguasai teknis namun hal ini tidak segera ditangani dengan kata lain pemberikan bantuan- bantuan teknis minim.

5. Kurangnya desentralisasi dan partisipasi. Partisipasi dalam implementasi kebijakan baik pemerintah maupun setiap pihak yang terkena dampak dalam kebijakan tersebut masih sangat minim.

6. Pengaturan waktu. Pengaturan waktu yang masih belum tepat dan disiplin.

7. Sistem informasi yang kurang mendukung. Sistem informasi kurang mendukung dapat juga diakibatkan karena kekurangan sarana dan fasilitas yang memadai.

8. Perbedaan agenda tujuan antara aktor. Perbedaan ini menyebabkan adanya kesulitan dalam pengambilan keputusan ataupun akan sulit dalam implementasi kebijakan apabila adanya perbedaan pandangan.

9. Dukungan yang berkesinambungan. Dukungan yang berkesinambungan dalam implementasi program tidak berlanjut sehingga menyebabkan adanya hambatan-hambatan.

Hambatan-hambatan muncul karena banyaknya kekurangan yang terjadi di lapangan, baik dari lingkungan, institusi, sumber daya manusia, sistem informasi dan sebagainya yang berdampak kurang baik bagi implementasi kebijakan.

Dengan demikian, perlu kiranya melakukan berbagai perbaikan agar kelemahan- kelemahan yang menjadi hambatan tersebut diminimalisir atau bahkan dihilangkan dengan berbagai upaya. Misalnya dalam suatu institusi tidak memiliki sarana dan fasilitas sistem informasi, namun dalam melaksanakan tugas membutuhkan hal tersebut. Maka institusi harus tanggap dan memenuhi fasilitas tersebut.

Menurut Anderson (dalam Suaib 2016:94) menyatakan ada beberapa faktor penyebab mengapa orang tidak melaksanakan suatu kebijakan publik, sebagai berikut :

a. Kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai masyarakat, b. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum,

c. Keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan atau kelompok,

(32)

d. Keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat, e. Adanya ketidakpastian hukum.

Dari pernyataan di atas bahwa karena adanya perbedaan kebijakan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Sehingga hal ini dapat menjadi masukan bagi implementor agar memperhatikan sistem nilai masyarakat terlebih dahulu setelah itu menetapkan kebijakan. Agar kebijakan yang dilaksanakan dapat berjalan karena masyarakat merasakan manfaat dan tidak bertentangan dengan sistem nilai yang dianut. Ketidakpatuhan terhadap hukum, ketidakpastian hukum merupakan permasalahan yang seringkali terjadi, adanya keterpaksaan yang dialami seseorang dalam suatu kelompok sehingga ia tidak patuh dalam pelaksanaan kebijakan publik dan keinginan hanya untuk mencari keuntungan.

Sehingga dengan begitu, ketegasan dalam penetapan hukum harus lebih ditingkatkan lagi untuk memastikan tidak akan ada lagi pihak yang melanggar hukum. Apabila kebijakan publik dapat berjalan dengan lancar maka hal tersebut dapat mendatangakan hal yang baik pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.4. Hunian Tetap

Menurut Permana (dalam Badan Arkeologi Palembang 2013:314) menyatakan hunian adalah sebagai suatu unit tempat tinggal sekelompok warga masyarakat dalam suatu lingkungan tertentu. Pendapat Permana di atas menyatakan bahwa hunian adalah tempat tinggal warga di lokasi tertentu.

Menurut Purwanti (dalam Badan Arkeologi Palembang 2013:313) hunian adalah tempat tinggal manusia (komunitas) di suatu lokasi tertentu. Sehingga hunian dapat diartikan sebagai tempat tinggal yang ditempati oleh masyarakat

(33)

untuk dapat menunjang aktivitas sehari-hari yang terletak di lokasi tertentu.

Hunian tetap adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka pengadaan rumah bagi pengungsi Gunung Sinabung dikarekan rumah mereka berada di zona merah yang tidak dapat ditinggali oleh masyarakat.

2.5. Pengungsi

Pengungsi adalah sebutan bagi orang maupun sekelompok yang sedang mengalami musibah baik bencana alam maupun sedang mengalami keadaan darurat seperti perang, sehingga harus pergi mengungsi untuk menyelamatkan nyawa mereka. Dapat dikatakan bahwa keadaan lingkungan memaksa mereka untuk mengungsi dan mencari tempat yang lebih aman.

Menurut Yus Badudu dalam Wagiman (2012 : 97) pengungsi diartikan sebagai orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada bahaya yang mengancam. Dari pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang harus meninggalkan rumah, ladang, serta tempat tinggal mereka karena terjadinya bencana alam ataupun keadaan lingkungan yang berbahaya dan tinggal atau menetap di suatu tempat yang lebih aman dengan jangka waktu yang tidak diketahui.

Dalam Wagiman (2012:99) dinyatakan ada dua jenis pengungsi, yaitu :

a. Pengungsi internal, yaitu pengungsi yang keluar dari wilayah tertentu dan menempati wilayah lain tetapi masih dalam satu daerah kekuasaan satu negara.

b. Pengungsi lintas batas, yaitu pengungsi yang mengungsi ke negara lain.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengungsi yang terkena dampak letusan Gunung Sinabung termasuk ke jenis pengungsi internal, dikarenakan pengungsi

(34)

hanya berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya tanpa melewati batas negara.

2.6. Definisi Konsep

Penetuan defenisi konsep akan dapat memudahkan penulis dalam melakukan penelitian di lapangan, yaitu dengan menuliskan secara sederhana apa yang menjadi perhatian dalam penelitian. Sehingga perlu kiranya ditetapkan defenisi konsep dalam penelitian ini.

Menurut Singarimbun dan Effendi (1995:33) mendefinisikan konsep sebagai istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.

Adapun definisi konsep dari penelitian ini adalah :

1. Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan dalam proses kebijakan publik yang diartikan sebagai pelaksanaan dari kebijakan publik untuk mengatasi maupun mengurangi permasalahan publik yang dialami oleh warga negara yang sebelumnya telah ada hukum atau peraturan yang mengatur kebijakan tersebut dengan dukungan politik dari berbagai pihak serta komitmen setiap pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan tersebut. Seperti halnya dalam pengimplementasian pembangunan hunian tetap di Desa Ndokum Siroga dapat ditinjau dari tiga variabel implementasi, yaitu legality, political acceptability, dan robustness under conditions of administrative implementation and improvability.

2. Hunian Tetap adalah tempat tinggal yang dibangun oleh pemerintah yang ditujukan untuk pengungsi Gunung Sinabung sehingga dengan pembangunan hunian tetap di Desa Ndokum Siroga tidak ada lagi

(35)

masyarakat yang tinggal di posko pengungsian dan masyarakat dapat tinggal di rumah yang setidaknya kondisinya lebih baik daripada posko pengungsian.

3. Pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal, rumah dan harta benda yang salah satunya faktor penyebabnya, yaitu bencana alam. Begitu pula akibat dari meletusnya Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, sehingga masyarakat yang terkena dampak letusan gunungapi disebut juga pengungsi harus mencari tempat yang lebih aman dan menjauh dari zona bahaya.

2.7. Hipotesis Kerja

Hipotesis kerja disusun berdasarkan teori yang dipandang cocok dengan penelitian ini sehingga akan menjadi pedoman dalam penelitian yang akan dilakukan di lapangan. Oleh sebab itu, penulis menetapkan hipotesis kerja dalam penelitian ini, yaitu Implementasi Pembangunan Hunian Tetap Pengungsi Gunung Sinabung di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo terkait dengan tiga variabel yang diungkapkan oleh Bardach, yaitu legality, political acceptability, dan robustness under conditions of administrative implementation and improvability.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Bentuk Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan fenomena secara mendalam melalui pengumpulan data dan informasi. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Sujarweni 2017:19) bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Artinya, penelitian kualitatif merupakan hal-hal yang dilihat secara langsung di lapangan termasuk ucapan dan perilaku seseorang.

Menurut Moleong (2005:6) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Dapat dikatakan bahwa data penelitian kualitatif diperoleh dari pengamatan yang dilakukan pada kelompok maupun organisasi tentang bagaimana sikap, kegiatan serta situasi yang terjadi di lapangan.

Dengan demikian, bentuk penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan data dan informasi mengenai legality, political acceptability, dan robustness under conditions of administrative implementation and improvability untuk mendeskripsikan pengimplementasian pembangunan hunian tetap pengungsi Gunung Sinabung di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

(37)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Ndokum Siroga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Adapun alasan peneliti melakukan penelitian di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo karena di lokasi tersebut dilakukan pembangunan hunian tetap berjumlah empat di lokasi berbeda tetapi masih dalam wilayah Desa Ndokum Siroga untuk pengungsi Gunung Sinabung. Keempat hunian tetap tersebut adalah Huntap Gajah, Huntap Surbakti, Huntap Keci-Keci I, dan Huntap Keci-Keci II. Dari keempat pembangunan hunian tetap tersebut masih ada yang belum rampung, yaitu Huntap Keci-Keci II. Hal ini justru menimbulkan pertanyaan mengapa sejak tahun 2010 Gunung Sinabung mulai erupsi hingga sekarang tahun 2019 hunian tetap untuk pengungsi Gunung Sinabung belum rampung.

1.3. Informan Penelitian

Dalam penelitian kualitatif adanya informan penelitian dapat membantu peneliti dalam memperoleh berbagai data dan informasi yang dibutuhkan.

Penentuan informan penelitian ditentukan berdasarkan apa yang akan diteliti artinya, informan penelitian ditetapkan merupakan orang yang memiliki pengetahuan tentang apa yang ingin diteliti serta dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

Menurut Moleong (2005: 132) informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dapat dikatakan bahwa informan penelitian memiliki pandangan tertentu terhadap suatu peristiwa dan bersedia memberikan informasi dengan jujur kepada peneliti.

Peneliti menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dipilih atas dasar pertimbangan informan yang mengalami langsung situasi dalam implementasi

(38)

kebijakan pembangunan hunian tetap pengungsi Gunung Sinabung di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

Tabel 3.1. Matriks Informan Penelitian

No. Informan Jenis Informasi Yang

Dibutuhkan Metode Jumlah

1 Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Karo

1. Infomasi tentang Legality

2. Infomasi tentang Political Acceptability 4. Infomasi tentang

Robustness under conditions of administrative

implementation and improvability

Wawancara 1

2 DPRD Kabupaten Karo

Wawancara 5

4 Pegawai BPBD Kabupaten Karo

Wawancara 5

5 Masyarakat yang menetap

di hunian tetap di Desa

Ndokum Siroga

Informasi terkait dengan tanggapan masyarakat tentang bagaimana implementasi pembangunan hunian tetap di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

Wawancara 8

Total Informan 19

(39)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan hal yang harus diketahui oleh seorang peneliti agar dapat mendapatkan data yang sesuai. Dengan metode pengumpulan data yang benar dalam penelitian yang dilakukan akan menghasilkan data dengan kredibilitas tinggi. Adapun teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Observasi

Observasi dilakukan peneliti dengan terjun langsung ke lapangan guna memperoleh data dan infomasi yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian. Sehingga observasi merupakan suatu cara yang termasuk penting untuk peneliti agar dapat menyelesaikan penelitiannya.Menurut Nasution (dalam Sugiyono 2014:226) observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan, ilmuwan dapat bekerja berdasarkan data yang diperoleh melalui observasi.

Menurut Bungin (dalam Sujarweni 2017:33) ada beberapa bentuk observasi, yaitu :

a. Observasi partisipan adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan dimana peneliti terlibat dalam keseharian informan.

b. Observasi tidak terstruktur adalah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan.

c. Observasi kelompok adalah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap suatu isu yang diangkat menjadi objek penelitian.

Sebelum terjun langsung ke lapangan, peneliti terlebih dahulu menyusun pedoman observasi. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dan peneliti dapat menentukan fokus dari observasi yang akan dilakukan.

(40)

2. Wawancara

Wawancara dapat juga dikatakan sebagai tanya jawab yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan membicarakan suatu isu atau topik yang menarik untuk diteliti. Dengan melakukan wawancara maka peneliti dapat memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan untuk melengkapi hasil penelitian.

Adapun langkah-langkah wawancara menurut Lincoln dan Guba (dalam Sugiyono 2014:235), yaitu :

a. Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan

b. Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan

c. Mengawali atau membuka alur wawancara d. Melangsungkan alur wawancara

e. Mengkonfirmasi ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya f. Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan

g. Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh Langkah-langkah dalam wawancara hendaknya diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti agar wawancara yang dilakukan terfokus pada apa yang hendak diteliti.

Menurut Yunus (dalam Sujarweni 2017:31) ada beberapa tahapan agar wawancara dapat berjalan dengan efektif, yaitu:

a. Mengenalkan diri

b. Menjelaskan maksud kedatangan c. Menjelaskan materi wawancara d. Mengajukan pertanyaan

Wawancara yang akan dilakukan dengan berbagai pihak hendaknya mengikuti tahapan yang tertera di atas. Perkenalan diri dirasa penting agar lebih dekat dengan narasumber. Begitu pula menjelaskan maksud

(41)

kedatangan dan menjelaskan materi wawancara agar narasumber dapat menjawab pertanyaan yang diajukan dengan jujur.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu menyusun pedoman wawancara. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dan memperlancar wawancara yang akan dilakukan peneliti dalam melengkapi data dan informasi yang dibutuhkan.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dapat diperoleh peneliti setelah terjun langsung ke lapangan tempat penelitian dilakukan. Dalam penelitian kualitatif studi dokumentasi dapat mendukung kelengkapan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

Menurut Sujarweni (2017:33) mengatakan bahwa studi dokumentasi adalah metode pengumpulan data kualitatif dengan sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian data berbentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan, dokumen pemerintah, data di server, data tersimpan di website dan sebagainya.

Sebelum melakukan studi dokumentasi, peneliti terlebih dahulu menyusun pedoman studi dokumentasi. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam melakukan studi dokumentasi sehingga peneliti dapat melengkapi data dan informasi yang dibutuhkan.

3.5. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan pada saat pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan data dalam waktu tertentu.

Miles dan Huberman (dalam Sugiyono 2014:246) mengemukakan bahwa aktivitas

(42)

dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sampai datanya jenuh. Artinya, analisis data tidak cukup hanya sekali dilakukan tetapi berulang kali sampai data yang diperoleh sudah benar-benar lengkap dan tuntas.

Menurut Moleong (2005:280) analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data.

Sehingga dapat dikatakan bahwa analisis data merupakan kegiatan yang dilakukan peneliti untuk menemukan data yang diinginkan yang dapat mendukung penelitian yang sedang dilakukan.

Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data menurut Sugiyono (2014:247), yaitu :

1. Reduksi Data

Reduksi data dapat dilakukan dengan merangkum dan berfokus pada apa saja hal yang penting serta mencari tema dan pola untuk memudahkan peneliti dalam pengumpulan data dan informasi di dalam penelitian yang dilakukan.

2. Penyajian Data

Penyajian data dalam penelitian kualitatif dapat berbentuk bagan maupun uraian singkat dalam bentuk naratif untuk mendeskripsikan data dan informasi yang diperoleh oleh peneliti.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan Kesimpulan dalam penelitian kualitatif didukung oleh data dan informasi yang telah diperoleh saat melakukan penelitian di lapangan sehingga kesimpulan yang dikemukakan peneliti merupakan kesimpulan yang valid dan kredibel.

Teknik analisis data yang disampaikan di atas dikatakan bahwa hal yang pertama sekali dilakukan oleh peneliti adalah pengumpulan data dan informasi untuk mendukung penelitian yang dilakukan yang disebut dengan reduksi data.

Selanjutnya, setelah data dan informasi dianggap cukup untuk menjawab penelitian maka dilanjutkan ke tahap penyajian data, yaitu mendeskripsikan data

(43)

dan informasi dalam bentuk narasi maupun bagan. Setelah itu, dilakukan penarikan kesimpulan, yaitu data dan informasi yang benar-benar diperoleh di lapangan disimpulkan sehingga akan menghasilkan simpulan yang valid.

3.6. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data dilakukan untuk memastikan data dan informasi yang diperoleh peneliti saat melakukan penelitian di lapangan adalah data dan informasi yang dituliskan di dalam penelitian tersebut. Selain itu, data dan informasi yang dituliskan tersebut harus dipastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan.

Menurut Sugiyono (2014 : 267) dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Serta dalam penelitian kualitatif, suatu realitas itu bersifat majemuk/gansa, dinamis/selalu berubah, sehingga tidak ada yang konsisten, berulang seperti semula. Oleh sebab itu, keabsahan data suatu penelitian menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan merupakan data yang valid sehingga tidak merugikan berbagai pihak yang terkait.

Triangulasi data adalah pemeriksaan data dengan membandingkan data yang diperoleh dengan berbagai sumber lain. Ada lima jenis triangulasi data yang disebutkan oleh Wirawan (2011: 156), yaitu :

1. Triangulasi data

Triangulasi data adalah mempergunakan berbagai sumber data/informasi. Dalam teknik triangulasi ini adalah mengelompokkan para pemangku kepentingan program dan mempergunakannya sebagai sumber data/informasi.

2. Triangulasi peneliti

Dalam teknik triangulasi ini dipergunakan sejumlah evaluator atau tim evaluator dalam satu proyek evaluasi. Para evaluator mempergunakan metode kualitatif yang sama, misalnya wawancara, observasi, studi kasus, kelompok fokus atau informan kunci.

3. Triangulasi teori

(44)

Triangulasi teori adalah penelitian dengan mempergunakan berbagai profesional dengan berbagai latar belakang ilmu pengetahuan untuk menilai suatu set data/informasi.

4. Triangulasi metode

Triangulasi metode adalah pemakaian berbagai metode-metode kuantitatif dan/atau metode kualitatif untuk mengevaluasi program.

Triangulasi metode merupakan triangulasi yang banyak diterapkan karena akan menghasilkan informasi yang kaya, rinci, dan valid. Akan tetapi, triangulasi ini memerlukan banyak sumber dan waktu penelitian.

5. Triangulasi lingkungan

Triangulasi jenis ini mempergunakan berbagai lokasi yang berbeda, altar, dan faktor-faktor lainnya yang berhubungan dengan lingkungan di mana penelitian mengambil tempat seperti waktu suatu hari, hari suatu minggu atau musim dalam suatu tahun.

Dalam penelitian ini menggunakan teknik keabsahan data triangulasi data dan triangulasi teori. Triangulasi data dilakukan dengan mencari informasi dari berbagai pihak baik dari BPBD, DPRD, dan masyarakat. Triangulasi teori digunakan untuk mendeskripsikan bagaimana implementasi kebijakan pembangunan hunian tetap di Desa Ndokum Siroga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai pihak.

(45)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kabupaten Karo

Dataran tinggi Karo merupakan dataran tinggi terluas di Indonesia.

Gunungapi Sinabung dan Gunungapi Sibayak adalah dua gunung berapi aktif di Dataran Tinggi Karo dan menjadi puncak tertinggi di Provinsi Sumatera Utara.

4.1.1. Kondisi Fisik

Gunungapi Sinabung dengan tinggi 2.460 meter diatas permukaan laut (dpl) terletak di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Setelah 400 tahun dalam keadaan stabil (semenjak tahun 1605), Gunungapi Sinabung aktif kembali pada tahun 1975-1976 dengan erupsi yang kecil. Erupsi besar terjadi pada tanggal 29 Agustus 2010 dimana status Gunungapi naik menjadi Awas (level IV) dan

mengakibatkan 12.000 jiwa mengungsi.

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan dan merupakan Daerah Hulu Sungai. Luas wilayah Kabupaten Karo adalah 2.127,25 km2 atau 2,97 persen dari luas Provinsi Sumatera Utara dan secara geografis terletak diantara 2°50’-3°19’ Lintang Utara dan 97°55’-98°38’ Bujur Timur. Batas-batas wilayah Kabupaten Karo adalah :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir

(46)

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara

(Provinsi Aceh).

Penggunaan lahan terbesar di sekitar Gunungapi Sinabung adalah untuk pertanian, baik berupa sawah maupun non-sawah.

4.1.2. Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Sinabung

PVMBG telah menetapkan Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunungapi Sinabung dibagi dalam tiga tingkat kerawanan, sebagai berikut:

a. Kawasan Rawan Bencana III (KRB III)

KRB III adalah kawasan yang terletak dalam radius 0-2 km dari puncak Gunungapi Sinabung dan dinyatakan dekat dengan sumber bahaya. Kawasan ini sangat berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu (pijar) berdiameter lebih besar dari 6 cm dan hujan abu lebat.

b. Kawasan Rawan Bencana II (KRB II)

KRB II adalah kawasan ring tengah yang berada dalam radius 2-5 km dari puncak Gunungapi Sinabung. Kawasan ini juga berpotensi terkena lontaran batu pijar yang berdiameter antara 2-6 cm, hujan abu lebat, awan panas, aliran lava, dan guguran lava-lava serta gas beracun.

Gambar

Tabel 3.1. Matriks Informan Penelitian
Gambar 4.2. Struktur Organisasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah  Kabupaten Karo
Gambar 4.3. Fasilitas BPBD Kabupaten Karo

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan produksi Tomat didaerah penelitian sebelum dan sesudah Erupsi gunung Sinabung, untuk menganalisi kinerja

Skema Kerangka Pemikiran Dampak Erupsi Gunung Sinabung Terhadap Jumlah Sayur Mayur Yang Ditawarkan (Kentang, Brokoli,

Penggunaan dan Biaya Bibit/Benih per Tahun Pada Sayur-mayur (Kentang, Brokoli, dan Sawi) Sesudah Erupsi Gunung Sinabung di Daerah Penelitian..

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan produksi Tomat didaerah penelitian sebelum dan sesudah Erupsi gunung Sinabung, untuk menganalisi kinerja

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan produksi Tomat didaerah penelitian sebelum dan sesudah Erupsi gunung Sinabung, untuk menganalisi kinerja

Maka untuk melihat dampak dari musibah erupsi gunung Sinabung terhadap petani karo akan dibandingakan kinerja sistem agribisnis tomat dan pendapatan usahatani tomat sebelum

(Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Relokasi Mandiri Korban Erupsi Gunung Sinabung , dapat..

16 Produksi, Penerimaan, Total Biaya dan Pendapatan Per Petani dan Per Ha di Daerah Tidak Terkena Dampak Erupsi Gunung Sinabung Selama 1 Musim Tanam. 17 Hasil Output SPSS Uji