• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan dan menambah keilmuan dalam bidang Administrasi Publik khususnya yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah.

2. Secara akademik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan secara akademik dan menjadi referensi tambahan dalam kajian

keilmuan khususnya dalam bidang Administrasi Publik.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menyumbangkan beberapa masukan dan saran dalam hal memahami dan solusi terhadap persoalan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah saat ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Maka untuk menunjang penelitian praktik kerja lapangan ini memerlukan beberapa teori yang dapat dipakai agar lebih relevan sebagai panduan penelitian dan penyelarasannya dengan apa yang terjadi di lapangan.

2.1 Kebijakan Publik

Dalam menjalankan suatu pemerintahan, sering ditemukan beragam permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang memandang masyarakat sebagai pelaku utama sehingga pemerintah akan berusaha mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu pemerintah sebagai pengelola negara juga bertugas mengontrol ketertiban dan menjamin kehidupan sosial. Adapun solusi yang diberikan pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah publik yaitu dengan mengeluarkan sebuah kebijakan publik. Disinilah kebijakan publik memiliki peran aktif yang tidak lain adalah untuk memecahkan masalah-masalah publik agar dapat diselesaikan dengan baik.

Wahyudi, dkk (dalam Setyawan, 2017:18) mengatakan bahwa kebijakan publik merupakan produk hukum yang berupa aturan-aturan mengenai pernyataan, himbauan atau ajakan yang dilakukan pemerintah terhadap warganya.

Kebijakan ini nantinya memberikan dampak bagi warganya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut James E. Anderson (dalam Subarsono, 2005:2) mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah. Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan , dan sebagainya. Menurut Friendrich (dalam Wahab, 2016:9) ia menyatakan bahwa:

“kebijakan publik itu ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang disusulkan oleh seseorang, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.’’

Dari defenisi di atas dapat diketahui bahwa kebijakan publik merupakan produk pemerintah berupa peraturan-peraturan yang dibuat oleh sekelompok orang maupun masyarakat untuk di patuhi dan dilaksanakan sesuai dengan hukum dan nilai yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan.

Menurut Denhardt & Denhardt tentang New Public Service menegaskan bahwa, pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur, dan akuntabel. Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga masyarakat dan memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat. (Denhardt & Gray, 1998).

Keberhasilan penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan publik yang minimal memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan realitas dalam

mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel..

Ada sepuluh dimensi untuk mengukur keberhasilan tersebut :

1. Tangable; yang menekankan pada penyediaan fasilitas, fisik, peralatan,personil, dan komunikasi.

2. Reability; adalah kemampuan unit pelayanan untuk menciptakan yang dijanjikan dengan tepat.

3. Responsiveness; kemauan untuk membantu para provider untuk bertanggungjawab terhadap mutu layanan yang diberikan.

4. Competence; tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan.

5. Courtessy; sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan pelanggan serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.

6. Credibility; sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat.

7. Security; jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas dari bahaya dan resiko.

8. Acces; terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan.

9. Communication; kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan, atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.

10. Understanding the customer; melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.

2.2 Konsep Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan proses dari kebijakan publik (public policy process) sekaligus studi yang sangat crucial.

Bersifat crusial karena, bagaimanapun baiknya suatu kebijakan, kalau tidak dipersiapkan dan direncankan secara baik dalam implementasinya, maka tujuan kebiajkan tidak akan bisa diwujudkan. Demikian pula sebaliknya, bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan imlementasi kebijakan, kalau tidak dirumuskan dengan baik maka tujuan kebijakan juga tidak akan bisa diwujudkan.

Dengan demikian, kalau menghendaki tujuan kebijakan dapat dicapai dengan baik, maka bukan saja pada tahap implementasi yang harus dipersiapkan dan

direncanakan dengan baik, tetapi juga pada tahap perumusan atau pembuat kebijakan juga telah diantisipasi untuk dapat di implementasikan.

Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab, 2004:65) menyatakan bahwa:

”Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu- individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Jika sebuah kebijakan diambil secara tepat maka kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi jika proses implementasinya tidak tepat. Bahkan jika sebuah kebijakan yang cemerlang sekalipun jika diimplementasikan buruk bisa gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya (Tangkilisin, 2003:1).

Implementasi kebijakan dipahami juga sebagai suatu proses, output, dan outcome. Implementasi dapat dikonseptualisasikan sebagai proses karena di dalamnya terjadi beberapa rangkaian aktivitas yang berkelanjutan. Implementasi sebagai output melihat apakah aktivitas dalam rangka mencapai tujuan program telah sesuai dengan arahan implementasi sebelumnya atau bahkan mengalami penyimpangan-penyimpangan. Akhirnya implementasi juga dikonseptualisasikan sebagai outcomes. Kajian implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Pengkajian mengenai tahap implementasi kebijakan merupakan bagian penting dalam proses kebijakan. Dari proses pengimplementasian kebijakan ini akan menuntut sebuah konsekuensi- kosenkuensi pengimplementasiannya yang tidak tepat, sehingga akan menunjukkan hasil yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh pembuat keputusan.

2.2.1 Model Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah suatu proses mengubah gagasan menjadi tindakan oleh para aktor kebijakan melalui prosedur yang telah ditentukan sebelumnya demi mencapai hasil berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah suatu kebijakan itu efektif dan efisien dalam pencapain tujuan, dapat dilakukan dengan analisis implementasi melalui model-model implementasi kebijakan.

Model implementasi kebijakan publik merupakan deskripsi sederhana mengenai aspek-aspek penting yang dipilih dan disusun sebagai upaya meniru, menjelaskan, mencoba dan menguji hipotesis implementasi kebijakan public untuk tujuan tertentu (Setyawan, 2017:114). Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Beberapa variabel dan faktor yang terlibat dalam keberhasilan implementasi dapat dipahami melalui beberapa model-model implementasi, antara lain:

A. Model George C. Edwards III

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.

Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III mengajukan dua pertanyaan, yakni:

1. What is the precondition for successful policy implementation?

(Apa prasyarat untuk keberhasilan implementasi kebijakan?)

2. What are the primary obstacles to successful policy implementation?

(Apa kendala utama untuk keberhasilan implementasi kebijakan?)

Dalam menjawab pertanyaan tersebut Edward menegaskan bahwa kebijakan tidak akan berhasil tanpa implementasi yang efektif dari pembuat

kebijakan, agar implementasi berjalan efektif ada empat hal yang harus diperhatikan. Dalam pandangan Edward III (dalam Indiahono, 2009:31), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni :

1. Komunikasi

Berkenaan dengan bagaimana kebijakan publik dikomunikasikan pada organisasi atau publik, ketersediaan sumberdaya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan respon dari para pihak yang terlibat, dan struktur organisasi pelaksana kebijakan.Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam komunikasi, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Transmisi adalah keputusan-keputusan kebijakan dan perintah- perintah telah diteruskan kepada personil yang tepat. Kejelasan adalah perintah-perintah yang akan dilaksanakan tersebut haruslah jelas misalkan melalui petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Konsistensi adalah perintah-perintah tersebut harus jelas dan tidak bertentangan dengan para pelaksana kebijakan agar proses implementasi dapat berjalan lebih efektif (Winarno, 2002:125).

2. Sumberdaya

Berkenaan dengan ketersediaan sumberdaya, khususnya sumberdaya manusia dan finansial. Sumberdaya manusia mengenai kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan secara efektif.

Kemudian sumberdaya finansial adalah kecukupan modal investasi atas keberlangsungan sebuah program/kebijakan. Tanpa adanya sumberdaya sebuah kebijakan hanya akan menjadi tulisan dalam dokumen.

3. Disposisi

Disposisi berbicara mengenaiwatak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Disposisi dapat berupa respon positif maupun respon negatif, bila implementor kebijakan mempunyai disposisi positif maka kebijakan dapat berjalan lancar dan efektif begitu juga sebaliknya bila disposisi negatif maka kebijakan tidak akan berjalan sesuai arah yang diinginkan. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arah program yang telah digariskan dalam pedomanprogram. Pengalaman korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan cerminan konkrit dari rendahnya komitmen dan kejujuran aparat dalam mengimplementasikan kebijakan.Kemudian sikap yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran.

4. Struktur Birokrasi

Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi. Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi.

Setiap variabel yang dikemukakan di atas, saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya untuk menciptakan implementasi kebijakan yang efektif, sehingga keempat variabel saling bersinergi dalam mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Model Edward menjelaskan keterkaitan antara komunikasi yang baik oleh struktur birokrasi yang sistematis, didukung oleh potensi sumberdaya yang mumpuni, dilaksanakan oleh implementor yang komitmen dan jujur akan menghasilkan implementasi kebijakan yang efektif dan tepat sasaran. Model Edward ini menekankan tantangan bagaimana suatu kebijakan tidak terjadi fragmentasi yang membuat implementasi menjadi tidak efektif. Model Edward masih termasuk sederhana karena hanya melibatkan empat variabel, berbeda dengan model lain yang lebih kompleks melibatkan banyak variabel.

B. Model Merilee S. Grindle (1980)

Ide pokok model Grindle lebih menegaskan kepada kaitan antara tujuan kebijakan dengan hasil-hasil kegiatan implementasi kebijakan. Setelah kebijakan ditransformasikan, kemudian kebijakan diimplementasikan hingga keberhasilannya ditentukan oleh implementability dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2008:445). Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (dalam Subarsono, 2005:93) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of

implementation).

Adapun isi kebijakan (content of policy) mencakup variabel kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima, perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, ketepatan letak sebuah program, aktor pelaksana program, dan sumberdaya yang terlibat.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan (context of implementation) mencakup kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik institusi penguasa; dan tingkat kepatuhan dan responsivitas.

2.2.2 Kontrol Pelaksanaan Kebijakan Publik

Kegiatan pemantauan (monitoring) dan pengawasan merupakan bentuk aktivitas dari kontrol yang tujuannya untuk mengendalikan pelaksanaan suatu kegiatan, agar tidak menyimpang dari rencana yang telah ditetapkan. Kontrol diartikan sebagai proses usaha untuk melihat, dan menemukan apakah suatu kegiatan yang dilakukan telah sesuai dengan yang direncanakan. Dengan demikian kegiatan kontrol bukan merupakan kegiatan yang berusaha untuk mencari kesalahan yang telah diperbuat oleh seseorang, namun ditujukan untuk menemukan secara dini kesalahan-kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan sehingga dapat segera dilakukan perbaikan dan pelurusan kembali agar akibat buruk yang ditimbulkan dari kesalahan atau penyimpangan tadi tidak berkelanjutan.

Menurut Joko Widodo startegi melakukan kontrol (monitoring dan pengawasan) kegiatannya sama dengan strategi implementasi, yaitu menetapkan siapa yang melakukan, bagaimana SOP untuk melakukan kontrol, berapa besar anggaran, peralatan yang diperlukan dan bagaimana jadwal pelaksanaan

pengawasan.

1. Pelaku kontrol pelaksanaan kebijakan

Pelaku kontrol pelaksanaan kebijakan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kontrol ekternal dan kontrol internal. Pelaku kontrol internal (internal kontrol) dapat dilakukan oleh unit atau bagian monitoring dan pengendalian

dan badan pengawasan daerah. Pelaku kontrol ekstrenal (external control) dapat dilakukan oleh DPRD, LSM dan komponen masyarakat.

2. Standar Operasional Pemantauan

SOP kontrol atas pelaksanaan kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Organisasi harus menetapkan serangkaian tujuan yang dapat diukur dari aktivitas yang telah direncanakan.

b. Alat monitoring harus disusun untuk mengukur kinerja individu, program atau sistem secara keseluruhan.

c. Pengukuran dapat diperoleh melalui penerapan berbagai alat monitoring untuk mengoreksi setiap penyimpangan yang berarti.

d. Tindakan korektif dapat mencakup usaha-usaha yang mengarah pada kinerja yang ditetapkan dalam rencana atau modifikasi rencana kearah mendekati kinerja.

3. Sumber Daya Keuangan dan Peralatan

Untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan suatu kebijakan, disamping memerlukan dana yang cukup juga diperlukan peralatan yang memadai.

Besarnya anggaran dan jenis peralatan untuk melakukan kontrol sangat tergantung pada variasi dan komplesitas pelaksanaan suatu kebijakan.

Sumber anggaran dapat berasal dari anggaran pendapatan belanja negara

(APBN), anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan swadaya masyarakat.

4. Jadwal Pelaksanaan Kontrol

Dalam kontrol internal, pelaksanaan dapat dilakukan setiap bulan, setiap triwulan, atau setiap semester sekali. Namun dalam kontrol eksternal berada diluar organisasi dan bukan menjadi kewenangan organisasi yang menjadi pelaku kontrol untuk melakukan penjadwalan. Selain itu kontrol eksternal sulit dilakukan intervensi.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menggunakan teori yang dikemukakan oleh Joko Widodo (2018:94). Hal tersebut dikarenakan, dapat membantu dan memudahkan peneliti dalam proses menyelesaikan penelitian ini.

Selain itu teori ini dapat menjelaskan secara kompherensif mengenai implementasi pengawasan Dinas Lingkungan Hidup terhadap pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Kawasan Industri Medan Kelurahan Mabar ditinjau dari Pelaku kontrol pelaksanaan kebijakan, Standar Operasional Pemantauan, Sumber Daya Keuangan dan Peralatan, Jadwal Pelaksanaan Kontrol.

2.3 Konsep Pengawasan

2.3.1 Pengertian Pengawasan

Pengawasan adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan, untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan dan mengukur signifikan penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang

diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.

Menurut Siagian dalam bukunya fungsi-fungsi manajerial (2007:125) mengatakan bahwa pengawasan merupakan proses pengamatan dari seluruh kegiatan organisasi guna lebih menjamin bahwa semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

Pengertian pengawasan menurut Handoko (2003:359) yaitu sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai.

Sedangkan pengawasan menurut Kadarman (2001:159) pengawasan adalah:

“Suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan, untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah digunakan seefektif dan seefesien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.

Melihat uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan tindakan-tindakan perbaikan dalam pelaksanaan kerja agar supaya segala kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, petunjuk-petunjuk dan instruksi-instruksi, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai.

Menurut G.R Terry dalam buku Principles of Management mengemukakan bahwa:

“Pengawasan dapat dirumuskan sebagai proses penentuan apa yang harus dicapai, yaitu standar apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan, dan bilamana perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana, yaitu selaras dengan standar.

Berdasarkan penjelasan para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwasannya pengawasan adalah suatu pemantauan atau tindakan yang bertujuan agar, kegiatan tersebut sesuai rencana dengan standar yang sudah ditetapkan dan

segera mengambil tindakan-tindakan jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran.

2.3.2 Tujuan Pengawasan

Pengawasan bertujuan agar hasil pelaksanaan kegiatan bisa berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif), sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Semua aktivitas organisasi harus diawasi dengan pengawasan yang baik, efektif dan efisien yang harus dilakukan secara sistematis. Pengawasan yang sistematis akan memberikan hasil yang optimal.

Menurut Manulang (2004:173) tujuan utama dari pengawasan ialah mengusahakan agar apa yang direncanakan menjadi kenyataan. Untuk dapat benar-benar merealisasi tujuan utama tersebut, maka pengawasan pada taraf pertama bertujuan agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan instruksi yang telah dikeluarkan dan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan rencana berdasarkan penemuan-penemuan tersebut dapat diambil tindakan untuk memperbaikinya, baik pada waktu itu ataupun waktu-waktu yang akan datang.

Definisi Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan sangat diperlukan disetiap organisasi. Karena pengawasan disini dimaksudkan sebagai suatu hal yang dipakai untuk memperbaiki kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan lambatnya, atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.

2.3.3 Fungsi Pengawasan

Menurut Ernie dan Saefullah (2005:12) fungsi pengawasan ialah sebagai berikut:

1. Mengevaluasi keberhasilan dan pencapaian tujuan serta target sesuai dengan indikator yang ditetapkan.

2. Mengambil langkah klarifikasi dan koreksi atas penyimpangan yang mungkin ditemukan.

3. Melakukan berbagai alternatif solusi atas berbagai masalah yang terkait dengan pencapaian tujuan perusahaan.

Berdasarkan penjelasan tentang fungsi pengawasan di atas dapat disimpulkan bahwa, pelaksanaan pengawasan dapat mengetahui seberapa jauh tingkat keberhasilan dan pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan, mengambil tindakan koreksi sedini mungkin jika terjadi penyimpangan serta bisa memberikan solusi untuk berbagai masalah untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan di perusahaan.

2.3.4 Manfaat Pengawasan

Menurut Siagian (2012:261) Manfaat pengawasan adalah sebagai berikut:

1. Tersedianya bahan informasi bagi manajemen tentang situasi nyata dalam mana organisasi berada.

2. Dikenalinya faktor-faktor pendukung terjadinya operasionalisasi rencana dengan efisien dan efektif.

3. Pemahaman tentang berbagai faktor yang menimbulkan kesulitan dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan operasional.

4. Langkah-langkah apa yang segera dapat diambil untuk menghargai kinerja yang memuaskan.

5. Tindakan preventif apa yang segera dapat dilakukan agara deviasi dari standar tidak terus berlanjut.

Berdasarkan penjelasan Siagian di atas, maka manfaat pengawasan adalah untuk mengetahui apa saja yang menjadi kelemahan dan kelebihan dari kegiatan operasional tersebut serta pengambilan tindakan preventif agar kegiatan operasional tidak terhambat.

2.3.5 Tahap-Tahap Dalam Proses Pengawasan

Menurut Handoko (2003:362) proses pengawasan biasanya terdiri paling sedikit lima tahap (langkah), tahap-tahapnya adalah:

1. Penetapan standar pelaksanaan, tahap pertama dalam pengawasan adalah penetapan standar pelaksanaan. Standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai patokan untuk penilaian hasil-hasil tujuan, sasaran, kuota dan target pelaksanaan dapat digunakan sebagai standar.

2. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan, penetapan standar adalah sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk mengukur pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh karena itu, tahap kedua dalam pengawasan adalah menentukan pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat.

3. Pengukuran pelaksanaan kegiatan, ada berbagai cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan, yaitu: a) pengamatan (observasi), b) laporan-laporan baik lisan dan tertulis, c) metode-metode otomatis, d) inspeksi pengujian).

4. Pembandingan pelaksanaan dengan standar dan analisa penyimpangan, tahap kritis dari proses pengawasan adalah pembandingan pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan.

5. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan, bila hasil analisa menunjukkan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil dalam berbagai bentuk.

Sedangkan Menurut (Siagian, 2007:128) Pengawasan akan berjalan dengan lancar apabila proses dasar pengawasan diketahui dan ditaati. Yang dimaksud dengan proses dasar itu meliputi:

1. Penentuan standar hasil kerja.

Standar hasil pekerjaan merupakan hal yang amat penting ditentukan karena terhadap standar itulah hasil pekerjaan dihadapkan dan diuji.

Tanpa standar yang ditetapkan secara rasional dan objektif, manajer dan para pelaksana tidak akan mempunyai kriteria terhadap mana hasil yang dicapai memenuhi tuntutan rencana atau tidak.

2. Pengukuran hasil pekerjaan.

Pengukuran prestasi kerja perlu ditekankan terlebih dahulu bahwa karena pengawasan ditujukan kepada seluruh kegiatan yang sedang berlangsung, sering tidak mudah melakukan pengukuran hasil prestasi kerja para anggota organisasi secara tuntas dan final. Akan tetapi meskipun demikian melalui pengawasan harus dapat dilakukan pengukuran atas prestasi kerja, meskipun sementara sifatnya. Pengukuran sementara demikian, menjadi sangat penting karena ia akan memberi petunjuk tentang ada tidaknya gejala-gejala penyimpangan dari rencana yang telah ditetapkan.

3. Koreksi terhadap penyimpangan

Meskipun bersifat sementara, tindakan korektif terhadap gejala-gejala penyimpangan, penyelewengan, dan pemborosan harus bisa diambil.

Meskipun bersifat sementara, tindakan korektif terhadap gejala-gejala penyimpangan, penyelewengan, dan pemborosan harus bisa diambil.

Dokumen terkait