• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Bagi peneliti

Untuk menambah wawasan peneliti mengenai faktor resiko DM terutama pola hidup dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap hal tersebut 2. Bagi tenaga kesehatan

Untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat mengetahui dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari mengenai pola hidup terkait faktor resiko DM, sehingga dapat dilakukan edukasi yang baik kepada masyarakat 3. Bagi masyarakat

Untuk menambah wawasan masyarakat mengenai pola hidup yang merupakan faktor resiko DM tipe 2 dan hal-hal berbahaya yang dapat disebabkan oleh komplikasi dari DM tipe 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DIABETES MELITUS

2.1.1 DEFINISI

Diabetes melitus adalah suatu penyakit kronik yang terjadi pada saat pankreas sudah tidak dapat memproduksi insulin atau tubuh yang tidak dapat lagi mempergunakan dengan baik insulin yang dihasilkan oleh pancreas. Hal ini menyebabkan teradinya peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia).

Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas untuk mengalirkan glukosa dari makanan yang dikonsumsi melewati aliran darah dan mencapai sel-sel di dalam tubuh untuk dijadikan energi. Semua makanan yang mengandung karbohidrat dihancurkan menjadi glukosa di dalam darah dan dibantu oleh insulin untuk dibawa ke sel-sel tubuh (International Diabetes Federation, 2020).

2.1.2 KLASIFIKASI

Menurut American Diabetes Association pada tahun 2019, diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4, yaitu sebagai berikut:

1. Diabetes melitus tipe 1 2. Diabetes melitus tipe 2 3. Diabetes melitus gestasional 4. Diabetes melitus tipe spesifik Diabetes Melitus Tipe 1

Biasanya disebabkan oleh autoimun yang menghancurkan sel β dan dapat mengakibatkan defisiensi insulin absolut. DM tipe 1 bisa terjadi pada semua kelompok umur. Anak-anak dengan DM tipe 1 akan mengalami gejala khas yaitu poliuria atau polidipsia dan bisa juga ditemukan ketoasidosis diabetikum. DM tipe 1 pada orang dewasa mungkin tidak menimbulkan gejala yang sama dengan yang terjadi pada anak-anak. DM tipe 1 dapat dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:

(American Diabetes Association, 2019) 1. Immune-mediated diabetes

Diabetes tipe ini sebelumnya disebut dengan “insulin-dependent diabetes”

atau “juvenile-onset diabetes” adalah diabetes yang disebabkan oleh autoimun seluler yang menyerang sel β pankreas. Pada diabetes ini, destruksi sel β pada bayi dan anak-anak lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.

2. Diabetes tipe 1 idiopatik

Beberapa bentuk diabetes tipe 1 tidak diketahui penyebabnya. Pasien dengan diabetes tipe 1 idiopatik akan mengalami defisiensi insulin yang permanen dan juga rentan terhadap ketoasidosis diabetikum tetapi tidak ditemukan autoimunitas terhadap sel β pankreas seperti pada immune-mediated diabetes.

Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 sebelumnya disebut dengan “noninsulin-dependent diabetes” atau “adult-onset diabetes”. DM tipe ini merupakan DM yang tersering dialami, yaitu 90-95% dari semua kasus DM. Banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya DM tipe 2, tetapi etiologi spesifiknya masih belum dapat diketahui dengan pasti. Autoimun yang menyebabkan hancurnya sel β dan penyebab lain yang diketahui tidak ditemukan pada DM tipe 2. Kebanyakan pasien DM tipe 2 mengalami overweight dan obesitas. Kelebihan berat badan menyebabkan terjadinya resistensi insulin (American Diabetes Association, 2019).

Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional adalah intoleransi glukosa yang ditemukan pertama kali pada wanita pada masa kehamilannya. Diabetes melitus gestasional bisa juga diartikan sebagai DM yang didiagnosa pertama kali pada trimester kedua atau ketiga kehamilan. DM tipe ini bisa saja menghilang setelah masa kehamilan atau menetap walaupun pasien sudah melahirkan (American Diabetes Association, 2019).

Diabetes Melitus Tipe Spesifik

Diabetes melitus tipe spesifik adalah DM yang disebabkan oleh penyebab lain.

Contoh dari DM tipe ini adalah monogenic diabetes syndromes, penyakit eksokrin

pankreas, dan drug- or chemical-induced diabetes (American Diabetes Association, 2019).

2.1.3 FAKTOR RESIKO

Menurut International Diabetes Federation pada tahun 2019, faktor resiko dari DM tipe 2 adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai riwayat keluarga yang menderita DM 2. Kelebihan berat badan (overweight)

3. Pola makan yang tidak sehat 4. Kurangnya aktivitas fisik 5. Bertambahnya usia 6. Tekanan darah tinggi

7. Kelompok ras / etnis tertentu 8. Kelainan toleransi glukosa

9. Mempunyai riwayat diabetes gestasional 10. Nutrisi yang kurang pada saat kehamilan

Perubahan yang disebabkan oleh perkembangan dan urbanisasi terhadap pola makan dan aktivitas fisik, menyebabkan jumlah pasien DM meningkat dengan sangat cepat (International Diabetes Federation, 2019).

Salah satu hal yang menjadi faktor resiko DM yaitu kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji, karena makanan cepat saji dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan jaringan adiposa yang merupakan penyebab utama terjadinya kelainan metabolik seperti resistensi insulin (Mazidi et al., 2018). Obesitas meningkatkan resiko terjadinya beberapa beberapa masalah kesehatan, salah satu diantaranya yaitu DM (Bowman et al., 2015). Berdasarkan analisis nutrisi, makanan cepat saji mengandung kadar lemak, lemak jenuh, densitas energi, fruktosa, dan indeks glikemik yang tinggi. Sebaliknya, makanan cepat saji mengandung kadar serat, vitamin A, vitamin C, serta kalsium yang rendah.

Makanan cepat saji dengan komposisi makronutrien, porsi yang besar, dan juga yang biasanya dikonsumsi bersamaan dengan minuman bersoda ataupun minuman berpemanis menyebabkan asupan energi yang berlebihan. Hal tersebut

menyebabkan meningkatnya resiko obesitas dan DM tipe 2 (Isganaitis et al., 2005).

Obesitas menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab resistensi insulin pada obesitas. Asam lemak bebas (free fatty acid) yang bersirkulasi menyebabkan resistensi insulin pada hati dan juga otot, fenomena ini disebut juga dengan lipotoksisitas. Jaringan adiposa menghasilkan hormon adiponektin yang berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin. Pada individu dengan obesitas, akan mensekresi lebih sedikit hormon adiponektin, penurunan berat badan dapat memperbaiki jumlah hormon adiponektin ke tingkat normal. Jaringan adiposa juga menghasilkan hormon resistin yang menyebabkan resistensi insulin pada jaringan hepar. Selain itu, dapat ditemukan juga jaringan lemak yang aktif secara imunologis dan mensekresi sitokin seperti TNF-α, IL-6, IL-1β, dan lain-lain yang menimbulkan resistensi insulin dan berhubungan dengan sindroma metabolik (Isganaitis et al., 2005).

Berdasarkan penelitian oleh Syafriani (2018), yang dilakukan pada 65 responden ditemukan sebanyak 44 orang sering (≥ 3 kali / minggu) mengonsumsi makanan cepat saji dan 21 responden jarang (< 3 kali / minggu) jarang mengonsumsi makanan cepat saji. Dari 65 orang responden, 56 orang melakukan aktivitas fisik ringan, 9 orang melakukan aktivitas fisik sedang, dan tidak ada yang melakukan aktivitas fisik berat. Responden yang sering mengonsumsi makanan cepat saji sebanyak 37 orang dengan kejadian overweight dan responden yang jarang mengonsumsi makanan cepat saji sebanyak 6 orang dengan kejadian overweight. Sedangkan responden yang melakukan aktivitas fisik ringan sebanyak 36 orang dengan kejadian overweight dan aktivitas fisik sedang sebanyak 7 orang dengan kejadian overweight. Overweight merupakan salah satu faktor resiko dari DM (Syafriani, 2018).

Penelitian oleh Kharono et al. (2017), dengan total responden 378 orang, mendapatkan 279 orang responden mengetahui bahwa makanan cepat saji adalah faktor resiko dari DM, merokok berjumlah 228 orang, kurangnya aktivitas fisik sebanyak 294 orang, dan meminum alkohol paling banyak diketahui sebagai faktor resiko DM yaitu 315 orang. Selain itu, pengetahuan dalam pencegahan oleh

responden adalah dengan menghindari makanan atau minuman yang manis sejumlah 194 orang, modifikasi pola makan sebanyak 266 orang, dan berolahraga dengan rutin sebanyak 175 orang (Kharono et al., 2017).

Penelitian oleh Habib et al. (2020) yang dilakukan pada 1070 responden didapatkan responden yang mengonsumsi makanan cepat saji adalah sebanyak 686 orang yaitu 64,11% dari total responden, kurang melakukan aktivitas fisik berjumlah 49% dan juga dinyatakan dalam penelitian ini bahwa sebanyak 3%

responden menderita DM (Habib et al., 2020).

Pada penelitian sebelumnya oleh Sumangkut et al. (2013), dengan jumlah responden 80 orang, orang dengan pola makan tidak baik yang menderita DM ada 34 orang, dan yang tidak menderita DM ada 9 orang. Pada pola makan yang baik, penderita DM ada 6 orang dan tidak DM 31 orang. Pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa ada hubungan pola makan dengan kejadian DM tipe 2 pada daerah tersebut (Sumangkut et al., 2013).

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Cicilia et al. (2018), dengan jumlah responden 80 orang, penderita DM dengan aktivitas fisik berat adalah 26,4%

sedangkan pada responden non DM dengan aktivitas fisik berat sebesar 73,6%.

Hal ini menunjukkan responden yang melakukan aktivitas fisik berat memiliki lebih kecil resiko untuk terkena penyakit DM. Dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa aktivitas fisik merupakan kegiatan yang menyebabkan pembakaran maksimal glukosa di dalam otot yang dapat menyebabkan penurunan kadar glukosa darah (Cicilia et al., 2018).

2.1.4 GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang paling sering dialami oleh pasien DM tipe 2 yaitu polidipsia, polifagia, poliuria dan penurunan berat badan. Polidipsia adalah perasaan haus yang berlebih. Polifagia adalah rasa lapar yang berlebih sehingga pasien akan makan terus-menerus. Walaupun makan terus-menerus, penderita DM tipe 2 akan mengalami penurunan berat badan. Selain itu, keluhan yang sering dirasakan yaitu poliuria adalah frekuensi berkemih yang berlebihan menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari pasien tersebut. Keluhan lain yang juga dapat

terjadi adalah badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita (Perkeni, 2015).

2.1.5 DIAGNOSIS

Diagnosis DM dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan berdasarkan adanya glukosuria (Perkeni, 2015).

Beberapa keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Keluhan-keluhan yang menyebabkan kecurigaan adanya DM adalah sebagai berikut: (Perkeni, 2015)

1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya

2. Keluhan lain DM: badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita

Kriteria diagnosis DM sebagai berikut: (Perkeni, 2015)

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik 4. Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan menggunakan metode standarisasi

oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

Pada kondisi tertentu seperti anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal, HbA1C tidak dapat digunakan sebagai alat diagnosis maupun evaluasi (Perkeni, 2015)

2.1.6 TATALAKSANA

Tujuan dilakukannya penatalaksanaan terhadap penyakit DM tipe 2 adalah sebagai berikut: (Perkeni, 2015)

1. Tujuan jangka pendek yaitu untuk menghilangkan keluhan dan memperbaiki kualitas hidup, dan juga mengurangi resiko komplikasi akut DM

2. Tujuan jangka panjang yaitu mencegah dan juga menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati

3. Tujuan akhir yaitu mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit DM tipe 2

Penatalaksanaan DM tipe 2 dapat dibagi menjadi tatalaksana non farmakologis dan tatalaksana farmakologis (Perkeni, 2015).

A. Tatalaksana non farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis dapat berupa edukasi kepada penderita DM mengenai perilaku hidup sehat seperti mengikuti pola makan sehat dan meningkatkan kegiatan jasmani dengan teratur. Prinsip pengaturan pola makan penderita DM tidak jauh berbeda dengan masyarakat umum yang tidak mengalami DM, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Latihan jasmani juga merupakan salah satu cara pengelolaan DM yang sangat disarankan. Latihan jasmani dianjurkan untuk dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali dalam seminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit dalam seminggu dan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut (Perkeni, 2015).

B. Tatalaksana farmakologis

Tatalaksana farmakologis dilakukan bersamaan dengan pengaturan pola makan dan latihan jasmani atau disebut dengan gaya hidup sehat.

Terapi farmakologis terdiri dari bentuk oral dan suntikan (Perkeni,2015).

1. Obat anti hiperglikemia oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti hiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan yaitu: (Perkeni, 2015)

a. Pemacu sekresi insulin 1) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama berupa peningkatan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Harus berhati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan resiko tinggi hipoglikemia seperti orang tua, gangguan faal hati dan gangguan faal ginjal.

2) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin 1) Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2. Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa kondisi, seperti GFR < 30 mL / menit /1,73 m2, gangguan hati berat, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK dan gagal jantung. Efek samping yang mungkin ditemukan merupakan gangguan saluran pencernaan seperti gejala dispepsia.

2) Tiazolidindion (TZD)

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma),

suatu reseptor inti yang terdapat di sel otot, lemak dan hati.

Golongan ini mempunyai efek untuk menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolindindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan kepada pasien dengan gagal jantung. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan

Penghambat alfa glukosidase bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Contoh obat golongan ini adalah acarbose.

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan ini menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan ini merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kerja kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

2. Obat antihiperglikemia suntik

Yang termasuk obat antihiperglikemia suntik adalah insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1 (Perkeni, 2015).

a. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan: (Perkeni, 2015)

1) HbA1C > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic 2) Penurunan berat badan yang cepat

3) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis 4) Krisis hiperglikemia

5) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

6) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

7) Kehamilan dengan DM / DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan

8) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat 9) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO 10) Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Efek samping utama dari terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah reaksi alergi terhadap insulin (Perkeni, 2015).

b. Agonis GLP-1

Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek penurunan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Efek samping yang dapat timbul adalah rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.

(Perkeni, 2015) 3. Terapi kombinasi

Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam penatalaksanaan DM, tetapi bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemi oral baik secara terpisah atau fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral (Perkeni, 2015).

Gambar 2.1. Algoritme pengelolaan DM tipe 2 di Indonesia (Perkeni, 2015).

2.1.7 KOMPLIKASI

Penderita DM mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami beberapa masalah kesehatan yang serius. Tingginya kadar glukosa yang menetap dapat menyebabkan penyakit serius yang mempengaruhi jantung dan pembuluh darah,

mata, ginjal, saraf, dan gigi. Penderita DM juga memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami infeksi. Di beberapa negara, DM merupakan penyebab utama dari penyakit kardiovaskular, kebutaan, gagal ginjal, dan amputasi tungkai bawah (International Diabetes Federation, 2020).

Beberapa komplikasi yang dapat ditemukan yaitu: (International Diabetes Federation, 2020)

4. Penyakit kardiovaskular

Berpengaruh terhadap jantung dan pembuluh darah dan dapat menyebabkan komplikasi yang fatal seperti penyakit arteri koroner (menyebabkan infark miokardial) dan stroke. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian tertinggi pada pasien DM.

5. Penyakit ginjal (nefropati diabetik)

Diakibatkan oleh rusaknya pembuluh darah kecil di ginjal menyebabkan kerja ginjal menjadi kurang efisien atau bahkan gagal bekerja.

6. Penyakit saraf (neuropati diabetik)

Kadar glukosa dan tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan saraf di seluruh bagian tubuh. Hal ini menyebabkan masalah pada pencernaan, disfungsi ereksi, dan fungsi-fungsi lain juga dapat terpengaruh. Bagian yang paling sering mengalami kerusakan saraf yaitu pada ekstremitas bawah (kaki). Kerusakan saraf pada daerah tersebut disebut juga dengan neuropati perifer yang bisa menyebabkan rasa sakit, geli, atau kehilangan sensasi. Kehilangan sensasi merupakan hal yang penting karena dapat menyebabkan luka tidak disadari dan berlanjut menjadi infeksi yang serius dan bahkan memungkinkan tindakan amputasi.

7. Penyakit mata (retinopati diabetik)

Kebanyakan penderita DM mengalami retinopati diabetik yang mengakibatkan berkurangnya penglihatan atau kebutaan.

8. Komplikasi kehamilan

Kadar glukosa darah yang tinggi pada saat kehamilan dapat menyebabkan kelebihan berat badan pada saat bayi dilahirkan. Hal tersebut dapat menyebabkan kesulitan pada saat melahirkan, trauma pada anak maupun

ibunya dan penurunan kadar glukosa darah yang tiba-tiba pada anak setelah dilahirkan. Anak tersebut memiliki resiko tinggi untuk menderita DM

9. Komplikasi oral

Penderita DM mengalami peningkatan resiko terjadinya inflamasi pada gusi (periodontis) apabila kadar glukosa darah tidak dijaga dengan baik.

Periodontis adalah penyebab utama kehilangan gigi dan berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular.

Menurut American Diabetes Association, pada tahun 2019, DM juga dapat menyebabkan komplikasi pada kulit dan mata. Pada mata, DM dapat menyebabkan glaukoma dan juga katarak. Ketoasidosis diabetik juga merupakan salah satu komplikasi serius yang harus diperhatikan, karena dapat berakibat fatal, yaitu koma atau bahkan kematian (American Diabetes Association, 2019).

Selain itu, komplikasi yang juga dapat terjadi pada pasien DM yaitu hipoglikemia yang terjadi pada pasien DM dalam pengobatan. Penyebab hipoglikemia yang paling sering yaitu penggunaan sulfonilurea dan insulin.

Kondisi hipoglikemia pada orang tua harus dihindari karena dapat berakibat fatal dan bisa juga menyebabkan kemunduran mental bermakna pada pasien (Perkeni, 2015).

2.1.8 PENCEGAHAN

Menurut World Health Organization, pada tahun 2020, untuk mencegah terjadinya DM tipe 2 dapat dilakukan hal sebagai berikut:

1. Menyesuaikan dan mempertahankan berat badan normal (berat badan yang dinyatakan sehat)

2. Melakukan aktivitas fisik, paling sedikit 30 menit secara regular. Aktivitas bisa dilakukan lebih sering, sedangkan aktivitas yang lebih berat dibutuhkan untuk mengontrol berat badan

3. Pola makan yang sehat, hindari konsumsi gula dan lemak jenuh

4. Hindari penggunaan tembakau, merokok meningkatkan resiko diabetes dan penyakit kardiovaskular

International Diabetes Federation pada tahun 2020 merekomendasikan pola makan yang sehat yaitu:

1. Lebih baik mengonsumsi air, kopi, atau teh daripada sirup, minuman soda, atau minuman berpemanis lainnya

2. Mengonsumsi paling sedikit 3 hidangan sayuran setiap harinya, terutama sayuran berdaun hijau

3. Mengonsumsi 3 hidangan buah segar setiap hari

4. Untuk makanan ringan, lebih baik mengonsumsi kacang-kacangan, sepotong buah segar atau yoghurt

5. Membatasi konsumsi alkohol

6. Lebih baik mengonsumsi daging putih, daging unggas atau makanan laut daripada daging merah atau daging olahan

7. Lebih baik mengonsumsi selai kacang dibandingkan selai coklat 8. Mengonsumsi roti gandum, nasi atau pasta daripada roti putih

9. Memilih konsumsi lemak tak jenuh seperti minyak zaitun, minyak canola, minyak jagung atau minyak bunga matahari daripada lemak jenuh seperti mentega, lemak hewani, minyak kelapa atau minyak kelapa sawit

2.2 PENGETAHUAN

2.2.1 DEFINISI PENGETAHUAN

Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yaitu indra penglihatan, penciuman, rasa, dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia didapat melalui mata dan telinga (Notoadmojo, 2014).

2.2.2 TINGKAT PENGETAHUAN

Menurut Notoadmojo (2014), pengetahuan tercakup dalam beberapa tingkatan yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Yang termasuk dalam tingkat ini yaitu mengingat kembali (recall) sesuatu

yang spesifik dan semua yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja yang digunakan untuk mengukur seseorang tahu mengenai hal yang telah dipelajari adalah menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

yang spesifik dan semua yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja yang digunakan untuk mengukur seseorang tahu mengenai hal yang telah dipelajari adalah menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

Dokumen terkait