• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, maka manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengaplikasikan ilmu dan teori yang dipelajari dalam perkuliahan, sebagai sarana latihan dalam melakukan penelitian dan dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis.

2. Bagi Pustaka

Hasil tulisan dari penelitian ini dapat menambah koleksi buku di pustaka dan dapat dijadikan referensi untuk penulisan karya ilmiah.

3. Bagi Instansi

Memberikan masukan kepada lembaga terkait agar lebih mengoptimalkan partisipasi pelaku pembangunan dalam perencanaan pembangunan.

4. Bagi Pelaku pembangunan

Memberikan informasi kepada pelaku pembangunan tentang penting partisipasi mereka dalam pelaksanaan Musrenbang untuk menentukan prioritas pembangunan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Partisipasi

Partisipasi menurut Mappamiring, (2011) adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat, yaitu antara kelompok-kelompok sosial dan komunitas dengan mengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Secara sederhana partisipasi dapat dimaknai sebagai “the act of taking part or sharing in something.

Akhmad Sukardi, (2009) Partisipasi mempunyai makna yang luas, menganalisis partisipasi harus sesuai dengan konteks dimana partisipasi itu dihubungkan dan pada tingkatan mana partisipasi akan dianalisis. Yang termasuk aspek partisipasi adalah bidang dan tahapan partisipasi warga, seperti dibidang perencanaan, penganggaran atau pada tahap monitoring dan evaluasi atau bahkan pada semua tahapan tersebut. Yang dimaksudkan darajat partisipasi adalah kualitas atau bobot partisipasi pada masing-masing tahapan proses. Sedangkan tingkatan partisipasi adalah ruang lingkup partisipasi itu berlangsung apakah di tingkat local, provinsi, nasional atau global.

Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah (2001:38) mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2(dua) berdasarkan keterlibatannya, yaitu :

1. Partisipasi langsung

Partisipasi ini terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang mengajukan

10

pandangan, membahas rokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya.

2. Partisipasi tidak langsung

Partisipasi ini terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya.

Perencanaan pembangunan partisipatif menurut Hanif Nurcholis, (2008) adalah suatu model perencanaan pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat. Masyarakat aktif melibatkan diri dalam melakukan identifikasi masalah, perumusan masalah, pencarian alternative pemecahan masalah, penyusunan agenda pemecahan, terlibat dalam proses penggodogan (konversi), ikut memantau implementasi, dan ikut aktif melakukan evaluasi.

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan pada umumnya, dan perencanaan dan penganggaran daerah di Indonesia pada khususnya, sampai saat ini masih langka dan masih kurang. Sementara di negara-negara lain, penelitian ini berkembang sangat pesat, seiring dengan kecenderungan dunia internasional untuk memperkuat posisi masyarakat dengan strategi, kebijakan dan program yang diarahkan untuk menciptakan keseimbangan atau kesetaraan dalam struktur segi tiga kekuasaan berdasarkan konsepsi masyarakat madani (civilsociety) masyarakat atau warga sipil, swasta dan pemerintah (Akhmad Sukardi, 2009).

Berkaitan dengan perihal partisipasi ini oleh Syahyuti dalam Mappamiring, (2011) mengutip pendapat pakar bahwa ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi yaitu:

1. Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini adalah bentuk partisipasi yang paling lemah. Masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi, pengumuman sepihak oleh pelaksan proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program partisipasi informatif. Di sini masyarakat hanya menjawab pertanyaan untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan.

2. Partisipasi informatif. Di sini masyarakat hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan.

3. Parisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan, serta menganalisa masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama.

4. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korban dan jasa untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan.

5. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati.

6. Partisipasi interkatif. Masyarakat berperan dalam proses analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan penguatan kelembagaan. Pola ini cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman prospektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis.

7. Mandiri (self mobilization). Mayarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak di pengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung.

Mardikanto dalam Eko Murdiyanto (2011), menyatakan bawa partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Selanjutnya dalam pengertian hari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang ( individu atau warga masyarakat ) dalam suatu kegiatan tertentu, keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagai keikusertaan seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri.

Ndraha dalam Arifin, (2007:31) mengatakan bahwa indikator pokok yang dapat dipakai dalam mengukur tingkat partisipasi yaitu:

1. Aktivitas hanya sebagai kehadiran saja

2. Kesediaan memberikan kontribusi yang berwujud pemberian ide, gagasan, dan kritikan.

3. Kesediaan untuk ikut bertanggung jawab atas segala aktivitas pembangunan.

Gaventa dan Valderrama dalam Akhmad Sukardi, (2009) membagi makna partisipasi menjadi :

1. Pengertian tradisional, yaitu partisipasi dihubungkan dengan proses pembangunan, yang dipahami sebagai partisipasi warga di tingkat program dan

proyek dalam skala mikro, di tujukan kepada penerima manfaat (beneficieries) yang lebih difokuskan kepada modus konsultasi dan berlangsung pada tataran penaksiran (appraisal).

2. Pengertian partisipasi yang berkembang saat ini adalah partisipasi pada tingkat kebijakan dalam skala makro, yang ditujukan kepada warga Negara (citizen) dan melalui modus pengambilan keputusan.

Menurut Susain dalamMuhammad Ikhsan, (2014) manfaat partisipasiadalah :

1. Lebih mengemukakan di perolehnya keputusan yang benar.

2. Dapat digunakan kemampuan berpikir kreatif dari para anggotanya 3. Dapat mengendalikan nilai martabat manusia, motivasi serta

membangun kepentingan bersama.

4. Lebih mendorong untuk bertanggung jawab 5. Lebih memungkinkan untuk mengikuti perubahan.

Pengertian partisipasi dapat pula dideskripsikan menurut Subagijo dalam Akhmad Sukardi, (2009):

1. Proses pendemokratisasian wewenang politik dan ekonomi dimana warga Negara dan wakil-wakil warga Negara, termasuk masyarakat miskin, ikut serta sebagai pelaku aktif dalam pengambilan keputusan pembangunan. Warga Negara dimengerti bukan sekedar pengguna atau user atau konsumen belaka, akan tetapi warga Negara yang memiliki hak sosial dan politik secara penuh.

2. Partisipasi bukanlah privatisasi, oleh karena privatisasi menyerahkan semua urusan, termasuk yang menyangkut hidup orang banyak, seperti air dan kesehatan, kepada mekanisme pasar yang tidak memiliki punya public interest.

Menurut Angel dalam Muhammad Ikhsan, (2014) mengatakan partisipasi yangtumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor–faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi yaitu :

1. Usia

Faktor usia merupakan faktor utama yang mempengaruhi sikap seseorang dalam kegiatan–kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi dari kelompok usia lainnya.

2. Jenis kelamin

Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang utama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan semakin baik.

3. Pendidikan

Pendidikan dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi.Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap lingkungan.

4. Pekerjaan dan penghasilan

Hal ini tidak dapat dipisahkan karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baikdan mencukupi kebutuhan sehari–hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.

Menurut Sugiyah, (2010) tujuan partisipasi adalah sebagai berikut:

1. Menciptakan visi bersama

2. Merumuskan visi dan misi serta nilai-nilai yang dianut atau menjadi dasar suatu organisasi serta visi itu kedepan tujuannya adalah menyajukan kebenaran yang definit, tapi lebih untuk menstimulasikan debat dan bagaimana mempengaruhi ke masa depan.

3. Membangun rencana

4. Setelah melakukan perumusan visi bersama dalam rangka menetukan tujuan spesifik yang ingin dicapai. Maka dengan bekal itu dapatsegera dapat dibuat suatu proses lanjutan untuk membangun rencana.

5. Mengumpulkan gagasan

6. Dilakukan dengan cara lisan maupun tertulis, dengan maksud mengumpulkan sebanyak mungkin gagasan dari semua orang yang menjadi proses partisipasi.

7. Menentukan prioritas atau membuat pilihan.

8. Bertujuan untuk mengorganisasi berbagai ide yang muncul dalam proses partisipasi dengan memanfaatkan kualitatif.

9. Menjaring anspirasi atau masukan.

10. Bertujuan untuk pertukaran informasi, gagasan dan kepedulian tentang suatu isu atau rencana antara pemerintah, perencana dengan masyarakat. Melalui proses ini masyarakat memperoleh kesempatan untuk mempengaruhi perumusan kebijakan, memberikan alternatif desain, pilihan investasi beserta pengelolaannya.

11. Mengumpulkan informasi atau analisis situasi

12. Bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan dan peluang serta bagaimana mengoptimalkannya, selain mengidentifikasi kelemahan dan ancaman untuk mempermudah merumuskan langkah-langkah untuk mengatasinya.

Proses perencanaan partisipatif menurut Hanif Nurcholis, (2008) adalah 1. Efisien; partisipasi dapat meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan

pembangunan, ketika sumber daya serta kemampuan local dapat dipergunakan untuk menghindari tingginya biaya penggunaan sumber daya dan kemampuan yang berasal dari luar. Selain itu, jika masyarakat dilibatkan dari awal, maka kepentingan dan kebutuhan mereka dapat terpenuhi pada saat perencanaan sehingga apabila ada perubahan dapat lebih mudah dilakukan dibandingkan perubahan pada akhir proses yang berdampak pada penggunaan biaya, waktu, dan tenaga.

2. Efektif; partisipasi dapat meningkatkan efektifitas pengelolaan pembangunan karena dengan terlibatnya masyarakat local yang lebih memahami kondisi, potensi, serta permasalahannya maka kebutuhan local akan dapat teridentifikasi dengan lebih akurat.

3. Menjalin kemitraan; partisipasi dapat mendorong terwujudnya kemitraan antara berbagai pelaku pembangunan dengan didasarkan pada rasa saling percaya, sehingga dialog dan konsensus dapat diwujudkan untuk meraih tujuan bersama.

4. Meningkatkan kapasitas; partisipasi dapat meningkatkan kapasitas para pelaku, khususnya dalam proses dialog dan pengelolaan pembangunan.

5. Memperluas ruang lingkup; partisipasi dapat memperluas ruang lingkup kegiatan pembangunan, sebagaimana masyarakat akan memahami tanggung jawabnya dan akan berusaha mengembangkan aktivitas pembangunan tersebut.

6. Meningkatkan ketepatan kelompok sasaran; partisipasi dapat meningkatkan ketepatan dalam mengidentifikasi kelompok sasaran (targeting) dari berbagai program pembangunan.

7. Berkelanjutan; partisipasi akan mendorong berkelanjutannya berbagai aktivitas pembangunan karena masyarakat akan mempunyai rasa memiliki dan ikut serta menjaga proses maupun hasil dari pembangunan itu sendiri.

Partisipasi menurut Isbandi, (2007) yaitu keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternative solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.

B. Governance

Governance diartikan sebagai mekanisme, praktik dan tata cara pemerintahan dan warga yang mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah public. Dalam governance, pemerintahan yang menjadi salah-satu actor dan tidak selalu menjadi actor yang paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangunan maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sector swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut (Tjahjanulin,2011).

Governance sebagai sebuah paradigma dapat terwujud bila dibangun diatas kepercayaan pada tiga pilar pendukungnya dan dapat berfungsi secara baik yaitu negara, sektor swasta, dan masyarakat,. Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk melaksanakn pelayanan publik yang baik. Sektor swasta sebagai pengelola sumber daya diluar negara dan birokrasi pemerintahan harus memberi kontribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya tersebut.

Penerapan cita tata kelola pemerintah mensyaratkan keterlibatan masyarakat dan organisasinya sebagai kekuatan pengembang negara. Tata kelola pemerintah dapat terwujud apabila didukung dengan prinsip yang dapat mengembangkan kepercyaan berupa partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif, kesetaraan dan keadilan, dan akuntabilitas (Juanda Nawawi, 2012).

Farazmand (2004), governance merupakan solusi untuk mengatasi problem yang belum teratasi dan yang ditimbulkan oleh OPA (Farazmand menyebutnya dengan traditional forms of goverment). Lebih lanjut ia

mengungkapkan bahwa governancememiliki dua bentuk, yakni entrepreneurial models of government (NPM) dan social and political governance (NPS). Konsep governance tersebut kini menerima kritik sebagian karena tidak semua prinsip governance dapat dijalankan dengan mulus di negara-negara sedang berkembang.

Sebagian lagi karena governance dipandang sebagai konsep yang bersifat inperialistik karena dipaksakan oleh-oleh lembaga-lembaga internasional untuk diterapkan di negara-negara sedang berkembang.

Kini governance tak lagi dianggap memadai karena pengaruh globalisasi yang sedemikian kuat menyebabkan ada banyak kebutuhan dn tuntutan public yang tak lagi dipenuhi. Untuk itu dibutuhkan cara baru untuk memenuhi persoalan tersebut yang kemudian dikenal sebagai governance. Konsep ini menambahkan satu aktor penting dalam administrasi publik yakni elemen internasional. Aktor ini memainkan peran signifikan baik dalam regional dan global governance maupun dalam local dan national governance. Selain itu, globalisasi juga membawa kompleksitas dinamis bagi administrasi publik sehingga persoalan dan kebutuhan yang ada hanya akan dicapai dengan adanyainovasi dalam kebijakan dan administrasi publik. Inovasi merupakan kunci utama governance dalam mencapai tujuan administrasi (Tjahnulin, 2011).

Governance menurut Pandji Santosa, (2012) merupakan paradigm baru dalam tatanan pengelolaan kepemerintahan.Ada tiga pilar governance, yaitu Pemerintah, sector swasta, dan masyarakat.Sementara itu, paradigma pengelolaan pemerintah yang sebelumnya berkembang adalah government sebagai satu-satunya penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut istilah “kepemerintahan” atau dalam bahasa inggris

“governance” yaitu “the act, fact, manner of governing”, berarti; “tindakan, fakta, pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan”. Dengan demikian

“governance” adalah suatu kegiatan (proses), sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman dalam Sedarmayanti, (2012) bahwa governancelebih merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai.

Farazmand dalam Tjahjanulin, (2011) mengatakan istilah “governance”

menunjukkan prinsip pemerintah dan administrasi yang jauh lebih komprehensif dari istilah government dan governing. Governance berarti proses partisipasi dalam penanganan urusan sosial, ekonomi, dan politik dari sebuah komunitas Negara atau local lewat struktur dan nilai yang melibatkan masyarakat. Ini bisa memandang negara sebagai institusi pendukung, kerangka konstitusional, masyarakat civil, sector privat dan struktur institusional internasional atau global dalam batasannya. Governancedigunakan sebagai sebuah konsep yang lebih luas dari bentuk pemerintah yang tradisional, unilateral dan otoriter yang mana elit governing nya hanya duduk dalam komando unilateral. Governance karena itu dikatakan inklusif, dan mengandung partisipasi dan interaksi dalam lingkungan nasional dan internasional yang kompleks, beragam dan dinamis.

Unsur-unsur dalam pemerintahan (governance stakeholders) dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori menurut Sedermayanti, (2012) yaitu:

1. Negara atau pemerintahan : konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itumelibatkan pula sektor swasta dan kelembangaan masyarakat madani.

2. Sektor swasta : pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dala sistem pasar, seperti: industri pengolahan perdagangan, perbankan, dan koperasi, termasuk kegiatan sector informal.

3. Masyarakat madani : kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau ditengah antara pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.

Istilah governance semakin populer, karena dikaitkan dengan berbagai konteks, seperti corporate governance, local governance, national governance, international governance, global governance, participatory governance(Sisk 2002, Streeten 2003, UNDP 2004, UN-ESCAP 2005). Frederickson (2001) dalam tulisannya “Whateper Happened To Public Administration? Governance, Governance Every Where’’ menyatakan konsep governance merupakan subjek paling dominan dalam kajian administrasi publik selama 15 tahun terakhir yang sangat diminati para ahli. Menurutnya dari kecenderungan bagaimana para ahli mengkonsepsikan governance dibagi menjadi empat alur pikiran (Akhmad Sukardi, 2009):

1. Secara substantif sama dengan perspektif yang sudah mapan dalam administrasi publik, meskipun dalam bahasa yang berbeda.

2. Pada dasarnya adalah studi tentang pengaruh kontekstual yang membentuk praktek administrasi publik, daripada studi administrasi publik.

3. Studi tentang hubungan interyurisdiksional dan implementasi kebijakan pihak ketiga dalam administrasi publik.

4. Studi tentang pengaruh atau kekuatan kolektif masyarakat nonstate dan nonjuris diktional.

Pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun konsep governance masih mengacu pada aspek kekuasaan, tetapi spektrumnya sudah berkembang sedemikian rupa sehingga tidak lagi terpusat pada tangan pemerintah semata, tetapi bergeser dan terdistribusi secara merata pada stakeholders dalam konsep masyarakat madani, yaitu Pemerintah, swasta dan masyarakat (Akhmad Sukardi, 2009).

Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti governance sebagai berikut: “kepemerintahan yang mengembang akan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efesiensi, efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat”.

Konsep governance yang melibatkan beragam stakeholders (Pemerintah, Masyarakat dan sektor swasta) dalam administrasi publik dengan mengedepankan prinip-prinip akuntabilitas, transparansi, daya tanggap, partisipasi dan lain sebagainya telah diakui oleh khalayak yang lebih luas dan bahkan dipaksa terapkan oleh berbagai lembaga donor internasional kepada terutama negara-negara sedang berkembang. Farazmand mengungkapkan bahwa “governance is

therefore inclusive and promotes participation and interaction in an increasingly complex, diverse, and dynamic national and intternational environment.” Dengan konsepsiseperti ini maka wajarlah jika pandangan governancemelibatkan utamanya sektor swasta dengan cara-cara bisnis yang diterapkan di sektor administrasi publik sehingga tidak mengherankan bila Frederickson (1997) mengungkapkan prinsip-prinsip reinventing government dari Osborne dan Gaebler sebagai governanceyang melibatkan utamanya kekuatan masyarakat sebagai warga negara dengan domisili cara-cara politik yang diterapkan di sektor administrai publik. Hal ini juga senada dengan Bovaird dan Loffler (2003) yang menyajikan ciri-ciri Publik governance yang mendekati karakteristik NPS dari Denhart and Denhart (2003).

C. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)

Musyawarah menurut bahasa berarti berunding dan berembuk, sedangkan pengertian musyawarah menurut istilah adalah perundingan bersama antara dua orang ataulebih untuk mendapatkan keputusan yang terbaik.Musyawarah adalah pengambilan keputusan bersama yang telah disepakati dalam memecahkan suatu masalah (Ricky, 2015).

Kata Musyawarah berasal dari Bahasa Arab yang menggambarkan bagaimana warga saling berdiskusi memecahkan masalah, konflik dan juga problem di masyarakat. Kata Musrenbang identik dengan diskusi di masyarakat tentang kebutuhan pembangunan daerah. Musrenbang adalah mekanisme perencanaan sebuah institusi perencana yang ada di daerah dan sebagai mekanisme untuk mempertemukan usulan atau kebutuhan masyarakat ( Bottom

Up Plannning ) dengan apa yang akan diprogram pemerintah ( Top Down Planning ) Iskandar, 2010.

Pelaksanaan Musrenbang yang berjenjang mulai dari tingkat desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, hingga dibawa ketingkat nasional merupakan kesempatan emas bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam perencanaan pembangunan. Akan tetapi dalam penyelenggraannya kerap kurang memperhatikan aspek partisipasi secara luas, dan masih terbatas pada seremonial dan cara rutin belaka. Peran lembaga daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Dewan Perwaiklan Rakyat Daerah (DPRD) untuk meningkatkan partisipasi masyarakat khususnya dalam forum Musrenbnag mutlak diperlukan sebagai salah satu usaha menuju pemerintahan daerah yang lebih baik (Wahyu Ishardino Satries, 2010).

Kegiatan Musrenbang tidak hanya menjadi wadah bagi penyusunan rencana kegiatan akan dilaksanakan. Musrenbang harus dipandang sebagai saluran resmi yang dipersiapkan untuk menganalisasi aspirasi masyarakat dalam rangka memperoleh akses yang memadai dalam kebijakan penganggaran pembangunan.

Musrenbang hendaknya dipandang sebagai wadah yang dipersiapkan untuk melakukan upaya harmonisasi dan singkronisasi berbagai kutub perencanaan tersebut, sehingga aspirasi masyarakat dapat turut mewarnai hasil perencanaan teknokratis dan perencanaan politis. Musrenbang adalah forum public perencanaan (program) yang diselenggarakan oleh lembaga public yaitu pemerintah desa bekerja sama dengan warga dan para pemangku kepentingan penyelenggaraan Musrenbang merupakan salah-satu tugas pemerintah desa untuk

menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan (Nanda, 2014).

Dalam melihat fenomena Musrenbang, penelitian ini menggunakan dua pendekatan yang terhubung teori medan dan teori tindakan komukatif. Teori medan menggambarkan bagaimana musrenbang dapat dilihat sebagai fenomena pertarungan antara aktor yang memiliki kepentingan dengan aktor yang mmiliki penguasaan sumber daya. Sumber daya yang dimaksud dalam kontreks ini dapat diartikan sebagai spektrum, baik itu ekonomi, politik, selera seni termasuk intelektualitas. Pertarungan antar aktor tersebut nantinya akan menentukan siapa yang berhak berbicara dan menyampaikan gagasan di Musrenbang Desa (Muhammad Ridho Nugroho, 2016).

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) merupakan mekanisme perencanaan pembangunan di daerah yang melibatkan pertisipasi dari masyarakat. Penyelenggaraan Musrenbang merupakan salah satu tugas Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Pembangunan tidak akan bergerak maju apabila salah satu saja dari tiga komponen tata pemerintahan (Pemerintah, Masyarakat, Swasta) tidak berperan atau berfungsi. Karena itu, Musrenbang juga merupakan forum pendidikan bagi warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan (Dila, 2012).

Dalam poses Musrenbang partisipasi masyarakat masih terlibat kurang baik, pelaksanaan Musrenbang masyarakat menjadi penentu bagi keberhasilannya.

Akan tetapi yang terjadi masyarakat minim untuk berperan langsung dalam proses

pelaksanaannya. Pelaksanaan Musrenbang yang bersentuhan langsung pada masyarakat yaitu pelaksanaan Musrenbang pada tingkat Kelurahan atau Desa.

Dengan adanya Musrenbang diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan (Fikri, 2015).

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) diselenggarakan secara berjenjang mulai dari tingkat Kelurahan atau Desa, Kecamatan atau Kota

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) diselenggarakan secara berjenjang mulai dari tingkat Kelurahan atau Desa, Kecamatan atau Kota

Dokumen terkait