• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan dari tujuan penelitian yang telah dikemukakan, maka hasil dari penelitian ini dihadapkan:

1. Memberikan kontribusi akademik dalam pengembangan konsep-konsep bidang ilmu administrasi publik khususnya pelayanan publik.

2. Dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya terhadap masalah-masalah pelayanan publik khususnya terkait dengan pola penyelesaian hubungan industrial di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar.

7

Penelitian terdahulu menjadi acuan dan tolak ukur bagi peneliti dalam menentukan langkah-langkah yang sistematis. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya:

1. Drs. Achmad Moelyono, M. H; Selly Asih 2021, melakukan penelitian dengan judul Analisis Kinerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lampung Selatan Dalam Mencegah dan Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Lampung Selatan, dengan menggunakan penelitian pendekatan yuridis normatif dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian dilihat selama tiga tahun terakhir 2017-2019 berhasil menyelesaikan berbagai macam kasus perselisihan di lingkungan Kabupaten lampung Selatan. Disimpulkan bahwa kinerja pencegahan dan penyelesaian hubungan industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah membantu menyelesaikan konflik para pekerja dengan perusahaan, sehingga membantu mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan tingkat pengangguran (Meolyono & Asih, 2021).

2. Faizal Adtya Dermawan, Bagus Sarnawa 2021, Melakukan penelitian dengan judul Peran Dinas Tenaga Kerja Dalam Proses Mediasi Penyelesaian Permasalahan Hubungan Industrial. Metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan yuridis empiris, dengan cara menggunakan pendekatan hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang di dapat secara objektif di lapangan baik berupa data, informasi dan pendapat yang didasarkan pada identifikasi hukum.

Dari hasil penelitian ini menunjukan: (1) Peran Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yaitu dengan cara mufakat dan terdiri dari mediasi yang akan di pimpin oleh mediator, (2) Hambatan saat penyelesaian perselisihan hubungan industrial salah satunya adalah kurangnya pengetahuan kedua belah pihak dan tidak adanya kesepakatan atau berbeda pendapat sehingga menimbulkan perselisihan dan kurangnya pemahaman terhadap regulasi perundang-undangan ketenagakerjaan yang berbeda-beda, dan pihak ketiga pun akhirnya memberikan pendampingan kepada kedua belah pihak (Dermawan & Sarnawa, 2021).

3. M. Faisal Putra Alamsyah, Tjitjik Rahaju 2020, Melakukan penelitian dengan judul Peran Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Timur dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil menunjukkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya sebagai mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur telah melaksanakan 5 indikator fungsi pemerintahan dengan baik, namun masih terdapat beberapa

kendala pada bagian inovator yang mana masih ada salah paham antara mediator dengan para pihak yang berselisih pada saat pelaksanaan konsultasi online, pada bagian modernisator instansi belum memiliki sumber daya manusia yang ahli untuk membuat aplikasi. Saran untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memberikan anggaran khusus kepada dinas tenaga kerja pada tiap kota atau kabupaten yang bisa digunakan untuk melaksanakan kegiatan edukasi dan sosialisasi terkait dengan ketenagakerjaan khususnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial, membuat SOP yang lebih jelas terkait dengan konsultasi online, dan menambah sumber daya manusia yang kompeten pada bidang pembuatan aplikasi (Alamsyah & Rahaju, 2020).

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu

Judul Fokus Penelitian Pendekatan

Penelitian

Hasil dari penelitian dilihat selama tiga tahun terakhir 2017-2019 berhasil menyelesaikan berbagai macam kasus perselisihan di lingkungan Kabupaten lampung Selatan. Disimpulkan bahwa kinerja pencegahan dan penyelesaian hubungan industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah membantu menyelesaikan konflik para pekerja dengan perusahaan, sehingga membantu mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan tingkat pengangguran

Dari hasil penelitian ini menunjukan: (1) Peran Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

Kualitatif

yaitu dengan cara mufakat dan terdiri dari mediasi yang akan di pimpin oleh mediator, (2) Hambatan saat penyelesaian perselisihan hubungan industrial salah satunya adalah kurangnya pengetahuan kedua belah pihak dan tidak adanya kesepakatan atau berbeda pendapat sehingga menimbulkan perselisihan dan kurangnya pemahaman terhadap regulasi perundang-undangan ketenagakerjaan yang berbeda-beda, dan pihak ketiga pun akhirnya memberikan pendampingan kepada kedua belah pihak

Hasil menunjukkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya sebagai mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur telah melaksanakan 5 indikator fungsi pemerintahan dengan baik, namun masih terdapat beberapa kendala pada bagian inovator yang mana masih ada salah paham antara mediator dengan para pihak yang berselisih pada saat pelaksanaan konsultasi online, pada bagian modernisator instansi belum memiliki sumber daya manusia yang ahli untuk membuat aplikasi. Saran untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memberikan anggaran khusus kepada dinas tenaga kerja pada tiap kota atau kabupaten yang bisa digunakan untuk melaksanakan kegiatan edukasi dan sosialisasi terkait dengan ketenagakerjaan khususnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial, membuat SOP yang lebih jelas terkait dengan konsultasi online, dan menambah sumber daya manusia yang kompeten pada bidang pembuatan aplikasi

Kualitatif

Posisi Penelitian yang dilaksanakan: Penelitian mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial terhadap penanganan pengaduan pekerja maupun perusahaan terkait kasus perselisihan yang dihadapi di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, yang dilaksanakan ini memiliki kesamaan

dengan beberapa penelitian yang lain yakni metode yang digunakan. Perbedaan terletak pada fokus penelitian. Pengumpulan data yang diterapkan menggunakan metode observasi langsung, dan beberapa dimensi yang menjadi objek juga diharapkan menjadi temuan baru dalam penelitian ini khususnya terkait dengan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan tugas Dinas Ketenagakerjaan.

B. Konsep dan Teori

1. Undang-undang Ketenagakerjaan

Undang-undang Ketenagakerjaan (Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003) mengatur berbagai hal yang telah dituangkan dalam undang-undang tersebut. Undang-undang-undang ini memberikan perhatian yang khusus dan memberikan kerangka hukum atas hak-hak dasar bagi pekerja, termasuk hak para pekerja untuk melakukan mogok serta hak untuk menutup perusahaan bagi para pengusaha, perlindungan yang berkaitan dengan upah, dan jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan kerja.

Undang-undang ini juga mengatur hubungan industrial Indonesia dan prosedur bagaimana menangani pemutusan hubungan kerja (Suwarto, 2003).

● Hubungan Kerja

Pasal 50 Undang-undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa hubungan kerja terjadi karena perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Undang-undang ini menetapkan beberapa persyaratan tertentu yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja untuk melindungi tenaga kerja dari praktek tidak adil atau penyalahgunaan dan untuk

menjamin kepastian hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha (Suwarto, 2003).

a. Syarat-syarat Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau secara lisan (Pasal 51).

Perjanjian kerja tertulis setidaknya harus memuat beberapa hal berikut (Pasal 54):

1) Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;

2) Nama, jenis kelamin, usia, dan alamat pekerja/buruh;

3) Jabatan atau jenis pekerjaan;

4) Tempat Pekerjaan;

5) Upah dan bagaimana cara pembayarannya;

6) Syarat kerja yang memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban pekerja/buruh dan perusahaan;

7) Saat dimulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;

9) Tanda tangan pengusaha dan pekerja/buruh.

b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

Masa percobaan yang tidak lebih dari 3 (tiga) bulan dapat diberlakukan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, dan masa berlakunya masa percobaan tersebut tidak dapat diperpanjang.

Sewaktu masa percobaan itu pengusaha dilarang untuk melakukan pembayaran upah kurang dari upah minimum yang berlaku (Pasal 60).

Suatu Perjanjian kerja tidak tertentu dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis dan tidak terbatas pada jenis pekerjaan/tugas tertentu, tidak seperti perjanjian kerja waktu tertentu. Surat pengangkatan harus dibuat oleh pengusaha jika perjanjian dibuat secara lisan. Surat pengangkatan paling tidak harus memuat (Pasal 63):

1) Nama dan alamat pekerja/buruh;

2) Tanggal dimana pekerja/buruh mulai bekerja;

3) Jenis pekerjaan;

4) Upah.

c. Akhir Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja akan berakhir dengan kejadian-kejadian sebagai berikut (Pasal 61):

1) Pekerja/buruh meninggal dunia;

2) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

3) Adanya putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja;

Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha, atau beralihnya perusahaan, atau akibat perubahan lain atas status perusahaan (Pasal 61(3)).

● Perlindungan dan Pengupahan Pekerja

Undang-undang Ketenagakerjaan memberikan perhatian yang luas untuk tenaga kerja dan orang lain yang terlibat dalam hubungan kerja untuk melindungi yang bersangkutan dari penyalahgunaan dan perlakuan lain yang tidak wajar. Undang-undang ini memberi perhatian khusus untuk perlindungan bagi pihak yang lebih lemah dalam hubungan kerja, seperti anak-anak atau penyandang cacat, dan menyediakan suatu kerangka hukum khusus untuk menghindari hubungan kerja yang tidak adil dan tidak wajar. Ketentuan mencakup jam kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, dan pah dan kesejahteraan semuanya bertujuan untuk menjamin lingkungan kerja sehat untuk keuntungan pekerja/buruh serta perusahaan. Undang-undang ini mengatur tentang yang menyandang cacat, anak-anak, perempuan, jam kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, upah dan kesejahteraan (Suwarto, 2003).

a. Pekerja Anak

Perusahaan dilarang untuk mempekerjakan anak-anak, kecuali kalau mereka sudah berusia 13 sampai 15 tahun untuk mengerjakan pekerjaan pekerjaan ringan, dan perusahaan harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:

1) memperoleh izin tertulis dari orang tua atau wali;

2) membuat perjanjian kerja antara perusahaan dan orangtua atau wali;

3) waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

4) pekerjaan dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;

5) memberlakukan keselamatan dan kesehatan kerja;

6) adanya hubungan kerja yang jelas;

7) memberikan upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam hal seorang anak bekerja pada tempat yang sama dengan orang dewasa, maka tempat kerja untuk anak harus dipisah (Pasal 72). Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada

pekerjaan-pekerjaan yang terburuk, seperti:

1) segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

2) segala pekerjaan yang melibatkan pornografi;

3) semua pekerjaan yang berkaitan dengan narkoba, dan lain-lain yang sejenisnya;

4) semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan/atau moral anak (Pasal 74).

b. Pekerja Perempuan

Pasal 76 mengatur bahwa perempuan berusia dibawah 18 tahun tidak diijinkan untuk bekerja antara jam 23.00 – 07.00. Larangan juga berlaku bagi perempuan hamil karena potensi risiko

kesehatan. Perusahaan yang mempekerjakan pekerja perempuan pada jam antara 23.00 – 07.00 harus:

1) memberikan makanan dan minuman bergizi;

2) menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja;

3) menyediakan angkutan antar jemput.

c. Jam Kerja

Jam kerja dapat diatur sebagai berikut:

1) 7 (tujuh) jam satu hari dan 40 (empat puluh) jam per minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam satu minggu, atau

2) 8 (delapan) jam per hari dan 40 (empat puluh) jam per minggu untuk 5 lima) hari dalam satu minggu.

d. Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86 menetapkan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Selanjutnya, setiap pengusaha wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan itu (Pasal 87).

e. Upah

Ketentuan tentang upah diatur secara luas dalam Pasal 88 sampai Pasal 98. Disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan. Pemerintah harus menetapkan kebijakan pengupahan, antara lain, meliputi:

1) upah minimum;

2) upah kerja lembur;

3) upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

4) upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

5) bentuk dan cara pembayaran upah;

6) struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

7) upah untuk pembayaran pesangon.

Seorang pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi setiap kelompok pekerja. Pengusaha juga harus melakukan peninjauan secara berkala dengan memperhatikan kemampuan dan produktivitas perusahaan. Upah tidak akan dibayar jika pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaannya.

Pengecualian, antara lain, adalah:

1) pekerja/buruh dalam keadaan sakit;

2) Keluhan yang dialami pekerja perempuan pada hari pertama dan kedua waktu menstruasi;

3) pekerja/buruh yang menikah (3 hari), anaknya laki-laki/perempuan menikah, sunatan bagi anak laki-lakinya, pembaptisan bagi anak laki-laki/perempuan, isteri melahirkan atau mengalami keguguran, kematian suami/isteri

anak/orangtua/mertua dari pekerja (2 hari untuk setiap kejadian), kematian anggota keluarga yang tinggal di dalam rumah yang sama (1 hari);

4) pekerja/buruh sedang melakukan kewajiban (tugas) negara;

5) pekerja/buruh melakukan kewajiban agama.

Permintaan pembayaran upah para pekerja dan pembayaran lainnya kadaluarsa setelah dua tahun.

2. Hubungan Industrial

Pengertian hubungan industrial telah di dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut:

Menurut Payaman J. Simanjuntak 2009 (dalam Rahadi et al., 2021), Hubungan Industrial merupakan hubungan semua pihak yang terlibat atau memiliki kepentingan dari proses produksi barang atau jasa di suatu perusahaan.

Menurut Bethel and Others (dalam Rahadi et al., 2021) “Hubungan Industrial adalah bagian dari manajemen yang berkaitan dengan tenaga kerja perusahaan baik operator mesin, pekerja terampil atau manajer”.

Tenaga kerja perusahaan, dengan demikian, diklasifikasikan sebagai manajemen dan pekerja atau pengusaha dan karyawan dan hubungan industrial dapat diperlakukan sebagai hubungan antara pengusaha dan pekerja.

Sedangkan berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 16 mengartikan “Hubungan

Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945” (KEMENPERIN, 2003).

Dari beberapa definisi diatas peneliti menyimpulkan bahwa hubungan industrial adalah hubungan yang merupakan hasil dari

“hubungan kerja” dalam suatu perusahaan industri. Dengan demikian, hubungan pengusaha dan pekerja dalam suatu industri. Dua pihak pengusaha dan pekerja diperlukan, yang tanpa adanya hubungan tersebut tidak akan ada hubungan industrial dan yang menyediakan pengaturan/peraturan untuk hubungan industrial adalah industri tersebut.

Undang-undang Ketenagakerjaan mengatur tentang hubungan industrial. Ketentuan itu menjelaskan peranan pemerintah, para pekerja, dan pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial. Undang-undang ini juga mengatur hak-hak dasar pengusaha dan pekerja/buruh, seperti (Suwarto, 2003):

1) Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh (hak pekerja);

2) Hak untuk melakukan aksi mogok (hak pekerja);

3) Hak untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha (hak pengusaha);

4) Hak untuk menutup perusahaan (hak perusahaan).

Menurut Pasal 103, hubungan industrial akan dilaksanakan melalui sarana (Suwarto, 2003)

1) Serikat pekerja/serikat buruh;

2) Organisasi pengusaha;

3) Lembaga kerja sama bipartit;

4) Lembaga kerja sama tripartit;

5) Peraturan perusahaan;

6) Perjanjian kerja bersama;

7) Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;

8) Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Dalam hubungan ini, pemerintah dan perwakilan/lembaganya menetapkan kebijakan dan pengawasan Undang-undang Ketenagakerjaan. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan ketenagakerjaan pemerintah akan mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin ketaatan atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan ini.

3. Perselisihan Hubungan Industrial

● Jenis-jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Berdasarkan ketentuan pasal 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, perselisihan hubungan industrial terdiri empat jenis, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja (Pujiastuti, 2008).

a. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak terpenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan merupakan perselisihan mengenai hak normatif yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan atau peraturan perundang-undangan.

b. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja

yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidaki adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

d. Perselisihan antar serikat pekerja adalah perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban serikat pekerjaan.

● Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial terbagi menjadi bipartit dan tripartit. Keduanya merupakan sarana hubungan industrial yang berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Perbedaannya, LKS Bipartit berada di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis, dimana perusahaan yang mempekerjakan pekerja 50 orang atau lebih, wajib membentuknya. Sedangkan LKS Tripartit merupakan lembaga yang berada di luar perusahaan yang kedudukannya berjenjang mulai dari tingkat nasional, tingkat provinsi, hingga tingkat kabupaten/kota. Keanggotaannya terdiri dari organisasi

pengusaha, gabungan serikat pekerja serta pemerintah (Kartawijaya, 2018)

Ada 5 (lima) cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 (Kartawijaya, 2018b).

1) Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartit

Merupakan cara penyelesaian yang mutlak harus dilakukan untuk setiap jenis perselisihan menyangkut perselisihan kepentingan, perselisihan hak, perselisihan PHK maupun perselisihan antar SP/SB. Wajib dilaksanakan secara langsung oleh pihak–pihak (pekerja dan pengusaha/manajemen) secara musyawarah, tanpa melibatkan pihak ketiga dan merupakan awal langkah penyelesaian. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit yaitu melakukan perundingan terlebih dahulu secara musyawarah untuk mencapai mufakat harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

Bentuk penyelesaiannya berupa Persetujuan Bersama. Apabila tidak berhasil dicapai persetujuan bersama, maka pihak-pihak dapat bersepakat untuk melanjutkan penyelesaian ke tahap kedua, dimana ada 3 opsi penyelesaian, yaitu melalui cara Mediasi, cara Konsiliasi, atau cara Arbitrasi.

2) Penyelesaian Perselisihan Dengan Cara Mediasi

Merupakan penyelesaian perselisihan tingkat kedua apabila penyelesaian secara bipartit tidak berhasil mencapai persetujuan bersama, dilaksanakan melalui jasa mediator (penengah) sebagai pihak ketiga yang merupakan pegawai pemerintah di bidang ketenagakerjaan, setelah mendapat limpahan perkara dari pihak-pihak yang berselisih. Cara ini dapat menangani semua jenis perselisihan (kepentingan, hak, Pemutusan Hubungan Kerja, perselisihan antar SP/SB). Hasil penyelesaian diharapkan berupa Persetujuan Bersama (PB), sedangkan apabila tidak tercapai kesepakatan, maka mediator mengeluarkan produk yang bernama Anjuran Tertulis yang dikeluarkan paling lambat 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak. Apabila anjuran tidak diterima oleh salah satu atau kedua pihak (melalui jawaban anjuran), maka pihak-pihak dapat mengajukan penyelesaian ke Peradilan Hubungan Industrial.

Prosedur dan Mekanisme Penyelesaian melalui Mediasi a. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah

menerima permintaan tertulis dari pihak-pihak yang berselisih;

b. Mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan segera mengadakan persidangan mediasi;

c. Dalam hal mencapai kesepakatan maka dibuat Persetujuan Bersama yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh

Mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak yang mengadakan Perjanjian Bersama.

d. Dan sebaliknya apabila tidak mencapai kesepakatan maka Mediator mengeluarkan surat anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama kepada para pihak dan para pihak memberikan jawaban atas surat anjuran yang dikeluarkan Mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima anjuran.

e. Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan (dimana apabila para pihak tidak menentukan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam 7 hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator).

Mediator harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b. Warga Negara Indonesia

c. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter

d. Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan

e. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela f. Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1) g. Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri

3) Penyelesaian Perselisihan Dengan Menggunakan Cara Konsiliasi Merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial tingkat kedua yang menyangkut perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan SP/SB, dengan menggunakan jasa pihak ketiga yaitu jasa konsiliator (juru damai), yang ditunjuk dengan kesepakatan oleh masing-masing pihak. Produk penyelesaiannya berupa Persetujuan Bersama (PB). Apabila tidak dicapai kesepakatan, maka konsiliator mengeluarkan Anjuran Tertulis, yang dapat dipertimbangkan oleh masing-masing pihak untuk menerima atau menolak melalui jawaban anjuran. Dalam hal anjuran konsiliator ditolak, maka pihak-pihak dapat melanjutkan perkara ke peradilan hubungan industrial.

Prosedur dan Mekanisme Penyelesaian melalui Konsiliasi

Prosedur dan Mekanisme Penyelesaian melalui Konsiliasi

Dokumen terkait