• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan dan tersajinya data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa informan yang terlibat di atas terkait Pola Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Dinas Ketenagakerjaan berdasarkan Undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar merupakan instansi penyelenggara pemerintah yang membantu Walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan bidang tenaga kerja. Salah satu bentuk penyelenggaraan tugas dan fungsi yang dilakukan adalah memberikan pelayanan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi pada pekerja dan perusahaan

yang sedang berselisih. Dinas Ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugas sebagaimana diatas menyelenggarakan fungsi :

1) Perumusan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang tenaga kerja,

2) Pelaksanaan kebijakan urusan pemerintahan bidang tenaga kerja,

3) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan Urusan Pemerintahan bidang tenaga kerja,

4) Pelaksanaan administrasi dinas Urusan Pemerintahan bidang tenaga kerja, dan

5) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Walikota terkait dengan tugas dan fungsinya.

Berikut Pemaparan dan Pelaksanaan dari indikator penelitian tersebut:

1. Faktor penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial

Faktor penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan perusahaan yang terjadi di Dinas Ketenagakerjaan sesuai dengan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang mencakup empat hal perselisihan, sebagai berikut:

a. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Penyebab terjadinya perselisihan PHK ini yang biasa diadukan di Dinas Ketenagakerjaan yakni pengakhiran hubungan kerja seperti pemutusan

secara sepihak, adanya pelanggaran kerja, pesangon dan pengurangan karyawan.

b. Perselisihan Hak perselisihan yang timbul karena tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan ini merupakan perselisihan mengenai hak normatif yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Penyebab terjadinya perselisihan ini yang biasa diadukan di Dinas Ketenagakerjaan yakni pembayaran upah pekerja.

c. Perselisihan Kepentingan, perselisihan yang terjadi dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Penyebab terjadinya perselisihan ini yang biasa diadukan di Dinas Ketenagakerjaan yakni pembuatan aturan atau syarat-syarat perjanjian kerja.

d. Perselisihan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, perselisihan yang terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya dalam satu perusahaan. Penyebab terjadinya perselisihan ini yang biasanya masalah keanggotaan tapi di Dinas Ketenagakerjaan sendiri kasus perselisihan serikat pekerja/serikat buruh ini sendiri selama 3 tahun terakhir ini tidak terjadi pengaduan.

Menurut penulis dari hasil penelitian yang dilakukan faktor penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial di Dinas Ketenagakerjaan sesuai dengan perselisihan yang dijelaskan dalam Undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam empat faktor penyebab perselisihan hubungan industrial di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar yang sering terjadi yakni pembayaran upah dan pesangon.

2. Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial a. Alur pengaduan perselisihan hubungan industrial

Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses dalam pengaduan perselisihan hubungan industrial yakni pihak yang berselisih jika tidak mencapai kesepakatan bipartit maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan atau melakukan pengaduan ke Dinas Ketenagakerjaan dengan melampirkan bukti penyelesaian secara bipartit, surat permohonan bipartit, daftar hadir dan risalah perundingan apabila berkas tersebut telah terpenuhi selanjutnya ditindaklanjuti oleh admin dan pihak yang berselisih pekerja dan perusahaan akan diberikan kesempatan untuk memilih kasus perselisihannya ditangani oleh mediator, konsiliator atau arbiter. Apabila pihak yang berselisih memilih untuk kasus perselisihannya ditangani oleh konsiliator atau arbiter maka kasus yang diperselisihkan tidak dapat terselesaikan karena konsiliator atau arbiter di Kota Makassar belum tersedia jadi ketika melakukan pengaduan di Dinas Ketenagakerjaan satu-satunya cara yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan adalah dengan mediasi dimana mediasi dilakukan oleh

mediator. Setelah pengaduan masuk maka pejabat struktural mendisposisikan kepada salah satu mediator menangani kasus perselisihan tersebut. Setelah mediator telah ditunjuk, maka mediator tersebut melakukan pemanggilan kepada pihak yang berselisih untuk dilakukan sidang mediasi.

Sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 3 bahwa

“Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam hal perundingan bipartit gagal maka salah satu atau kedua bela pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbiter”.

Menurut penulis dari hasil penelitian alur pengaduan perselisihan hubungan industrial yang dilakukan di Dinas Ketenagakerjaan telah sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku dimana pihak berselisih diberi kesempatan untuk menanyakan penyelesaian perselisihan yang diadukan ditangani oleh mediator, konsiliator atau arbiter, namun karena tidak adanya konsiliator dan arbiter di Dinas Ketenagakerjaan membuat

pihak berselisih tidak dapat memilih untuk diatasi kasusnya selain mediasi yang ditangani mediator (pegawai Dinas Ketenagakerjaan).

Adapun pengaduan yang masuk di Dinas Ketenagakerjaan pada tahun 2019-2021 yang telah mencakup 4 perselisihan hubungan industrial sebagai berikut:

Tabel 4.1

Data Pengaduan Perselisihan HI Tahun 2019 No Bulan Perkara

Sumber. Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Agustus 2022

Dari tabel pengaduan diatas dapat dijelaskan pada bulan Januari-Desember terdapat 178 perkara dengan kasus PHK sebanyak 126, Hak sebanyak 46, Kepentingan sebanyak 6, dan Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak ada.

Tabel 4.2

Data Pengaduan Perselisihan HI Tahun 2020 No Bulan Perkara

3 Maret 25 19 6 0 0

Sumber. Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Agustus 2022

Dari tabel pengaduan diatas dapat dijelaskan pada bulan Januari-Desember terdapat 326 perkara dengan kasus PHK sebanyak 238, Hak sebanyak 65, Kepentingan sebanyak 23, dan Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak ada.

Tabel 4.3

Data Pengaduan Perselisihan HI Tahun 2021 No Bulan Perkara

Sumber. Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Agustus 2022

Dari tabel pengaduan diatas dapat dijelaskan pada bulan Januari-Desember terdapat 212 perkara dengan kasus PHK sebanyak 162, Hak

sebanyak 34, Kepentingan sebanyak 16, dan Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak ada.

Menurut data yang ada selama 3 tahun terakhir peneliti menyimpulkan bahwa pengaduan perselisihan yang terjadi pada tahun 2019 pengaduan perselisihan terbilang sedikit dari 2 tahun setelahnya yang mana terdapat 178 pengaduan dan 2020 menjadi pengaduan perselisihan yang paling banyak yang mana terdapat 326 pengaduan dengan berbagai kasus perselisihan.

b. Alur penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dimana pekerja atau perusahaan terlebih dahulu melakukan bipartit yang kemudian apabila penyelesaian tidak mencapai kesepakatan salah satu pihak membawa bukti hasil penyelesaian dengan bipartit atau risalah ke Dinas Ketenagakerjaan untuk dilakukan penyelesaian dengan tripartit dimana pekerja dan perusahaan terlebih dahulu diberikan pilihan untuk memilih penanganan kasus permasalahannya dengan menggunakan mediasi, konsiliasi atau arbitrase namun dalam pelaksanaan pelayanan di Dinas Ketenagakerjaan terhadap pemilihan penanganan tersebut belum menyediakan konsiliasi dan arbitrase sehingga pekerja atau perusahaan hanya bisa memilih mediasi untuk penyelesaian perselisihan.

Seperti hal yang tertera dalam Undang-undang perihal tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang-undang No.2 Tahun 2004 Pasal 3-4 tertera bahwa “Sebelum dilakukannya

penyelesaian perselisihan tripartit terlebih dahulu dilakukan perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, namun apabila bipartit gagal maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbiter”.

Namun di Dinas Ketenagakerjaan penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase belum ada sehingga penyelesaian yang dilakukan hanya pada satu metode yaitu melalui mediasi.

Menurut Soerjono Soekanto 1990 cara untuk menyelesaikan konflik dengan Mediation (penengah) menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta melapangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu.

Dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 8-15 menerangkan bahwa

“Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan,

mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Persetujuan Bersama yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh Mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak yang mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Dan sebaliknya apabila tidak mencapai kesepakatan maka Mediator mengeluarkan surat anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama kepada para pihak dan para pihak memberikan jawaban atas surat anjuran yang dikeluarkan Mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima anjuran. Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan (dimana apabila para pihak tidak menentukan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam 7 hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator)”.

Sesuai dengan perundang-undangan diatas, alur penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Dinas Ketenagakerjaan terlebih dahulu diselesaikan dengan bipartit yang mana bipartit merupakan penyelesaian perselisihan yang dilakukan oleh pekerja dan perusahaan untuk mencapai mufakat/kesepakatan namun apabila tidak mencapai

kesepakatan bipartit maka langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah pekerja atau perusahaan melakukan pengaduan atau permohonan penyelesaian kepada Dinas Ketenagakerjaan terkait perselisihan yang ada dengan ikut campurnya Dinas Ketenagakerjaan terhadap perselisihan pekerja dan perusahaan maka proses penyelesaian ini disebut tripartit dengan luaran hasil tripartit Perjanjian Bersama atau Anjuran. Dalam proses penyelesaian melalui mediasi yang dilakukan di Dinas Ketenagakerjaan tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan karena mediasi yang seharusnya dilakukan 30 hari kerja terlaksana kurang atau lebih dari 30 hari kerja yang menjadi kendala akan proses penyelesaian tersebut karena adanya pengeluruan waktu atau pekerjaan lain yang harus diselesaikan baik dari pihak pekerja, pihak perusahaan maupun dari pihak Dinas Ketenagakerjaan itu sendiri tergantung kesepakatan bersama. Selain hal tersebut kendala yang muncul dalam proses penyelesaian perselisihan melalui mediasi yakni kurangnya mediator yang tersedia sedangkan kasus perselisihan yang masuk bisa 4-5 pengaduan yang masuk dalam sehari.

Contoh kasus mediasi di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar yang peneliti angkat yaitu kasus perselisihan kepentingan, dijelaskan sebagai berikut:

Kasus perselisihan ini di adukan oleh pihak perusahaan yang mana diwakili oleh manajemen perusahaan untuk dilakukan mediasi di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, sebelum pengaduan dilakukan di Dinas

Ketenagakerjaan Kota Makassar pihak perusahaan dan pekerja telah mencoba melakukan penyelesaian perselisihan dengan menggunakan bipartit yang sudah berlangsung selama 1 tahun 10 bulan yang dimulai dari bulan 10 tahun 2020 yang pada akhirnya dilakukan pengaduan/permohonan untuk dilakukan mediasi di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar karena perundingan penyelesaian dengan bipartit belum mendapatkan titik temu atau tidak tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak.

Dalam Perusahaan X, terjadi perselisihan antara serikat pekerja dan pihak perusahaan mengenai perselisihan kepentingan pekerja maupun perusahaan karena dalam perjanjian kerja bersama yang disepakati mengacu pada undang-undang pemerintah yang lama dalam hal ini yakni Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun karena pemerintah mengeluarkan undang-undang baru yakni Undang-undang Cipta Kerja No.11 Tahun 2020 pihak perusahaan ingin mengacu pada undang-undang tersebut yang mana terjadi perubahan selisih nilai dalam hal pembayaran pesangon yang menjadikan pihak serikat pekerja tidak menyepakati hal tersebut karena nominal nilai dari Undang-undang No.13 Tahun 2003 jauh lebih tinggi dibandingkan undang-undang pemerintah yang baru, oleh karenanya pihak serikat pekerja tidak menyepakati hal tersebut karena selalu ingin yang terbaik yang tertinggi dalam hal menunjang kesejahteraan tenaga kerja. Namun pihak perusahaan tetap ingin mengacu pada undang-undang baru pemerintah

yakni Undang-undang Cipta Kerja No.11 Tahun 2020 sehingga muncul perselisihan kepentingan. Berikut perbedaan pembayaran pesangon undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 dengan Undang-undang Cipta Kerja No.11 Tahun 2020.

Tabel 4.4

Perbedaan undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 dengan Undang-undang Cipta Kerja No.11 Tahun 2020

Pesangon Undang-undang 24 tahun dihapus. RUU Cipta

Kerja menghapus poin H dalam pasal 156 ayat 3 terkait

uang penghargaan bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih

dimana seharusnya

pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan pasal 161 menyebutkan pekerja/buruh yang di PHK karena mendapat surat peringatan memiliki hak mendapatkan pesangon.

 Menghapuskan uang

pesangon bagi

pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan.

bersangkutan

Pekerja/buruh yang di PHK karena pergantian status kepemilikan perusahaan tidak akan diberi pesangon lagi oleh

pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit. pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan mengalami kerugian dan pailit tidak mendapatkan pesangon.

 Menghapuskan uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh meninggal.

Draft RUU Cipta Kerja juga telah menghapus pemberian uang santunan berupa pesangon, hak uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bagi ahli waris yang ditinggalkan.

 Menghapuskan uang

pesangon bagi

pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun.

Pemerintah telah menghapus pasal 167 UUK yang isinya mengatur pesangon bagi pekerja/buruh yang di

 Pasal 166 UUK

Bukan hanya masalah kepentingan pembayaran pesangon tapi juga masalah perjanjian kerja bersama tentang masa pensiun pekerja/karyawan yang selama ini mengacu pada undang-undang lama yakni Undang-undang Jamsoskes yang didalamnya mengatur masa pensiun 55 tahun sedangkan Undang-undang Jamsoskes ini telah dicabut/tidak berlaku lagi semenjak keluarnya Undang-undang No.40 Tahun 2004 namun pada saat itu belum ada aturan mengenai pensiun, nanti setelah keluarnya PP 45 Tahun 2015 baru ditetapkan masa pensiun jadi pemerintah telah menetapkan bahwa usia pensiun itu ditetapkan pada waktu itu 56 tahun tapi setiap kelipatan 3 tahun bertambah 1 jadi persatu Januari 2019 berubah menjadi 57 tahun. Maka dari pihak serikat pekerja memberikan penawaran kepada pihak perusahaan apabila perusahaan tetap ingin ikut dengan pembayaran pesangon di Undang-undang Cipta Kerja No.11 Tahun 2020 karena nilainya lebih rendah maka pihak serikat pekerja memberikan solusi tidak masalah jika pihak perusahaan ingin

memberlakukan pembayaran pesangon tersebut sesuai dengan Undang-undang Cipta Kerja tetapi usia pensiun harus bertambah yang tadinya 55 tahun menjadi 57 tahun karena aturan pemerintah sekarang usia pensiun 57 tahun. Selama ini pihak serikat pekerja sepakat usia pensiun 55 tahun karena pembayaran pesangonnya masih mengacu pada Undang-undang No.13 Tahun 2003 yang nominal nilainya lebih besar tapi jika nominal nilanya ingin dikurangi maka pihak serikat pekerja ingin usia pensiunannya di tambah yang artinya hal ini seimbang untuk kedua belah pihak.

Dari pengaduan perselisihan yang dilaporkan oleh pihak perusahaan, Dinas Ketenagakerjaan melakukan penyelesaian perselisihan sesuai prosedur mediasi dilakukan 3 kali sesuai kesepakatan bersama, proses mediasi yang ditangani oleh mediator telah berlangsung dari tanggal 1 Juli 2022 terjadinya mediasi pertama namun belum mencapai kesepakatan dan atas kesepakatan bersama mediasi dilanjutkan, mediasi kedua berlangsung pada 14 Juli 2022 mediator memberikan pemahaman masalah peraturan perundang-undangan agar para pihak yang berselisih dapat memahami sehingga dapat mencapai kesepakatan namun karena ego masing-masing mediasi kedua ini masih belum mencapai kesepakatan dan di mediasi ketiga pada 3 Agustus 2022 masing-masing pihak masih bertahan pada ego masing-masing sehingga tidak mencapai kesepakatan dan akhirnya kedua belah pihak yang berselisih sepakat untuk dibuatkan Anjuran dan pelimpahan perselisihan ke Pengadilan

Hubungan Industrial. Setelah kedua pihak sepakat dibuatkan Anjuran maka kedua belah pihak menandatangani berita acara yang telah disediakan oleh mediator dan segera Anjuran tersebut diberikan 2 minggu terhitung setelah mediasi terakhir.

Menurut penulis berdasarkan hasil penelitian dalam empat faktor penyebab perselisihan hubungan industrial ini penyelesaian perselisihan yang digunakan di Dinas Ketenagakerjaan yakni mediasi dimana mediasi merupakan alat untuk melakukan penyelesaian dengan musyawarah untuk mencapai kesepakatan dengan dibantu oleh mediator (pegawai Dinas Ketenagakerjaan) hasil akhir dari mediasi itu sendiri mencakup 2 hal yakni Perjanjian Bersama atau Anjuran. Dan dalam prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan namun dalam penyelesaian yang seharusnya terleselaikan 30 hari kerja sesuai peraturan terselesaikan di Dinas Ketenagakerjaan lebih dari 30 hari kerja yang tergantung kesepakatan bersama hal tersebut terjadi karena dalam proses penyelesaian masih tingginya ego masing-masing pihak sehingga tidak dapat mencapai kesepakatan, adanya adanya pengunduran sidang mediasi karena kesibukan masing-masing sehingga perlu dibuatkan jadwal baru untuk sidang mediasi, dan kurangnya mediator di Dinas Ketenagakerjaan.

Adapun penyelesaian pengaduan yang masuk di Dinas Ketenagakerjaan pada tahun 2019-2021 yang telah mencakup 4 perselisihan hubungan industrial sebagai berikut:

Tabel 4.5

Data Penyelesaian Perselisihan HI 2019 No Bulan Perkara

Sumber. Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Agustus 2022

Dari tabel penyelesaian pengaduan diatas dapat dijelaskan pada bulan Januari-Desember terdapat 178 perkara dengan penyelesaian melalui bipartit sebanyak 39 perkara, anjuran sebanyak 40, perjanjian bersama sebanyak 87 dan dalam proses sebanyak 12 kasus.

Tabel 4.6

Data Penyelesaian Perselisihan HI 2020 No Bulan Perkara

9 September 42 1 19 22 0

10 Oktober 15 0 4 11 0

11 November 15 0 0 1 14

12 Desember 18 0 0 4 14

Jumlah 326 24 108 166 28

Sumber. Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Agustus 2022

Dari tabel penyelesaian pengaduan diatas dapat dijelaskan pada bulan Januari-Desember terdapat 326 perkara dengan penyelesaian melalui bipartit sebanyak 24 perkara, anjuran sebanyak 108, perjanjian bersama sebanyak 166 dan dalam proses sebanyak 28 kasus.

Tabel 4.7

Data Penyelesaian Perselisihan HI 2021 No Bulan Perkara

Sumber. Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Agustus 2022

Dari tabel penyelesaian pengaduan diatas dapat dijelaskan pada bulan Januari-Desember terdapat 212 perkara dengan penyelesaian melalui bipartit sebanyak 76 perkara, anjuran sebanyak 44, perjanjian bersama sebanyak 82 dan dalam proses sebanyak 12 kasus.

Berdasarkan data diatas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian perselisihan di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar dapat

menyelesaikan perselisihan selama 3 tahun terakhir dilihat dari banyaknya kasus yang diselesaikan dengan Perjanjian Bersama dibandingkan Anjuran di setiap tahunnya.

95

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor penyebab perselisihan hubungan industrial

Faktor penyebab terjadinya perselisihan di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar dilihat dari 4 kasus perselisihan, terjadi karena adanya pemutusan hubungan kerja secara sepihak, pesangon, pelanggaran kerja, pengurangan karyawan, pembayaran upah pekerja, perdebatan perjanjian kerja bersama, dan keanggotaan. Faktor penyebab perselisihan yang sering terjadi di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar yakni masalah pesangon dan upah gaji.

2. Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Cara penyelesaian di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar dengan Perjanjian Bersama atau Anjuran. Alat yang digunakan untuk penyelesaian yakni Mediasi yang terlebih dahulu pihak berselisih melakukan penyelesaian melalui Bipartit. Penyelesaian melalui Konsiliasi dan Arbitrase di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar belum tersedia. Penyelesaian perselisihan di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar selama 3 tahun terakhir dengan mediasi mulai 2019-2021 dapat menyelesaikan pengaduan perselisihan, dengan paling banyak mengeluarkan Perjanjian Bersama dibandingkan Anjuran. Namun dalam

proses penyelesaian melalui mediasi di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar memiliki beberapa hambatan seperti sulitnya mendapatkan kesepakatan antara kedua bela pihak karena bertahan pada ego masing, adanya pengunduran sidang mediasi karena kesibukan masing-masing sehingga perlu dibuatkan jadwal baru untuk sidang mediasi, dan kurangnya Mediator di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar.

B. Saran

Untuk pekerja dan perusahaan agar mendapatkan pemahaman lebih mengenai hubungan industrial, disarankan kepada Dinas Ketenagakerjaan untuk mengoptimalkan sosialisasi dan membuat jadwal setiap bulannya pada setiap perusahaan terkait ketenagakerjaan yang memberikan pemahaman kepada pekerja dan perusahaan terhadap bagaimana seharusnya hubungan industrial dalam perusahaan sesuai undang-undang yang berlaku. Dan memberikan ruang khusus pelatihan atau bantuan untuk calon-calon mediator dalam melakukan persiapan diklat.

97

Mahsyar, A. (2011). Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik. Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(2).

Alamsyah, M. F. P., & Rahaju, T. (2020). Peran Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi. 10(4).

Dermawan, F. A., & Sarnawa, B. (2021). Peran Dinas Tenaga Kerja dalam Proses Mediasi Penyelesaian Permasalahan Hubungan Industrial. 2, 272–287.

Dermawan, F. A., & Sarnawa, B. (2021). Peran Dinas Tenaga Kerja dalam Proses Mediasi Penyelesaian Permasalahan Hubungan Industrial. 2, 272–287.

Dokumen terkait