• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lisda Oktari1, Ernawati Nasution2, Fitri Ardiani2

1 Mahasiswa Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Dosen Departeman Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU

Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan, 20155 Email : lisdaoktari1696@gmail.com

Abstract

The children who experience obstacles into growth caused lack of the adequate food intake and infectious diseases, so that exacerbate malnutrition of children. This condition more difficult to cope growth disorders that finally likely occurrence of stunted. This research aims to know description the consumption pattern of child stunting in SDN 064994 Medan Marelan.

Types of study is an observational of cross sectional study design. This study doing by calculating energy sufficiency, protein, calcium, phosphorus, magnesium, zinc, vitamin A and vitamin C by using 24 hours food recall method. This sample of research is all students stunting as many as 67 people.

The results of this study to show that the consumption pattern of child stunting in SDN 064994 according to the amount of food based on the adequacy of macro nutrients such as energy sufficiency is 68,7% deficient category, protein sufficiency is 47,8% good category, and to the adequacy of micro nutrients such as calcium sufficiency is 80,6%, phosphorus is 53,7%, zinc is 98,5% and vitamin C is 80,6% medium category, while magnesium is 62,7% and vitamin A is 50,7% sufficient category. By the type of food consumed an average of 3 types per day and most of the child stunting consume rice as staple food, fish and eggs as a side dish, spinach, kale and mustard greens as a vegetable.

From the results of the study suggested the school in cooperate with the primary health care that gives nutritional education school children and to cafeteria that provide healthy snacks and to students stunting to consume vegetables and fruits every day to be able to catch up growth.

Status stunting dihitung dengan menggunakan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-19 tahun yaitu dengan menghitung nilai Z-score TB/U masing-masing anak (UNICEF, 2012).

Prevalensi stunting dibeberapa Negara di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Amerika Tengah dan Kaniba berkisar antara 30-50%. Prevalensi stunting pada anak- anak berusia dibawah lima tahun di Guatemala mengalami peningkatan di tahun 1998 prevalensi stunting 53,1% dan pada tahun 2002 menjadi 54,3%. Begitu juga dengan Haiti mengalami peningkatan dari tahun 2000 prevalensi stunting 28,3% menjadi 29,7% pada tahun 2006, dan Peru terjadi penurunan di tahun 1996 yaitu 31,6%, prevalensi stunting di Peru masih berada dikisaran 30% pada tahun 2005, sedangkan prevalensi stunting di Asia tahun 2007 adalah 30,6% (UNSCN, 2008).

Berdasarkan Riskesdas tahun 2010 prevalensi stunting di Sumatera Utara sebesar 43,2% dengan kategori sangat pendek sebesar 20,6% dan pendek sebesar 22,6% (Depkes, 2010). Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi sangat pendek sebesar 30-39% dan serius bila prevalensi pendek >40% (WHO, 2010). Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional termasuk Sumatera Utara yang berada pada urutan kedelapan dan termasuk kategori serius (Depkes RI, 2013).

Anak sekolah dasar baik laki-laki dan perempuan sedang mengalami masa pertumbuhan adalah modal dasar dan asset yang sangat berharga bagi pembangunan bangsa di masa depan. Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah. Hal ini merupakan indikator kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek

ini semakin meningkat dengan

bertambahnya umur, dan gambaran ini ditemukan baik pada laki-laki maupun perempuan (Devi, 2012).

Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk pertumbuhan dan perkembangan, energi, berpikir, beraktivitas fisik, dan daya tahan

tubuh. Zat gizi yang dibutuhkan anak sekolah adalah seluruh zat gizi yang terdiri dari zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak, serta zat gizi mikro seperti vitamin, dan mineral. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan relatif cepat terutama penambahan tinggi badan (Cakrawati dan Mustika, 2011).

Pada rentang usia 10-12 tahun kebutuhan kalsium, seng, dan fosfor mulai mulai meningkat dan merupakan angka tertinggi sepanjang kehidupan. Hal ini disebabkan pada usia 10-18 tahun adalah masa pertumbuhan tinggi badan yang begitu pesat dan pembentuk masa tulang atau kepadatan tulang, untuk itu dibutuhkan nutrisi yang cukup pada rentang usia tersebut ( Almatsier, 2001).

Berdasarkan penelitian Setijowati

(2005), bahwa rendahnya TB/U

dikarenakan rendahnya asupan kalori dan protein yang tentunya ditunjang dengan rendahnya konsumsi yodium dan seng, akibatnya berpengaruh terhadap tinggi badan selain perlu suplementasi double micronutrien (yodium dan seng) juga perlu diperhatikan status gizi awalnya (cukup atau tidaknya konsumsi kalori dan protein).

Perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana gambaran pola konsumsi anak stunting di SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi, jenis, dan jumlah makanan berdasarkan kecukupan zat gizi makro (energi dan protein), dan kecukupan zat gizi mikro (kalsium, fosfor, magnesium, seng, vitamin A dan vitamin C) anak stunting di SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat observasional. Objek penelitian adalah pola konsumsi anak stunting. Penelitian dilaksanakan di SDN 064994 Medan Marelan dari Februari sampai Desember 2014. Populasi pada

penelitian ini adalah seluruh siswa stunting kelas IV, V, dan VI yang diukur

berdasarkan penjaringan indeks

antropometri TB/U di SDN 064994 Medan Marelan.

Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan alat bantu komputer. Data yang telah selesai dikumpulkan kemudian akan diolah menggunakan aplikasi komputer dan akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi kemudian dapat dianalisis secara deskriptif.

Data primer seperti pola konsumsi diperoleh dari hasil wawancara menggunakan form food recall 24 jam dan food frequency dan tinggi badan siswa dilakukan dengan mengukur TB/U. Sedangkan data sekunder berupa jumlah keseluruhan siswa dan identitas siswa yang diperoleh dari catatan pihak SDN 064994 Medan Marelan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik anak stunting di SDN 064994 Medan Marelan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Karakteristik Anak Stunting di SDN 064994 No Karakteristik Anak Stunting n % 1. 2. 3. Umur 7-9 tahun 10-12 tahun 13-15 tahun 14 51 2 20,9 76,1 3,0 Total 67 100,0 1. 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 42 25 62,7 37,3 Total 67 100,0 1. 2. 3. 4. 5. Pekerjaan Orangtua Karyawan Swasta PNS Wiraswasta TNI/POLRI BUMN 7 3 55 1 1 10,4 4,5 82,1 1,5 1,5 Total 67 100,0 1. 2. 3. Pendapatan Orangtua <1.000.000 1.000.000-3.000.000 >3.000.000 18 45 4 26,9 67,2 6,0 Total 67 100,0

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa anak stunting yang terbanyak terletak pada rentang usia 10-12 tahun sebesar 76,1% dengan jenis kelamin laki-laki yang lebih mendominasi sebesar 62,7%. Rata-rata pekerjaan orangtua anak stunting yaitu

wiraswasta sebesar 82,1% yang

berpendapatan rata-rata 1.000.000-3.000.000 per bulannya sebesar 67,2%.

Tabel 2. Distribusi Anak Stunting di SDN 064994

Stunting Jumlah Persentase

Pendek 55 82,1

Sangat

Pendek 12 17,9

Total 67 100,0

Dari tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa status stunting pendek dan sangat pendek di SDN 064994 yaitu 82,1% dan 17,9% tergolong tinggi karena menurut Riskesdas 2010 prevalensi pendek dan sangat pendek hanya 22,6% dan 20,6%.

Tabel 3. Distribusi Jenis Makanan Anak Stunting di SDN 064994

Jenis

Makanan Jumlah Persentase

Baik 10 14,9

Sedang 36 53,7

Tidak Baik 21 31,3

Total 67 100,0

Berdasarkan tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi makanan anak stunting di SDN 064994 setiap kali makan mengonsumsi 3 jenis makanan dalam sehari, yaitu terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, dan sayur.

Umumnya anak stunting

mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok daging hanya sedikit dikonsumsi, dikarenakan faktor ekonomi dan anak stunting lebih banyak mengonsumsi ikan segar dan telur sebagai lauk hewani, dan sayuran yang sering dikonsumsi anak stunting adalah sayur bayam, kangkung, dan daun singkong. Untuk buah sebagian besar siswa jarang mengonsumsi buah, hal

ini dikarenakan anak lebih senang jajan jajanan ringan dibanding makan buah.

Umumnya jajanan yang sering dikonsumsi anak adalah bakso dan chiki. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi dan jumlah anak yang tergolong sering mengonsumsi jajanan tersebut. Jajanan ini sering dikonsumsi anak dikarenakan baik di sekolah maupun di sekitar rumah terdapat penjual bakso dan chiki sehingga anak sering mengonsumsinya.

Tabel 4. Distribusi Kecukupan Energi, Protein, Kalsium, Fosfor, Magnesium, Seng, Vitamin A dan Vitamin C Anak Stunting di SDN 064994

No Kecukupan

Zat Gizi Jumlah Persentase

1 Energi Baik Sedang Kurang Defisit 3 5 13 46 4,5 7,5 19,4 68,7 Total 67 100,0 2 Protein Baik Sedang Kurang Defisit 32 14 6 15 47,8 20,9 9,0 22,4 Total 67 100,0 3 Kalsium Cukup Kurang 13 54 19,4 80,6 Total 67 100,0 4 Fosfor Cukup Kurang 31 36 46,3 53,7 Total 67 100,0 5 Magnesium Cukup Kurang 42 25 62,7 37,3 Total 67 100,0 6 Seng Cukup Kurang 1 66 1,5 98,5 Total 67 100,0 7 Vitamin A Cukup Kurang 34 33 50,7 49,3 Total 67 100,0 8 Vitamin C Cukup Kurang 13 54 19,4 80,6 Total 67 100,0

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada umumnya asupan energi, kalsium, seng dan vitamin C dikonsumsi

dalam jumlah sedikit sehingga kurang memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah dianjurkan. Sedangkan asupan fosfor, magnesium, dan vitamin A dikonsumsi dalam jumlah yang cukup oleh lebih dari setengah anak stunting, bahkan jumlah asupan protein siswa stunting tergolong baik, hampir setengah dari anak stunting yang jumlah konsumsi proteinnya tergolong baik.

Tabel 5. Tabulasi Silang Kecukupan Energi Berdasarkan Kategori Stunting

Kategori Stunting

Kecukupan Energi

Baik Sedang Kurang Defisit Total n % n % n % n % n % Pendek 3 5,5 4 7,3 11 20,0 37 67,3 55 100,0

Sangat

Pendek 0 0,0 1 8,3 2 16,7 9 75,0 12 100,0 Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat

bahwa sebagian besar anak pendek mengalami defisit kecukupan energi sebanyak 37 anak (67,3%). Sama hal dengan anak pendek bahwa hampir seluruh anak sangat pendek mengalami defisit energi (75,0 %). Hal ini dapat diakibatkan oleh makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh anak stunting baik di rumah maupun dari luar rumah seperti jajanan belum bisa mencukupi kebutuhan energi yang dibutuhkan dalam sehari. Kebiasaan anak yang tidak sarapan pagi, jumlah asupan makanan pokok yang kurang dan frekuensi makan makanan pokok yang dikonsumsi hanya dua kali juga mengakibatkan kebutuhan energi anak belum tercukupi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jumirah, dkk (2007) pada anak sekolah dasar di Desa Namo Gajah Kecamatan Medan Tuntungan bahwa dalam penelitian tersebut anak yang sangat pendek umumnya mempunyai konsumsi energi yang kurang dan defisit, sementara anak-anak yang status gizinya normal (tidak pendek) menunjukkan konsumsi energi yang bervariasi dari tingkat konsumsi energi baik sampai defisit.

Tabel 6. Tabulasi Silang Kecukupan Protein Berdasarkan Kategori Stunting

Kategori Stunting

Kecukupan Protein Baik Sedang Kuran

g Defisit Total n % n % n % n % n % Pendek 29 52,7 9 16,4 5 9,1 12 21,8 55 100,0

Sangat

Pendek 3 25,0 5 41,7 1 8,3 3 25,0 12 100,0 Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata anak pendek kecukupan proteinnya sudah baik yaitu sebanyak 29 anak (52,7%). Pada kategori sangat pendek kecukupan proteinnya bervariasi terdapat sebanyak 5 anak (41,7%) kecukupan proteinnya tergolong sedang. Konsumsi protein anak stunting lebih baik dibanding konsumsi energi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa anak stunting di SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus rata-rata konsumsi ikan dalam seminggu sebanyak 4-6 kali sehari. Hal ini disebabkan daerah tempat tinggal mereka yang dekat dengan pesisir sehingga tidak sulit untuk mendapatkan ikan dan ikan selalu tersedia di pasar yang mudah dijangkau oleh setiap keluarga, bahkan ada beberapa murid yang hampir setiap harinya salah satu anggota keluarga membawa pulang ikan segar dari pasar ataupun dari tempat pelelangan ikan yang bekerja sebagai buruh.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Jumirah, dkk (2007) pada anak sekolah dasar di Desa Namo Gajah Kecamatan Medan Tuntungan bahwa ternyata anak-anak yang mempunyai tinggi badan normal ada yang mengalami asupan protein yang defisit pada saat ini. Bahkan sebaliknya anak-anak yang tinggi badannya pendek ternyata saat ini mempunyai asupan protein yang baik.

Tabel 7. Tabulasi Silang Kecukupan Kalsium Berdasarkan Kategori Stunting

Kategori Stunting

Kecukupan Kalsium

Kurang Cukup Total

n % n % n %

Pendek 44 80,0 11 20,0 55 100,0

Sangat

Pendek 10 83,3 2 16,7 12 100,0

Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata anak pendek dan sangat pendek memiliki tingkat kecukupan kalsium tergolong kurang terlihat dari persentase anak pendek yang kurang kalsium sebesar 80,0% dan anak sangat pendek sebesar 83,3%. Hal ini dapat diakibatkan dari frekuensi konsumsi makanan yang kaya akan kalsium seperti udang kering, teri kering, tahu dan sayuran seperti bayam, sawi, daun melinjo, daun katuk, dan daun singkong serta susu bubuk dan susu kental manis yang hanya sebagian kecil anak stunting yang mengonsumsi makanan tersebut yang sangat berguna untuk pertumbuhan.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Solia (2014) hubungan pola konsumsi dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun di SDN 173538 Balige bahwa dari 60 anak, terdapat 48,3 % mengalami defisit kalsium, 6,7 % anak mengalami kurang kalsium, 6,7 % anak kecukupan kalsium sedang dan 38,3 % anak kecukupan kalsium baik yang berarti bahwa erat hubungan antara kecukupan kalsium dengan pertumbuhan tinggi badan anak.

Tabel 8. Tabulasi Silang Kecukupan Fosfor Berdasarkan Kategori Stunting

Kategori Stunting

Kecukupan Fosfor

Kurang Cukup Total

n % n % n %

Pendek 30 54,5 25 45,5 55 100,0

Sangat

Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian dari anak stunting baik anak pendek maupun anak sangat pendek memiliki kecukupan fosfor yang tergolong kurang dan sebagian lagi tergolong cukup. Hal ini terlihat dari presentasenya yaitu sebesar 54,5% pada anak pendek dan 50,0% untuk anak sangat pendek. Hal ini disebabkan pada umumnya anak stunting mengonsumsi makanan sumber fosfor dalam jumlah kecil dan kurang menyukai makanan yang mengandung fosfor seperti teri kering, tahu, kacang-kacangan, sayuran seperti kentang, bayam, daun singkong, dan wotel, pada buah-buahan seperti pisang ambon.

Tabel 9. Tabulasi Silang Kecukupan Magnesium Berdasarkan Kategori Stunting

Kategori Stunting

Kecukupan Magnesium

Kurang Cukup Total

n % n % n %

Pendek 19 34,5 36 65,6 55 100,0

Sangat

Pendek 6 50,0 6 50,0 12 100,0

Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak pendek memiliki kecukupan magnesium yang cukup sebanyak 36 anak (65,6 %) dan anak sangat pendek kecukupan magnesiumnya sebagian kurang dan sebagiannya lagi cukup yaitu sebanyak 6 orang (50,0 %). Dari hasil wawancara pada anak stunting didapatkan sebagian besar anak jarang mengonsumsi sayuran terlihat dari konsumsi sayur perminggu yang hanya 1-3 kali perminggu dan 4-6 kali perminggu dan hanya dikonsumsi dalam jumlah sedikit bahkan ada beberapa anak stunting yang tidak makan sayur dengan alasan tidak suka makan sayur, sehingga asupan magnesium sehari-hari tidak tercukupi.

Tabel 10. Tabulasi Silang Kecukupan Seng Berdasarkan Kategori Stunting

Kategori Stunting

Kecukupan Seng

Kurang Cukup Total

n % n % n %

Pendek 54 98,2 1 1,8 55 100,0

Sangat

Pendek 12 100,0 0 0,0 12 100,0

Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa hampir seluruh anak stunting baik pada anak pendek maupun anak sangat pendek dengan kecukupan seng yang kurang yaitu sebesar 98,2 % atau sebanyak 54 anak pendek dan untuk anak sangat pendek sebesar 100,0 % atau seluruh anak sangat pendek memiliki kecukupan seng kurang. Hal ini disebabkan konsumsi lauk pauk yang mengandung seng jarang dikonsumsi seperti daging, ayam, seafood dan susu. Jika hal ini berkepanjangan terus

maka dapat memperparah proses

pertumbuhannya.

Berdasarkan penelitian Mardewi (2014) tentang kadar seng rendah sebagai faktor risiko perawakan pendek pada anak bahwa rata-rata kadar seng serum pada anak dengan perawakan pendek lebih rendah dibandingkan anak dengan perawakan normal.

Tabel 11. Tabulasi Silang Kecukupan Vitamin A Berdasarkan Kategori Stunting

Kategori Stunting

Kecukupan Vitamin A

Kurang Cukup Total

n % n % n %

Pendek 25 45,5 30 54,5 55 100,0

Sangat

Pendek 8 66,7 4 33,3 12 100,0

Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak pendek kecukupan vitamin A tergolong cukup yaitu sebesar 54,5 % atau sebanyak 30 anak dan anak sangat pendek sebagian besar kecukupan vitamin A tergolong kurang sebesar 66,7 % atau sebanyak 8 anak.

Tabel 12. Tabulasi Silang Kecukupan Vitamin C Berdasarkan Kategori Stunting Kategori Stunting Kecukupan Vitamin C

Kurang Cukup Total

n % n % n %

Pendek 43 78,2 12 21,8 55 100,0

Sangat

Pendek 11 91,7 1 8,3 12 100,0

Berdasarkan tabel 12 terlihat bahwa sebagian besar anak pendek mempunyai kecukupan vitamin C yang tergolong kurang sebesar 78,2 % atau sebanyak 43 anak dan hampir seluruh anak sangat pendek memiliki kecukupan vitamin C kurang yaitu sebesar 91,7 % atau sebanyak 11 orang.

Kekurangan dalam konsumsi kecukupan vitamin A dan vitamin C disebabkan kesadaran oleh anak stunting untuk membiasakan makan sayur dan buah setiap kali makan. Konsumsi buah pada umumnya dikonsumsi hanya 1-3 kali dalam seminggu dengan jumlah yang sedikit dibandingkan dengan yang diajurkan. Sama halnya dengan buah sayuran juga dikonsumsi dalam jumlah sedikit, biasanya sayuran yang dikonsumsi juga dipilih sesuai selera anak dan yang sering dikonsumsi antara lain, bayam, kangkung daun ubi dengan frekuensi makan 4-6 kali dalam seminggu.

KESIMPULAN DAN SARAN