• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa Kembalinya Tan Malaka ke Indonesia

Dalam dokumen Pemikiran Tan Malaka Tentang Konsep Negara (Halaman 59-65)

BAB III : KONSEP NEGARA TAN MALAKA

BIOGRAFI TAN MALAKA

II.4. Masa Kembalinya Tan Malaka ke Indonesia

Saat kembali lagi ke Indonesia tahun 1942 setelah 20 tahun dalam pelarian diluar negeri, Jepang sudah mendarat dan berkuasa. Semenjak meninggalkan Bangkok (1927), kecuali hubungan surat-menyurat yang terbatas dan kemudian terputus. Tan Malaka menjadi seorang pejuang revolusioner yang kesepian, tetapi juga tetap setia pada cita-cita revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu ia masih belum keluar dengan nama aslinya, llyas Husein adalah nama samaran yang dipakainya. Pengalaman pahitnya sebagai buronan politik di luar negeri menyebabkan-nya merasa masih perlu menyembunyikan identitas. Ia tinggal dalam kehidupan serba kekurangan di Radjawati dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan. la berkonsentrasi menulis sebuah karya terpentingnya : MADILOG (Materialisme Dialektika dan Logika) buku yang ditulis sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. Buku yang mengajak dan memperkenalkan kepada Bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah, meninggalkan segala macam bentuk takhayul dan cara berpikir hafalan yang menyebakan seseorang menjadi dogmatis.

MADILOG yang kemudian dianggap sebagai karya terbaik peninggalanya dibuat dengan harapan agar rakyat Indonesia dapat berpikir secara logis, materialistik, dialektik dan memandu revolusi kaum proletariat Indonesia. Tujuan dari uraian semacam ini, seperti dikemukakannya berulang kali, adalah untuk mengubah pandangan dunia banyak komunitas di Indonesia yang berdasarkan kegaiban. Oleh

karena itulah, materialisme Tan Malaka bukanlah pertama-tama propaganda pro kebendaan, melainkan lebih merupakan kampanye anti-mistifikasi yang menjadi pandangan dominan masyarakat Indonesia. Kekejaman fasis Jepang tambah memuakan hatinya ketika ia menyaksikan sendiri di pertambangan Bayah, Banten. Tan Malaka kembali menyaksikan, sebagaimana pemah dialaminya di perkebunan Senembah dulu, pengeksploitasian bangsanya oleh Jepang, kekuasaan Imperialis baru.

Tan Malaka melihat sendiri kondisi yang amat menyengsarakan, kaum Romusha yang dipekerjakan Jepang secara paksa. Hal ini tentunya semakin memperkuat keyakinannya tentang keperluan adanya aksi massa untuk melahirkan revolusi. Ia mulai mencium posisi Jepang yang semakin terdesak akibat Perang Dunia II akan membuat cita-cita kemerdekaan Indonesia semakin dekat. Tan Malaka kemudian membangun komunikasi dengan para pemuda pejuang saat itu, memberikan informasi-informasi terbaru dan perkembangan perjuangan kemerdekaan. Kehadiranya semakin meningkatkan semangat dan gairah perjuangan kemerdekaan.

Dia pun sempat menulis Manifesto Jakarta di tahun 1945 yang berisi tentang ikhwal kedatanganya, perjalanan selama pelarianya serta gambaran tentang penjajahan Jepang serta tentara sekutu yang ia katakana sebagai Imperialisme yang siap masuk setiap saat.

Diakhir masa pendudukan Jepang ia mulai sering menjalin kontak dengan para tokoh pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik, Maruto, Pandu Kartawiguna dan lain-lain. Para pemuda itu lah yang kelak berperan besar dalam

"Peristiwa Rengas dengklok" untuk mendesak para tokoh seperti Sukarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Potret misterius tentang pejuang revolusioner Tan Malaka dilukiskan Adam Malik dalam bukunya Riwayat Proklamasi Agustus 1945. Dimana pada suatu Maghrib tanggal 14 Agustus 1945,

datanglah seorang tua berpakaian kumuh, bercelana hitam pendek dan topi ditanganya ke rumah Sukarni. Ia memperkenalkan diri sebagai wakil pemuda dari Bayah-Banten dan mengajak Sukarni berdiskusi panjang situasi intemasional pada waktu itu. Sukarni yang terkejut karena pandangan-pandangan yang diberikan amat sesuai dan sejalan dengan semangat revolusioner dikalangan kaum muda saat itu.

Orang tua yang dikemudian hari membuka identitasnya tersebut ternyata adalah Tan Malaka. Ia menekankan agar para pemuda untuk bersiap bersama rakyat menghadapi peperangan dan segala konsekuensi dari kemerdekaan. Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia dalam suatu upacara yang singkat dan terburu-buru di pekarangan rumah Soekarno di Jakarta, Hadirinnya terbatas pada sejumlah kecil perintis. Langkah ini dianggap tepat setelah mendapat desakan dari kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan setelah mendengar kabar tentang menyerahnya Jepang kepada sekutu. Setelah proklamasi bukan berarti Indonesia telah merdeka sepenuhnya, Belanda kembali ingin menguasai Indonesia. Berbagai perundingan politik dan perang masih terus berlangsung. Namun perkembangan politik saat itu dimana Pemerintahan Kabinet Syahrir lebih memilih jalan diplomasi dengan Belanda menyebabkanya kecewa.

Ketidak setujuannya didasarkan pada konsepsi bahwa untuk mencapai kemerdekaan adalah hasil jerih payah perjuangan rakyat bukan atas konsesi hasil diplomasi dan proses diplomasi hanya akan membuat pihak sekutu lebih leluasa untuk mengkonsolidasikan kekuatanya di Indonesia. Pamflet Syahrir yang berjudul Perdjoeangan Kita yang diterbitkan oleh Kementrian Penerangan pada tanggal 10 November 1945 langsung dibahas lewat tulisan Tan Malaka yang berjudul Moeslihat, Politik dan Rentjana Ekonomi yang berisi tentang Trilogi Revolusi Indonesia sebagai panduan praktis dari konsep awal Menuju Indonesia Merdeka 100% yang dicita- citakannya.

Tan Malaka sama sekali menolak pandangan Syahrir yang mencerminkan keragu-raguan tentang proses revolusi demokratis yang sedang berjalan dengan bersikap lembek terhadap Amerika Serikat dan Inggris. Jalan Syahrir yang mengedepankan diplomasi yang lihai dan fleksibel dianggap tidak sesuai dengan kondisi semangat massa yang sedang bergelora setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Tulisan ini mendapatkan respon positif dari kalangan pemuda dan gerakan bawah tanah yang konsisten untuk terus berjuang mengusir Belanda. Apalagi setelah peristiwa pertempuran bersejarah di Surabaya 10 November 1945 dimana para pemuda dan rakyat secara berani dan sukarela mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketidak sepahamanya dengan pilihan strategi pemerintah yang kompromis berujung pada pilihan untuk mendirikan suatu organisasi berbentuk front untuk mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang menolak kebijakan kompromis pemerintah. Tan Malaka memandang kondisi demikian menyebabkan kondisi Indonesia menurutnya sudah terpinggir dan semakin terdesak Tanggal 15 Januari dengan dukungan dari para pemuda seperti Sukarni, AdamMalik, Chairul saleh, Pandu Wiguna dan Maruto Nitimiharjoia mendirikan Persatuan Perjuangan (PP) suatu bentuk oposisi atas dasar solidaritas nasional yang menginginkan segala bentuk perundingan dengan Belanda dibatalkan dan segera menasionalisasikan aset-aset asing.

Persatuan Perjuangan (PP) mendapatkan dukungan luas dari 141 organisasi, termasuk hampir semua partai politik dan organisasi militer. Tak terkecuali Jenderal Sudirman pun hadir untuk memberikan dukunganya dengan mengatakan lehih baik di atoom sama sekali dari pada tidak merdeka 100%. Persatuan Perjuangan (PP), secara resmi menjadi oposisi bagi pemerintah dan juga bagi Sukarno tentunya. Program Minimum Persatuan Perjuangan (PP), segera mendapatkan sambutan luas dari kalangan rakyat yang sedang dalam masa pasang revolusi. Semboyan Merdeka 100%,

Diplomasi! Bambu Runcing! Tidak Ada Kompromi Dengan Penjajah! Mendapatkan respons dihati rakyat.

Hebatnya menurut Muhamad Yamin Program minimum sampai dengan nama Persatuan Perjuangan diambil dari pidato Tan Malaka ,yaitu :

“1. Berunding atas dasar pengakuan Kemerdekaan 100%

2. Pemerintahan Rakyat (dalam arti: kemauan Pemerintah sesuai dengan kemauan

Rakyat)

3. Tentara Rakyat (dalam arti: kemauan Tentara sesuai dengan kemauan Rakyat)

4. Menyelenggarakan Tawanan Eropa 5. Melucuti senjata Jepang

6.Menyita hak dan milik musuh

7. Menyita perusahaan (pabrik, bengkel dan lain-lain) dan pertanian (perkebunan, pertambangan, dan lain-lain).”

Tan Malaka kemudian terpilih menjadi salah seorang dari 11 anggota sub komite yang bertugas untuk menyempumakan organisasi. Gerakan politik Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan tidak sebatas memboikot seluruh kebijakan diplomasi pemerintah seperti Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville.

Tan Malaka juga mengarahkan pada suatu bentuk revolusioner tanpa kompromi untuk mengusir penjajah sampai ke akar-akamya. Kondisi demikian menyebabkan meningkatnya suhu rivalitas politik dikalangan pimpinan nasional saat itu. Saling tangkap dan culik antar tokoh terjadi. Sebagai contoh Sutan Syahrir pernah diculik seorang perwira muda bemama Abdul Kadir Jusuf pada tanggal 25 Juni 1946 atas izin atasanya Mayor Jenderal Sudarsono di Gedung Javasche Bank di Surakarta karena Syahrir dinilai sebagai penghianat Revolusi Nasional Agresi Militer Belanda kedua tanggal 19 Desember 1948 menyebabkan parapejuang Republik harus

menyingkir ke pedalaman. Bulan Februari 1949 Tan ditangkap bersama tentara Republik di Desa Mojo untuk kemudian dibawa sampai kedekat Sungai Brantas. Dan pada 19 Februari 1949 ia ditembak ditepian Sungai Brantas, Dengan luka disekujur tubuhnya, mayat pejuang sejati itu dibuang begitu saja ke Sungai Brantas tempat kuburan sekaligus batu nisan abadinya. Mayatnya hilang tanpa jejak dan gemuruh revolusi telah memakan anak-anaknya sendiri.

BAB III

Dalam dokumen Pemikiran Tan Malaka Tentang Konsep Negara (Halaman 59-65)